Tubuh Kenzie gemetar, dia ingat pada si penelepon yang menghubungi satu nama yang sama. Apakah mungkin Ethan yang dimaksud itu dia? Kenzie berucap dalam hatinya."I––iya, Pak. Saya Enzie." "Hai ... salam kenal Enzie. Kalau ada apa-apa mengenai hunian ini. Anda bisa menghubungi saya," ucap laki-laki bernama Ethan. "Iya, baik, Pak. Ta––pi saat ini saya tidak memerlukan apa-apa. Maaf, saya mau istirahat, sudah malam juga. Satu kali lagi, maaf, ya, Pak?" Cepat-cepat Kenzie menutup dan mengunci pintu. Ya Tuhan ... aku pasti salah orang. Aku salah orang, Tuhan. Batin Kenzie menampik ketika dia merapatkan punggungnya di balik pintu dengan mata terpejam, wanita blasteran Jerman ini sedikit ketakutan serta tubuh gemetar. "Enzie, kamu kenapa?" Suara wanita bertanya dan saat itu juga lamunannya berantakan. Enzie membuka matanya dan tersenyum kecut. "Eh, Mbak. E––enggak pa-pa, kok, Mbak." Angel melihat senyum yang tertahan di bibir Kenzie. Wajahnya terlihat panik serta bulir keringat terlih
Semua mata tertuju pada Wanda. Entah kenapa dia sampai berpikir sejauh itu. "Sayang?" Owen memanggil dengan lirih pada Wanda. "Dia beneran hamil, kok. Coba aja kamu tanya, Sayang." Wanda masih bersikeras. Rion menatap wajah Kenzie yang terlihat bingung. Tiba-tiba saja pintu kamar Frederic kembali terbuka dan menampakan wajah merah padam saat melihat ke arah Rion dan Kenzie. Detik itu juga Frederic memegang dadanya yang terasa nyeri. Tanpa ada kata, laki-laki itu terlihat semakin kesakitan kemudian pingsan. "Astaga, Opah!" Rion dan Owen berlari menghampiri Frederic yang terkulai di kursi roda. Keduanya mendorong kursi roda tersebut, kemudian memindahkannya ke ranjang yang nyaman. "Kenapa Opah malah keluar lagi?" tanya Rion pada Khanza. "Maaf, Tuan Muda. Tadi Tuan Frederic yang meminta saya membawanya keluar karena terdengar keributan," jawab Khanza menerangkan pada Rion. "Arrgghhhh! Kenapa juga tiba-tiba Wanda bicara seperti itu coba?" Rion mengacak rambutnya kesal. "Kamu mer
"Opah, aku berangkat, ya?" Owen berpamitan ke luar kota untuk mengurus bisnis Frederic Corp. "Hati-hati, Owen." "Baik, Opah." Owen beranjak dari tempat duduknya setelah berpamitan pada Frederic. Sedangkan Kemala masih banyak menghabiskan waktu dalam kamar. Segala aktivitas dia lalui di kamar. "Rion, antar aku ke kamar," pinta Frederic. "Baik, Opah." Rion bangkit dari duduknya, lalu dia mendorong perlahan kursi roda Frederic untuk sampai ke kamarnya. "Tutup pintunya," pinta Frederik saat dirinya sudah berada dalam kamar. Sebenarnya, Rion merasa heran dengan permintaan kakeknya, tetapi dia tidak banyak bertanya dan mengikuti apa yang dimaui oleh Frederic. Rion membantu Frederic untuk berpindah dari kursi roda ke ranjang. Saat ini, punggungnya telah nyaman menempel ke head board ranjang. "Duduklah, aku mau bercerita tentang masa lalu di rumah ini." Wajah Frederic terlihat serius. Rion pun duduk tanpa ada kata dan mulai menyimak apa yang hendak disampaikan oleh kakeknya. Sedangka
Awalnya senyum Edward mengembang ketika dia membawa kekasihnya untuk menemui Frederic. Namun, semua itu menjadi pudar saat dia menyadari kalau ada wanita muda yang diapit oleh dua orang yang berusia seumuran Frederic. Dia siapa? Edward bertanya dalam hatinya. "Malam, Pa ...." sapa Edward sebiasa mungkin walaupun hatinya masih penuh tanya tentang siapa wanita muda yang bersama mereka. Frederic yang tadinya membelakangi Edward akhirnya menoleh. Dia menyipitkan mata ketika melihat putranya menggandeng wanita lain yang tidak lain sekretarisnya di kantor. "Edward?" Suara serak Frederic memanggil nama putranya. Edward satu kali melangkah, tetapi seketika itu terhenti ketika ada kata-kata yang memalukan sekaligus menyakitkan bagi kekasihnya. "Ngapain kamu bawa sekretarismu ke sini?"Pertanyaan Frederick memancing senyum sarkastik dari kedua orang tua yang ada di hadapannya. "Papa! Jangan bicara seperti itu," pinta Edward berharap ayahnya bisa menjaga sikap. "Lalu?" "Yola kekasihku,
Edward akhirnya mengutarakan rencananya agar perjodohan mereka batal. "Berarti aku harus berterus terang kalau aku sudah mempunyai kekasih?" Kemala memastikan takut apa yang dia pikirkan itu salah tanggap. "Ya! Dan aku akan melakukan hal yang sama." "Baiklah, aku coba."Semua telah direncanakan dan keduanya telah sepakat. Cukup lama Edward dan Kemala membicarakan hal ini kemudian mereka memutuskan untuk kembali ke meja Frederic. "Eh, kalian udah balik," ucap Dila dengan seulas senyum ketika melihat putrinya yang berjalan berdampingan dengan laki-laki tampan bernama Edward.Edward tersenyum, pun dengan Kemala. Keduanya bersandiwara agar malam ini tidak terjadi keributan. Malam semakin larut dan kedua keluarga kaya itu akhirnya memutuskan pulang untuk menunggu pertemuan selanjutnya di Minggu depan. Keluarga Adi Jaya lebih dulu meninggalkan restoran. Sedangkan Frederic masih mengobrol dengan putranya. "Jadi, bagaimana yang Papa pilihkan untukmu, Edward?" tanya Frederic dengan seny
Di hari yang berbeda, Frederic kembali menceritakan kisah Edward dan Yola kepada Rion. Di mana seorang wanita berurai air mata datang menghampirinya ke kantor. "Masuk!" Frederic menjawab ketika sekretaris kantor memberi tahu ada tamu yang ingin bertemu dengannya. Pintu kantor terbuka dan terlihat sosok gadis yang tentu saja dia kenal. "Kemala?" Frederic membulatkan matanya saat melihat wanita muda itu berlinang air mata. "Paaaa ...." Kemala berlari ke arah Frederic, lalu memeluknya. Frederic sempat heran karena pertemuan mereka yang telah lebih dari dua bulan terasa tidak sedekat ini. Jangankan memeluk, tersenyum saja begitu sulit dilakukan oleh Kemala padanya. Apa mungkin Kemala saat ini sudah bisa menerima Edward? Sehingga dia merasa begitu dekat denganku? Batin Frederic ketika Kemala memeluknya erat yang disertai dengan tangis. "Kamu kenapa, Nak?" Dengan lembut dan penuh kehati-hatian, Frederic bertanya."Aku mohon, Papa jangan marahin Edward." Kemala merintih ketika menyampa
Yola berlari membawa kehancuran hatinya. Dia masuk ke ruang kerja dan segera menutup pintu, tentu saja untuk menangis sepuasnya karena sedari tadi dia menahan air matanya untuk jatuh ketika berjalan dalam koridor kantor. "Ya Tuhan ... aku enggak nyangka kalau Mas Edward bisa setega ini sama aku. Aku menyesal sudah memberikan kesempatanku untuk dia kalau akhirnya harus seperti ini." Air mata Yola jatuh mengalir tanpa henti. Yola sibuk menumpahkan kekecewaan di ruang kerjanya. Sedangkan Edward masih menyanggah semua hal yang baginya itu hanyalah sebuah fitnahan saja. "Pa, tolong percaya aku. Bagaimana mungkin aku menghamili Kemala kalau aku saja hanya mencintai Yola? Kapan aku bertemu dengan Kemala sendirian tanpa Papa?" Edward benar-benar tidak terima atas tuduhan Kemala. "Papa harus percaya sama siapa? Laki-laki bisa saja khilaf, Edward. Dan mungkin kamu juga begitu." "Astagaaaa, Papa! Sumpah demi apa pun, aku tidak pernah menghamili Kemala, Pa! Sumpah!" "Entahlah, Papa harus ba
Edward baru menyadari kalau Kemala memang betul-betul manusia jelmaan iblis yang tidak ada sisi baiknya saat ini. Matanya sudah tertutup pada ambisi. Dia menginginkan Edward bertanggung jawab atas janin yang sedang dia kandung saat ini. Entah, janin siapa yang bersemayam di rahim Kemala. Edward menjauhkan tubuhnya dari Kemala. Saat ini dia betul-betul berada dalam posisi terpojok karena tidak ada bukti yang dapat membenarkannya. "Mau mengelak apa lagi, Edward?" Frederic berkata keras pada putranya. "Ini enggak seperti apa yang Papa liat." "Mau bagaimana lagi kamu mengelak? Bukti sudah di depan mata, pun, kamu masih mau mencuci tanganmu? Tidak tau diri!" Ya Tuhan ... bahkan Papa sendiri tidak mempercayaiku saat ini. Batin Edward merasa sedih ketika tidak ada satu orang pun yang percaya padanya. Terlebih, ketika melihat Kemala yang sedang menangis semakin membuat drama seolah nyata adanya. "Papa akan mengurus pernikahan kalian secepatnya!" Frederic pergi begitu saja meninggalkan K