Awalnya senyum Edward mengembang ketika dia membawa kekasihnya untuk menemui Frederic. Namun, semua itu menjadi pudar saat dia menyadari kalau ada wanita muda yang diapit oleh dua orang yang berusia seumuran Frederic. Dia siapa? Edward bertanya dalam hatinya. "Malam, Pa ...." sapa Edward sebiasa mungkin walaupun hatinya masih penuh tanya tentang siapa wanita muda yang bersama mereka. Frederic yang tadinya membelakangi Edward akhirnya menoleh. Dia menyipitkan mata ketika melihat putranya menggandeng wanita lain yang tidak lain sekretarisnya di kantor. "Edward?" Suara serak Frederic memanggil nama putranya. Edward satu kali melangkah, tetapi seketika itu terhenti ketika ada kata-kata yang memalukan sekaligus menyakitkan bagi kekasihnya. "Ngapain kamu bawa sekretarismu ke sini?"Pertanyaan Frederick memancing senyum sarkastik dari kedua orang tua yang ada di hadapannya. "Papa! Jangan bicara seperti itu," pinta Edward berharap ayahnya bisa menjaga sikap. "Lalu?" "Yola kekasihku,
Edward akhirnya mengutarakan rencananya agar perjodohan mereka batal. "Berarti aku harus berterus terang kalau aku sudah mempunyai kekasih?" Kemala memastikan takut apa yang dia pikirkan itu salah tanggap. "Ya! Dan aku akan melakukan hal yang sama." "Baiklah, aku coba."Semua telah direncanakan dan keduanya telah sepakat. Cukup lama Edward dan Kemala membicarakan hal ini kemudian mereka memutuskan untuk kembali ke meja Frederic. "Eh, kalian udah balik," ucap Dila dengan seulas senyum ketika melihat putrinya yang berjalan berdampingan dengan laki-laki tampan bernama Edward.Edward tersenyum, pun dengan Kemala. Keduanya bersandiwara agar malam ini tidak terjadi keributan. Malam semakin larut dan kedua keluarga kaya itu akhirnya memutuskan pulang untuk menunggu pertemuan selanjutnya di Minggu depan. Keluarga Adi Jaya lebih dulu meninggalkan restoran. Sedangkan Frederic masih mengobrol dengan putranya. "Jadi, bagaimana yang Papa pilihkan untukmu, Edward?" tanya Frederic dengan seny
Di hari yang berbeda, Frederic kembali menceritakan kisah Edward dan Yola kepada Rion. Di mana seorang wanita berurai air mata datang menghampirinya ke kantor. "Masuk!" Frederic menjawab ketika sekretaris kantor memberi tahu ada tamu yang ingin bertemu dengannya. Pintu kantor terbuka dan terlihat sosok gadis yang tentu saja dia kenal. "Kemala?" Frederic membulatkan matanya saat melihat wanita muda itu berlinang air mata. "Paaaa ...." Kemala berlari ke arah Frederic, lalu memeluknya. Frederic sempat heran karena pertemuan mereka yang telah lebih dari dua bulan terasa tidak sedekat ini. Jangankan memeluk, tersenyum saja begitu sulit dilakukan oleh Kemala padanya. Apa mungkin Kemala saat ini sudah bisa menerima Edward? Sehingga dia merasa begitu dekat denganku? Batin Frederic ketika Kemala memeluknya erat yang disertai dengan tangis. "Kamu kenapa, Nak?" Dengan lembut dan penuh kehati-hatian, Frederic bertanya."Aku mohon, Papa jangan marahin Edward." Kemala merintih ketika menyampa
Yola berlari membawa kehancuran hatinya. Dia masuk ke ruang kerja dan segera menutup pintu, tentu saja untuk menangis sepuasnya karena sedari tadi dia menahan air matanya untuk jatuh ketika berjalan dalam koridor kantor. "Ya Tuhan ... aku enggak nyangka kalau Mas Edward bisa setega ini sama aku. Aku menyesal sudah memberikan kesempatanku untuk dia kalau akhirnya harus seperti ini." Air mata Yola jatuh mengalir tanpa henti. Yola sibuk menumpahkan kekecewaan di ruang kerjanya. Sedangkan Edward masih menyanggah semua hal yang baginya itu hanyalah sebuah fitnahan saja. "Pa, tolong percaya aku. Bagaimana mungkin aku menghamili Kemala kalau aku saja hanya mencintai Yola? Kapan aku bertemu dengan Kemala sendirian tanpa Papa?" Edward benar-benar tidak terima atas tuduhan Kemala. "Papa harus percaya sama siapa? Laki-laki bisa saja khilaf, Edward. Dan mungkin kamu juga begitu." "Astagaaaa, Papa! Sumpah demi apa pun, aku tidak pernah menghamili Kemala, Pa! Sumpah!" "Entahlah, Papa harus ba
Edward baru menyadari kalau Kemala memang betul-betul manusia jelmaan iblis yang tidak ada sisi baiknya saat ini. Matanya sudah tertutup pada ambisi. Dia menginginkan Edward bertanggung jawab atas janin yang sedang dia kandung saat ini. Entah, janin siapa yang bersemayam di rahim Kemala. Edward menjauhkan tubuhnya dari Kemala. Saat ini dia betul-betul berada dalam posisi terpojok karena tidak ada bukti yang dapat membenarkannya. "Mau mengelak apa lagi, Edward?" Frederic berkata keras pada putranya. "Ini enggak seperti apa yang Papa liat." "Mau bagaimana lagi kamu mengelak? Bukti sudah di depan mata, pun, kamu masih mau mencuci tanganmu? Tidak tau diri!" Ya Tuhan ... bahkan Papa sendiri tidak mempercayaiku saat ini. Batin Edward merasa sedih ketika tidak ada satu orang pun yang percaya padanya. Terlebih, ketika melihat Kemala yang sedang menangis semakin membuat drama seolah nyata adanya. "Papa akan mengurus pernikahan kalian secepatnya!" Frederic pergi begitu saja meninggalkan K
Hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan. Tidak terasa pernikahan Kemala dan Edward telah memasuki bulan ketiga, sedangkan kehamilan Kemala telah memasuki bulan keempat. Perut Kemala pun telah terlihat sedikit membuncit."Edward, aku ingin tidur sama kau," pinta Kemala. "Tidak! Aku tidak akan pernah tidur bersamamu selagi anak yang ada dalam kandunganmu lahir." "Tapi kau mempunyai kewajiban menafkahiku, Edward!" "Aku menafkahimu. Setiap bulan bahkan sebelum bulan berakhir, aku selalu memberikanmu materi. Bahkan berlebih.""Bukan itu! Tapi tanggung jawab kau pada bayi ini."Edward tersenyum sinis. "Setiap kamu hendak periksa ke dokter spesialis atau apa pun yang berhubungan dengan bayi itu, bukankah aku selalu memberikanmu uang?" "Cukup berpura-pura tidak mengerti, Edward!" Sepasang mata Kemala membulat dan kedua tangannya mencengkeram jas yang masih dikenakan oleh Edward. Edward menyipitkan mata. "Aku ingin bercinta!" desak Kemala masih dengan bola mata membulat seperti hend
Edward sudah terpojok dan seolah keadaannya telah terkunci oleh tubuh Kemala. Perlahan, Kemala sengaja menurunkan tali gaun tidur di pundaknya yang hanya sebesar jari kelingking anak kecil. Mungkin, kalau ditarik juga bisa putus. Kini yang ada di hadapan Edward terlihat sedikit gundukan yang berwarna putih. Namun, Edward memilih untuk memejamkan mata. Tidak lama, karena jemari Kemala begitu nakal membuka kancing kemeja Edward. "Kemala! Stop atau aku ceraikan kamu!" ancam Edward sambil melebarkan matanya saat melihat Kemala. "Aku tidak peduli Edward." Kemala semakin liar menjamah tubuh Edward. Tidak ingin pertahanannya runtuh, Edward memilih pergi dan lagi-lagi Kemala ditinggalkan sendirian. Sedangkan Edward masuk ke kamarnya, lalu mengunci pintu. Sungguh, debar aneh menjalar dalam dada dan itu hanya hawa nafsu saja, bukan karena adanya rasa cinta dan sayang. Edward laki-laki normal, sesungguhnya dia pun sudah cukup tergoda melihat tubuh Kemala yang hampir semuanya terbuka. Dia m
Sumpah demi apa pun kini perasaan Yola begitu kalut. Dia menyesal karena selama tiga bulan ini terus-menerus menjauh bahkan menghindari Edward. Dia menyesal karena selalu bersikap cuek pada laki-laki yang dulu dicintainya. "Edward, bangun, jangan nakutin aku. Bangun, please." Yola masih menepuk-nepuk pipi Edward bersama air mata yang membanjiri pipinya. Sedih, kalut, kecewa pada diri sendiri dan hal-hal buruk kini bergelayut di otak Yola. Dia merasa begitu jahat pada orang yang dia cintai. "Maafin aku, maafin aku karena harus bersikap seperti ini padamu, Edward. Aku menjauh karena sakit hati di hari pernikahanmu dan Mbak Kemala. Saat kamu mengirimiku pesan singkat yang menginginkanku untuk menjauhimu. Aku sakit, sakit sekali ketika membaca pesan singkat darimu. Lebih sakit lagi ketika aku harus terus melihatmu di kantor tanpa harus menyapamu." Air mata Yola mengalir deras. Namun, seketika isak tangis itu terhenti sesaat kepala Edward menjauh dari dadanya. "Edward?" gumam Yola denga