Sepasang mata Rion terbuka perlahan. Dia melihat langit-langit kamar serta tercium ruangan yang berbau obat. Beberapa bagian tubuhnya terluka dan di bagian dahi terpasang perban. "Ah ... sakit sekali," ucap Rion sambil memejamkan matanya. Tidak berselang lama, pintu ruangan itu terbuka dan terlihat seorang laki-laki tua yang duduk di kursi roda mendekat ke arahnya. "Gimana keadaanmu, Rion?" tanya kakeknya. "Sedikit pusing, Opah. Yang aku khawatirkan Mama Kemala, bagaimana keadaannya saat ini?" "Belum sadarkan diri, dia masih ada di ruang ICU," jelas seorang kakek yang rambutnya telah memutih. "Oh ... astaga." Rion mengembuskan napas beratnya. "Bolehkah aku melihatnya, Opah?" "Nanti, tunggu dokter dulu agar memeriksa keadaanmu. Di sana ada Owen. Tidak usah khawatir." Rion mengangguk meskipun dalam hatinya begitu ingin melihat Kemala, walaupun dia sebatas ibu tirinya. Frederic menyuruh Rion beristirahat. Laki-laki tua itu sengaja meninggalkan Rion agar dia bisa beristirahat den
Rion semakin membaik setelah dokter memeriksa keadaannya barusan. Laki-laki culun itu berusaha menemui Kemala karena saat kejadian, ibu tirinya itu ada di mobil bersamanya. Sesungguhnya Rion sudah diperbolehkan pulang, hanya saja dia saat ini masih di rumah sakit menemani Kemala yang masih koma. "Permisi!" Seorang perempuan berpakaian putih menghampiri Rion. "Maaf, saya ganti dulu kantong darahnya." Wanita itu mulai mengganti kantong darah yang hampir habis dengan yang baru. "Terima kasih, Sus." "Sama-sama. Oh, iya, saya ingin memberitahukan kalau persediaan darah golongan O di rumah sakit ini telah habis. Kami sudah memesannya, tetapi sebisa mungkin untuk menyiapkan orang yang dapat mendonorkan darahnya kalau saja stok darah telat datang." "Baik, Sus. Golongan darah saya kebetulan sama, kok." "Syukurlah, kalau begini sudah dapat dipastikan aman kalaupun persediaan darah hari ini telat sampai ke rumah sakit." Wanita itu kemudian pergi setelah semua tugasnya telah usai. *** Wak
Rion yang sedang duduk di tepi ranjang akhirnya bangkit dan meraih kunci mobil juga sweater. Sambil berjalan cepat, dia mengenakan sweater hitam menuju garasi. "Mau ke mana, Tuan?" tanya scurity ketika melihat Rion mengendarai mobil sport yang jarang digunakan. "Ada perlu. Kalau ada yang nanyain, bilang saja begitu.""Baik, Tuan." Mobil melesat kencang keluar dari gerbang yang menjulang tinggi. Jalanan yang lengang membuat Rion semakin kencang mengemudikan mobil sport warna hitam milik. "Astaga, Kenziiiiieee ... lu di mana?" gumam Rion dengan mata sipitnya yang melihat ke kiri dan ke kanan jalan. Dia mencari di mana keberadaan Kenzie. Rion semakin tidak tenang mengendari mobilnya. Terlebih dia bingung harus mencari Kenzie ke mana. Akhirnya Rion memilih untuk ke kost Kenzie, karena kemungkinan besar dia mengetahui mobil yang membawa Kenzie ke arah mana. Ternyata Angel telah ada di depan gerbang kost. Rion langsung membuka kaca mobilnya. "Mbak, ayok, ikut aku!" ucap Rion yang lan
Kenzie sudah terbaring di kasur. Angel mengambil minyak angin berharap Kenzie akan siuman. "Enzie, bangun, bangun, Enzie." Rion menepuk-nepuk pelan pipi Kenzie ketika Angel berusaha menyodorkan minyak angin ke hidungnya. Mata kehijauan itu belum mau terbuka, Rion dan Angel cukup khawatir dengan keadaan tersebut. Gegas Rion hampir menggendongnya kembali untuk dibawa ke rumah sakit. Seketika itu juga Kenzie siuman dan menggerakkan sedikit tangannya. "Rion, Enzie udah sadar!" ucap Angel kala menyadari keadaan Kenzie. Tangan Rion yang sudah meraih punggung Kenzie akhirnya direbahkan kembali. Sepasang mata sipitnya memandang dan menyaksikan ketika mata kehijauan itu terbuka perlahan. Rion tersenyum. "Lu udah bangun?" lirih bercampur bahagia yang kini dirasakan oleh Rion."Maafin gue," ucap lirih Kenzie. Angel yang menyaksikan pemandangan tersebut mengerti kalau dirinya di sana hanya akan menjadi patung di antara Rion dan Kenzie. Perlahan, Angel melangkah pergi meninggalkan mereka dal
Rion menatap Kenzie begitu serius. Sepasang bola mata hitam pekat dan kehijauan kini telah bertatapan. Keadaan seolah sunyi meskipun keadaan kiri dan kanannya terlihat ramai. "Permisi, pesanan sudah siap." Pramusaji di kedai tersebut mulai memindahkan menu-menu pesanan yang ada pada nampan besar untuk dipindahkan ke meja. Rion dan Kenzie terkejut saat menyadari ada pramusaji di dekat mereka. Wajah keduanya sedikit menjauh malu-malu dan hal tersebut membuat pramusaji tersenyum. "Selamat menikmati." Pramusaji itu tersenyum sembari mengangguk. "Terima kasih," ucap Rion, sedangkan Kenzie hanya melempar senyum. "Ayok, makan. Bukannya lu udah lapar?" ucap Rion sesaat pramusaji tadi pergi. "Iya." Kenzie tersenyum dengan pandangan masih tertunduk. Kenzie mulai menikmati menu-menu yang sudah terhidang. Dari mulai mencicipi seblak, bakso hingga sate daging sapi dengan bumbu kacang yang sangat menggoda. "Rion, kenapa kamu enggak makan?" Kenzie baru menyadari kalau Rion hanya diam memperh
Senyuman di bibir Rion memudar. Terlebih Owen yang tidak mampu menahan emosinya karena tidak mempercayai kalau ibunya telah meninggal. "Dok, jangan bercanda. Ibu saya masih hidup, kan? Jawab, Dokter. Jawab!!!" Emosi Owen kian memuncak tatkala dokter itu tidak menjawab. "Sayang!" Tiba-tiba saja seorang wanita melerai Owen. "Jangan begini, tenang, ya? Aku ada di sini," ucap seorang wanita yang ternyata Wanda. Tubuh Owen ambruk di lantai. Dia benar-benar terpukul dengan kabar buruk malam itu. Perlahan Rion berjalan dan masuk diiringi Kenzie ke ruangan inap yang tinggal menyisakan tubuh yang sudah tidak bernyawa. Dia terkujur di atas bad dan seluruh peralatan medis telah terlepas dari tubuh wanita paruh baya itu. Rion semakin mendekat dan menggenggam tangan Kemala yang telah dingin. Satu kali air mata Rion terjatuh dari sudut mata kanannya. "Ma, kenapa aku harus terus melihat hal seperti ini? Aku sudah tidak punya Mama, aku sudah tidak punya Papa dan saat ini aku pun harus kehilanga
Jangankan mengenal, namanya saja Rion baru mendengar detik itu. "Nama yang asing bagi gue," ucap Rion setelah dia berpikir. "Enggak tau, aku cuma mendengar nama Bos Ethan yang disebut oleh orang itu." Rion masih berpikir orang yang dimaksud oleh Kenzie. Tidak mungkin dia ingin menculik atau berbuat jahat pada Kenzie kalaupun tidak mengenal. Terlebih, Kenzie hanyalah sebatang kara dan terasa mustahil kalau sampai dia memiliki musuh sampai setega itu ingin mencelakakannya. Mobil masih melaju santai meskipun otak Rion tidak terlalu fokus. Hingga akhirnya mobil sport milik Rion telah memasuki halaman kost Kenzie. "Enzie!" Rion meraih tangan Kenzie saat kekasihnya itu hendak keluar dari mobil. "Iya?" Kenzie menatap Rion. "Sebaiknya lu pindah kost, gue khawatir." "Tapi cari kost yang terjangkau bukanlah hal mudah, Rion. Apalagi aku baru saja keterima kerja. Masih banyak uang yang harus aku kumpulin." "Hal itu biar gue yang urus, yang penting lu keluar dari sini." "Tapi, aku––Aku e
Kenzie akhirnya membuka amplop putih tipis yang dia pegang saat ini. Perlahan, dia meraih satu lembar kertas berharga yang bisa saja membuatnya kaya mendadak. "Cek? Untuk apa, Pak?" Kenzie bertanya dengan perasaan gelisah. Apakah ini tandanya aku dipecat dari perusahaan? Batin Kenzie ketika melihat amplop kosong yang sedang dia pegang. "Kamu isi berapa pun nominal yang kamu minta dan tolong pergi dari hidup Rion," pinta Owen yang melipat tangan di dada. "Maksudnya?" Kenzie menyipitkan mata kehijauannya. "Kamu akhiri hubungan kalian dan aku akan memberikanmu uang berapa pun yang kamu inginkan." "Maaf, Pak. Saya tidak bisa!" "Jangan sok! Aku tau, kamu membutuhkan banyak uang. Dan bukannya aku membencimu, Kenzie. Aku hanya ingin melindungi keluarga Frederic. Andai kamu ada di posisi aku, bagaiman melihat adiknya menjalin cinta dengan gadis yang maaf, bibit, bobot dan bebetnya saja tidak tau." "Maaf, Pak. Saya memang bukan siapa-siapa. Saya tau, kalau saya pun tidak memiliki apa-a
Rupanya Rion dijadikan saksi karena terakhir Oris berbicara padanya dalam panggilan ponsel sebelum Oris meninggal dunia secara tidak wajar, sehingga dari pihak kepolisian memberikan keterangan tersebut. "Terima kasih, Pak!" Willson yang menjadi pengacara Rion berjabat tangan dengan polisi yang menangani Rion. Rion terbebas dari status saksi dari pembuahan Oris yang mungkin bisa saja dirinya akan berubah status menjadi tersangka apabila tidak didampingi oleh kuasa hukumnya. "Terima kasih, Pak!" Rion berjabat tangan dengan Willson dan saat kasus telah usai, mereka kembali terpisah karena Rion memang tidak dekat pada Willson dan hanya terikat kerjaan Willson saja yang menjadi pengacara. *** Banyak sekali kejadian yang menimpa Rion setelah Kenzie pergi. Hidupnya sepi bahkan terasa kosong karena satu-satunya orang yang dia sayang di dunia ini pun pergi meninggalkannya meskipun dia menjanjikan akan kembali. Namun, entah hal itu akan terealisasikan kapan? Tidak ada jaminan dari siapa pu
Sudah beberapa hari ini Khanza merasa was-was dengan keadaan Rion. Ingin bicara, tetapi dia tidak memiliki bukti yang kuat akan perbincangan adik tirinya karena Owen memang tidak menyebut nama Rion. Bisa saja Owen malah merencanakan pembunuhan untuknya, bukan? "Tuan, apakah Tuan Muda baik-baik saja?" tanya Khanza yang merasa khawatir dengan keadaan Rion. "Aku baik-baik saja." Rion kembali terdiam. Dia hanya memperhatikan halaman rumah dari balkon. Sudah beberapa hari semenjak kematian Frederic, Rion memang betah berlama-lama di balkon hanya memperhatikan keadaan rumah saja. "Sus?" Rion memanggil Khanza."Iya, Tuan." "Biasanya Suster mengajak Opah berjemur di sana." Rion menunjuk yang disertai bibir tersenyum, tetapi pandangannya seolah kosong.Khanza tidak menjawab, karena dia tahu kalau Rion hanya butuh didengarkan saja, bukan membutuhkan jawaban darinya. "Aku kangen sama Opah," ucap Rion yang terdengar pilu. Rupanya Rion masih terlihat berat sejak kepergian Frederic. Dia seol
Dokter itu menatap Rion dan Owen bergantian yang disertakan tarikan napas dalam sebelum dia menceritakan keadaan Frederic. "Hhuuufff ...." Napas itu terembus. "Kami tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuan Frederic tidak dapat tertolong." "Apa?!" Spontan Owen berucap. Rion tidak berkata apa-apa, dia berjalan mundur hingga akhirnya terpentok pada kursi stainless dan detik itu juga dia terduduk lemas, lakinya seolah tidak mampu menopang tubuhnya sendiri saat mendengar Frederic telah kembali pada-Nya.Rion menutup wajahnya. Ingin menangis, tetapi dia tahan sekuat tenaga meski akhirnya ada yang meluncur dari sudut matanya. "Menangis saja, Tuan Muda. Tangisan tidak akan menjatuhkan derajatmu sebagai seorang laki-laki," ucap Khanza yang duduk di sampingnya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Khanza kalau tangis tidak akan membuat derajat laki-laki terjatuh. Laki-laki juga manusia, dia punya hati yang dapat merasakan sakit. Rion merasa sendirian. Ketika Frederic corp
Keadaan Frederic semakin memburuk. Sudah tiga hari dia masih koma, bahkan harapan untuk hidup sangatlah kecil menurut dokter. "Ya Tuhan ... cobaan apa lagi yang akan aku dapatkan setelah ini?" ucap Rion saat berada di kantor. Tidak dipungkiri, dirinya sangat sulit untuk berkonsultasi. Bahkan dalam tiga hari ini seolah raganya saja berada di kantor, tetapi jiwanya entah ke mana. Dia seolah terombang-ambing tanpa pijakan. "Permisi ...." Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Owen. "Masuk!" Rion terperanjat saat suara seseorang mengetuk pintu. Dari balik pintu yang terbuka terlihat Angel yang membawa berkas dalam map warna biru. "Eh, Mbak. Silahkan duduk," ucap Rion. Angel tersenyum, menarik kursi lalu duduk. Namun, dia memperhatikan Rion yang seolah semakin terpuruk. "Kamu kenapa, Rion?" "Enggak apa-apa, Mbak," jawab Rion sekenanya. "Oh, iya. Apakah ada tender baru yang masuk?" sambung Rion seolah-olah mengalihkan pembicaraan. "Ada, bahkan cukup banyak. Yang Mbak khawatirkan itu
Kemala mengajak Owen ke ruang perawatan. Ternyata Wanda sedang tidur dan baru siuman sejak beberapa menit yang lalu. "Tante?" Owen menyapa mertuanya. "Owen, gimana keadaanmu, Nak? Kamu sakit apa? Kok, Tante enggak tau kamu dirawat. Apa Wanda mengetahuinya?" Seolah berbasa-basi, Nyonya Pranata bertanya pada calon menantunya. "Tidak, Tan. Wanda tidak tau apa-apa, lagian aku juga udah sehat, kok." Mungkin karena suara perbincangan Owen, Kemala dan ibunya, Wanda akhirnya membukakan mata. "Sayang? Kamu ada di sini?" Suara Wanda terdengar pelan. "Iya. Kamu kenapa, Sayang?" Owen bertanya dan saat itu sepasang mata Wanda kembali berkabut. Kemala mengerti kalau Wanda menginginkan cerita pada putranya dan dia mengajak Nyonya Pranata untuk ke luar dari ruangan tersebut. Agar mereka bisa leluasa mengobrol. "Kamu sayang aku enggak?" Tiba-tiba saja Wanda bertanya seperti itu dan hal ini dirasa aneh oleh Owen. "Kok, nanyanya begitu?" "Jawab aja, sayang atau enggak?" "Sayanglah, kamu, kan
Tepat jam sebelas siang, Rion sengaja pergi menemui Angel hanya untuk makan siang sekaligus membahas apa yang sebenarnya terjadi. "Mbak?" Rion memanggil."Iya." "Aku bingung harus menerangkannya seperti apa? Aku pun paham kalau sampai ada di posisi, Mbak. Aku pun akan salah paham. Tapi aku mohon percaya sama aku, Mbak. Aku bukan takut Mbak bilang sama Kenzie, karena aku benar. Hanya saja kalau keadaannya jauh seperti ini, aku takut Enzie terluka dan aku hanya bisa menatapnya menangis di layar ponsel." "Sebenarnya Mbak juga tidak percaya Rion, tapi penampilan dia tadi pagi? Ah, Mbak jadi inget Enzie ketika hendak dinodai oleh Pak Owen." "Tapi aku bukan Kak Owen, Mbak. Kami berbeda dan aku begitu mencintai Kenzie." "Iya, Mbak tau, Rion. Cinta memang bisa membutakan siapa saja." Sepertinya Angel masih belum sepenuhnya mempercayai pengakuan Rion. Dia juga tidak mempercayai kesimpulan yang ada di otaknya. Baginya, Rion terlalu tulus kalau sampai selingkuh, itu merupakan hal yang tida
"Permisi, Pak! Pak Rion?" Dari luar sana seorang wanita mengetuk pintu dan memanggil namanya. Rion seolah terperangkap, sementara otak Wanda begitu bergelayut rencana licik demi mendapatkan Rion. Tentu saja tujuan utamanya merupakan harta dan kepuasan melihat orang lain bertengkar. "Jangan Rion, aku mohon. Aku ini calon kakak iparmu." Terdengar suara Wanda memelas. "Maksud lu apa, Wanda?" Rion heran dengan kelakuan Wanda."Siapa aja yang ada di luar, tolooonggg!!! Tolong akuuuu!!!" Tiba-tiba saja Wanda berteriak setelah dia mengacak-acak penampilannya. Baik baju, juga rambut yang sedikit diacak-acak. Rion semakin bingung, dia tidak menyangka Wanda bersikap aneh di depannya. Lagi, Wanda berteriak histeris dan pintu ruang kerjanya pun terbuka. Sial, Wanda menjatuhkan dirinya ke pelukan Rion yang membuat orang yang melihat akan salah sangka. "Rion?" Ternyata yang masuk ke ruang kerja adalah Angel. Sial, Rion terjebak oleh permainan Wanda. "Maaf, saya mendorong pintu karena––" Angel
Rion akhirnya memanggil Khanza, padahal waktu hampir menunjukkan jam sebelas malam dan mereka bertiga masih mengungkap satu fakta yang tentu saja Frederic tercengang atas cerita Khanza. "Jadi, ayahmu dan ayah Owen itu Willson?" Frederic bertanya dengan ekspresi heran. "Iya, Tuan. Pak Willson merupakan ayah kandung kami, hanya berbeda ibu." Khanza membenarkan. "Lalu, kenapa Kemala malah menyebutkan kalau ayah dari Owen meninggal dunia?" tanya Frederic merasa heran. "Saya tidak ingin menyimpulkan, Tuan. Takut saya salah." Khanza menjawab sambil menunduk."Bicaralah, Suster. Jujur, aku sama sekali tidak bisa menggambarkan apa pun tentang peristiwa ini. Mungkin sedikitnya Suster bisa memberikan gambaran dari kehidupan ibunya Suster Khanza," pinta Rion. "Sesungguhnya––aku––" Khanza sepertinya ragu mengemukakan pendapatnya. "Bicaralah, tidak usah takut." Rion mencoba menenangkan."Pandanganku terhadap masalah ini mempunyai dua kemungkinan, Tuan. Pertama, Nyonya Kemala sengaja memalsuk
Sekitar jam tujuh malam, keluarga Frederic berkumpul di ruang makan. Namun, ada hal berbeda di sana karena bukan hanya makan malam saja yang mereka lakukan, tetapi ada lagi hal yang sesungguhnya menjadi inti dari permasalahan. "Rion, kenapa kamu bisa menghajar Kakakmu?" Frederic bertanya setelah semuanya selesai makan. "Mungkin Opah bisa tanya sendiri sama Kak Owen." Rion menjawab santai."Hallah! Tinggal jawab saja, kamu punya masalah apa sama Owen sampe bikin dia babak belur begitu?" sungut Kemala yang tidak terima."Semuanya harus berkumpul, Opah. Tidak bisa kalau ditanya hanya sepihak seperti ini. Bisa saja Kak Owen menyanggah atau bahkan aku yang menyanggah pengakuan Kak Owen." "Kamu itu memang dari dulu bikin aku emosi. Dasar anak sialan! Kamu tak ada bedanya dengan Mamamu yang selalu merebut kebahagiaan orang lain!" pekik Kemala dengan wajah kesal. "Stop! Lebih baik kamu istirahat, Kemala. Bukan kah kamu akan ke rumah sakit besok pagi?" ujar Frederic. "Lebih baik aku ke ru