Senyuman di bibir Rion memudar. Terlebih Owen yang tidak mampu menahan emosinya karena tidak mempercayai kalau ibunya telah meninggal. "Dok, jangan bercanda. Ibu saya masih hidup, kan? Jawab, Dokter. Jawab!!!" Emosi Owen kian memuncak tatkala dokter itu tidak menjawab. "Sayang!" Tiba-tiba saja seorang wanita melerai Owen. "Jangan begini, tenang, ya? Aku ada di sini," ucap seorang wanita yang ternyata Wanda. Tubuh Owen ambruk di lantai. Dia benar-benar terpukul dengan kabar buruk malam itu. Perlahan Rion berjalan dan masuk diiringi Kenzie ke ruangan inap yang tinggal menyisakan tubuh yang sudah tidak bernyawa. Dia terkujur di atas bad dan seluruh peralatan medis telah terlepas dari tubuh wanita paruh baya itu. Rion semakin mendekat dan menggenggam tangan Kemala yang telah dingin. Satu kali air mata Rion terjatuh dari sudut mata kanannya. "Ma, kenapa aku harus terus melihat hal seperti ini? Aku sudah tidak punya Mama, aku sudah tidak punya Papa dan saat ini aku pun harus kehilanga
Jangankan mengenal, namanya saja Rion baru mendengar detik itu. "Nama yang asing bagi gue," ucap Rion setelah dia berpikir. "Enggak tau, aku cuma mendengar nama Bos Ethan yang disebut oleh orang itu." Rion masih berpikir orang yang dimaksud oleh Kenzie. Tidak mungkin dia ingin menculik atau berbuat jahat pada Kenzie kalaupun tidak mengenal. Terlebih, Kenzie hanyalah sebatang kara dan terasa mustahil kalau sampai dia memiliki musuh sampai setega itu ingin mencelakakannya. Mobil masih melaju santai meskipun otak Rion tidak terlalu fokus. Hingga akhirnya mobil sport milik Rion telah memasuki halaman kost Kenzie. "Enzie!" Rion meraih tangan Kenzie saat kekasihnya itu hendak keluar dari mobil. "Iya?" Kenzie menatap Rion. "Sebaiknya lu pindah kost, gue khawatir." "Tapi cari kost yang terjangkau bukanlah hal mudah, Rion. Apalagi aku baru saja keterima kerja. Masih banyak uang yang harus aku kumpulin." "Hal itu biar gue yang urus, yang penting lu keluar dari sini." "Tapi, aku––Aku e
Kenzie akhirnya membuka amplop putih tipis yang dia pegang saat ini. Perlahan, dia meraih satu lembar kertas berharga yang bisa saja membuatnya kaya mendadak. "Cek? Untuk apa, Pak?" Kenzie bertanya dengan perasaan gelisah. Apakah ini tandanya aku dipecat dari perusahaan? Batin Kenzie ketika melihat amplop kosong yang sedang dia pegang. "Kamu isi berapa pun nominal yang kamu minta dan tolong pergi dari hidup Rion," pinta Owen yang melipat tangan di dada. "Maksudnya?" Kenzie menyipitkan mata kehijauannya. "Kamu akhiri hubungan kalian dan aku akan memberikanmu uang berapa pun yang kamu inginkan." "Maaf, Pak. Saya tidak bisa!" "Jangan sok! Aku tau, kamu membutuhkan banyak uang. Dan bukannya aku membencimu, Kenzie. Aku hanya ingin melindungi keluarga Frederic. Andai kamu ada di posisi aku, bagaiman melihat adiknya menjalin cinta dengan gadis yang maaf, bibit, bobot dan bebetnya saja tidak tau." "Maaf, Pak. Saya memang bukan siapa-siapa. Saya tau, kalau saya pun tidak memiliki apa-a
Tubuh Kenzie gemetar, dia ingat pada si penelepon yang menghubungi satu nama yang sama. Apakah mungkin Ethan yang dimaksud itu dia? Kenzie berucap dalam hatinya."I––iya, Pak. Saya Enzie." "Hai ... salam kenal Enzie. Kalau ada apa-apa mengenai hunian ini. Anda bisa menghubungi saya," ucap laki-laki bernama Ethan. "Iya, baik, Pak. Ta––pi saat ini saya tidak memerlukan apa-apa. Maaf, saya mau istirahat, sudah malam juga. Satu kali lagi, maaf, ya, Pak?" Cepat-cepat Kenzie menutup dan mengunci pintu. Ya Tuhan ... aku pasti salah orang. Aku salah orang, Tuhan. Batin Kenzie menampik ketika dia merapatkan punggungnya di balik pintu dengan mata terpejam, wanita blasteran Jerman ini sedikit ketakutan serta tubuh gemetar. "Enzie, kamu kenapa?" Suara wanita bertanya dan saat itu juga lamunannya berantakan. Enzie membuka matanya dan tersenyum kecut. "Eh, Mbak. E––enggak pa-pa, kok, Mbak." Angel melihat senyum yang tertahan di bibir Kenzie. Wajahnya terlihat panik serta bulir keringat terlih
Semua mata tertuju pada Wanda. Entah kenapa dia sampai berpikir sejauh itu. "Sayang?" Owen memanggil dengan lirih pada Wanda. "Dia beneran hamil, kok. Coba aja kamu tanya, Sayang." Wanda masih bersikeras. Rion menatap wajah Kenzie yang terlihat bingung. Tiba-tiba saja pintu kamar Frederic kembali terbuka dan menampakan wajah merah padam saat melihat ke arah Rion dan Kenzie. Detik itu juga Frederic memegang dadanya yang terasa nyeri. Tanpa ada kata, laki-laki itu terlihat semakin kesakitan kemudian pingsan. "Astaga, Opah!" Rion dan Owen berlari menghampiri Frederic yang terkulai di kursi roda. Keduanya mendorong kursi roda tersebut, kemudian memindahkannya ke ranjang yang nyaman. "Kenapa Opah malah keluar lagi?" tanya Rion pada Khanza. "Maaf, Tuan Muda. Tadi Tuan Frederic yang meminta saya membawanya keluar karena terdengar keributan," jawab Khanza menerangkan pada Rion. "Arrgghhhh! Kenapa juga tiba-tiba Wanda bicara seperti itu coba?" Rion mengacak rambutnya kesal. "Kamu mer
"Opah, aku berangkat, ya?" Owen berpamitan ke luar kota untuk mengurus bisnis Frederic Corp. "Hati-hati, Owen." "Baik, Opah." Owen beranjak dari tempat duduknya setelah berpamitan pada Frederic. Sedangkan Kemala masih banyak menghabiskan waktu dalam kamar. Segala aktivitas dia lalui di kamar. "Rion, antar aku ke kamar," pinta Frederic. "Baik, Opah." Rion bangkit dari duduknya, lalu dia mendorong perlahan kursi roda Frederic untuk sampai ke kamarnya. "Tutup pintunya," pinta Frederik saat dirinya sudah berada dalam kamar. Sebenarnya, Rion merasa heran dengan permintaan kakeknya, tetapi dia tidak banyak bertanya dan mengikuti apa yang dimaui oleh Frederic. Rion membantu Frederic untuk berpindah dari kursi roda ke ranjang. Saat ini, punggungnya telah nyaman menempel ke head board ranjang. "Duduklah, aku mau bercerita tentang masa lalu di rumah ini." Wajah Frederic terlihat serius. Rion pun duduk tanpa ada kata dan mulai menyimak apa yang hendak disampaikan oleh kakeknya. Sedangka
Awalnya senyum Edward mengembang ketika dia membawa kekasihnya untuk menemui Frederic. Namun, semua itu menjadi pudar saat dia menyadari kalau ada wanita muda yang diapit oleh dua orang yang berusia seumuran Frederic. Dia siapa? Edward bertanya dalam hatinya. "Malam, Pa ...." sapa Edward sebiasa mungkin walaupun hatinya masih penuh tanya tentang siapa wanita muda yang bersama mereka. Frederic yang tadinya membelakangi Edward akhirnya menoleh. Dia menyipitkan mata ketika melihat putranya menggandeng wanita lain yang tidak lain sekretarisnya di kantor. "Edward?" Suara serak Frederic memanggil nama putranya. Edward satu kali melangkah, tetapi seketika itu terhenti ketika ada kata-kata yang memalukan sekaligus menyakitkan bagi kekasihnya. "Ngapain kamu bawa sekretarismu ke sini?"Pertanyaan Frederick memancing senyum sarkastik dari kedua orang tua yang ada di hadapannya. "Papa! Jangan bicara seperti itu," pinta Edward berharap ayahnya bisa menjaga sikap. "Lalu?" "Yola kekasihku,
Edward akhirnya mengutarakan rencananya agar perjodohan mereka batal. "Berarti aku harus berterus terang kalau aku sudah mempunyai kekasih?" Kemala memastikan takut apa yang dia pikirkan itu salah tanggap. "Ya! Dan aku akan melakukan hal yang sama." "Baiklah, aku coba."Semua telah direncanakan dan keduanya telah sepakat. Cukup lama Edward dan Kemala membicarakan hal ini kemudian mereka memutuskan untuk kembali ke meja Frederic. "Eh, kalian udah balik," ucap Dila dengan seulas senyum ketika melihat putrinya yang berjalan berdampingan dengan laki-laki tampan bernama Edward.Edward tersenyum, pun dengan Kemala. Keduanya bersandiwara agar malam ini tidak terjadi keributan. Malam semakin larut dan kedua keluarga kaya itu akhirnya memutuskan pulang untuk menunggu pertemuan selanjutnya di Minggu depan. Keluarga Adi Jaya lebih dulu meninggalkan restoran. Sedangkan Frederic masih mengobrol dengan putranya. "Jadi, bagaimana yang Papa pilihkan untukmu, Edward?" tanya Frederic dengan seny
Rupanya Rion dijadikan saksi karena terakhir Oris berbicara padanya dalam panggilan ponsel sebelum Oris meninggal dunia secara tidak wajar, sehingga dari pihak kepolisian memberikan keterangan tersebut. "Terima kasih, Pak!" Willson yang menjadi pengacara Rion berjabat tangan dengan polisi yang menangani Rion. Rion terbebas dari status saksi dari pembuahan Oris yang mungkin bisa saja dirinya akan berubah status menjadi tersangka apabila tidak didampingi oleh kuasa hukumnya. "Terima kasih, Pak!" Rion berjabat tangan dengan Willson dan saat kasus telah usai, mereka kembali terpisah karena Rion memang tidak dekat pada Willson dan hanya terikat kerjaan Willson saja yang menjadi pengacara. *** Banyak sekali kejadian yang menimpa Rion setelah Kenzie pergi. Hidupnya sepi bahkan terasa kosong karena satu-satunya orang yang dia sayang di dunia ini pun pergi meninggalkannya meskipun dia menjanjikan akan kembali. Namun, entah hal itu akan terealisasikan kapan? Tidak ada jaminan dari siapa pu
Sudah beberapa hari ini Khanza merasa was-was dengan keadaan Rion. Ingin bicara, tetapi dia tidak memiliki bukti yang kuat akan perbincangan adik tirinya karena Owen memang tidak menyebut nama Rion. Bisa saja Owen malah merencanakan pembunuhan untuknya, bukan? "Tuan, apakah Tuan Muda baik-baik saja?" tanya Khanza yang merasa khawatir dengan keadaan Rion. "Aku baik-baik saja." Rion kembali terdiam. Dia hanya memperhatikan halaman rumah dari balkon. Sudah beberapa hari semenjak kematian Frederic, Rion memang betah berlama-lama di balkon hanya memperhatikan keadaan rumah saja. "Sus?" Rion memanggil Khanza."Iya, Tuan." "Biasanya Suster mengajak Opah berjemur di sana." Rion menunjuk yang disertai bibir tersenyum, tetapi pandangannya seolah kosong.Khanza tidak menjawab, karena dia tahu kalau Rion hanya butuh didengarkan saja, bukan membutuhkan jawaban darinya. "Aku kangen sama Opah," ucap Rion yang terdengar pilu. Rupanya Rion masih terlihat berat sejak kepergian Frederic. Dia seol
Dokter itu menatap Rion dan Owen bergantian yang disertakan tarikan napas dalam sebelum dia menceritakan keadaan Frederic. "Hhuuufff ...." Napas itu terembus. "Kami tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuan Frederic tidak dapat tertolong." "Apa?!" Spontan Owen berucap. Rion tidak berkata apa-apa, dia berjalan mundur hingga akhirnya terpentok pada kursi stainless dan detik itu juga dia terduduk lemas, lakinya seolah tidak mampu menopang tubuhnya sendiri saat mendengar Frederic telah kembali pada-Nya.Rion menutup wajahnya. Ingin menangis, tetapi dia tahan sekuat tenaga meski akhirnya ada yang meluncur dari sudut matanya. "Menangis saja, Tuan Muda. Tangisan tidak akan menjatuhkan derajatmu sebagai seorang laki-laki," ucap Khanza yang duduk di sampingnya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Khanza kalau tangis tidak akan membuat derajat laki-laki terjatuh. Laki-laki juga manusia, dia punya hati yang dapat merasakan sakit. Rion merasa sendirian. Ketika Frederic corp
Keadaan Frederic semakin memburuk. Sudah tiga hari dia masih koma, bahkan harapan untuk hidup sangatlah kecil menurut dokter. "Ya Tuhan ... cobaan apa lagi yang akan aku dapatkan setelah ini?" ucap Rion saat berada di kantor. Tidak dipungkiri, dirinya sangat sulit untuk berkonsultasi. Bahkan dalam tiga hari ini seolah raganya saja berada di kantor, tetapi jiwanya entah ke mana. Dia seolah terombang-ambing tanpa pijakan. "Permisi ...." Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Owen. "Masuk!" Rion terperanjat saat suara seseorang mengetuk pintu. Dari balik pintu yang terbuka terlihat Angel yang membawa berkas dalam map warna biru. "Eh, Mbak. Silahkan duduk," ucap Rion. Angel tersenyum, menarik kursi lalu duduk. Namun, dia memperhatikan Rion yang seolah semakin terpuruk. "Kamu kenapa, Rion?" "Enggak apa-apa, Mbak," jawab Rion sekenanya. "Oh, iya. Apakah ada tender baru yang masuk?" sambung Rion seolah-olah mengalihkan pembicaraan. "Ada, bahkan cukup banyak. Yang Mbak khawatirkan itu
Kemala mengajak Owen ke ruang perawatan. Ternyata Wanda sedang tidur dan baru siuman sejak beberapa menit yang lalu. "Tante?" Owen menyapa mertuanya. "Owen, gimana keadaanmu, Nak? Kamu sakit apa? Kok, Tante enggak tau kamu dirawat. Apa Wanda mengetahuinya?" Seolah berbasa-basi, Nyonya Pranata bertanya pada calon menantunya. "Tidak, Tan. Wanda tidak tau apa-apa, lagian aku juga udah sehat, kok." Mungkin karena suara perbincangan Owen, Kemala dan ibunya, Wanda akhirnya membukakan mata. "Sayang? Kamu ada di sini?" Suara Wanda terdengar pelan. "Iya. Kamu kenapa, Sayang?" Owen bertanya dan saat itu sepasang mata Wanda kembali berkabut. Kemala mengerti kalau Wanda menginginkan cerita pada putranya dan dia mengajak Nyonya Pranata untuk ke luar dari ruangan tersebut. Agar mereka bisa leluasa mengobrol. "Kamu sayang aku enggak?" Tiba-tiba saja Wanda bertanya seperti itu dan hal ini dirasa aneh oleh Owen. "Kok, nanyanya begitu?" "Jawab aja, sayang atau enggak?" "Sayanglah, kamu, kan
Tepat jam sebelas siang, Rion sengaja pergi menemui Angel hanya untuk makan siang sekaligus membahas apa yang sebenarnya terjadi. "Mbak?" Rion memanggil."Iya." "Aku bingung harus menerangkannya seperti apa? Aku pun paham kalau sampai ada di posisi, Mbak. Aku pun akan salah paham. Tapi aku mohon percaya sama aku, Mbak. Aku bukan takut Mbak bilang sama Kenzie, karena aku benar. Hanya saja kalau keadaannya jauh seperti ini, aku takut Enzie terluka dan aku hanya bisa menatapnya menangis di layar ponsel." "Sebenarnya Mbak juga tidak percaya Rion, tapi penampilan dia tadi pagi? Ah, Mbak jadi inget Enzie ketika hendak dinodai oleh Pak Owen." "Tapi aku bukan Kak Owen, Mbak. Kami berbeda dan aku begitu mencintai Kenzie." "Iya, Mbak tau, Rion. Cinta memang bisa membutakan siapa saja." Sepertinya Angel masih belum sepenuhnya mempercayai pengakuan Rion. Dia juga tidak mempercayai kesimpulan yang ada di otaknya. Baginya, Rion terlalu tulus kalau sampai selingkuh, itu merupakan hal yang tida
"Permisi, Pak! Pak Rion?" Dari luar sana seorang wanita mengetuk pintu dan memanggil namanya. Rion seolah terperangkap, sementara otak Wanda begitu bergelayut rencana licik demi mendapatkan Rion. Tentu saja tujuan utamanya merupakan harta dan kepuasan melihat orang lain bertengkar. "Jangan Rion, aku mohon. Aku ini calon kakak iparmu." Terdengar suara Wanda memelas. "Maksud lu apa, Wanda?" Rion heran dengan kelakuan Wanda."Siapa aja yang ada di luar, tolooonggg!!! Tolong akuuuu!!!" Tiba-tiba saja Wanda berteriak setelah dia mengacak-acak penampilannya. Baik baju, juga rambut yang sedikit diacak-acak. Rion semakin bingung, dia tidak menyangka Wanda bersikap aneh di depannya. Lagi, Wanda berteriak histeris dan pintu ruang kerjanya pun terbuka. Sial, Wanda menjatuhkan dirinya ke pelukan Rion yang membuat orang yang melihat akan salah sangka. "Rion?" Ternyata yang masuk ke ruang kerja adalah Angel. Sial, Rion terjebak oleh permainan Wanda. "Maaf, saya mendorong pintu karena––" Angel
Rion akhirnya memanggil Khanza, padahal waktu hampir menunjukkan jam sebelas malam dan mereka bertiga masih mengungkap satu fakta yang tentu saja Frederic tercengang atas cerita Khanza. "Jadi, ayahmu dan ayah Owen itu Willson?" Frederic bertanya dengan ekspresi heran. "Iya, Tuan. Pak Willson merupakan ayah kandung kami, hanya berbeda ibu." Khanza membenarkan. "Lalu, kenapa Kemala malah menyebutkan kalau ayah dari Owen meninggal dunia?" tanya Frederic merasa heran. "Saya tidak ingin menyimpulkan, Tuan. Takut saya salah." Khanza menjawab sambil menunduk."Bicaralah, Suster. Jujur, aku sama sekali tidak bisa menggambarkan apa pun tentang peristiwa ini. Mungkin sedikitnya Suster bisa memberikan gambaran dari kehidupan ibunya Suster Khanza," pinta Rion. "Sesungguhnya––aku––" Khanza sepertinya ragu mengemukakan pendapatnya. "Bicaralah, tidak usah takut." Rion mencoba menenangkan."Pandanganku terhadap masalah ini mempunyai dua kemungkinan, Tuan. Pertama, Nyonya Kemala sengaja memalsuk
Sekitar jam tujuh malam, keluarga Frederic berkumpul di ruang makan. Namun, ada hal berbeda di sana karena bukan hanya makan malam saja yang mereka lakukan, tetapi ada lagi hal yang sesungguhnya menjadi inti dari permasalahan. "Rion, kenapa kamu bisa menghajar Kakakmu?" Frederic bertanya setelah semuanya selesai makan. "Mungkin Opah bisa tanya sendiri sama Kak Owen." Rion menjawab santai."Hallah! Tinggal jawab saja, kamu punya masalah apa sama Owen sampe bikin dia babak belur begitu?" sungut Kemala yang tidak terima."Semuanya harus berkumpul, Opah. Tidak bisa kalau ditanya hanya sepihak seperti ini. Bisa saja Kak Owen menyanggah atau bahkan aku yang menyanggah pengakuan Kak Owen." "Kamu itu memang dari dulu bikin aku emosi. Dasar anak sialan! Kamu tak ada bedanya dengan Mamamu yang selalu merebut kebahagiaan orang lain!" pekik Kemala dengan wajah kesal. "Stop! Lebih baik kamu istirahat, Kemala. Bukan kah kamu akan ke rumah sakit besok pagi?" ujar Frederic. "Lebih baik aku ke ru