Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa canggung. Meskipun Roni tidak menunjukkan ketidaknyamanan secara langsung, Savanah bisa merasakan ada sesuatu yang tidak terucapkan.
Roni berusaha mencairkan suasana dengan obrolan ringan, tapi Savanah tetap merasakan ada sesuatu yang berbeda kali ini—seperti ada jarak yang mulai terbentuk di antara mereka.
Sesampainya di dekat rumah kecil yang dia tunjukkan lokasinya, Savanah tersenyum kecil kepada Roni sebelum turun dari mobil. “Terima kasih banyak, Roni. Maaf, aku merepotkanmu.”
“Tidak apa-apa. Kita semua adalah teman baik,” jawab Roni dengan senyum yang masih terasa sedikit kaku.
Savanah mengangguk, lalu melangkah keluar dari mobil, berlari kecil menuju pintu rumahnya yang diterangi lampu kuning hangat, meninggalkan Roni yang hanya bisa menatapnya dari dalam mobil, dengan perasaan yang masih bercampur aduk.
***
Malam itu, Savanah duduk di meja makan bersama
Tanpa berpikir panjang, Damian segera berdiri dari kursinya, mengambil jasnya. Dia berlari kecil menuju pintu, berharap masih ada waktu untuk memperbaiki situasi. Langkahnya dipercepat, mencoba mengabaikan hujan yang semakin deras di luar. Tapi sebelum dia sempat mencapai motornya, ponselnya bergetar di saku.Damian menghentikan langkahnya dan dengan cepat membuka ponsel, mengira itu mungkin pesan dari Savanah.Namun, pesan itu ternyata dari Keisha. Tangannya sedikit kesal saat dia membuka pesan tersebut, dan yang muncul di layar adalah sebuah foto—foto yang sebelumnya dikirim oleh Bella. Tentu saja foto itu menampilkan sesuatu yang membuat kedua mata Damian memerah seketika.Di foto itu, terlihat Savanah yang sedang bersama seorang pria—Roni. Mereka terlihat di dalam mobil, dengan Savanah duduk di kursi penumpang.Meski itu bukan pemandangan yang jelas mencurigakan, ada sesuatu dalam cara foto itu diambil, dalam sudut pandang yang sengaja dia
Dengan kesal, Damian memutar shower ke arah air dingin. Namun, tubuhnya malah merasa semakin gerah akibatnya. Herbal alami membuat tenaganya berlebih sehingga dia merasa semua ini adalah siasat dari Suzie Brown."Mereka begitu menginginkan cucu, maka aku hanya bisa memenuhinya daripada menderita karena tidak ada persinggahan!" geram Damian lalu bergegas keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang polos.Savanah memekik ketakutan pada saat merasakan tubuh Damian menimpanya."Diam! Ini perkerjaan Ibumu! Dia memasukkan sesuatu di dalam sup daging!" seru Damian lalu mencumbu tubuh istrinya tanpa jeda."T-tapi, aku juga minum sup yang sama dan tidak bermasalah apa pun, Damian! Ini salah!" Savanah berusaha memberi penjelesan. Dia tidak menerima apabila Damian menuduh ibunya hal yang tidak baik."K-kamu mabuk?"Mendengar itu, Damian mendongkak, menatap Savanah dengan kedua mata memerah. Tubuhnya benar-benar terasa hangat dan dia tahu apa yang dia ing
"Apa ini?" tanya Damian dengan wajah yang masih mengantuk.Hujan masih menguyur di luar rumah mereka dan dia benar-benar sangat lapar walau dia tertidur sebentar tadi karena kelelahan."Mie telur rebus. Saya pikir kamu lebih suka memakannya dengan sedikit sup hangat," sahut Savanah dengan wajah sedikit ragu.Damian mengamati mangkuk berisi mie dengan sup dan toping sebuah telur ayam di atasnya."Kalau kamu membubuhi sesuatu, maka aku tidak akan ragu untuk menyiksamu sekali lagi," gumam Damian lalu mulai melahap makanannya.Makanan itu disajikan di atas tempat tidur dan Damian makan di atas ranjang dengan alas meja kecil."Kau pikir aku sebodoh itu? Menyiksa diriku sendiri dan membiarkan kamu menikmatinya?" Monolog Savanah, dia tidak pernah berani mengatakannya secara langsung kepada Damian melainkan hanya mengatakannya di dalam hati.Savanah membaringkan dirinya di sebelah pria itu, memegang bagian bawah perutnya yang masih terasa nye
Sarapan bersama keluarga adalah hal yang asing baginya, dan meskipun tidak diungkapkan, momen ini memberikan kehangatan kecil yang tidak dia miliki di masa lalunya.Namun, setelah sarapan selesai, hari itu segera berubah menjadi lebih berat.Savanah dan Damian mengantar ibu Savanah kembali ke penjara, momen yang terasa berat bagi Savanah.Awalnya Savanah menolak karena dia tahu, Damian harus pergi bekerja, namun Damian memutuskan mengantar mereka.Dia berusaha menahan air mata saat mereka tiba di gerbang penjara. Suzie Brown tersenyum lemah, berusaha menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya."Jaga dirimu, Savanah," kata ibunya sambil memeluknya erat. "Dan jaga Damian."Savanah mengangguk, berusaha kuat. Damian, yang berada di sisi mereka, hanya mengangguk singkat, dan mereka menyaksikan ibu Savanah masuk kembali ke dalam penjara, meninggalkan mereka di luar.Sesaat setelah pintu penjara tertutup, Damian yang tadinya tampak lebih ha
Damian hanya menatap lurus ke depan, lalu dengan tenang berkata, "Istirahatlah di rumahmu." Tanpa menunggu jawaban, dia membuka kunci pintu mobil untuknya.Keisha menatapnya dengan wajah bingung, namun akhirnya menyerah. Dengan perasaan jengkel yang terlihat jelas, dia keluar dari mobil dan menutup pintu dengan kasar. "Kau selalu seperti ini, Damian," gumamnya dengan suara kecil, sebelum berjalan masuk ke rumahnya.Damian tidak memberi reaksi. Setelah memastikan Keisha masuk, dia langsung menyalakan mesin mobil dan pergi, meninggalkan suasana tegang yang tak terucapkan di antara mereka. Di benaknya, ada hal-hal yang lebih besar yang mulai meresahkan pikirannya.Damian memilih tenggelam dalam pekerjaan hari itu karena semua begitu melelahkan.***Malam itu, bar Salvastone dipenuhi dengan kilauan lampu-lampu neon yang gemerlap, alunan musik yang menggema, dan suara tawa serta obrolan riuh dari tamu-tamu yang datang untuk menghadiri pesta ulang tahun Keisha.Bar itu telah disulap menjadi
Tatapan Damian juga diketahui oleh Keisha, membuat wanita itu merasa sangat cemburu dan tidak bisa menerima begitu saja.Beberapa saat berlalu dan sambil tertawa keras, Keisha sengaja menjatuhkan gelas anggurnya ke lantai, menyebabkan pecahan kaca berserakan.Tanpa ragu, dia memanggil Savanah dengan nada sinis, seolah-olah dia adalah pelayan pribadi mereka. “Savanah! Tolong bersihkan ini, ya. Maaf, aku ceroboh,” katanya dengan suara yang dibuat-buat, diiringi senyum tipis penuh kesombongan.Savanah diam, menelan perasaan yang bergelut di dalam hatinya. Dengan tenang, dia mengambil alat kebersihan dan mendekat untuk membersihkan pecahan kaca.Saat dia berjongkok di dekat meja, pandangannya tak bisa menghindar dari Damian, yang duduk bersebelahan dengan Keisha. Pria itu tampak sangat mesra, merangkul Keisha erat, tangannya menggenggam bahunya yang sengaja terbuka, sesekali bibirnya mendarat lembut di kulit halus Keisha.Mata Savanah hanya
"Maaf, saya akan membersihkannya lagi," Savanah berkata dengan suara datar, meskipun luka di tangannya masih terasa nyeri. Dia menundukkan kepala dan berusaha menahan perasaannya yang semakin terluka, baik secara fisik maupun emosional. Membersihkan pecahan kaca lainnya dengan menggunakan sapu.Namun, dalam hatinya, dia tahu bahwa malam itu hanya menambah satu lagi tumpukan luka yang terus dia bawa—luka yang lebih dalam daripada sekadar potongan kaca di tangannya.Savanah merasa ingin sekali lenyap dari bumi pada saat itu juga. Setelah selesai melakukan pekerjaannya, Savanah segera pergi ke kamar ganti di ruangan pekerja, mencoba menenangkan diri dari semua kekacauan yang terjadi di bar.Begitu sampai di wastafel, dia menyalakan keran dan mulai membasuh lukanya. "Aahh ssst..." desisnya, menahan rasa nyeri yang merambat dari luka di jarinya. Air mengalir deras, membawa darah tipis yang mengalir di sela-sela jemarinya.Dia menatap cermin, melihat pant
Roni tersenyum penuh arti lalu meneguk minumannya, sesaat kemudian dia berkata "apakah itu artinya, Savanah akan kehilangan pekerjaan?"Damian mengerutkan dahinya lalu menjawab dengan ketus, "tidak usah kamu urus."Keisha yang mendengar itu merasa kesal. Dia segera merapatkan diri dan bermanja di bahu Damian."Damian, mengapa kamu terlihat begitu peduli dengan Savanah. Jangan katakan kamu mulai menyukainya?"Damain tersenyum dan merangkul wanita itu, "Keisha, bersabarlah dan jangan berpikiran yang tidak penting. Dia hanya istri sebatas kertas.""Hahaha." Tawa Roni menggema di ruangan itu, di antara musik yang mengalun."Jangan menyesali apa yang kamu katakan, atau kamu tidak mampu menebus semuanya nanti," ucap Roni lalu berdiri.Damian segera menahan tangannya, "apa yang mau kau lakukan? Pesta ini belum berakhir."Dengan kasar, Roni menepis tangan Damian lalu menjawab, "saya datang hanya untuk memberi muka kepadamu, bukan
Savanah tidak tahu harus menjawab apa. Ingin sekali dia yang menanyakan hal yang sama kepada Damian, tetapi dia sama sekali tidak berani.Dia juga tidak berani menerima hubungan lebih lanjut dengan Damian karena dia sudah merencanakan semuanya.Dia tidak ingin gagal!Dia tidak mau, sebuah pertanyaan tanpa arah dari Damian itu membuat dia berubah pikiran dan kembali terjebak dalam pernikahan palsu yang bahkan mertuanya, Jason, sudah melepaskannya.Malam bergairah? Itu hanya kebutuhan sesaat karena mereka sama-sama sudah dewasa. Savanah menegaskan perkataan itu berulang kali dalam hatinya.“Terima kasih,” bisik Damian. “Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa kamu.”Kata-kata itu membuat dada Savanah terasa berat. Ironis sekali, pikirnya. 'Dia mungkin berpikir aku adalah tempat berlabuh, tapi aku hanya tinggal menunggu waktu untuk pergi.' Savana
Savanah terkejut, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara lebih lanjut dengan menutup mulutnya sendiri. Pelukan Damian terasa kuat, seperti ada magnet yang membuatnya tak bisa melepaskan diri.“Jangan pergi,” gumam Damian dalam tidurnya. Suaranya berat tapi lembut, seperti seseorang yang berbicara dari dalam mimpi. Savanah bisa merasakan napas hangat pria itu di lehernya, membuat tubuhnya kaku.Savanah ingin menanyakan siapa yang dimaksud Damian, apakah Keisha, atau Sarah? Atau wanita lain? Damian selalu berganti pasangan, jadi Savanah tidak bisa menebak siapa yang sedang berada dalam mimpi pria itu saat ini.“Damian,” bisiknya, mencoba membangunkan pria itu dengan pelan. Namun Damian hanya merapatkan pelukannya, membuat Savanah semakin sulit untuk bergerak.Hati Savanah mulai berpacu kencang karena sepertinya pria itu tidak benar-benar sedang bermimpi."Damian,
Damian menghirup aroma rambut Savanah, aroma lembut dan segar yang terasa menenangkan. Ia memejamkan matanya, membiarkan semua beban hari itu memudar. Pelukan itu tidak berisi gairah, melainkan sebuah permintaan diam-diam untuk kedamaian.“Aku hanya ingin seperti ini sebentar,” bisik Damian, suaranya serak.Savanah tetap diam, membiarkan Damian memeluknya lebih erat. Ia merasakan dada pria itu naik turun dengan napas yang berat, dan hatinya tergerak sedikit. Namun, tidak boleh ada simpati, pikirnya. Ia tidak boleh melupakan rencana yang sudah ia susun sejak awal.Savanah menatap sekilas wajah Damian yang tertunduk di bahunya. Betapa lemahnya pria ini, pikirnya. Damian mungkin kuat di mata orang lain, tapi di balik itu, ia adalah seseorang yang tersesat dalam kekacauan hidupnya sendiri. Malam ini, Damian hanya mencari ketenangan—dan sayangnya, ia menemukannya di tempat yang salah.Ti
“Di ruang baca, Tuan Damian,” jawab pelayan itu. Damian mengangguk dan berjalan pelan ke arah yang ditunjukkan.Savanah duduk di sofa ruang baca dan memegang sebuah buku, malam itu dia mengenakan piyama satin berwarna krem dengan rambut yang dibiarkan tergerai, terlihat sangat menawan di mata Damian.Ia menatap Damian yang masuk tanpa berkata-kata, hanya mengangkat alisnya seolah bertanya mengapa pria itu datang."Mengapa kamu belum tidur, apakah sedang menungguku?" Damian sengaja menganggu Savanah dengan pertanyaan tersebut.Savanah tersenyum kecil lalu menjawab dengan enteng, "Kamu tidak biasanya pulang malam-malam begini, hmm, lebih tepatnya dini hari seperti ini, jadi bagaimana kamu mengatakan bahwa aku sedang menunggumu?” balasnya dengan santai sembari meletakkan buku yang tadi ia baca.Damian tidak menjawab langsung. Ia duduk di sofa di hadapan Savanah, menghela napas p
“Keisha, aku tidak akan meninggalkanmu. Tapi aku tidak bisa mengabaikan Sarah. Dia membutuhkan bantuan, dan aku merasa itu adalah tanggung jawabku," lanjut Damian.Keisha mengangguk kecil, menahan air matanya. “Aku tidak pernah melarangmu membantu. Tapi aku tidak ingin rasa bersalah itu menghancurkan hubungan kita.”"Aku cemburu, Damian." Kedua mata Keisha berkaca-kaca.Sarah hanya bisa memandang Damian dengan tatapan terluka. “Ternyata... Kamu tidak akan pernah benar-benar memahamiku, Damian,” katanya lirih. “Dan kamu tidak pernah benar-benar peduli.”Keisha merasa kesal mendengar perkataan Sarah. Dia lalu menggenggam tangan Damian erat-erat. “Ayo pulang. Sarah butuh dokter, bukan kamu.”Keisha menoleh ke arah Sarah dengan tatapan tajam lalu melanjutkan kalimatnya, "bila perlu, dokter penyakit mental!"Da
Damian tidak sanggup memberi penjelasan dan hanya bisa menepis tangan Sarah yang masih memeluknya dengan lembut."Lepaskan sebentar, aku akan menceritakannya kepadamu nanti," ucap Damian dengan lembut."Damian," panggil Sarah, masih merasa tidak tega dan berusaha merenggek dengan manja.Keisha memperhatikan adegan itu dengan perasaan bercampur aduk. Emosinya sudah naik sampai ke keningnya. Tentu saja dia cemburu!Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.Damian berdiri, tapi Sarah masih mencengkeram lengannya. Sarah segera menoleh ke arah Keisha dan bertanya, "Keisha? Siapa kamu bagi Damian? Jangan kamu merebutnya dariku lagi.Damian segera melepaskan tangan Sarah lalu memegang lengan Keisha, "Ini... ini bukan seperti yang kamu pikirkan," katanya buru-buru.Keisha menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya penuh kecurigaan. “Bukan seper
“Dari mana kamu mendapatkan ini?” tanya Keisha tajam, berusaha menutupi emosinya.Savanah mengangkat bahu. “Seorang teman yang bekerja di rumah sakit mengirimkannya padaku. Katanya, Damian berlari ke sana seperti pahlawan di film, mencoba menyelamatkan Sarah yang ingin melompat dari gedung. Oh, sangat dramatis, bukan?”"Aah, sepertinya saya harus memberitahumu bahwa kamu juga bisa melihatnya di internet. Hari ini cukup viral si Damian dan Sarah," lanjut Savanah lalu terkekeh pelan. Dia merasa sangat menikmati reaksi Keisha yang terkejut secara terus menerus.Keisha mengalihkan pandangannya dari layar, tapi gambar itu sudah terukir di pikirannya. Hatinya berkecamuk, antara percaya pada Damian atau membiarkan keraguan merasuki pikirannya. Ia bisa menyimpulkan bahwa Sarah menyukai Damian, bahkan mungkin lebih dari sekadar menyukai. Tapi Damian... apakah ia benar-benar akan mengkhianati cinta mereka?
"Nak, Damian. Tolonglah, jaga putri kami satu-satunya. Kalau pun kamu tidak mencintainya, tetaplah di sisinya sementara waktu. Bila kamu pergi, aku takut... dia akan berulah lagi seperti itu lagi dan anakku... hiks, sungguh malang nasibmu karena mencintai pria yang hanya memandang ke arah sepupuku."Damian hanya bisa mengangguk dan menatap Sarah yang sedang tidur dengan wajah datar. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan selain membiarkan semua suasana menjadi tenang kembali.Sementara di kantor Damian. Keisha duduk gelisah di sofa, menunggu kedatangan Damian dengan ponsel di tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Damian, tapi pria itu tidak menjawab. Ini bukan kebiasaan Damian. Biasanya, ia akan selalu mengabari atau bahkan datang menjemputnya pulang kerja, meski hujan sekalipun. Tapi malam ini, tidak ada pesan, tidak ada panggilan, hanya kesunyian yang membuat hati Keisha semakin kalut."Apaka
Beberapa orang yang menyaksikan ikut merasakan apa penderitaan Sarah dan menilai Damian hanya memandangnya rendahan lalu melukai wanita itu dengan pemberian uang yang cukup banyak.Damian menggeleng perlahan. “Sarah, aku tidak bisa memperbaiki semuanya dengan cara itu. Aku tahu aku telah salah. Aku tahu kecelakaan itu mengubah hidupmu, dan aku menyesal. Tapi aku tidak bisa memaksakan cinta.”"Kamu benar-benar mencintai sepupuku? Bahkan dengan masa lalunya yang buruk itu? Apa kurangnya diriku, Damian?""K-kamu, salah paham, aku..." Damian tidak sanggup meneruskan kata-katanya, dia melirik beberapa ponsel yang mengarah kepadanya. Jika dia menyebutkan nama Keisha saat ini, maka wanita yang tidak punya hubungan apa-apa itu akan kembali terlibat.“Kalau begitu, apa gunanya aku hidup?” tanya Sarah, matanya berkaca-kaca.“Aku bahkan tidak bisa berjalan seperti dulu. Aku