Sontak Oris bangkit dari tempat duduknya. Wajahnya terlihat panik ketika mendengar kabar buruk dari seorang pria. "Hey, tunggu!" Rion berteriak. "Maaf, Tuan. Saya harus segera pergi karena istri saya kritis." Oris berlari setalah mengucapkan kata maaf. Rion hanya melihat tubuh Oris yang tidak lama kemudian menghilang setelah masuk ke salah satu mobil taksi yang ada di seberang jalan. "Apa Oris sedang membodohiku? Kalau iya, untuk apa dia mau menemuiku tadi?" Perasaan Rion bercampur aduk dengan segala sangkaan dan kenyataan yang masih abu-abu.*** Rion menghentikan taksi dan bergegas menemui Kenzie siang itu. Dia ingin menceritakan kejadian sesungguhnya meskipun belum jelas kronologinya. Tiba di depan pagar hitam sederhana, mobil taksi yang ditumpangi Rion pun berhenti. Pemuda itu turun setelah membayar taksi. "Terima kasih," ucap sopir itu ketika menerima bayaran dari Rion. Rion tersenyum, lalu dia berjalan memasuki kost Kenzie di lantai dua. Rion melihat Kenzie yang sedang te
Seiring bergulirnya waktu tidak terasa tugas kampus telah usai, bahkan dalam hitungan jam Rion akan diwisuda. Cucu kedua dari Frederic malah tidak dapat tidur. Padahal besok pagi harus sudah bersiap ke kampus untuk melaksanakan wisuda. Perasaan Rion begitu gundah karena hingga detik ini, hubungannya dengan Kenzie belum menunjukkan kejelasan meskipun dia mengetahui kalau Kenzie pun menyayangi dirinya. Labil. Rion merasa ingin ada kejelasan setelah cukup lama cintanya belum mendapatkan pengakuan dari status persahabatan atau kekasih? "Ya Tuhan ... apa iya aku harus kembali meminta kejelasan tentang hubunganku pada Kenzie?" Rion menatap langit-langit kamar bercat putih. Dalam hatinya begitu menginginkan Kenzie menjadi kekasihnya, tetapi dia juga tidak dapat memaksa orang yang dia sayangi. Entah hingga jam berapa, akhirnya mata Rion terpejam ketika seluruh pikirannya dipenuhi dengan bayangan Kenzie. Akhirnya suara jam beker telah berdering begitu nyaring, tetapi Rion tidak juga terban
Sepasang mata Rion terbuka perlahan. Dia melihat langit-langit kamar serta tercium ruangan yang berbau obat. Beberapa bagian tubuhnya terluka dan di bagian dahi terpasang perban. "Ah ... sakit sekali," ucap Rion sambil memejamkan matanya. Tidak berselang lama, pintu ruangan itu terbuka dan terlihat seorang laki-laki tua yang duduk di kursi roda mendekat ke arahnya. "Gimana keadaanmu, Rion?" tanya kakeknya. "Sedikit pusing, Opah. Yang aku khawatirkan Mama Kemala, bagaimana keadaannya saat ini?" "Belum sadarkan diri, dia masih ada di ruang ICU," jelas seorang kakek yang rambutnya telah memutih. "Oh ... astaga." Rion mengembuskan napas beratnya. "Bolehkah aku melihatnya, Opah?" "Nanti, tunggu dokter dulu agar memeriksa keadaanmu. Di sana ada Owen. Tidak usah khawatir." Rion mengangguk meskipun dalam hatinya begitu ingin melihat Kemala, walaupun dia sebatas ibu tirinya. Frederic menyuruh Rion beristirahat. Laki-laki tua itu sengaja meninggalkan Rion agar dia bisa beristirahat den
Rion semakin membaik setelah dokter memeriksa keadaannya barusan. Laki-laki culun itu berusaha menemui Kemala karena saat kejadian, ibu tirinya itu ada di mobil bersamanya. Sesungguhnya Rion sudah diperbolehkan pulang, hanya saja dia saat ini masih di rumah sakit menemani Kemala yang masih koma. "Permisi!" Seorang perempuan berpakaian putih menghampiri Rion. "Maaf, saya ganti dulu kantong darahnya." Wanita itu mulai mengganti kantong darah yang hampir habis dengan yang baru. "Terima kasih, Sus." "Sama-sama. Oh, iya, saya ingin memberitahukan kalau persediaan darah golongan O di rumah sakit ini telah habis. Kami sudah memesannya, tetapi sebisa mungkin untuk menyiapkan orang yang dapat mendonorkan darahnya kalau saja stok darah telat datang." "Baik, Sus. Golongan darah saya kebetulan sama, kok." "Syukurlah, kalau begini sudah dapat dipastikan aman kalaupun persediaan darah hari ini telat sampai ke rumah sakit." Wanita itu kemudian pergi setelah semua tugasnya telah usai. *** Wak
Rion yang sedang duduk di tepi ranjang akhirnya bangkit dan meraih kunci mobil juga sweater. Sambil berjalan cepat, dia mengenakan sweater hitam menuju garasi. "Mau ke mana, Tuan?" tanya scurity ketika melihat Rion mengendarai mobil sport yang jarang digunakan. "Ada perlu. Kalau ada yang nanyain, bilang saja begitu.""Baik, Tuan." Mobil melesat kencang keluar dari gerbang yang menjulang tinggi. Jalanan yang lengang membuat Rion semakin kencang mengemudikan mobil sport warna hitam milik. "Astaga, Kenziiiiieee ... lu di mana?" gumam Rion dengan mata sipitnya yang melihat ke kiri dan ke kanan jalan. Dia mencari di mana keberadaan Kenzie. Rion semakin tidak tenang mengendari mobilnya. Terlebih dia bingung harus mencari Kenzie ke mana. Akhirnya Rion memilih untuk ke kost Kenzie, karena kemungkinan besar dia mengetahui mobil yang membawa Kenzie ke arah mana. Ternyata Angel telah ada di depan gerbang kost. Rion langsung membuka kaca mobilnya. "Mbak, ayok, ikut aku!" ucap Rion yang lan
Kenzie sudah terbaring di kasur. Angel mengambil minyak angin berharap Kenzie akan siuman. "Enzie, bangun, bangun, Enzie." Rion menepuk-nepuk pelan pipi Kenzie ketika Angel berusaha menyodorkan minyak angin ke hidungnya. Mata kehijauan itu belum mau terbuka, Rion dan Angel cukup khawatir dengan keadaan tersebut. Gegas Rion hampir menggendongnya kembali untuk dibawa ke rumah sakit. Seketika itu juga Kenzie siuman dan menggerakkan sedikit tangannya. "Rion, Enzie udah sadar!" ucap Angel kala menyadari keadaan Kenzie. Tangan Rion yang sudah meraih punggung Kenzie akhirnya direbahkan kembali. Sepasang mata sipitnya memandang dan menyaksikan ketika mata kehijauan itu terbuka perlahan. Rion tersenyum. "Lu udah bangun?" lirih bercampur bahagia yang kini dirasakan oleh Rion."Maafin gue," ucap lirih Kenzie. Angel yang menyaksikan pemandangan tersebut mengerti kalau dirinya di sana hanya akan menjadi patung di antara Rion dan Kenzie. Perlahan, Angel melangkah pergi meninggalkan mereka dal
Rion menatap Kenzie begitu serius. Sepasang bola mata hitam pekat dan kehijauan kini telah bertatapan. Keadaan seolah sunyi meskipun keadaan kiri dan kanannya terlihat ramai. "Permisi, pesanan sudah siap." Pramusaji di kedai tersebut mulai memindahkan menu-menu pesanan yang ada pada nampan besar untuk dipindahkan ke meja. Rion dan Kenzie terkejut saat menyadari ada pramusaji di dekat mereka. Wajah keduanya sedikit menjauh malu-malu dan hal tersebut membuat pramusaji tersenyum. "Selamat menikmati." Pramusaji itu tersenyum sembari mengangguk. "Terima kasih," ucap Rion, sedangkan Kenzie hanya melempar senyum. "Ayok, makan. Bukannya lu udah lapar?" ucap Rion sesaat pramusaji tadi pergi. "Iya." Kenzie tersenyum dengan pandangan masih tertunduk. Kenzie mulai menikmati menu-menu yang sudah terhidang. Dari mulai mencicipi seblak, bakso hingga sate daging sapi dengan bumbu kacang yang sangat menggoda. "Rion, kenapa kamu enggak makan?" Kenzie baru menyadari kalau Rion hanya diam memperh
Senyuman di bibir Rion memudar. Terlebih Owen yang tidak mampu menahan emosinya karena tidak mempercayai kalau ibunya telah meninggal. "Dok, jangan bercanda. Ibu saya masih hidup, kan? Jawab, Dokter. Jawab!!!" Emosi Owen kian memuncak tatkala dokter itu tidak menjawab. "Sayang!" Tiba-tiba saja seorang wanita melerai Owen. "Jangan begini, tenang, ya? Aku ada di sini," ucap seorang wanita yang ternyata Wanda. Tubuh Owen ambruk di lantai. Dia benar-benar terpukul dengan kabar buruk malam itu. Perlahan Rion berjalan dan masuk diiringi Kenzie ke ruangan inap yang tinggal menyisakan tubuh yang sudah tidak bernyawa. Dia terkujur di atas bad dan seluruh peralatan medis telah terlepas dari tubuh wanita paruh baya itu. Rion semakin mendekat dan menggenggam tangan Kemala yang telah dingin. Satu kali air mata Rion terjatuh dari sudut mata kanannya. "Ma, kenapa aku harus terus melihat hal seperti ini? Aku sudah tidak punya Mama, aku sudah tidak punya Papa dan saat ini aku pun harus kehilanga