Kata-kata Roni yang kasar itu membuat wajah Savanah terkejut dan memucat. Hatinya terasa diremas mendengar pria yang dia anggap akan mendukungnya kini berbicara tentang dirinya seolah dia adalah barang yang bisa dibeli.
Dengan tangan yang gemetar, dia mencari tombol panggilan di samping ranjang dan menekannya dengan cepat.
Seorang perawat masuk beberapa detik kemudian, “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan sopan.
Savanah menoleh ke arah Roni dan Damian. Suaranya terdengar serak, namun penuh dengan kepedihan. “Tolong usir mereka berdua dari sini. Aku tidak ingin melihat mereka.”
"Savanah, " panggil Roni dengan suara tertekan.
"Pergilah, aku butuh istirahat."
Roni terdiam, perasaan bersalah menyelimutinya ketika menyadari betapa bodohnya kata-katanya barusan.
Sementara Damian hanya menghela napas panjang, memandang Savanah dengan sorot mata datar sebelum berbalik dan berjalan keluar dari ruangan itu, diikut
“Savanah... bagaimana kabarmu?” tanya Keisha dengan suara yang berusaha terdengar hangat, meski di baliknya jelas tersirat kebencian yang dalam.Dia meletakkan sebuah kerangjang buat ke meja samping ranjang pasien, "aku membeli buah, semoga cepat sembuh ya."Savanah memalingkan wajahnya dari Damian dan Keisha, mengabaikan kehadiran mereka. Dia hanya menatap Roni yang masih berdiri di samping tempat tidur, seolah ingin memastikan bahwa pria itu tetap berada di sisinya.Hal ini membuat wajah Damian terasa hangat, namun untuk saat ini, dia memilih untuk mengabaikan perasaannya sendiri.Keisha yang menyadari sikap dingin semua orang di ruangan itu, akhirnya mencoba memecah kesunyian dengan sapaan lembut, “hei, Savanah. Aku ikut Damian karena aku sangat khawatir dan ingin menjengukmu.”"Kamu sakit apa? Kok bisa pingsan? Jangan-jangan karena kamu dipecat dari bar Salvastone ya?" tanya Keisha dengan suara naik turun.Namun,
Saat berjalan di lorong rumah sakit, Damian tidak berkata apa-apa, pikirannya melayang pada kejadian di kamar tadi.Melihat kedekatan Roni dengan Savanah membuat dadanya terasa sesak. Rasa cemburu merayap perlahan, mengganggu logikanya.Sejak menikah, Damian merasa Savanah adalah miliknya, apa yang salah bila dia ingin tidur dengan istrinya sendiri? Bukankah mereka sudah disahkan secara hukum?Savanah selalu patuh, tapi sekarang semuanya terasa berbeda. Roni seolah mengambil tempat yang selama ini ia tempati di hati Savanah. Wanita itu juga sudah mulai berani melawan dan malah mengusirnya."Aku akan mengantarmu pulang lalu kembali ke sini,” kata Damian tiba-tiba, memecah keheningan. Dia melirik Keisha yang berjalan di sampingnya.Keisha bisa merasakan perubahan sikap Damian. Sejak mereka keluar dari kamar Savanah, Damian tampak gelisah, dan perhatiannya sepertinya lebih tertuju pada Savanah daripada dirinya.Keisha menahan rasa takut k
Tapi demi cintanya yang membara, Keisha siap mengambil risiko apa pun, bahkan jika harus menempuh jalan yang tidak sepenuhnya benar.Sementara itu, di lorong rumah sakit, Damian berdiri di depan pintu kamar Keisha dengan perasaan bercampur aduk.Ada rasa tanggung jawab untuk tetap berada di sisi Keisha, namun bayangan Savanah yang terluka terus menghantui pikirannya.Dia merasa terganggu. Akhirnya Damian melangkah menuju ke kamar Keisha.Keisha berbaring di tempat tidur rumah sakit dengan wajah pucat yang disengaja. Dia memandang Damian dengan tatapan penuh harap, seolah-olah membutuhkan kehadirannya lebih dari apa pun.Setiap gerak-geriknya sengaja diperhalus, setiap kata yang keluar dari bibirnya disertai dengan nada manja yang membuat Damian sulit menolak.“Damian, tolong tetap di sini, ya?” Keisha memohon dengan suara lemah, jari-jarinya menggapai tangan Damian. “Aku tidak ingin sendirian. Aku masih merasa pusing dan le
"Eh, mari tidak berbicara tentang pria yang tidak layak itu, bagaimana bila aku membawamu jalan-jalan di taman dan berjemur sinar matahari, itu tentunya akan bagus untuk pemulihan kesehatanmu," ucap Roni.Savanah mengangguk dan menyerahkan buket bunga untuk dibuka Roni.Roni menyusun bunga Lily ke dalam vas tadi, Savanah menarik napas dalam-dalam, mencium bunga yang mengeluarkan harum mengudara di sekitar ruangan."Terima kasih, Roni," ucapnya dengan tulus.Setelah memastikan kondisinya sudah cukup baik untuk bergerak, Roni mengajak Savanah keluar dari kamar dan berjalan-jalan di taman rumah sakit."Kamu bisa jalan? atau kita akan memakai kursi roda?"Savanah menggeleng pelan lalu memegang tangan Roni sebagai topangan. "Kita jalan saja, pelan-pelan.""Taman ini cukup tenang di pagi hari. Anginnya sejuk, bisa membantumu merasa lebih baik," kata Roni dengan nada lembut sambil mengandeng tangan Savanah yang menopang di lengannya. Perlaha
Damian terlihat ragu. "Keisha, kau masih harus banyak istirahat. Aku tidak yakin kau cukup kuat untuk berjalan-jalan.""Nanti kamu pingsan lagi," ucap Damian sambil menguap. Walau hatinya terasa panas melihat pemandangan itu, tetapi dia tetap berwajah dingin seolah-olah tidak peduli.Namun, Keisha tidak mau menyerah. Dia terus memohon dengan mata yang berkaca-kaca, menggunakan nada manja yang selalu berhasil membuat Damian luluh."Aku hanya ingin sebentar saja. Udara segar pasti akan membuatku merasa lebih baik. Tolong, Damian... Ayo kita ke taman seperti mereka."Damian akhirnya mengalah. "Baiklah, aku akan minta kursi roda untukmu. Tapi ingat, kita hanya sebentar saja.""Dan jangan lagi mencari pertengkaran. Kepalaku pusing sekali mengurus masalah kalian, para wanita," ucapnya sambil berdiri dengan malas.Keisha tersenyum lebar, puas dengan kemenangannya. "Terima kasih, Damian. Aku tahu kau selalu peduli padaku," katanya sambil bersiap-sia
Roni yang mendengar itu langsung berdiri dan melangkah maju, melindungi Savanah dari kata-kata tajam Keisha. "Cukup, Keisha," katanya dengan suara rendah tapi tegas. "Savanah tidak perlu mendengar omongan kejam seperti itu." Keisha mendengus, tidak mau kalah. "Hei, aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Roni. Kau sendiri pasti sadar kalau Savanah bukanlah pasangan yang tepat untuk Damian, mungkin tidak untukmu juga!" Roni menatap Keisha dengan tajam, kemarahan tampak di matanya. “Savanah tidak butuh penilaianmu untuk tahu siapa dia. Dan satu hal yang jelas, Damian bukan satu-satunya pria di dunia yang bisa memberikan kebahagiaan padanya.” Damian yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Keisha, cukup," katanya dengan suara tegas, meski ada kebimbangan di wajahnya. "Ini bukan waktunya untuk bertengkar." Keisha tidak menyerah begitu saja. Dia menatap Damian dengan mata penuh kemarahan dan rasa tidak puas. "Kenapa kau membelanya? Bukankah kau di sini bersamaku?" tanyanya den
Damian, yang mendengar semua itu dari jarak dekat, segera melangkah maju dan menahan lengan Roni. “Cukup, Roni! Aku tidak akan membiarkanmu membuat semua semakin buruk!” serunya, suaranya penuh dengan kemarahan dan rasa bersalah yang bercampur. "Kita suami istri dan semua itu masih dalam kewajaran!" Damian meninggikan suaranya. Keisha memandang Damian dengan tatapan penuh kebingungan dan rasa sakit. “Jadi... itu benar? Kau melakukan sesuatu yang buruk pada Savanah? Kalian... ” suaranya terdengar lirih, seperti tidak sanggup menerima kebenaran. Damian tidak bisa menjawab. Dia terdiam, wajahnya menunjukkan ekspresi bersalah yang tidak bisa dia sembunyikan. Tatapannya tertuju pada tanah, tidak mampu menatap Keisha maupun Savanah. Diamnya Damian hanya memperkuat kecurigaan Keisha, dan dia merasa dikhianati. Damian mengepalkan tangannya erat-erat. “Aku... aku tidak percaya ini,” kata Keisha, suaranya pecah saat dia mundur dengan kursi rodanya, menatap Damian dengan air mata mengalir. "
Tengah malam, suasana rumah sakit begitu sepi. Hanya suara alat medis yang berdetak pelan dan beberapa perawat yang berjaga di lorong. Di dalam kamar, Savanah tidur dengan napas yang teratur, wajahnya terlihat damai meskipun lelah. Pintu kamar terbuka pelan, dan Damian masuk dengan langkah hati-hati. Pandangannya langsung tertuju pada Savanah, yang sedang tertidur. Ia berdiri di samping ranjang, menatap wanita itu dengan tatapan dingin dan penuh determinasi. Tanpa menunggu lama, ia merunduk, membelai pipi Savanah dengan jari-jarinya. Savanah bergerak sedikit, kelopak matanya perlahan membuka, dan saat melihat Damian, ada kilasan keterkejutan di matanya. "Damian? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan suara serak, masih setengah mengantuk. Damian tidak menjawab langsung, ia menatap mata Savanah dengan tajam. "Aku hanya datang untuk mengambil kembali hakku sebagai suamimu," ucapnya datar. Ada nada tegas dalam suaranya, seakan-akan semua perasaan yang dulu ada di antara
Savanah tidak tahu harus menjawab apa. Ingin sekali dia yang menanyakan hal yang sama kepada Damian, tetapi dia sama sekali tidak berani.Dia juga tidak berani menerima hubungan lebih lanjut dengan Damian karena dia sudah merencanakan semuanya.Dia tidak ingin gagal!Dia tidak mau, sebuah pertanyaan tanpa arah dari Damian itu membuat dia berubah pikiran dan kembali terjebak dalam pernikahan palsu yang bahkan mertuanya, Jason, sudah melepaskannya.Malam bergairah? Itu hanya kebutuhan sesaat karena mereka sama-sama sudah dewasa. Savanah menegaskan perkataan itu berulang kali dalam hatinya.“Terima kasih,” bisik Damian. “Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa kamu.”Kata-kata itu membuat dada Savanah terasa berat. Ironis sekali, pikirnya. 'Dia mungkin berpikir aku adalah tempat berlabuh, tapi aku hanya tinggal menunggu waktu untuk pergi.' Savana
Savanah terkejut, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara lebih lanjut dengan menutup mulutnya sendiri. Pelukan Damian terasa kuat, seperti ada magnet yang membuatnya tak bisa melepaskan diri.“Jangan pergi,” gumam Damian dalam tidurnya. Suaranya berat tapi lembut, seperti seseorang yang berbicara dari dalam mimpi. Savanah bisa merasakan napas hangat pria itu di lehernya, membuat tubuhnya kaku.Savanah ingin menanyakan siapa yang dimaksud Damian, apakah Keisha, atau Sarah? Atau wanita lain? Damian selalu berganti pasangan, jadi Savanah tidak bisa menebak siapa yang sedang berada dalam mimpi pria itu saat ini.“Damian,” bisiknya, mencoba membangunkan pria itu dengan pelan. Namun Damian hanya merapatkan pelukannya, membuat Savanah semakin sulit untuk bergerak.Hati Savanah mulai berpacu kencang karena sepertinya pria itu tidak benar-benar sedang bermimpi."Damian,
Damian menghirup aroma rambut Savanah, aroma lembut dan segar yang terasa menenangkan. Ia memejamkan matanya, membiarkan semua beban hari itu memudar. Pelukan itu tidak berisi gairah, melainkan sebuah permintaan diam-diam untuk kedamaian.“Aku hanya ingin seperti ini sebentar,” bisik Damian, suaranya serak.Savanah tetap diam, membiarkan Damian memeluknya lebih erat. Ia merasakan dada pria itu naik turun dengan napas yang berat, dan hatinya tergerak sedikit. Namun, tidak boleh ada simpati, pikirnya. Ia tidak boleh melupakan rencana yang sudah ia susun sejak awal.Savanah menatap sekilas wajah Damian yang tertunduk di bahunya. Betapa lemahnya pria ini, pikirnya. Damian mungkin kuat di mata orang lain, tapi di balik itu, ia adalah seseorang yang tersesat dalam kekacauan hidupnya sendiri. Malam ini, Damian hanya mencari ketenangan—dan sayangnya, ia menemukannya di tempat yang salah.Ti
“Di ruang baca, Tuan Damian,” jawab pelayan itu. Damian mengangguk dan berjalan pelan ke arah yang ditunjukkan.Savanah duduk di sofa ruang baca dan memegang sebuah buku, malam itu dia mengenakan piyama satin berwarna krem dengan rambut yang dibiarkan tergerai, terlihat sangat menawan di mata Damian.Ia menatap Damian yang masuk tanpa berkata-kata, hanya mengangkat alisnya seolah bertanya mengapa pria itu datang."Mengapa kamu belum tidur, apakah sedang menungguku?" Damian sengaja menganggu Savanah dengan pertanyaan tersebut.Savanah tersenyum kecil lalu menjawab dengan enteng, "Kamu tidak biasanya pulang malam-malam begini, hmm, lebih tepatnya dini hari seperti ini, jadi bagaimana kamu mengatakan bahwa aku sedang menunggumu?” balasnya dengan santai sembari meletakkan buku yang tadi ia baca.Damian tidak menjawab langsung. Ia duduk di sofa di hadapan Savanah, menghela napas p
“Keisha, aku tidak akan meninggalkanmu. Tapi aku tidak bisa mengabaikan Sarah. Dia membutuhkan bantuan, dan aku merasa itu adalah tanggung jawabku," lanjut Damian.Keisha mengangguk kecil, menahan air matanya. “Aku tidak pernah melarangmu membantu. Tapi aku tidak ingin rasa bersalah itu menghancurkan hubungan kita.”"Aku cemburu, Damian." Kedua mata Keisha berkaca-kaca.Sarah hanya bisa memandang Damian dengan tatapan terluka. “Ternyata... Kamu tidak akan pernah benar-benar memahamiku, Damian,” katanya lirih. “Dan kamu tidak pernah benar-benar peduli.”Keisha merasa kesal mendengar perkataan Sarah. Dia lalu menggenggam tangan Damian erat-erat. “Ayo pulang. Sarah butuh dokter, bukan kamu.”Keisha menoleh ke arah Sarah dengan tatapan tajam lalu melanjutkan kalimatnya, "bila perlu, dokter penyakit mental!"Da
Damian tidak sanggup memberi penjelasan dan hanya bisa menepis tangan Sarah yang masih memeluknya dengan lembut."Lepaskan sebentar, aku akan menceritakannya kepadamu nanti," ucap Damian dengan lembut."Damian," panggil Sarah, masih merasa tidak tega dan berusaha merenggek dengan manja.Keisha memperhatikan adegan itu dengan perasaan bercampur aduk. Emosinya sudah naik sampai ke keningnya. Tentu saja dia cemburu!Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.Damian berdiri, tapi Sarah masih mencengkeram lengannya. Sarah segera menoleh ke arah Keisha dan bertanya, "Keisha? Siapa kamu bagi Damian? Jangan kamu merebutnya dariku lagi.Damian segera melepaskan tangan Sarah lalu memegang lengan Keisha, "Ini... ini bukan seperti yang kamu pikirkan," katanya buru-buru.Keisha menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya penuh kecurigaan. “Bukan seper
“Dari mana kamu mendapatkan ini?” tanya Keisha tajam, berusaha menutupi emosinya.Savanah mengangkat bahu. “Seorang teman yang bekerja di rumah sakit mengirimkannya padaku. Katanya, Damian berlari ke sana seperti pahlawan di film, mencoba menyelamatkan Sarah yang ingin melompat dari gedung. Oh, sangat dramatis, bukan?”"Aah, sepertinya saya harus memberitahumu bahwa kamu juga bisa melihatnya di internet. Hari ini cukup viral si Damian dan Sarah," lanjut Savanah lalu terkekeh pelan. Dia merasa sangat menikmati reaksi Keisha yang terkejut secara terus menerus.Keisha mengalihkan pandangannya dari layar, tapi gambar itu sudah terukir di pikirannya. Hatinya berkecamuk, antara percaya pada Damian atau membiarkan keraguan merasuki pikirannya. Ia bisa menyimpulkan bahwa Sarah menyukai Damian, bahkan mungkin lebih dari sekadar menyukai. Tapi Damian... apakah ia benar-benar akan mengkhianati cinta mereka?
"Nak, Damian. Tolonglah, jaga putri kami satu-satunya. Kalau pun kamu tidak mencintainya, tetaplah di sisinya sementara waktu. Bila kamu pergi, aku takut... dia akan berulah lagi seperti itu lagi dan anakku... hiks, sungguh malang nasibmu karena mencintai pria yang hanya memandang ke arah sepupuku."Damian hanya bisa mengangguk dan menatap Sarah yang sedang tidur dengan wajah datar. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan selain membiarkan semua suasana menjadi tenang kembali.Sementara di kantor Damian. Keisha duduk gelisah di sofa, menunggu kedatangan Damian dengan ponsel di tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Damian, tapi pria itu tidak menjawab. Ini bukan kebiasaan Damian. Biasanya, ia akan selalu mengabari atau bahkan datang menjemputnya pulang kerja, meski hujan sekalipun. Tapi malam ini, tidak ada pesan, tidak ada panggilan, hanya kesunyian yang membuat hati Keisha semakin kalut."Apaka
Beberapa orang yang menyaksikan ikut merasakan apa penderitaan Sarah dan menilai Damian hanya memandangnya rendahan lalu melukai wanita itu dengan pemberian uang yang cukup banyak.Damian menggeleng perlahan. “Sarah, aku tidak bisa memperbaiki semuanya dengan cara itu. Aku tahu aku telah salah. Aku tahu kecelakaan itu mengubah hidupmu, dan aku menyesal. Tapi aku tidak bisa memaksakan cinta.”"Kamu benar-benar mencintai sepupuku? Bahkan dengan masa lalunya yang buruk itu? Apa kurangnya diriku, Damian?""K-kamu, salah paham, aku..." Damian tidak sanggup meneruskan kata-katanya, dia melirik beberapa ponsel yang mengarah kepadanya. Jika dia menyebutkan nama Keisha saat ini, maka wanita yang tidak punya hubungan apa-apa itu akan kembali terlibat.“Kalau begitu, apa gunanya aku hidup?” tanya Sarah, matanya berkaca-kaca.“Aku bahkan tidak bisa berjalan seperti dulu. Aku