Rion masih memejamkan mata, tidak ada darah sama sekali, tetapi ada memar di bagian ujung bibir dan pelipis mata. "Rion, bangun, bangun, Rion ...." Kenzie masih berusaha membangunkan Rion. Beruntung Rion tersadar, tangannya bergerak dan bibirnya menggumamkan satu nama, "Mama ...." "Rion? Kamu sadar?" Tentu saja Kenzie senang meskipun nama yang dia sebut bukanlah dirinya. Perlahan, sepasang mata Rion terbuka dan terlihat wajah yang terlihat masih agak buram. Perlahan, semakin jelas terlihat dan akhirnya Rion tersenyum saat masih berada dalam pangkuan Kenzie. "Syukurlah kamu sadar. Apakah kamu mengingatku?" Besar harapan Kenzie agar Rion dapat mengingatnya selepas kepalanya terbentur. Sepertinya Kenzie terlalu banyak menonton film drama, di mana orang amnesia yang kepalanya terbentur akan menyembuhkan amnesia. "Kamu Kenzie, bukan?" Rion mengernyitkan dahi. Kenzie senang sekali mendengar jawaban dari Rion. Berulang kali dia mengucap syukur karena ingatan Rion telah kembali. "Tapi
Rion dan Owen masih saling pandang kesal ketika Kemala berusaha melerai. Mungkin Owen bermaksud perhatian pada adiknya, tetapi caranya saja yang Rion tidak suka sehingga dia merasa kakaknya seolah ingin mencampuri urusannya. "Kenapa akhir-akhir ini Kak Owen selalu bahas tentang Kenzie?" Rion mengangkat satu alisnya. "Jangan-jangan, Kak Owen suka sama dia?" Sambungnya dengan tatap penuh kecurigaan. "Apa-apaan kamu?" kilah Owen. "Sudah! Aku ada di sini kalian masih juga ribut? Kasihan Opah kalian nanti terbangun hanya karena obrolan yang tidak penting!" Kemala geram melihat kedua anaknya yang masih berdebat. "Lagian, Owen sudah punya pacar, Rion. Mana mungkin Kakakmu cemburu?" Kemala membela putra kandungnya. Rion menyeringai. "Kalau memang tidak suka sama Kenzie, kenapa belum juga melamar Wanda? Bukankah dulu sudah bilang mau melamar? Apalagi Mama dan Opah juga udah setuju dengan rencana Kak Owen," ucap Rion bagaikan ledekan untuk Owen. "A––aku memang ingin melamar Wanda," ucap Ow
Wanda menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Rupanya Owen sudah duduk di ruang tamu bersama orang tua Wanda. "Astaga, Wanda? Kenapa rambutmu acak-acakan?" tanya ibunya. Wanda hanya tersenyum, lalu menatap kekasihnya. "Rapikanlah dulu, aku sedang bicara sama Papa dan Mama," kata Owen. "Baiklah, tunggu, ya?!" Wanda kembali lari ke kamar. Tentu saja sambil mengerucutkan bibir karena merasa dikerjai oleh Owen. "Tau begini, aku enggak harus lari-lari!" ketus Wanda saat dia sudah berada di kamar. Wanita jutek itu kini duduk di depan meja rias. Menata kembali penampilannya yang benar-benar hancur. Sedangkan Owen sedang meminta ijin pada kedua orang tua Wanda. Tentu saja mereka bahagia. Apalagi, keluarga Pranata sudah jauh-jauh hari menyuruh putri kesayangannya untuk segera dipersunting Owen. "Jadi, keluarga Nak Owen akan ke sini nanti malam?" tanya ayahnya Wanda. "Iya, Pa. Tapi hanya keluargaku saja, tidak dibuatkan pesta besar. Hanya pertemuan dua keluarga dan tentu saja penyemata
Kenzie masih mondar-mandir di depan cermin. Dia merasa tidak pantas berada di tengah-tengah keluarga Frederic. Dari luar kamar Angel menangkap ekspresi Kenzie yang terlihat gusar. "Kamu kenapa, Enzie?" tanya Angel yang sudah masuk ke kamar Kenzie karena pintu kamarnya terbuka. "Eh, Mbak Angel." Kenzie tersenyum kaku seolah memang ada hal yang dia khawatirkan. "Tampaknya kamu lagi ada sesuatu? Kenapa? Ada masalah?" "Emm ... itu, anu––" Kenzie menjawab dengan terbata-bata."Ceritalah sama Mbak. Kenapa?" Kenzie akhirnya menceritakan perihal Rion yang menyuruhnya ke rumah untuk menghadiri acara pertunangan Owen di rumah Wanda, tetapi dia bingung harus memakai baju seperti apa ketika dihadapkan dengan orang-orang kaya seperti mereka? Rasanya baju-baju Kenzie tidak ada yang pantas untuk sekadar nyempil dengan keluarga mereka. "Tidak perlu khawatir. Pakai saja yang biasa kamu pakai, Enzie. Wajar kamu punya pikiran begitu karena menyangkut keluarga besar Rion. Tapi, kamu harus ingat kal
Kenzie terlihat elegan, tetapi tetap terlihat anggun yang membuat mata Owen membelalak. Wanda menepuk cukup kencang tangan Owen karena menyadari kalau tunangannya itu malah menatap wanita lain di hadapannya, fatalnya, gumaman Owen terdengar oleh Wanda. "Eh, maaf." Owen berkata. "Cepat masukin!" pinta Wanda ketus. "Apanya?" Owen malah menjadi gagal fokus. "Ya cincinnya, apalagi?" "Astaga!" Owen akhirnya menyematkan cincin itu di jari manis Wanda dengan asal. Owen masih terpana melihat Kenzie, apalagi ketika wanita tomboy itu tersenyum pada orang-orang yang sudah ada di pesta pertunangan Owen. Wanda menyadari akan hal itu, dia terburu-buru merangkul tangan Owen dan seolah tidak membiarkan tunangannya itu jauh-jauh darinya. "Wanda, apa-apaan, sih?" Owen berkata ketus, seolah dia tidak suka diperlakukan seperti itu oleh Wanda. "Kamu jangan jauh-jauh dari aku!" ancam Wanda dengan nada pelan, tetapi matanya melebar seolah bola matanya hendak keluar. Penyematan cincin tunangan tel
Waktu menunjukkan sekitar jam sepuluh siang. Rion telah bergegas menuju salah satu mall yang ada di pusat kota hanya untuk membeli ponsel. Dia telah mengenakan kemeja berlengan panjang yang dia lipat hingga tiga perempat dan mengenakan celana jeans warna hitam. Tidak lupa dia menyemprotkan parfum ke bagian dada, juga meraih kacamata yang super tebal."Mau ke mana, Rion?" tanya Frederic saat melihat cucunya sudah berdandan rapi. "Aku mau ke kantor cabang, Opah. Sedikit-sedikit aku ingin tahu keadaan di sana.""Baiklah, tapi jangan terlalu memaksakan hal yang akan membuat kepalamu sakit.""Siap, Opah! Ya sudah, aku berangkat, ya?" pamit Rion. Mobil melesat kencang ke mall tersebut karena jalanan memang tidak sepadat biasanya, malah cenderung kosong. Tidak memerlukan waktu lama akhirnya mobil sport warna hitam itu sudah terhenti di lobby parkir. Rion berjalan menuju lantai lima di mana toko ponsel berderet di banyak tempat. "Selamat siang, Mas. Ada yang dapat kami bantu?" sapa ramah
"Ya Tuhan, kenapa aku masih mematung di sini?" gumam Kenzie yang masih berdiri di depan jendela ruang kerjanya.Kenzie berlari dari ruang kerja menuju kafe yang tadi Rion hendak membelikan makan siang untuknya. [LIFT DALAM PERBAIKAN!]Tulisan di kertas yang tertempel pada pintu lift. "Oh, astagaaaa! Bisa-bisanya dalam keadaan seperti ini malah lift-nya rusak, Tuhan ...." Kenzie menggerutu kesal. "Kenzie, tunggu!" Seseorang memanggil Kenzie. "Maaf, aku buru-buru!" Kenzie tidak menghiraukan, bahkan untuk sekadar menoleh pun tidak dia lakukan. Tidak ingin berlama-lama menunggu lift yang sedang dalam perbaikan, Kenzie memutuskan untuk menuruni anak tangga dari lantai empat. Dia begitu kencang berlari sampai-sampai hampir terpeleset di tangga kedua. Untung saja dia tidak terjatuh, atau bahkan terkilir. Ternyata mobil sudah dikerumuni orang-orang, bahkan begitu ramai terdengar orang-orang membicarakan tentang keadaan laki-laki yang sudah berada dalam mobil ambulans. "Tunggu!" Kenzie
"Ngapain Kakak ke sini?" tanya Rion penuh selidik. Owen tampak gelisah. Terlihat dari berpalingnya wajah ke arah lain."Tentu saja aku ada perlu sama Kenzie," jawab Owen yang seolah santai, tetapi Rion tidak dapat dibodohi. Rion melipat tangan di dada, lalu bibirnya tersenyum sarkas. "Bukankah Kak Owen bisa menelpon dia dan meminta untuk datang ke ruangan Kakak? Kok, mau-maunya seorang atasan repot-repot ke ruang kerja bawahannya?" Rion begitu pintar, padahal ingatannya saja belum kembali seutuhnya. Apakah benturan di kepala malah menjadikan dia lebih genius? Entahlah. Rion yang selama ini dianggap culun, hari-hari ini menjadi lebih kritis saat melihat masalah yang ada di sekitarnya. "Aku––" ucap Owen terhenti karena ponsel yang ada di saku jasnya berdering. Ia pun merogoh, lalu mengangkat panggilan tersebut di depan Rion. "Halo?" Owen menjawab panggilan telepon. Entah Owen berbicara pada siapa, tidak banyak percakapan hingga sampai dia mengakhiri panggilan. "Baik saya akan ke sa
Rupanya Rion dijadikan saksi karena terakhir Oris berbicara padanya dalam panggilan ponsel sebelum Oris meninggal dunia secara tidak wajar, sehingga dari pihak kepolisian memberikan keterangan tersebut. "Terima kasih, Pak!" Willson yang menjadi pengacara Rion berjabat tangan dengan polisi yang menangani Rion. Rion terbebas dari status saksi dari pembuahan Oris yang mungkin bisa saja dirinya akan berubah status menjadi tersangka apabila tidak didampingi oleh kuasa hukumnya. "Terima kasih, Pak!" Rion berjabat tangan dengan Willson dan saat kasus telah usai, mereka kembali terpisah karena Rion memang tidak dekat pada Willson dan hanya terikat kerjaan Willson saja yang menjadi pengacara. *** Banyak sekali kejadian yang menimpa Rion setelah Kenzie pergi. Hidupnya sepi bahkan terasa kosong karena satu-satunya orang yang dia sayang di dunia ini pun pergi meninggalkannya meskipun dia menjanjikan akan kembali. Namun, entah hal itu akan terealisasikan kapan? Tidak ada jaminan dari siapa pu
Sudah beberapa hari ini Khanza merasa was-was dengan keadaan Rion. Ingin bicara, tetapi dia tidak memiliki bukti yang kuat akan perbincangan adik tirinya karena Owen memang tidak menyebut nama Rion. Bisa saja Owen malah merencanakan pembunuhan untuknya, bukan? "Tuan, apakah Tuan Muda baik-baik saja?" tanya Khanza yang merasa khawatir dengan keadaan Rion. "Aku baik-baik saja." Rion kembali terdiam. Dia hanya memperhatikan halaman rumah dari balkon. Sudah beberapa hari semenjak kematian Frederic, Rion memang betah berlama-lama di balkon hanya memperhatikan keadaan rumah saja. "Sus?" Rion memanggil Khanza."Iya, Tuan." "Biasanya Suster mengajak Opah berjemur di sana." Rion menunjuk yang disertai bibir tersenyum, tetapi pandangannya seolah kosong.Khanza tidak menjawab, karena dia tahu kalau Rion hanya butuh didengarkan saja, bukan membutuhkan jawaban darinya. "Aku kangen sama Opah," ucap Rion yang terdengar pilu. Rupanya Rion masih terlihat berat sejak kepergian Frederic. Dia seol
Dokter itu menatap Rion dan Owen bergantian yang disertakan tarikan napas dalam sebelum dia menceritakan keadaan Frederic. "Hhuuufff ...." Napas itu terembus. "Kami tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuan Frederic tidak dapat tertolong." "Apa?!" Spontan Owen berucap. Rion tidak berkata apa-apa, dia berjalan mundur hingga akhirnya terpentok pada kursi stainless dan detik itu juga dia terduduk lemas, lakinya seolah tidak mampu menopang tubuhnya sendiri saat mendengar Frederic telah kembali pada-Nya.Rion menutup wajahnya. Ingin menangis, tetapi dia tahan sekuat tenaga meski akhirnya ada yang meluncur dari sudut matanya. "Menangis saja, Tuan Muda. Tangisan tidak akan menjatuhkan derajatmu sebagai seorang laki-laki," ucap Khanza yang duduk di sampingnya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Khanza kalau tangis tidak akan membuat derajat laki-laki terjatuh. Laki-laki juga manusia, dia punya hati yang dapat merasakan sakit. Rion merasa sendirian. Ketika Frederic corp
Keadaan Frederic semakin memburuk. Sudah tiga hari dia masih koma, bahkan harapan untuk hidup sangatlah kecil menurut dokter. "Ya Tuhan ... cobaan apa lagi yang akan aku dapatkan setelah ini?" ucap Rion saat berada di kantor. Tidak dipungkiri, dirinya sangat sulit untuk berkonsultasi. Bahkan dalam tiga hari ini seolah raganya saja berada di kantor, tetapi jiwanya entah ke mana. Dia seolah terombang-ambing tanpa pijakan. "Permisi ...." Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Owen. "Masuk!" Rion terperanjat saat suara seseorang mengetuk pintu. Dari balik pintu yang terbuka terlihat Angel yang membawa berkas dalam map warna biru. "Eh, Mbak. Silahkan duduk," ucap Rion. Angel tersenyum, menarik kursi lalu duduk. Namun, dia memperhatikan Rion yang seolah semakin terpuruk. "Kamu kenapa, Rion?" "Enggak apa-apa, Mbak," jawab Rion sekenanya. "Oh, iya. Apakah ada tender baru yang masuk?" sambung Rion seolah-olah mengalihkan pembicaraan. "Ada, bahkan cukup banyak. Yang Mbak khawatirkan itu
Kemala mengajak Owen ke ruang perawatan. Ternyata Wanda sedang tidur dan baru siuman sejak beberapa menit yang lalu. "Tante?" Owen menyapa mertuanya. "Owen, gimana keadaanmu, Nak? Kamu sakit apa? Kok, Tante enggak tau kamu dirawat. Apa Wanda mengetahuinya?" Seolah berbasa-basi, Nyonya Pranata bertanya pada calon menantunya. "Tidak, Tan. Wanda tidak tau apa-apa, lagian aku juga udah sehat, kok." Mungkin karena suara perbincangan Owen, Kemala dan ibunya, Wanda akhirnya membukakan mata. "Sayang? Kamu ada di sini?" Suara Wanda terdengar pelan. "Iya. Kamu kenapa, Sayang?" Owen bertanya dan saat itu sepasang mata Wanda kembali berkabut. Kemala mengerti kalau Wanda menginginkan cerita pada putranya dan dia mengajak Nyonya Pranata untuk ke luar dari ruangan tersebut. Agar mereka bisa leluasa mengobrol. "Kamu sayang aku enggak?" Tiba-tiba saja Wanda bertanya seperti itu dan hal ini dirasa aneh oleh Owen. "Kok, nanyanya begitu?" "Jawab aja, sayang atau enggak?" "Sayanglah, kamu, kan
Tepat jam sebelas siang, Rion sengaja pergi menemui Angel hanya untuk makan siang sekaligus membahas apa yang sebenarnya terjadi. "Mbak?" Rion memanggil."Iya." "Aku bingung harus menerangkannya seperti apa? Aku pun paham kalau sampai ada di posisi, Mbak. Aku pun akan salah paham. Tapi aku mohon percaya sama aku, Mbak. Aku bukan takut Mbak bilang sama Kenzie, karena aku benar. Hanya saja kalau keadaannya jauh seperti ini, aku takut Enzie terluka dan aku hanya bisa menatapnya menangis di layar ponsel." "Sebenarnya Mbak juga tidak percaya Rion, tapi penampilan dia tadi pagi? Ah, Mbak jadi inget Enzie ketika hendak dinodai oleh Pak Owen." "Tapi aku bukan Kak Owen, Mbak. Kami berbeda dan aku begitu mencintai Kenzie." "Iya, Mbak tau, Rion. Cinta memang bisa membutakan siapa saja." Sepertinya Angel masih belum sepenuhnya mempercayai pengakuan Rion. Dia juga tidak mempercayai kesimpulan yang ada di otaknya. Baginya, Rion terlalu tulus kalau sampai selingkuh, itu merupakan hal yang tida
"Permisi, Pak! Pak Rion?" Dari luar sana seorang wanita mengetuk pintu dan memanggil namanya. Rion seolah terperangkap, sementara otak Wanda begitu bergelayut rencana licik demi mendapatkan Rion. Tentu saja tujuan utamanya merupakan harta dan kepuasan melihat orang lain bertengkar. "Jangan Rion, aku mohon. Aku ini calon kakak iparmu." Terdengar suara Wanda memelas. "Maksud lu apa, Wanda?" Rion heran dengan kelakuan Wanda."Siapa aja yang ada di luar, tolooonggg!!! Tolong akuuuu!!!" Tiba-tiba saja Wanda berteriak setelah dia mengacak-acak penampilannya. Baik baju, juga rambut yang sedikit diacak-acak. Rion semakin bingung, dia tidak menyangka Wanda bersikap aneh di depannya. Lagi, Wanda berteriak histeris dan pintu ruang kerjanya pun terbuka. Sial, Wanda menjatuhkan dirinya ke pelukan Rion yang membuat orang yang melihat akan salah sangka. "Rion?" Ternyata yang masuk ke ruang kerja adalah Angel. Sial, Rion terjebak oleh permainan Wanda. "Maaf, saya mendorong pintu karena––" Angel
Rion akhirnya memanggil Khanza, padahal waktu hampir menunjukkan jam sebelas malam dan mereka bertiga masih mengungkap satu fakta yang tentu saja Frederic tercengang atas cerita Khanza. "Jadi, ayahmu dan ayah Owen itu Willson?" Frederic bertanya dengan ekspresi heran. "Iya, Tuan. Pak Willson merupakan ayah kandung kami, hanya berbeda ibu." Khanza membenarkan. "Lalu, kenapa Kemala malah menyebutkan kalau ayah dari Owen meninggal dunia?" tanya Frederic merasa heran. "Saya tidak ingin menyimpulkan, Tuan. Takut saya salah." Khanza menjawab sambil menunduk."Bicaralah, Suster. Jujur, aku sama sekali tidak bisa menggambarkan apa pun tentang peristiwa ini. Mungkin sedikitnya Suster bisa memberikan gambaran dari kehidupan ibunya Suster Khanza," pinta Rion. "Sesungguhnya––aku––" Khanza sepertinya ragu mengemukakan pendapatnya. "Bicaralah, tidak usah takut." Rion mencoba menenangkan."Pandanganku terhadap masalah ini mempunyai dua kemungkinan, Tuan. Pertama, Nyonya Kemala sengaja memalsuk
Sekitar jam tujuh malam, keluarga Frederic berkumpul di ruang makan. Namun, ada hal berbeda di sana karena bukan hanya makan malam saja yang mereka lakukan, tetapi ada lagi hal yang sesungguhnya menjadi inti dari permasalahan. "Rion, kenapa kamu bisa menghajar Kakakmu?" Frederic bertanya setelah semuanya selesai makan. "Mungkin Opah bisa tanya sendiri sama Kak Owen." Rion menjawab santai."Hallah! Tinggal jawab saja, kamu punya masalah apa sama Owen sampe bikin dia babak belur begitu?" sungut Kemala yang tidak terima."Semuanya harus berkumpul, Opah. Tidak bisa kalau ditanya hanya sepihak seperti ini. Bisa saja Kak Owen menyanggah atau bahkan aku yang menyanggah pengakuan Kak Owen." "Kamu itu memang dari dulu bikin aku emosi. Dasar anak sialan! Kamu tak ada bedanya dengan Mamamu yang selalu merebut kebahagiaan orang lain!" pekik Kemala dengan wajah kesal. "Stop! Lebih baik kamu istirahat, Kemala. Bukan kah kamu akan ke rumah sakit besok pagi?" ujar Frederic. "Lebih baik aku ke ru