Yola berlari membawa kehancuran hatinya. Dia masuk ke ruang kerja dan segera menutup pintu, tentu saja untuk menangis sepuasnya karena sedari tadi dia menahan air matanya untuk jatuh ketika berjalan dalam koridor kantor. "Ya Tuhan ... aku enggak nyangka kalau Mas Edward bisa setega ini sama aku. Aku menyesal sudah memberikan kesempatanku untuk dia kalau akhirnya harus seperti ini." Air mata Yola jatuh mengalir tanpa henti. Yola sibuk menumpahkan kekecewaan di ruang kerjanya. Sedangkan Edward masih menyanggah semua hal yang baginya itu hanyalah sebuah fitnahan saja. "Pa, tolong percaya aku. Bagaimana mungkin aku menghamili Kemala kalau aku saja hanya mencintai Yola? Kapan aku bertemu dengan Kemala sendirian tanpa Papa?" Edward benar-benar tidak terima atas tuduhan Kemala. "Papa harus percaya sama siapa? Laki-laki bisa saja khilaf, Edward. Dan mungkin kamu juga begitu." "Astagaaaa, Papa! Sumpah demi apa pun, aku tidak pernah menghamili Kemala, Pa! Sumpah!" "Entahlah, Papa harus ba
Edward baru menyadari kalau Kemala memang betul-betul manusia jelmaan iblis yang tidak ada sisi baiknya saat ini. Matanya sudah tertutup pada ambisi. Dia menginginkan Edward bertanggung jawab atas janin yang sedang dia kandung saat ini. Entah, janin siapa yang bersemayam di rahim Kemala. Edward menjauhkan tubuhnya dari Kemala. Saat ini dia betul-betul berada dalam posisi terpojok karena tidak ada bukti yang dapat membenarkannya. "Mau mengelak apa lagi, Edward?" Frederic berkata keras pada putranya. "Ini enggak seperti apa yang Papa liat." "Mau bagaimana lagi kamu mengelak? Bukti sudah di depan mata, pun, kamu masih mau mencuci tanganmu? Tidak tau diri!" Ya Tuhan ... bahkan Papa sendiri tidak mempercayaiku saat ini. Batin Edward merasa sedih ketika tidak ada satu orang pun yang percaya padanya. Terlebih, ketika melihat Kemala yang sedang menangis semakin membuat drama seolah nyata adanya. "Papa akan mengurus pernikahan kalian secepatnya!" Frederic pergi begitu saja meninggalkan K
Hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan. Tidak terasa pernikahan Kemala dan Edward telah memasuki bulan ketiga, sedangkan kehamilan Kemala telah memasuki bulan keempat. Perut Kemala pun telah terlihat sedikit membuncit."Edward, aku ingin tidur sama kau," pinta Kemala. "Tidak! Aku tidak akan pernah tidur bersamamu selagi anak yang ada dalam kandunganmu lahir." "Tapi kau mempunyai kewajiban menafkahiku, Edward!" "Aku menafkahimu. Setiap bulan bahkan sebelum bulan berakhir, aku selalu memberikanmu materi. Bahkan berlebih.""Bukan itu! Tapi tanggung jawab kau pada bayi ini."Edward tersenyum sinis. "Setiap kamu hendak periksa ke dokter spesialis atau apa pun yang berhubungan dengan bayi itu, bukankah aku selalu memberikanmu uang?" "Cukup berpura-pura tidak mengerti, Edward!" Sepasang mata Kemala membulat dan kedua tangannya mencengkeram jas yang masih dikenakan oleh Edward. Edward menyipitkan mata. "Aku ingin bercinta!" desak Kemala masih dengan bola mata membulat seperti hend
Edward sudah terpojok dan seolah keadaannya telah terkunci oleh tubuh Kemala. Perlahan, Kemala sengaja menurunkan tali gaun tidur di pundaknya yang hanya sebesar jari kelingking anak kecil. Mungkin, kalau ditarik juga bisa putus. Kini yang ada di hadapan Edward terlihat sedikit gundukan yang berwarna putih. Namun, Edward memilih untuk memejamkan mata. Tidak lama, karena jemari Kemala begitu nakal membuka kancing kemeja Edward. "Kemala! Stop atau aku ceraikan kamu!" ancam Edward sambil melebarkan matanya saat melihat Kemala. "Aku tidak peduli Edward." Kemala semakin liar menjamah tubuh Edward. Tidak ingin pertahanannya runtuh, Edward memilih pergi dan lagi-lagi Kemala ditinggalkan sendirian. Sedangkan Edward masuk ke kamarnya, lalu mengunci pintu. Sungguh, debar aneh menjalar dalam dada dan itu hanya hawa nafsu saja, bukan karena adanya rasa cinta dan sayang. Edward laki-laki normal, sesungguhnya dia pun sudah cukup tergoda melihat tubuh Kemala yang hampir semuanya terbuka. Dia m
Sumpah demi apa pun kini perasaan Yola begitu kalut. Dia menyesal karena selama tiga bulan ini terus-menerus menjauh bahkan menghindari Edward. Dia menyesal karena selalu bersikap cuek pada laki-laki yang dulu dicintainya. "Edward, bangun, jangan nakutin aku. Bangun, please." Yola masih menepuk-nepuk pipi Edward bersama air mata yang membanjiri pipinya. Sedih, kalut, kecewa pada diri sendiri dan hal-hal buruk kini bergelayut di otak Yola. Dia merasa begitu jahat pada orang yang dia cintai. "Maafin aku, maafin aku karena harus bersikap seperti ini padamu, Edward. Aku menjauh karena sakit hati di hari pernikahanmu dan Mbak Kemala. Saat kamu mengirimiku pesan singkat yang menginginkanku untuk menjauhimu. Aku sakit, sakit sekali ketika membaca pesan singkat darimu. Lebih sakit lagi ketika aku harus terus melihatmu di kantor tanpa harus menyapamu." Air mata Yola mengalir deras. Namun, seketika isak tangis itu terhenti sesaat kepala Edward menjauh dari dadanya. "Edward?" gumam Yola denga
Rion menyimak segala apa yang disampaikan oleh Frederic. Ada rasa haru, sedih dan bangga ketika mendengar kisah cinta kedua orang tuanya yang berawal tanpa restu, bahkan hingga dihujani fitnah yang membuat keduanya terpisah. "Lalu, Mama jawab apa, Opa?" tanya Rion dengan mimik wajah penasaran."Dari cerita Papamu dulu, Mamamu tidak langsung menerima Edward. Hal itu yang membuatku semakin yakin kalau Yola benar-benar wanita baik meskipun kasta kami berbeda." Edward menjawab dengan pandangan menatap langit-langit kamar, seolah sedang mengingat masa lalu. Aku tidak ingin mengalami nasib yang sama seperti papa dan mama. Rion berucap dalam hatinya saat mengingat kisah cintanya dengan Kenzie. Dia cukup khawatir karena kasta dia dan Kenzie pun berbeda. Beserta fitnahan-fitnahan dari Wanda untuk Kenzie. Tidak terasa langit telah berubah gelap. Edward memutuskan beristirahat dan Rion kembali ke kamar setelah menyelimuti Frederic. Semenjak Wanda memfitnah Kenzie, Owen terlihat malu dan tida
"Oris?" Sepasang mata Rion terlihat heran ketika melihat Oris ada di apartemen tersebut. "Tuan Rion," jawab Oris seolah ragu kemudian hendak berlalu pergi. "Tunggu!" Rion mencegah Oris pergi. Dada Oris berdebar kencang saat Rion menahan langkahnya. "Maaf, Tuan, maafkan saya." Suara Oris bergetar seolah menyembunyikan ketakutan yang besar. Rion menyipitkan mata ketika melihat Oris berbuat demikian. Tentunya dalam hati Rion penuh dengan tanya karena melihat kelakuan Oris saat ini. "Saya telah terlibat rencana pembunuhan Anda dan saya pun terlibat penculikan kekasih Anda, Tuan."Sepasang mata sipit Rion membulat saat mendengar pengakuan Oris. Tangannya mengepal dan hampir saja meluncurkan pada wajah Oris yang kini sedang tertunduk. Tidak, Rion. Lu tidak boleh seperti ini. Batin Rion. Perlahan dia melenturkan tangan dan mengatur emosinya. "Aku sudah tau," ucap Rion berpura-pura, lalu melepaskan tangannya dari Oris. "Apa?" "Ya, aku telah mengetahuinya." Detik itu juga Oris berlu
Rion menceritakan tentang karyawan yang bernama Oris. Dialah orang yang dulu menjadi pelayan di kafe. Laki-laki tersebut mengundurkan diri setelah mencoba memasukan racun dalam jus mangga pesanan Rion yang malah diminum oleh Kenzie. "Lalu kenapa kamu enggak lapor polisi, Rion? Ini udah tindakan kriminal, loh." "Gue tau, tapi dia begitu hanya karena ingin menyelamatkan ibunya." "Maksudnya?" Sepasang mata Kenzie menyipit ketika kekasihnya menyebutkan hal yang membuat dirinya bingung. Rion menceritakan tentang Oris yang menjadi tulang punggung keluarga dan juga ibunya. Di dalam rumah kontrakan ada dua wanita yang harus dia tanggung. Satu, istrinya dan satu lagi ibunya yang sudah tua. Apalagi sering sakit-sakitan. "Oris harus mendapatkan uang banyak untuk kontrol ibunya yang sedang sakit." Rion kembali bercerita saat pertemuan pertamanya dengan Julia––istri Oris di salah satu kontrakan yang sepertinya kurang layak, mungkin hal itu mereka lakukan untuk menekan biaya kontrakan sehingg