Rion dan Owen masih saling pandang kesal ketika Kemala berusaha melerai. Mungkin Owen bermaksud perhatian pada adiknya, tetapi caranya saja yang Rion tidak suka sehingga dia merasa kakaknya seolah ingin mencampuri urusannya. "Kenapa akhir-akhir ini Kak Owen selalu bahas tentang Kenzie?" Rion mengangkat satu alisnya. "Jangan-jangan, Kak Owen suka sama dia?" Sambungnya dengan tatap penuh kecurigaan. "Apa-apaan kamu?" kilah Owen. "Sudah! Aku ada di sini kalian masih juga ribut? Kasihan Opah kalian nanti terbangun hanya karena obrolan yang tidak penting!" Kemala geram melihat kedua anaknya yang masih berdebat. "Lagian, Owen sudah punya pacar, Rion. Mana mungkin Kakakmu cemburu?" Kemala membela putra kandungnya. Rion menyeringai. "Kalau memang tidak suka sama Kenzie, kenapa belum juga melamar Wanda? Bukankah dulu sudah bilang mau melamar? Apalagi Mama dan Opah juga udah setuju dengan rencana Kak Owen," ucap Rion bagaikan ledekan untuk Owen. "A––aku memang ingin melamar Wanda," ucap Ow
Wanda menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Rupanya Owen sudah duduk di ruang tamu bersama orang tua Wanda. "Astaga, Wanda? Kenapa rambutmu acak-acakan?" tanya ibunya. Wanda hanya tersenyum, lalu menatap kekasihnya. "Rapikanlah dulu, aku sedang bicara sama Papa dan Mama," kata Owen. "Baiklah, tunggu, ya?!" Wanda kembali lari ke kamar. Tentu saja sambil mengerucutkan bibir karena merasa dikerjai oleh Owen. "Tau begini, aku enggak harus lari-lari!" ketus Wanda saat dia sudah berada di kamar. Wanita jutek itu kini duduk di depan meja rias. Menata kembali penampilannya yang benar-benar hancur. Sedangkan Owen sedang meminta ijin pada kedua orang tua Wanda. Tentu saja mereka bahagia. Apalagi, keluarga Pranata sudah jauh-jauh hari menyuruh putri kesayangannya untuk segera dipersunting Owen. "Jadi, keluarga Nak Owen akan ke sini nanti malam?" tanya ayahnya Wanda. "Iya, Pa. Tapi hanya keluargaku saja, tidak dibuatkan pesta besar. Hanya pertemuan dua keluarga dan tentu saja penyemata
Kenzie masih mondar-mandir di depan cermin. Dia merasa tidak pantas berada di tengah-tengah keluarga Frederic. Dari luar kamar Angel menangkap ekspresi Kenzie yang terlihat gusar. "Kamu kenapa, Enzie?" tanya Angel yang sudah masuk ke kamar Kenzie karena pintu kamarnya terbuka. "Eh, Mbak Angel." Kenzie tersenyum kaku seolah memang ada hal yang dia khawatirkan. "Tampaknya kamu lagi ada sesuatu? Kenapa? Ada masalah?" "Emm ... itu, anu––" Kenzie menjawab dengan terbata-bata."Ceritalah sama Mbak. Kenapa?" Kenzie akhirnya menceritakan perihal Rion yang menyuruhnya ke rumah untuk menghadiri acara pertunangan Owen di rumah Wanda, tetapi dia bingung harus memakai baju seperti apa ketika dihadapkan dengan orang-orang kaya seperti mereka? Rasanya baju-baju Kenzie tidak ada yang pantas untuk sekadar nyempil dengan keluarga mereka. "Tidak perlu khawatir. Pakai saja yang biasa kamu pakai, Enzie. Wajar kamu punya pikiran begitu karena menyangkut keluarga besar Rion. Tapi, kamu harus ingat kal
Kenzie terlihat elegan, tetapi tetap terlihat anggun yang membuat mata Owen membelalak. Wanda menepuk cukup kencang tangan Owen karena menyadari kalau tunangannya itu malah menatap wanita lain di hadapannya, fatalnya, gumaman Owen terdengar oleh Wanda. "Eh, maaf." Owen berkata. "Cepat masukin!" pinta Wanda ketus. "Apanya?" Owen malah menjadi gagal fokus. "Ya cincinnya, apalagi?" "Astaga!" Owen akhirnya menyematkan cincin itu di jari manis Wanda dengan asal. Owen masih terpana melihat Kenzie, apalagi ketika wanita tomboy itu tersenyum pada orang-orang yang sudah ada di pesta pertunangan Owen. Wanda menyadari akan hal itu, dia terburu-buru merangkul tangan Owen dan seolah tidak membiarkan tunangannya itu jauh-jauh darinya. "Wanda, apa-apaan, sih?" Owen berkata ketus, seolah dia tidak suka diperlakukan seperti itu oleh Wanda. "Kamu jangan jauh-jauh dari aku!" ancam Wanda dengan nada pelan, tetapi matanya melebar seolah bola matanya hendak keluar. Penyematan cincin tunangan tel
Waktu menunjukkan sekitar jam sepuluh siang. Rion telah bergegas menuju salah satu mall yang ada di pusat kota hanya untuk membeli ponsel. Dia telah mengenakan kemeja berlengan panjang yang dia lipat hingga tiga perempat dan mengenakan celana jeans warna hitam. Tidak lupa dia menyemprotkan parfum ke bagian dada, juga meraih kacamata yang super tebal."Mau ke mana, Rion?" tanya Frederic saat melihat cucunya sudah berdandan rapi. "Aku mau ke kantor cabang, Opah. Sedikit-sedikit aku ingin tahu keadaan di sana.""Baiklah, tapi jangan terlalu memaksakan hal yang akan membuat kepalamu sakit.""Siap, Opah! Ya sudah, aku berangkat, ya?" pamit Rion. Mobil melesat kencang ke mall tersebut karena jalanan memang tidak sepadat biasanya, malah cenderung kosong. Tidak memerlukan waktu lama akhirnya mobil sport warna hitam itu sudah terhenti di lobby parkir. Rion berjalan menuju lantai lima di mana toko ponsel berderet di banyak tempat. "Selamat siang, Mas. Ada yang dapat kami bantu?" sapa ramah
"Ya Tuhan, kenapa aku masih mematung di sini?" gumam Kenzie yang masih berdiri di depan jendela ruang kerjanya.Kenzie berlari dari ruang kerja menuju kafe yang tadi Rion hendak membelikan makan siang untuknya. [LIFT DALAM PERBAIKAN!]Tulisan di kertas yang tertempel pada pintu lift. "Oh, astagaaaa! Bisa-bisanya dalam keadaan seperti ini malah lift-nya rusak, Tuhan ...." Kenzie menggerutu kesal. "Kenzie, tunggu!" Seseorang memanggil Kenzie. "Maaf, aku buru-buru!" Kenzie tidak menghiraukan, bahkan untuk sekadar menoleh pun tidak dia lakukan. Tidak ingin berlama-lama menunggu lift yang sedang dalam perbaikan, Kenzie memutuskan untuk menuruni anak tangga dari lantai empat. Dia begitu kencang berlari sampai-sampai hampir terpeleset di tangga kedua. Untung saja dia tidak terjatuh, atau bahkan terkilir. Ternyata mobil sudah dikerumuni orang-orang, bahkan begitu ramai terdengar orang-orang membicarakan tentang keadaan laki-laki yang sudah berada dalam mobil ambulans. "Tunggu!" Kenzie
"Ngapain Kakak ke sini?" tanya Rion penuh selidik. Owen tampak gelisah. Terlihat dari berpalingnya wajah ke arah lain."Tentu saja aku ada perlu sama Kenzie," jawab Owen yang seolah santai, tetapi Rion tidak dapat dibodohi. Rion melipat tangan di dada, lalu bibirnya tersenyum sarkas. "Bukankah Kak Owen bisa menelpon dia dan meminta untuk datang ke ruangan Kakak? Kok, mau-maunya seorang atasan repot-repot ke ruang kerja bawahannya?" Rion begitu pintar, padahal ingatannya saja belum kembali seutuhnya. Apakah benturan di kepala malah menjadikan dia lebih genius? Entahlah. Rion yang selama ini dianggap culun, hari-hari ini menjadi lebih kritis saat melihat masalah yang ada di sekitarnya. "Aku––" ucap Owen terhenti karena ponsel yang ada di saku jasnya berdering. Ia pun merogoh, lalu mengangkat panggilan tersebut di depan Rion. "Halo?" Owen menjawab panggilan telepon. Entah Owen berbicara pada siapa, tidak banyak percakapan hingga sampai dia mengakhiri panggilan. "Baik saya akan ke sa
Kenzie tidak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja ada seseorang yang menumpahkan air tepat di bajunya. Rion membulatkan matanya pada seseorang yang berani menumpahkan minuman pada kekasihnya. Dia pun langsung berdiri dan menunjuk wajah orang tersebut. "Hahaha ... basah, ya? Duuuhhh ... kasihan," ledek seorang wanita pada Kenzie. "Apa masalahmu dengan Kenzie hingga mempermalukan dia seperti ini?" tanya Rion. Dia membuka kemejanya demi menutupi bagian depan tubuh Kenzie. "Masih bertanya? Pacar kamu itu gatel, godain terus pacarku!" ucap Wanda. Plak!Tamparan keras meluncur di pipi Wanda. "Jaga mulutmu, Wanda! Aku tidak pernah menggoda siapapun!" tegas Kenzie dengan bola mata yang seolah hendak keluar dari tempatnya. "Kamu berani menamparku di depan umum, hah?" Wanda yang sedang mengusap pipi yang sakit terkena tamparan Kenzie akhirnya ingin menampar balik, tetapi Owen segera menariknya. "Sudah, malu, Wanda." Owen melerai. "Sayang, dia nampar pipi aku, loh! Kok, kamu malah bela