Tapi demi cintanya yang membara, Keisha siap mengambil risiko apa pun, bahkan jika harus menempuh jalan yang tidak sepenuhnya benar.
Sementara itu, di lorong rumah sakit, Damian berdiri di depan pintu kamar Keisha dengan perasaan bercampur aduk.
Ada rasa tanggung jawab untuk tetap berada di sisi Keisha, namun bayangan Savanah yang terluka terus menghantui pikirannya.
Dia merasa terganggu. Akhirnya Damian melangkah menuju ke kamar Keisha.
Keisha berbaring di tempat tidur rumah sakit dengan wajah pucat yang disengaja. Dia memandang Damian dengan tatapan penuh harap, seolah-olah membutuhkan kehadirannya lebih dari apa pun.
Setiap gerak-geriknya sengaja diperhalus, setiap kata yang keluar dari bibirnya disertai dengan nada manja yang membuat Damian sulit menolak.
“Damian, tolong tetap di sini, ya?” Keisha memohon dengan suara lemah, jari-jarinya menggapai tangan Damian. “Aku tidak ingin sendirian. Aku masih merasa pusing dan le
"Eh, mari tidak berbicara tentang pria yang tidak layak itu, bagaimana bila aku membawamu jalan-jalan di taman dan berjemur sinar matahari, itu tentunya akan bagus untuk pemulihan kesehatanmu," ucap Roni.Savanah mengangguk dan menyerahkan buket bunga untuk dibuka Roni.Roni menyusun bunga Lily ke dalam vas tadi, Savanah menarik napas dalam-dalam, mencium bunga yang mengeluarkan harum mengudara di sekitar ruangan."Terima kasih, Roni," ucapnya dengan tulus.Setelah memastikan kondisinya sudah cukup baik untuk bergerak, Roni mengajak Savanah keluar dari kamar dan berjalan-jalan di taman rumah sakit."Kamu bisa jalan? atau kita akan memakai kursi roda?"Savanah menggeleng pelan lalu memegang tangan Roni sebagai topangan. "Kita jalan saja, pelan-pelan.""Taman ini cukup tenang di pagi hari. Anginnya sejuk, bisa membantumu merasa lebih baik," kata Roni dengan nada lembut sambil mengandeng tangan Savanah yang menopang di lengannya. Perlaha
Damian terlihat ragu. "Keisha, kau masih harus banyak istirahat. Aku tidak yakin kau cukup kuat untuk berjalan-jalan.""Nanti kamu pingsan lagi," ucap Damian sambil menguap. Walau hatinya terasa panas melihat pemandangan itu, tetapi dia tetap berwajah dingin seolah-olah tidak peduli.Namun, Keisha tidak mau menyerah. Dia terus memohon dengan mata yang berkaca-kaca, menggunakan nada manja yang selalu berhasil membuat Damian luluh."Aku hanya ingin sebentar saja. Udara segar pasti akan membuatku merasa lebih baik. Tolong, Damian... Ayo kita ke taman seperti mereka."Damian akhirnya mengalah. "Baiklah, aku akan minta kursi roda untukmu. Tapi ingat, kita hanya sebentar saja.""Dan jangan lagi mencari pertengkaran. Kepalaku pusing sekali mengurus masalah kalian, para wanita," ucapnya sambil berdiri dengan malas.Keisha tersenyum lebar, puas dengan kemenangannya. "Terima kasih, Damian. Aku tahu kau selalu peduli padaku," katanya sambil bersiap-sia
Roni yang mendengar itu langsung berdiri dan melangkah maju, melindungi Savanah dari kata-kata tajam Keisha. "Cukup, Keisha," katanya dengan suara rendah tapi tegas. "Savanah tidak perlu mendengar omongan kejam seperti itu." Keisha mendengus, tidak mau kalah. "Hei, aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Roni. Kau sendiri pasti sadar kalau Savanah bukanlah pasangan yang tepat untuk Damian, mungkin tidak untukmu juga!" Roni menatap Keisha dengan tajam, kemarahan tampak di matanya. “Savanah tidak butuh penilaianmu untuk tahu siapa dia. Dan satu hal yang jelas, Damian bukan satu-satunya pria di dunia yang bisa memberikan kebahagiaan padanya.” Damian yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Keisha, cukup," katanya dengan suara tegas, meski ada kebimbangan di wajahnya. "Ini bukan waktunya untuk bertengkar." Keisha tidak menyerah begitu saja. Dia menatap Damian dengan mata penuh kemarahan dan rasa tidak puas. "Kenapa kau membelanya? Bukankah kau di sini bersamaku?" tanyanya den
Damian, yang mendengar semua itu dari jarak dekat, segera melangkah maju dan menahan lengan Roni. “Cukup, Roni! Aku tidak akan membiarkanmu membuat semua semakin buruk!” serunya, suaranya penuh dengan kemarahan dan rasa bersalah yang bercampur. "Kita suami istri dan semua itu masih dalam kewajaran!" Damian meninggikan suaranya. Keisha memandang Damian dengan tatapan penuh kebingungan dan rasa sakit. “Jadi... itu benar? Kau melakukan sesuatu yang buruk pada Savanah? Kalian... ” suaranya terdengar lirih, seperti tidak sanggup menerima kebenaran. Damian tidak bisa menjawab. Dia terdiam, wajahnya menunjukkan ekspresi bersalah yang tidak bisa dia sembunyikan. Tatapannya tertuju pada tanah, tidak mampu menatap Keisha maupun Savanah. Diamnya Damian hanya memperkuat kecurigaan Keisha, dan dia merasa dikhianati. Damian mengepalkan tangannya erat-erat. “Aku... aku tidak percaya ini,” kata Keisha, suaranya pecah saat dia mundur dengan kursi rodanya, menatap Damian dengan air mata mengalir. "
Tengah malam, suasana rumah sakit begitu sepi. Hanya suara alat medis yang berdetak pelan dan beberapa perawat yang berjaga di lorong. Di dalam kamar, Savanah tidur dengan napas yang teratur, wajahnya terlihat damai meskipun lelah. Pintu kamar terbuka pelan, dan Damian masuk dengan langkah hati-hati. Pandangannya langsung tertuju pada Savanah, yang sedang tertidur. Ia berdiri di samping ranjang, menatap wanita itu dengan tatapan dingin dan penuh determinasi. Tanpa menunggu lama, ia merunduk, membelai pipi Savanah dengan jari-jarinya. Savanah bergerak sedikit, kelopak matanya perlahan membuka, dan saat melihat Damian, ada kilasan keterkejutan di matanya. "Damian? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan suara serak, masih setengah mengantuk. Damian tidak menjawab langsung, ia menatap mata Savanah dengan tajam. "Aku hanya datang untuk mengambil kembali hakku sebagai suamimu," ucapnya datar. Ada nada tegas dalam suaranya, seakan-akan semua perasaan yang dulu ada di antara
Tatapan Roni tertuju pada lengan Damian yang erat memeluk Savanah, serta kemeja Savanah yang tidak teratur. Savanah akhirnya berbicara, suaranya lirih, hampir seperti bisikan. "Roni... aku..." Namun sebelum Savanah bisa melanjutkan, Damian menyela, "Roni, bukankah seharusnya kamu tahu batasanmu? Dia istriku. Apakah kamu sudah sadar posisimu?" Senyum Damian melebar, matanya menatap Roni dengan penuh rasa puas. "Oh, dan ngomong-ngomong, kami bahkan mengulang malam pertama pernikahan kami semalam. Malam yang membara, bisa kubilang." Kata-kata Damian menancap dalam di hati Roni, seakan ada pedang yang menyayatnya. Ia mengepalkan tangan di samping tubuhnya, berusaha keras menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang akan memperburuk keadaan. "Aku hanya ingin memastikan Savanah baik-baik saja," katanya akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Aku tidak tahu bahwa…" "Bahwa apa? Bahwa dia sudah kembali padaku?" Damian tertawa kecil. "Kau terlalu naif, Roni. Hubunganmu dengan Savanah ini.
Dua jam berlalu dan Damian belum juga muncul. Savanah menunggu dengan sabar. Dia berdiri di tepi tempat tidur, mengenakan pakaian rapi yang sudah disiapkannya sejak pagi. Hari ini adalah hari penting; persidangan ibunya akan berlangsung, dan Damian sudah berjanji akan menjemputnya. Savanah menatap jam tangan berkali-kali, tetapi waktu terus berlalu, dan Damian belum juga muncul. "Di mana dia?" gumam Savanah dengan nada gusar. Dia mencoba menelepon Damian beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban. Pesan singkat yang dikirimkannya juga belum dibaca. Hatinya mulai gelisah, tetapi dia berusaha berpikir positif. Mungkin Damian sedang terjebak kemacetan atau ada urusan mendadak yang harus diselesaikan. Namun, semakin lama dia menunggu, rasa khawatir dan kecewa itu makin dalam. Savanah tidak tahu, di kamar rumah sakit yang lain, Damian sedang memeluk Keisha dengan penuh kasih sayang. "Saya akan pergi mengurus sesuatu sebentar," pamit Damian. "Sayang, jangan pergi dulu," rengek Keisha sa
Sementara itu, di apartemen, Damian masih bersama Keisha. Keisha menuntut keluar dari Rumah Sakit pada saat tahu bahwa Savanah sudah duluan keluar dari sana. Dengan manja, dia berhasil membuat Damian membawanya ke apartemen lain milik Damian. Mereka tengah menikmati makan siang yang mewah di balkon, sambil tertawa dan bercanda seolah-olah tidak ada masalah yang menunggu untuk dihadapi. Keisha menyuapkan sepotong stroberi ke mulut Damian dan tersenyum manis. "Lihat, bukankah ini lebih baik daripada duduk di ruang sidang yang membosankan?" bisiknya dengan penuh godaan. Damian hanya tertawa kecil dan mengangguk. "Kamu benar," jawabnya, meskipun jauh di dalam hatinya, ada sedikit rasa bersalah yang mengintip. Namun, perasaan itu segera dia abaikan ketika Keisha mencium pipinya dan mengalihkan perhatiannya kembali kepada saat-saat yang menyenangkan ini. Di ruang sidang, persidangan akhirnya berakhir untuk hari itu. Hakim memutuskan untuk menunda putusan hingga minggu depan, dan para p
Sarah segera menjawab, "sayang. Tentu sayang sekali. Tapi aku sedikit panik karena Damian, kalian masih ingat pria tampan yang menolongku saat itu, ahhh... Dia begitu tampan dan aku begitu mencintainya...""Apakah dia mencintaimu?" tanya salah sebuah komentar yang masuk ke layar ponsel Sarah."Seharusnya dia mencintaiku, tetapi belakangan ini, dia berubah."Sarah mengusap pipinya dengan lembut. Kedua kelopak matanya terasa sangat perih saat ini. Sehingga air matanya semakin terlihat deras.Karena itu juga, simpati dari para penonton yang menyaksikan acara siaran langsung itu semakin bersimpati dan jumlah tayang yang mengikuti aku Sarah menjadi semakin banyak.“Aku tidak tahu kenapa Damian bisa memilih seseorang seperti dia,” ujarnya, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku yang mencintainya dengan tulus, malah diabaikan. Sedangkan Savanah…,” Sarah menarik napas panjang, memanfaatkan jeda untuk menambah drama
Sebuah desiran halus merambat dalam hati Sarah, "lumayan, Dokter.""Saya akan memeriksa Anda sebentar ya."Angeli dan Robert mundur beberapa langkah untuk memberi ruang bagi Dokter tampan itu agar bisa memeriksa dan mencatat laporan."Bagaimana keadaannya, Dokter?""Tidak masalah, kesehatannya sudah pulih dengan baik, punggungnya hanya membutuhkan beberapa bulan fisioterapi, tetapi sejauh ini, semua sudah berjalan dengan baik," sahut sang dokter lalu menoleh ke arah Sarah."Saya akan meresepkan vitamin untukmu besok. Kamu sudah boleh beristirahat di rumah dan kembali dua hari lagi untuk melakukan fisioterapi," lanjutnya."M-maksud Dokter, saya sudah boleh pulang?" Sarah merasa mulai gelisah, dia tidak ingin pulang. Dengan berada di Rumah Sakit, dia memiliki alasan untuk merengek kepada Damian."Ya, bukankah hal itu yang ditunggu semua pasien? Anda sudah terlihat sehat dan boleh pulang." Dokter itu mengernyitkan alisnya karena merasa a
Keisha menarik tangannya dengan sedikit jijik, karena status wanita yang berbaring di ranjang itu tentu saja lebih rendah daripadanya yang hidup dalam kemewahan.Sarah tersenyum, dalam hatinya dia menyakinkan bahwa setelah 20 miliar di tangannya, mungkin dia bisa memanfaatkan uang yang nilainya fantastis itu untuk membuat Keisha bertekuk lutut suatu hari."Dan bantu aku ke ranjang Damian, setidaknya aku ingin tubuh pria itu walau sekali saja."Mendengar permintaan Sarah, Keisha segera menutup mulut dengan sebelah tangannya karena tiba-tiba ingin muntah lagi."A-aku benar-benar butuh obat maag," ucap Keisha dengan wajah yang mulai pucat.""Baiklah, silakan pergi. Saya mengantuk." Sarah segera memundurkan pantatnya dan menarik selimut. Dia tidak ingin berbicara lebih lanjut dengan Keisha lagi.Keisha keluar dari rumah sakit dengan perasaan kacau. Ia tidak menemukan Damian, t
"Uhm, aku belum makan siang dan bau makanan yang kamu makan itu," ucap Keisha sambil melirik mangkuk sisa bubur dengan ayam."Ayam, bubur ayam bukan? Aku membenci baunya," lanjut Keisha agar Sarah tidak mencurigai apa pun."Kamu pernah bermalam dengan Damian?" tanya Sarah mulai panik.Keisha mengerutkan dahinya, mencerna dengan baik apa yang sedang disampaikan oleh wanita itu. Dia tidak ingin terjebak sama sekali karena dia tahu, Sarah juga menginginkan Damian."Tentu saja, apa kamu belum pernah tidur dengannya?" balas Keisha sembari menutup hidungnya lalu berjalan menuju ke kaca jendela kemudian membuka jendela, menganti sirkulasi udara di dalam kamar itu.Entah kenapa dia merasa mual.Sarah menundukkan kepalanya dan berkata dengan suara kecil, "aku ingin sekali berada di ranjangnya."Keisha kembali menatap wanita itu dengan sinis. Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang seharusnya menjadi foku
Namun, Keisha tidak menyerah. Ia terus mengendarai mobilnya, menyusuri jalanan sambil menebak arah Damian. Hingga akhirnya, ia melihat sebuah rumah sakit di mana Sarah berada."Arah yang sama!" seru Keisha dengan wajah yang mulai memanas.Nalurinya mengatakan untuk berhenti di sana.“Dia pasti di sini,” gumam Keisha sambil memarkirkan mobilnya.Beberapa saat kemudian, dengan langkah cepat, Keisha masuk ke dalam rumah sakit. Ia menyapu pandangannya ke lobi yang ramai, mencoba mencari sosok Damian. Tidak ada. Tetapi di sudut pikirannya, ia yakin Damian ada di sini, mungkin sedang bersama Sarah.Ia berjalan ke arah resepsionis, tetapi sebelum sempat bertanya, ia melihat seorang wanita berambut cokelat panjang di dekat lift. Dari kejauhan, wanita itu memang memiliki kemiripan dengan Sarah.Ketahuan! pikir Keisha, dengan perasaan yang bercampur antara marah dan lega. Ia berjalan
Tiba-tiba, pikirannya melayang pada Savanah. Wajah istrinya yang tenang, senyumnya yang samar, dan caranya menangani segala sesuatu tanpa banyak bicara. Tidak ada tuntutan, tidak ada drama—hanya kehadiran yang diam-diam membuat Damian merasa damai.Tubuhnya yang lembut dan rintihannya yang membuat Damian merasa sempurna sebagai seorang pria.Kenapa aku merindukan Savanah? pikir Damian. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba menyangkal perasaan itu.Damian kembali mengecek data-data perusahaan yang akan melakukan kerjasama dengan mengalihkan fokusnya ke layar komputer di hadapannya.Namun semakiin ia melawan, semakin kuat keinginannya untuk bertemu dengan wanita itu.Damian akhirnya mengambil ponselnya kembali, menghidupkannya. Pesan berutun masuk, tentu saja dari Sarah, tetapi pria itu memilih mengabaikan pesan dari Sarah, dan menghubungi Savanah.Setelah beberapa dering, suara lembut istrinya ter
"Kenapa aku harus peduli? Semua ini palsu!" serunya sekali lagi pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa tiga hari lagi, semua ini akan selesai. Ibunya akan bebas dari penjara, dan ia akan meninggalkan kehidupan yang penuh kepalsuan ini. Tidak akan ada lagi peran istri yang harus ia jalani, tidak ada lagi malam-malam penuh kewajiban.Namun, meski ia meyakinkan dirinya bahwa ia tidak peduli, ia tetap tidak bisa menahan senyum kecil di bibirnya. Damian, dengan segala kebingungan dan rasa bersalahnya, tetap tahu bagaimana membuatnya merasa istimewa, meski untuk alasan yang salah.Savanah tidak bisa menolak pesona yang ditawarkan pria tampan dengan garis otot yang keras itu. Pikirannya meronta dan menjerit tetapi tubuhnya ikut terbawa arus permainan Damian di atas ranjang dan karena itu, dia menjadi kesal setengah mati!Dia meneguk habis seluruh isi gelas jus jeruk dan melahap telur dadar dengan gurihnya.Savanah akhirnya bangkit dari kursi sesudah menghabiskan sarapan istimewa yang disiapkan D
Savanah tidak tahu harus menjawab apa. Ingin sekali dia yang menanyakan hal yang sama kepada Damian, tetapi dia sama sekali tidak berani.Dia juga tidak berani menerima hubungan lebih lanjut dengan Damian karena dia sudah merencanakan semuanya.Dia tidak ingin gagal!Dia tidak mau, sebuah pertanyaan tanpa arah dari Damian itu membuat dia berubah pikiran dan kembali terjebak dalam pernikahan palsu yang bahkan mertuanya, Jason, sudah melepaskannya.Malam bergairah? Itu hanya kebutuhan sesaat karena mereka sama-sama sudah dewasa. Savanah menegaskan perkataan itu berulang kali dalam hatinya.“Terima kasih,” bisik Damian. “Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa kamu.”Kata-kata itu membuat dada Savanah terasa berat. Ironis sekali, pikirnya. 'Dia mungkin berpikir aku adalah tempat berlabuh, tapi aku hanya tinggal menunggu waktu untuk pergi.' Savana
Savanah terkejut, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara lebih lanjut dengan menutup mulutnya sendiri. Pelukan Damian terasa kuat, seperti ada magnet yang membuatnya tak bisa melepaskan diri.“Jangan pergi,” gumam Damian dalam tidurnya. Suaranya berat tapi lembut, seperti seseorang yang berbicara dari dalam mimpi. Savanah bisa merasakan napas hangat pria itu di lehernya, membuat tubuhnya kaku.Savanah ingin menanyakan siapa yang dimaksud Damian, apakah Keisha, atau Sarah? Atau wanita lain? Damian selalu berganti pasangan, jadi Savanah tidak bisa menebak siapa yang sedang berada dalam mimpi pria itu saat ini.“Damian,” bisiknya, mencoba membangunkan pria itu dengan pelan. Namun Damian hanya merapatkan pelukannya, membuat Savanah semakin sulit untuk bergerak.Hati Savanah mulai berpacu kencang karena sepertinya pria itu tidak benar-benar sedang bermimpi."Damian,