Waktu menunjukkan jam tujuh malam di kediaman Frederic telah berkumpul seluruh anggota keluarga. Ada Owen, Rion, Kemala, bahkan Willson yang diundang untuk meresmikan keputusan Frederic setelah semua surat-surat telah usai ditandatangani dengan pembagiannya masing-masing. Lebih dari delapan puluh persen memang harta Fredric jatuh ke tangan Rion. Kali ini Kemala lebih terlihat tenang, karena di dalam surat tersebut, Owen masih memegang kendali Frederic Corp sepenuhnya. Willson pun memberikan lampiran kertas yang telah dibubuhi oleh cap, tandatangan serta materai sebagai pengesahan surat tersebut agar lebih kuat di mata hukum. 'Aku tidak rela dengan pembagian ini, lihat saja kamu, Rion!' Dalam hati Kemala menggerutu dengan binar mata yang memang tidak terlihat bahagia. "Semua telah saya sampaikan. Apakah ada yang ingin ditanyakan?" tanya Willson setelah semua keputusan telah disampaikan. Keadaan di ruang yang dipakai untuk rapat menjadi hening. Entah dipahami atau mungkin malah mer
Sial sekali, Rion malah menyenggol guci besar yang ada di pojokan. Memang tidak sampai pecah, tetapi suaranya terdengar cukup kencang karena mungkin suasana sudah sepi. "Siapa di sana?" Suara Kemala terdengar di telinga Rion. 'Mati! Aku harus gimana, Tuhan?' Dalam hati Rion berucap. Rion melangkah pergi, tetapi baru saja dua langkah dia memutuskan untuk diam di sana. Bukankah ini merupakan kesempatan dia mengetahui perihal yang dibahas ibu tirinya? Rion kembali stay berdiri tepat di depan pintu kamar Kemala hingga akhirnya pintu tersebut terbuka. "Rion? Sedang apa kamu di depan pintu kamar Mama?" "Tidak sengaja aku mendengar Mama lagi berbicara dengan pria ketika aku hendak ke dapur. Sebetulnya, apa yang sedang Mama lakukan? Dan dengan siapa Mama bicara?" cerca Rion. "Emm ... itu, Mama––Mama––" Kata-kata Kemala terjeda dan seolah menguap di udara. Dia bingung harus menjawab apa pada Rion. "Maaf, Tuan muda. Saya hanya membantu Nyoya Kemala untuk menjelaskan perkara keputusan Tua
Laju kendaraan mulai tidak terarah. Sopir Rion berusaha mengalihkan terus menerus kendaraannya ketika berpapasan atau melewati kendaraan orang lain. Sopir dan tuannya begitu panik di dalam sana. "Pak, tabrakan saja pada pohon atau apa pun yang tidak membahayakan orang lain, cepat!" "Baik, Tuan." Sopir Rion masih berusaha mengemudikan kendali setir meskipun keringat telah mengucur deras karena panik. Hingga akhirnya ada satu pohon besar di pinggir jalan. Braakk!!!Mobil hitam mewah itu akhirnya berhenti ketika menghantam satu pohon dengan batang yang besar. Syukurlah keduanya selamat karena telah mengenakan safety belt dengan baik dan benar. Hanya saja tidak dipungkiri kalau wajah mereka terlihat panik saat mobil benar-benar berhenti dengan guncangan yang sangat keras, bahkan bagian depan mobil saja terlihat ringsek. "Maaf, Tuan. Apakah Anda baik-baik saja?""Saya baik-baik saja, tidak perlu khawatir."Sopir itu mengangguk kemudian membuka pintu mobil untuk melihat keadaan kendara
Seorang wanita paruh baya yang tidak terlalu jauh seusia Kemala kini berdiri di hadapan Rion. Rambut yang hampir memutih serta kerutan-kerutan di wajah yang nampak dan binar mata yang seolah penuh tanya tatkala melihat pemuda berpakaian rapi menghampiri tempat tinggalnya. "Kamu teman anak saya?" Wanita tua itu kembali bertanya. Rion tersenyum. "Ya, saya teman putra Ibu. Apakah dia ada di dalam?" tanya Rion santun. Pemuda ini sedikit bersandiwara agar tidak membuat panik wanita tua yang ada di hadapannya. "Oris pamit pergi. Katanya ada yang harus dia selesaikan," ucap wanita tua itu. "Ada siapa, Ibu?" teriak seorang wanita dari dalam. Tidak berselang lama, wanita itu pun akhirnya menemui ibunya yang terdengar sedang mengobrol. Rion tersenyum ketika melihat wanita yang mungkin saja tidak jauh seusianya. "Maaf, Anda siapa?" Wanita muda itu terlihat heran ketika melihat Rion. Wajar saja, Rion datang dengan penampilan bos-bos besar. "Saya Rion. Apakah saya bisa bertemu dengan Oris?
Tiba-tiba saja sambungan ponsel terputus. Entah ponselnya sengaja dimatikan atau terkendala sinyal. Rion membawa ponsel itu dan menunggu Julia yang malah ikut dirawat di sana. Tidak lupa, Rion pun menghubungi personalia untuk menyuruh Stevan menghandle pekerjaannya siang itu. Hampir dua puluh menit akhirnya Julia sadar dari pingsan. Dia melihat seorang laki-laki di sisinya. "Mas Oris?" Bibir Julia tersenyum saat melihat laki-laki yang duduk menemaninya saat itu. "Maaf, aku bukan Oris." Perkataan laki-laki tersebut membuatnya sadar sekaligus kecewa. Dia sadar dari lamunan yang terlalu dalam. Rasa rindu Julia pada Oris begitu dalam hingga dia melihat sosok laki-laki lain mengira suaminya. "Maaf." Lirih terdengar Julia mengucap kata tersebut. "No problem. Gimana keadaanmu? Apakah sudah membaik?"Julia mengangguk. "Baik, tetapi tidak dengan mental saya." Julia menjawab dengan pandangan merunduk. Dia merasa sendirian ketika harus jauh dari Oris. Laki-laki yang menikahinya beberapa t
Rion terpaku pada layar ponsel. Dia tidak mengangkat benda pipih yang ada di tangannya dan seolah membiarkan terus berdering. "Rion? Kenapa enggak diangkat?" tanya Kenzie berhasil membuat Rion tersadar dari lamunan. "Hah?""Ponsel lu bunyi terus itu." Kenzie menunjuk pada ponsel yang sedang digenggam Rion. "Oh ... biarin aja, lah." Rion menyimpan ponselnya di meja. "Kenapa?" "Tidak tertulis nama, mungkin hanya orang iseng." Kenzie hanya menatap Rion. Si tomboy memang begitu hafal sikap Rion yang tidak mau ribet. Cuek, tetapi ketika dia menaruh hati pada seseorang, dia akan berubah menjadi sosok yang hangat untuk pasangannya. Tidak berselang lama ponsel itu kembali berdering dengan nomor yang sama. Lagi-lagi Rion hanya menatap tanpa mau mengangkat panggilan ponsel yang sedari tadi berdering. "Angkat, Rion. Siapa tau penting." "Gak, kalo penting pasti dia nge-chat gue. Orang iseng aja itu.""Ya udah, biar gue yang angkat." Kenzie hendak meraih ponsel yang tergeletak di tepi mej
Napas hangat Rion terasa di wajah Kenzie. Perasaan Kenzie bercampur aduk ketika bibir Rion semakin mendekat. Gadis itu hanya dapat mematung dengan perasaan yang campur aduk hingga akhirnya Kenzie lebih memilih untuk memejamkan matanya karena debat yang semakin tidak dapat dikendalikan. Rasa takut, tetapi bahagia ketika ada di hadapkan dengan situasi saat ini. Terlebih, jemari Rion terasa menyelipkan rambut panjang yang tergerai milik Kenzie ke telinganya. "Gue hanya ingin lu tau, kalau gue selalu menyayangi lu lebih dari diri gue sendiri," bisik Rion pelan dan lembut membuat sepasang mata kehijauan itu kini membulat sempurna. "Rion?" "Ya, gue sangat menyayangi lu, Enzie. Sejak di awal kita bertemu di kampus." "Tapi gue takut." Gemetar Kenzie menjawab. "Takut kenapa?""Sahabat itu selalu bersama, sedangkan pacar itu ada kata putus. Gue enggak mau hubungan kita ujungnya harus berakhir, Rion." Rion tersenyum. "Intinya, apakah perasaan lu sama kayak yang gue rasa?" Kenzie menatap
Tepat jam delapan pagi Rion bersama Frederic menuju pusara Edward. Pemuda itu mendorong kursi roda ke dalam pemakaman yang luas. Tepat di tengah-tengah Rion menghentikan kursi roda, lalu membantu kakeknya untuk lebih dekat lagi. Perkembangan Frederic semakin membaik. Ucapannya pun kini sudah jelas, tetapi tidak dengan kelumpuhan kakinya. Fredric terlihat sedih bahkan dari sudut matanya terlihat mengembun hingga menitikkan air. Namun, secepat kilat dia menyeka air mata itu dengan cepat sehingga Rion tidak sempat menyaksikan tangis kakeknya. "Maafkan Papa, Edward." Tubuh Frederic bergetar kala ucapan maaf keluar dari mulutnya. Hal itu membuat Rion semakin berpikir sebenarnya apa yang terjadi pada kakeknya? Yang terpancar saat ini seolah hanya wujud penyesalan yang diperlihatkan Frederick. "Opah, ini sudah jalan takdirnya. Opah jangan sedih, Papa udah tenang di sana." Rion yang ada di belakang Frederic hanya bisa mengusap pelan pundak kakeknya, lalu perlahan berjongkok tepat di samp