Savanah tersentak bangun, matanya masih sayu dan wajahnya pucat karena baru saja terjaga dari tidur. Ia menatap Damian dengan bingung dan sedikit takut. “A-ada apa?” tanyanya dengan suara parau dan tubuh yang gemetar.
Ia tahu bahwa ketika Damian pulang dalam keadaan seperti ini, tidak akan ada hal baik yang menantinya.
Damian hanya memandangnya dengan tatapan tajam, seperti serigala yang mengintai mangsanya. Ia mulai membuka kancing pada kemejanya dengan gerakan cepat, melepaskannya satu per satu seakan ingin membuang amarah yang membara di dadanya.
“Isi air di bath tub! Aku mau mandi!” perintahnya dengan nada geram. “Dan jangan lama-lama! Aku tidak punya waktu untuk menunggu!”
Savanah mengangguk cepat, berusaha untuk tidak membuat Damian semakin marah. Ia segera turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur itu.
Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, ia membuka keran bat
Savanah mengangguk lemah, merasa sakit oleh kata-kata itu. Ia telah tinggal bersama Damian selama seminggu terakhir, selalu menurut dan melakukan semua yang diminta olehnya.Namun, ia sadar bahwa ia tidak pernah benar-benar dianggap lebih dari sekadar pelayan atau bahkan boneka.Kata-kata Damian yang penuh penghinaan itu telah menjadi sesuatu yang biasa ia dengar, tetapi malam ini, semuanya terasa lebih menyakitkan.Mungkin karena ia tahu, dalam hati, bahwa Damian benar-benar mencintai Keisha dan hubungan mereka benar-benar di atas kertas saja. Namun, dia harus bertahan, setidaknya sampai Ibunya dibebaskan dari penjara sesuai dengan janji Ayah Damian kepadanya.“Baik, aku mengerti,” jawabnya pelan, kemudian berbalik untuk meninggalkan kamar mandi.Namun, sebelum ia sempat keluar dari ruangan itu, Damian memanggilnya kembali. “Dan satu hal lagi,” katanya sambil mengusap wajah dengan handuk. “Kalau kamu melihat Keisha at
Keesokkan paginya, Savanah terbangun dengan tubuh yang terasa remuk. Seluruh badannya nyeri, terutama di beberapa bagian yang memar yang sengaja digigit oleh Damian dalam melampiaskan amarahnya.Savanah berusaha duduk di atas ranjang, menahan desis kesakitan saat ia menggerakkan tubuhnya. Damian sudah pergi bekerja, dan ruangan itu terasa sunyi, tetapi bukannya memberikan rasa lega, keheningan itu justru membuat Savanah merasa semakin tertekan.Dua hari lagi, persidangan ibunya akan dilaksanakan. Setidaknya dia harus bertahan sampai hari itu tiba.Ia menyeret kakinya menuju kamar mandi. Begitu melihat bayangan dirinya di cermin, Savanah terkejut. Kedua matanya bengkak akibat menangis semalaman, dan ada beberapa memar di lengan serta bagian tubuh lainnya yang terasa nyeri setiap kali tersentuh."Mengapa dia suka mengigitku?" desis Savanah menahan nyeri.Dengan hati-hati, ia membersihkan dirinya dan mencoba menghilangkan bekas air mata yang masih ter
Dengan tubuh yang masih terasa nyeri, perut yang kosong dan kepala yang dipenuhi berbagai pikiran, Savanah mencoba menjalani harinya seperti biasa.Setelah menguatkan dirinya sendiri, ia mengembuskan napasnya perlahan dan bersiap berangkat ke tempat kerjanya walau perutnya tidak terisi apa-apa, dia segera menuju ke bar Salvastone dengan menaiki bus.Bekerja di bar itu bukanlah sesuatu yang ia sukai, tetapi setidaknya itu memberinya sedikit pelarian dari kehidupan pribadinya yang kacau.Kartu tipis yang diberikan Tuan Jason tidak pernah dipakainya lagi, hanya sekali itu saja. Dia juga tidak tertarik untuk menghabiskan lebih banyak uang dari mertuanya.Saat ia tiba di depan bar Salvastone, langkahnya terhenti. Pintu depan bar yang biasanya terbuka lebar dan menyambut para pelanggan kini tertutup rapat.Ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba menyelimutinya, tetapi ia mencoba menepisnya dan melangkah maju untuk masuk ke dalam. Saat itulah seorang pria
Saat mengemasi barang-barangnya, Savanah tidak bisa menahan perasaan marah dan sedih yang membuncah dalam dadanya. Ia merasa ditelanjangi, tidak hanya dari pekerjaannya, tetapi juga dari harga dirinya.Pekerjaan itu mungkin bukan yang terbaik, tetapi itu memberinya semacam rutinitas dan sedikit rasa kebebasan dari dunia Damian yang mengikat.Walau dia tahu, sejak menjadi Nyonya Muda Pangestu, dia mungkin tidak membutuhkan pekerjaan, tetapi apakah itu berarti kehidupannya akan semakin terikat di dalam dan dia hanya akan menjadi boneka yang digerakkan semaunya oleh Damian?Savanah meraba meja di mana dia ditindah di malam nahas itu dan semua hal buruk terjadi secara beruntun sesudah itu. Seandainya hal itu tidak pernah terjadi, maka Damian mungkin bersikap lebih baik padanya karena mengetahui bahwa dia adalah wanita yang masih suci."Semuanya sudah menjadi bubur," isak Savanah dalam hening.Ketika ia keluar dari bar untuk terakhir kalinya, ia berhent
Saat Savanah sedang berbicara dengan Bu Mirna, ia tidak sengaja melihat sebuah papan kecil yang terpajang di sudut warung, bertuliskan “Dibutuhkan Pelayan.”Tulisan itu membuat Savanah tertegun. Pikirannya segera tergerak, mungkin inilah kesempatan yang ia butuhkan untuk sementara waktu.“Bu Mirna, saya lihat ada lowongan pekerjaan di sini. Apakah Ibu masih mencari pelayan?” tanyanya penuh harap.Bu Mirna tersenyum tipis dan mengangguk. “Iya, memang lagi butuh satu orang lagi. Warung kecil begini, banyak yang harus dikerjakan, dan saya mulai kewalahan. Kamu tertarik, Savanah?”Savanah tidak perlu berpikir dua kali. “Iya, Bu. Saya sangat membutuhkan pekerjaan saat ini,” jawabnya cepat.Pekerjaan sebagai pelayan di warung sederhana ini, gajinya tentu tidak sama dengan bekerja di bar, tetapi ia tidak punya pilihan. Ia membutuhkan penghasilan dan, lebih penting lagi, ia harus bisa mandiri tanpa selalu ter
Sebelum Savanah sempat menjawab atau membela diri, Damian memotong dengan nada tinggi yang penuh kemarahan. “Pulang sekarang dan tunggu aku di rumah! Kalau tidak, aku pastikan warung ini akan lenyap besok pagi,” bentaknya, tatapannya tajam menusuk Bu Mirna yang berdiri tidak jauh dari mereka.Bu Mirna tampak ketakutan. Savanah bisa melihat bahwa wajah wanita paruh baya itu berubah pucat dan tangannya mulai gemetar.Damian jelas-jelas mengancam warung sederhana yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan Bu Mirna, dan itu cukup untuk membuat wanita itu segera mengambil tindakan.“Savanah, maafkan aku…” ucap Bu Mirna dengan suara pelan, penuh penyesalan. “Tapi aku tidak bisa mengambil risiko ini. Warung ini adalah satu-satunya mata pencaharian keluargaku. Aku harus mengusirmu, dan kamu tidak boleh bekerja di sini lagi.”Savanah menundukkan kepalanya, merasa sangat terhina. Hanya beberapa menit yang lalu, ia
Savanah menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan yang membuncah. “Aku hanya… ingin mencari pekerjaan, Damian. Aku tidak mau terus bergantung padamu,” jawabnya pelan, berusaha agar suaranya tetap tenang meskipun hatinya berdegup kencang."Bukankah kamu menyuruh Manager untuk memecatku? Apa yang kau inginkan Damian? Bukankah hubungan kita hanya sebatas kertas dan kau tidak ingin aku bergantung padamu selamanya, bukan?"Savanah melontarkan isi hatinya dengan berapi-api.Damian tertawa sinis, tapi tidak ada kehangatan di balik tawanya. “Bergantung padaku? Kau pikir kau bisa hidup mandiri tanpa bantuan dariku? Lihat dirimu, Savanah. Kau bahkan tidak bisa mempertahankan pekerjaan rendahan itu,” ejeknya dengan sarkastis.“Aku tidak suka kau mencoba-coba bertindak di luar kendaliku. Ingat posisimu.”Savanah mengepalkan tangannya di atas pangkuan. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan hanya karena marah, tetapi juga
Ia takut bahwa tidak ada yang akan mempercayainya atau malah menganggapnya sebagai penyebab masalah. Tapi sekarang, duduk berhadapan dengan Jason yang memandangnya dengan serius, Savanah merasa bahwa mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mengungkapkan kebenaran.“Damian… dia sedang mengendalikan hidupku,” kata Savanah dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Aku tidak bisa membuat keputusan sendiri tanpa persetujuannya, dan setiap kali aku mencoba melakukan sesuatu untuk diriku sendiri, dia selalu marah. Seperti hari ini... Aku hanya mencoba mencari pekerjaan, tapi dia menghancurkan kesempatan itu.”Jason tidak segera merespons, wajahnya tetap tenang tapi matanya menunjukkan perhatian yang dalam."Mencari pekerjaan?""Jadi kamu tidak bekerja di bar itu lagi?" tanya Jason dengan was-was.Savanah mengangguk dan hendak bercerita lebih banyak tentang ketidakadilan yang dia alami, tetapi lidahnya terasa kelu.
Savanah tidak tahu harus menjawab apa. Ingin sekali dia yang menanyakan hal yang sama kepada Damian, tetapi dia sama sekali tidak berani.Dia juga tidak berani menerima hubungan lebih lanjut dengan Damian karena dia sudah merencanakan semuanya.Dia tidak ingin gagal!Dia tidak mau, sebuah pertanyaan tanpa arah dari Damian itu membuat dia berubah pikiran dan kembali terjebak dalam pernikahan palsu yang bahkan mertuanya, Jason, sudah melepaskannya.Malam bergairah? Itu hanya kebutuhan sesaat karena mereka sama-sama sudah dewasa. Savanah menegaskan perkataan itu berulang kali dalam hatinya.“Terima kasih,” bisik Damian. “Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa kamu.”Kata-kata itu membuat dada Savanah terasa berat. Ironis sekali, pikirnya. 'Dia mungkin berpikir aku adalah tempat berlabuh, tapi aku hanya tinggal menunggu waktu untuk pergi.' Savana
Savanah terkejut, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara lebih lanjut dengan menutup mulutnya sendiri. Pelukan Damian terasa kuat, seperti ada magnet yang membuatnya tak bisa melepaskan diri.“Jangan pergi,” gumam Damian dalam tidurnya. Suaranya berat tapi lembut, seperti seseorang yang berbicara dari dalam mimpi. Savanah bisa merasakan napas hangat pria itu di lehernya, membuat tubuhnya kaku.Savanah ingin menanyakan siapa yang dimaksud Damian, apakah Keisha, atau Sarah? Atau wanita lain? Damian selalu berganti pasangan, jadi Savanah tidak bisa menebak siapa yang sedang berada dalam mimpi pria itu saat ini.“Damian,” bisiknya, mencoba membangunkan pria itu dengan pelan. Namun Damian hanya merapatkan pelukannya, membuat Savanah semakin sulit untuk bergerak.Hati Savanah mulai berpacu kencang karena sepertinya pria itu tidak benar-benar sedang bermimpi."Damian,
Damian menghirup aroma rambut Savanah, aroma lembut dan segar yang terasa menenangkan. Ia memejamkan matanya, membiarkan semua beban hari itu memudar. Pelukan itu tidak berisi gairah, melainkan sebuah permintaan diam-diam untuk kedamaian.“Aku hanya ingin seperti ini sebentar,” bisik Damian, suaranya serak.Savanah tetap diam, membiarkan Damian memeluknya lebih erat. Ia merasakan dada pria itu naik turun dengan napas yang berat, dan hatinya tergerak sedikit. Namun, tidak boleh ada simpati, pikirnya. Ia tidak boleh melupakan rencana yang sudah ia susun sejak awal.Savanah menatap sekilas wajah Damian yang tertunduk di bahunya. Betapa lemahnya pria ini, pikirnya. Damian mungkin kuat di mata orang lain, tapi di balik itu, ia adalah seseorang yang tersesat dalam kekacauan hidupnya sendiri. Malam ini, Damian hanya mencari ketenangan—dan sayangnya, ia menemukannya di tempat yang salah.Ti
“Di ruang baca, Tuan Damian,” jawab pelayan itu. Damian mengangguk dan berjalan pelan ke arah yang ditunjukkan.Savanah duduk di sofa ruang baca dan memegang sebuah buku, malam itu dia mengenakan piyama satin berwarna krem dengan rambut yang dibiarkan tergerai, terlihat sangat menawan di mata Damian.Ia menatap Damian yang masuk tanpa berkata-kata, hanya mengangkat alisnya seolah bertanya mengapa pria itu datang."Mengapa kamu belum tidur, apakah sedang menungguku?" Damian sengaja menganggu Savanah dengan pertanyaan tersebut.Savanah tersenyum kecil lalu menjawab dengan enteng, "Kamu tidak biasanya pulang malam-malam begini, hmm, lebih tepatnya dini hari seperti ini, jadi bagaimana kamu mengatakan bahwa aku sedang menunggumu?” balasnya dengan santai sembari meletakkan buku yang tadi ia baca.Damian tidak menjawab langsung. Ia duduk di sofa di hadapan Savanah, menghela napas p
“Keisha, aku tidak akan meninggalkanmu. Tapi aku tidak bisa mengabaikan Sarah. Dia membutuhkan bantuan, dan aku merasa itu adalah tanggung jawabku," lanjut Damian.Keisha mengangguk kecil, menahan air matanya. “Aku tidak pernah melarangmu membantu. Tapi aku tidak ingin rasa bersalah itu menghancurkan hubungan kita.”"Aku cemburu, Damian." Kedua mata Keisha berkaca-kaca.Sarah hanya bisa memandang Damian dengan tatapan terluka. “Ternyata... Kamu tidak akan pernah benar-benar memahamiku, Damian,” katanya lirih. “Dan kamu tidak pernah benar-benar peduli.”Keisha merasa kesal mendengar perkataan Sarah. Dia lalu menggenggam tangan Damian erat-erat. “Ayo pulang. Sarah butuh dokter, bukan kamu.”Keisha menoleh ke arah Sarah dengan tatapan tajam lalu melanjutkan kalimatnya, "bila perlu, dokter penyakit mental!"Da
Damian tidak sanggup memberi penjelasan dan hanya bisa menepis tangan Sarah yang masih memeluknya dengan lembut."Lepaskan sebentar, aku akan menceritakannya kepadamu nanti," ucap Damian dengan lembut."Damian," panggil Sarah, masih merasa tidak tega dan berusaha merenggek dengan manja.Keisha memperhatikan adegan itu dengan perasaan bercampur aduk. Emosinya sudah naik sampai ke keningnya. Tentu saja dia cemburu!Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.Damian berdiri, tapi Sarah masih mencengkeram lengannya. Sarah segera menoleh ke arah Keisha dan bertanya, "Keisha? Siapa kamu bagi Damian? Jangan kamu merebutnya dariku lagi.Damian segera melepaskan tangan Sarah lalu memegang lengan Keisha, "Ini... ini bukan seperti yang kamu pikirkan," katanya buru-buru.Keisha menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya penuh kecurigaan. “Bukan seper
“Dari mana kamu mendapatkan ini?” tanya Keisha tajam, berusaha menutupi emosinya.Savanah mengangkat bahu. “Seorang teman yang bekerja di rumah sakit mengirimkannya padaku. Katanya, Damian berlari ke sana seperti pahlawan di film, mencoba menyelamatkan Sarah yang ingin melompat dari gedung. Oh, sangat dramatis, bukan?”"Aah, sepertinya saya harus memberitahumu bahwa kamu juga bisa melihatnya di internet. Hari ini cukup viral si Damian dan Sarah," lanjut Savanah lalu terkekeh pelan. Dia merasa sangat menikmati reaksi Keisha yang terkejut secara terus menerus.Keisha mengalihkan pandangannya dari layar, tapi gambar itu sudah terukir di pikirannya. Hatinya berkecamuk, antara percaya pada Damian atau membiarkan keraguan merasuki pikirannya. Ia bisa menyimpulkan bahwa Sarah menyukai Damian, bahkan mungkin lebih dari sekadar menyukai. Tapi Damian... apakah ia benar-benar akan mengkhianati cinta mereka?
"Nak, Damian. Tolonglah, jaga putri kami satu-satunya. Kalau pun kamu tidak mencintainya, tetaplah di sisinya sementara waktu. Bila kamu pergi, aku takut... dia akan berulah lagi seperti itu lagi dan anakku... hiks, sungguh malang nasibmu karena mencintai pria yang hanya memandang ke arah sepupuku."Damian hanya bisa mengangguk dan menatap Sarah yang sedang tidur dengan wajah datar. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan selain membiarkan semua suasana menjadi tenang kembali.Sementara di kantor Damian. Keisha duduk gelisah di sofa, menunggu kedatangan Damian dengan ponsel di tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Damian, tapi pria itu tidak menjawab. Ini bukan kebiasaan Damian. Biasanya, ia akan selalu mengabari atau bahkan datang menjemputnya pulang kerja, meski hujan sekalipun. Tapi malam ini, tidak ada pesan, tidak ada panggilan, hanya kesunyian yang membuat hati Keisha semakin kalut."Apaka
Beberapa orang yang menyaksikan ikut merasakan apa penderitaan Sarah dan menilai Damian hanya memandangnya rendahan lalu melukai wanita itu dengan pemberian uang yang cukup banyak.Damian menggeleng perlahan. “Sarah, aku tidak bisa memperbaiki semuanya dengan cara itu. Aku tahu aku telah salah. Aku tahu kecelakaan itu mengubah hidupmu, dan aku menyesal. Tapi aku tidak bisa memaksakan cinta.”"Kamu benar-benar mencintai sepupuku? Bahkan dengan masa lalunya yang buruk itu? Apa kurangnya diriku, Damian?""K-kamu, salah paham, aku..." Damian tidak sanggup meneruskan kata-katanya, dia melirik beberapa ponsel yang mengarah kepadanya. Jika dia menyebutkan nama Keisha saat ini, maka wanita yang tidak punya hubungan apa-apa itu akan kembali terlibat.“Kalau begitu, apa gunanya aku hidup?” tanya Sarah, matanya berkaca-kaca.“Aku bahkan tidak bisa berjalan seperti dulu. Aku