Seorang wanita paruh baya yang tidak terlalu jauh seusia Kemala kini berdiri di hadapan Rion. Rambut yang hampir memutih serta kerutan-kerutan di wajah yang nampak dan binar mata yang seolah penuh tanya tatkala melihat pemuda berpakaian rapi menghampiri tempat tinggalnya. "Kamu teman anak saya?" Wanita tua itu kembali bertanya. Rion tersenyum. "Ya, saya teman putra Ibu. Apakah dia ada di dalam?" tanya Rion santun. Pemuda ini sedikit bersandiwara agar tidak membuat panik wanita tua yang ada di hadapannya. "Oris pamit pergi. Katanya ada yang harus dia selesaikan," ucap wanita tua itu. "Ada siapa, Ibu?" teriak seorang wanita dari dalam. Tidak berselang lama, wanita itu pun akhirnya menemui ibunya yang terdengar sedang mengobrol. Rion tersenyum ketika melihat wanita yang mungkin saja tidak jauh seusianya. "Maaf, Anda siapa?" Wanita muda itu terlihat heran ketika melihat Rion. Wajar saja, Rion datang dengan penampilan bos-bos besar. "Saya Rion. Apakah saya bisa bertemu dengan Oris?
Tiba-tiba saja sambungan ponsel terputus. Entah ponselnya sengaja dimatikan atau terkendala sinyal. Rion membawa ponsel itu dan menunggu Julia yang malah ikut dirawat di sana. Tidak lupa, Rion pun menghubungi personalia untuk menyuruh Stevan menghandle pekerjaannya siang itu. Hampir dua puluh menit akhirnya Julia sadar dari pingsan. Dia melihat seorang laki-laki di sisinya. "Mas Oris?" Bibir Julia tersenyum saat melihat laki-laki yang duduk menemaninya saat itu. "Maaf, aku bukan Oris." Perkataan laki-laki tersebut membuatnya sadar sekaligus kecewa. Dia sadar dari lamunan yang terlalu dalam. Rasa rindu Julia pada Oris begitu dalam hingga dia melihat sosok laki-laki lain mengira suaminya. "Maaf." Lirih terdengar Julia mengucap kata tersebut. "No problem. Gimana keadaanmu? Apakah sudah membaik?"Julia mengangguk. "Baik, tetapi tidak dengan mental saya." Julia menjawab dengan pandangan merunduk. Dia merasa sendirian ketika harus jauh dari Oris. Laki-laki yang menikahinya beberapa t
Rion terpaku pada layar ponsel. Dia tidak mengangkat benda pipih yang ada di tangannya dan seolah membiarkan terus berdering. "Rion? Kenapa enggak diangkat?" tanya Kenzie berhasil membuat Rion tersadar dari lamunan. "Hah?""Ponsel lu bunyi terus itu." Kenzie menunjuk pada ponsel yang sedang digenggam Rion. "Oh ... biarin aja, lah." Rion menyimpan ponselnya di meja. "Kenapa?" "Tidak tertulis nama, mungkin hanya orang iseng." Kenzie hanya menatap Rion. Si tomboy memang begitu hafal sikap Rion yang tidak mau ribet. Cuek, tetapi ketika dia menaruh hati pada seseorang, dia akan berubah menjadi sosok yang hangat untuk pasangannya. Tidak berselang lama ponsel itu kembali berdering dengan nomor yang sama. Lagi-lagi Rion hanya menatap tanpa mau mengangkat panggilan ponsel yang sedari tadi berdering. "Angkat, Rion. Siapa tau penting." "Gak, kalo penting pasti dia nge-chat gue. Orang iseng aja itu.""Ya udah, biar gue yang angkat." Kenzie hendak meraih ponsel yang tergeletak di tepi mej
Napas hangat Rion terasa di wajah Kenzie. Perasaan Kenzie bercampur aduk ketika bibir Rion semakin mendekat. Gadis itu hanya dapat mematung dengan perasaan yang campur aduk hingga akhirnya Kenzie lebih memilih untuk memejamkan matanya karena debat yang semakin tidak dapat dikendalikan. Rasa takut, tetapi bahagia ketika ada di hadapkan dengan situasi saat ini. Terlebih, jemari Rion terasa menyelipkan rambut panjang yang tergerai milik Kenzie ke telinganya. "Gue hanya ingin lu tau, kalau gue selalu menyayangi lu lebih dari diri gue sendiri," bisik Rion pelan dan lembut membuat sepasang mata kehijauan itu kini membulat sempurna. "Rion?" "Ya, gue sangat menyayangi lu, Enzie. Sejak di awal kita bertemu di kampus." "Tapi gue takut." Gemetar Kenzie menjawab. "Takut kenapa?""Sahabat itu selalu bersama, sedangkan pacar itu ada kata putus. Gue enggak mau hubungan kita ujungnya harus berakhir, Rion." Rion tersenyum. "Intinya, apakah perasaan lu sama kayak yang gue rasa?" Kenzie menatap
Tepat jam delapan pagi Rion bersama Frederic menuju pusara Edward. Pemuda itu mendorong kursi roda ke dalam pemakaman yang luas. Tepat di tengah-tengah Rion menghentikan kursi roda, lalu membantu kakeknya untuk lebih dekat lagi. Perkembangan Frederic semakin membaik. Ucapannya pun kini sudah jelas, tetapi tidak dengan kelumpuhan kakinya. Fredric terlihat sedih bahkan dari sudut matanya terlihat mengembun hingga menitikkan air. Namun, secepat kilat dia menyeka air mata itu dengan cepat sehingga Rion tidak sempat menyaksikan tangis kakeknya. "Maafkan Papa, Edward." Tubuh Frederic bergetar kala ucapan maaf keluar dari mulutnya. Hal itu membuat Rion semakin berpikir sebenarnya apa yang terjadi pada kakeknya? Yang terpancar saat ini seolah hanya wujud penyesalan yang diperlihatkan Frederick. "Opah, ini sudah jalan takdirnya. Opah jangan sedih, Papa udah tenang di sana." Rion yang ada di belakang Frederic hanya bisa mengusap pelan pundak kakeknya, lalu perlahan berjongkok tepat di samp
Sontak Oris bangkit dari tempat duduknya. Wajahnya terlihat panik ketika mendengar kabar buruk dari seorang pria. "Hey, tunggu!" Rion berteriak. "Maaf, Tuan. Saya harus segera pergi karena istri saya kritis." Oris berlari setalah mengucapkan kata maaf. Rion hanya melihat tubuh Oris yang tidak lama kemudian menghilang setelah masuk ke salah satu mobil taksi yang ada di seberang jalan. "Apa Oris sedang membodohiku? Kalau iya, untuk apa dia mau menemuiku tadi?" Perasaan Rion bercampur aduk dengan segala sangkaan dan kenyataan yang masih abu-abu.*** Rion menghentikan taksi dan bergegas menemui Kenzie siang itu. Dia ingin menceritakan kejadian sesungguhnya meskipun belum jelas kronologinya. Tiba di depan pagar hitam sederhana, mobil taksi yang ditumpangi Rion pun berhenti. Pemuda itu turun setelah membayar taksi. "Terima kasih," ucap sopir itu ketika menerima bayaran dari Rion. Rion tersenyum, lalu dia berjalan memasuki kost Kenzie di lantai dua. Rion melihat Kenzie yang sedang te
Seiring bergulirnya waktu tidak terasa tugas kampus telah usai, bahkan dalam hitungan jam Rion akan diwisuda. Cucu kedua dari Frederic malah tidak dapat tidur. Padahal besok pagi harus sudah bersiap ke kampus untuk melaksanakan wisuda. Perasaan Rion begitu gundah karena hingga detik ini, hubungannya dengan Kenzie belum menunjukkan kejelasan meskipun dia mengetahui kalau Kenzie pun menyayangi dirinya. Labil. Rion merasa ingin ada kejelasan setelah cukup lama cintanya belum mendapatkan pengakuan dari status persahabatan atau kekasih? "Ya Tuhan ... apa iya aku harus kembali meminta kejelasan tentang hubunganku pada Kenzie?" Rion menatap langit-langit kamar bercat putih. Dalam hatinya begitu menginginkan Kenzie menjadi kekasihnya, tetapi dia juga tidak dapat memaksa orang yang dia sayangi. Entah hingga jam berapa, akhirnya mata Rion terpejam ketika seluruh pikirannya dipenuhi dengan bayangan Kenzie. Akhirnya suara jam beker telah berdering begitu nyaring, tetapi Rion tidak juga terban
Sepasang mata Rion terbuka perlahan. Dia melihat langit-langit kamar serta tercium ruangan yang berbau obat. Beberapa bagian tubuhnya terluka dan di bagian dahi terpasang perban. "Ah ... sakit sekali," ucap Rion sambil memejamkan matanya. Tidak berselang lama, pintu ruangan itu terbuka dan terlihat seorang laki-laki tua yang duduk di kursi roda mendekat ke arahnya. "Gimana keadaanmu, Rion?" tanya kakeknya. "Sedikit pusing, Opah. Yang aku khawatirkan Mama Kemala, bagaimana keadaannya saat ini?" "Belum sadarkan diri, dia masih ada di ruang ICU," jelas seorang kakek yang rambutnya telah memutih. "Oh ... astaga." Rion mengembuskan napas beratnya. "Bolehkah aku melihatnya, Opah?" "Nanti, tunggu dokter dulu agar memeriksa keadaanmu. Di sana ada Owen. Tidak usah khawatir." Rion mengangguk meskipun dalam hatinya begitu ingin melihat Kemala, walaupun dia sebatas ibu tirinya. Frederic menyuruh Rion beristirahat. Laki-laki tua itu sengaja meninggalkan Rion agar dia bisa beristirahat den