Sarapan bersama keluarga adalah hal yang asing baginya, dan meskipun tidak diungkapkan, momen ini memberikan kehangatan kecil yang tidak dia miliki di masa lalunya.
Namun, setelah sarapan selesai, hari itu segera berubah menjadi lebih berat.
Savanah dan Damian mengantar ibu Savanah kembali ke penjara, momen yang terasa berat bagi Savanah.
Awalnya Savanah menolak karena dia tahu, Damian harus pergi bekerja, namun Damian memutuskan mengantar mereka.
Dia berusaha menahan air mata saat mereka tiba di gerbang penjara. Suzie Brown tersenyum lemah, berusaha menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya.
"Jaga dirimu, Savanah," kata ibunya sambil memeluknya erat. "Dan jaga Damian."
Savanah mengangguk, berusaha kuat. Damian, yang berada di sisi mereka, hanya mengangguk singkat, dan mereka menyaksikan ibu Savanah masuk kembali ke dalam penjara, meninggalkan mereka di luar.
Sesaat setelah pintu penjara tertutup, Damian yang tadinya tampak lebih ha
Damian hanya menatap lurus ke depan, lalu dengan tenang berkata, "Istirahatlah di rumahmu." Tanpa menunggu jawaban, dia membuka kunci pintu mobil untuknya.Keisha menatapnya dengan wajah bingung, namun akhirnya menyerah. Dengan perasaan jengkel yang terlihat jelas, dia keluar dari mobil dan menutup pintu dengan kasar. "Kau selalu seperti ini, Damian," gumamnya dengan suara kecil, sebelum berjalan masuk ke rumahnya.Damian tidak memberi reaksi. Setelah memastikan Keisha masuk, dia langsung menyalakan mesin mobil dan pergi, meninggalkan suasana tegang yang tak terucapkan di antara mereka. Di benaknya, ada hal-hal yang lebih besar yang mulai meresahkan pikirannya.Damian memilih tenggelam dalam pekerjaan hari itu karena semua begitu melelahkan.***Malam itu, bar Salvastone dipenuhi dengan kilauan lampu-lampu neon yang gemerlap, alunan musik yang menggema, dan suara tawa serta obrolan riuh dari tamu-tamu yang datang untuk menghadiri pesta ulang tahun Keisha.Bar itu telah disulap menjadi
Tatapan Damian juga diketahui oleh Keisha, membuat wanita itu merasa sangat cemburu dan tidak bisa menerima begitu saja.Beberapa saat berlalu dan sambil tertawa keras, Keisha sengaja menjatuhkan gelas anggurnya ke lantai, menyebabkan pecahan kaca berserakan.Tanpa ragu, dia memanggil Savanah dengan nada sinis, seolah-olah dia adalah pelayan pribadi mereka. “Savanah! Tolong bersihkan ini, ya. Maaf, aku ceroboh,” katanya dengan suara yang dibuat-buat, diiringi senyum tipis penuh kesombongan.Savanah diam, menelan perasaan yang bergelut di dalam hatinya. Dengan tenang, dia mengambil alat kebersihan dan mendekat untuk membersihkan pecahan kaca.Saat dia berjongkok di dekat meja, pandangannya tak bisa menghindar dari Damian, yang duduk bersebelahan dengan Keisha. Pria itu tampak sangat mesra, merangkul Keisha erat, tangannya menggenggam bahunya yang sengaja terbuka, sesekali bibirnya mendarat lembut di kulit halus Keisha.Mata Savanah hanya
"Maaf, saya akan membersihkannya lagi," Savanah berkata dengan suara datar, meskipun luka di tangannya masih terasa nyeri. Dia menundukkan kepala dan berusaha menahan perasaannya yang semakin terluka, baik secara fisik maupun emosional. Membersihkan pecahan kaca lainnya dengan menggunakan sapu.Namun, dalam hatinya, dia tahu bahwa malam itu hanya menambah satu lagi tumpukan luka yang terus dia bawa—luka yang lebih dalam daripada sekadar potongan kaca di tangannya.Savanah merasa ingin sekali lenyap dari bumi pada saat itu juga. Setelah selesai melakukan pekerjaannya, Savanah segera pergi ke kamar ganti di ruangan pekerja, mencoba menenangkan diri dari semua kekacauan yang terjadi di bar.Begitu sampai di wastafel, dia menyalakan keran dan mulai membasuh lukanya. "Aahh ssst..." desisnya, menahan rasa nyeri yang merambat dari luka di jarinya. Air mengalir deras, membawa darah tipis yang mengalir di sela-sela jemarinya.Dia menatap cermin, melihat pant
Roni tersenyum penuh arti lalu meneguk minumannya, sesaat kemudian dia berkata "apakah itu artinya, Savanah akan kehilangan pekerjaan?"Damian mengerutkan dahinya lalu menjawab dengan ketus, "tidak usah kamu urus."Keisha yang mendengar itu merasa kesal. Dia segera merapatkan diri dan bermanja di bahu Damian."Damian, mengapa kamu terlihat begitu peduli dengan Savanah. Jangan katakan kamu mulai menyukainya?"Damain tersenyum dan merangkul wanita itu, "Keisha, bersabarlah dan jangan berpikiran yang tidak penting. Dia hanya istri sebatas kertas.""Hahaha." Tawa Roni menggema di ruangan itu, di antara musik yang mengalun."Jangan menyesali apa yang kamu katakan, atau kamu tidak mampu menebus semuanya nanti," ucap Roni lalu berdiri.Damian segera menahan tangannya, "apa yang mau kau lakukan? Pesta ini belum berakhir."Dengan kasar, Roni menepis tangan Damian lalu menjawab, "saya datang hanya untuk memberi muka kepadamu, bukan
Begitu Damian menjauh, Keisha menghela napas panjang. Ia bangkit dari bawah jok dan duduk kembali di kursinya. Wajahnya tampak lega, tetapi sorot matanya masih dipenuhi kegelisahan. “Terima kasih, John,” ucapnya pelan. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau dia berhasil menemukan aku.”“Keisha, apa yang sebenarnya terjadi? Kamu dan Damian terlihat seperti sedang berada di tengah-tengah masalah besar,” ujar John, mencoba untuk mencari kejelasan.Keisha menghela napas panjang dan mulai bercerita dengan suara yang bergetar. “Aku… Aku baru saja putus dengan Damian. Semuanya terjadi begitu cepat, dan aku merasa semakin tidak nyaman dengan sikapnya yang posesif. Tadi saat pesta selesai, dia mengungkit tentang Savanah dan aku tidak suka. Saat aku bilang bahwa aku sudah tidak ingin lagi melanjutkan hubungan, dia menjadi marah dan memaksa untuk bicara lebih lama.”Keisha berbohong, tetapi dia tidak mau John mencurigai
Savanah tersentak bangun, matanya masih sayu dan wajahnya pucat karena baru saja terjaga dari tidur. Ia menatap Damian dengan bingung dan sedikit takut. “A-ada apa?” tanyanya dengan suara parau dan tubuh yang gemetar.Ia tahu bahwa ketika Damian pulang dalam keadaan seperti ini, tidak akan ada hal baik yang menantinya.Damian hanya memandangnya dengan tatapan tajam, seperti serigala yang mengintai mangsanya. Ia mulai membuka kancing pada kemejanya dengan gerakan cepat, melepaskannya satu per satu seakan ingin membuang amarah yang membara di dadanya.“Isi air di bath tub! Aku mau mandi!” perintahnya dengan nada geram. “Dan jangan lama-lama! Aku tidak punya waktu untuk menunggu!”Savanah mengangguk cepat, berusaha untuk tidak membuat Damian semakin marah. Ia segera turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur itu.Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, ia membuka keran bat
Savanah mengangguk lemah, merasa sakit oleh kata-kata itu. Ia telah tinggal bersama Damian selama seminggu terakhir, selalu menurut dan melakukan semua yang diminta olehnya.Namun, ia sadar bahwa ia tidak pernah benar-benar dianggap lebih dari sekadar pelayan atau bahkan boneka.Kata-kata Damian yang penuh penghinaan itu telah menjadi sesuatu yang biasa ia dengar, tetapi malam ini, semuanya terasa lebih menyakitkan.Mungkin karena ia tahu, dalam hati, bahwa Damian benar-benar mencintai Keisha dan hubungan mereka benar-benar di atas kertas saja. Namun, dia harus bertahan, setidaknya sampai Ibunya dibebaskan dari penjara sesuai dengan janji Ayah Damian kepadanya.“Baik, aku mengerti,” jawabnya pelan, kemudian berbalik untuk meninggalkan kamar mandi.Namun, sebelum ia sempat keluar dari ruangan itu, Damian memanggilnya kembali. “Dan satu hal lagi,” katanya sambil mengusap wajah dengan handuk. “Kalau kamu melihat Keisha at
Keesokkan paginya, Savanah terbangun dengan tubuh yang terasa remuk. Seluruh badannya nyeri, terutama di beberapa bagian yang memar yang sengaja digigit oleh Damian dalam melampiaskan amarahnya.Savanah berusaha duduk di atas ranjang, menahan desis kesakitan saat ia menggerakkan tubuhnya. Damian sudah pergi bekerja, dan ruangan itu terasa sunyi, tetapi bukannya memberikan rasa lega, keheningan itu justru membuat Savanah merasa semakin tertekan.Dua hari lagi, persidangan ibunya akan dilaksanakan. Setidaknya dia harus bertahan sampai hari itu tiba.Ia menyeret kakinya menuju kamar mandi. Begitu melihat bayangan dirinya di cermin, Savanah terkejut. Kedua matanya bengkak akibat menangis semalaman, dan ada beberapa memar di lengan serta bagian tubuh lainnya yang terasa nyeri setiap kali tersentuh."Mengapa dia suka mengigitku?" desis Savanah menahan nyeri.Dengan hati-hati, ia membersihkan dirinya dan mencoba menghilangkan bekas air mata yang masih ter
"Dia mengandung anakku, dia istriku dan tidak ada bagian darimu di sana! Kau paham?!" Damian mengatakan semua gundahan hatinya dengan suara keras dan tegas.Roni menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Damian, aku tidak ingin membuat masalah. Jika itu yang kau inginkan, aku akan menjauh. Tapi bukan karena aku takut padamu. Aku melakukannya karena aku peduli pada Savanah, dan aku ingin yang terbaik untuknya.”Cuih!Damian membuang salivanya ke samping dengan rasa jijik. "Akhirnya kau paham!""Ingat ucapanmu! Jangan pernah dekat dengannya lagi!"Roni mengangguk perlahan dengan perasaan terpuruk.“Bagus!" lanjut Damian. "Tapi ingat, jika aku melihatmu mendekati istriku lagi, kau tidak akan mendapatkan peringatan kedua.”Dengan itu, Damian berbalik dan meninggalkan gym, meninggalkan Roni dengan wajah penuh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Ke
Damian tidak terpengaruh. “Kau bebas mencoba, Keisha. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan keluargaku lagi.”Keisha meninggalkan lokasi pertemuan dengan wajah penuh amarah, tetapi Damian merasa lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa telah mengambil kendali penuh atas hidupnya.***Setelah mengetahui kebenaran tentang malam di Salvastone, Damian masih merasakan amarah yang tertahan di dalam dirinya. Ia tidak hanya marah kepada Keisha yang mencoba memanipulasi kenyataan, tetapi juga kepada Roni, pria yang berani mendekati istrinya dan bahkan mengklaim hubungan yang tidak pernah ada.Damian memutuskan untuk menghadapi Roni secara langsung. Ia tahu di mana pria itu biasanya berada—gym kecil di pinggiran kota tempat Roni melatih tubuhnya.Dengan langkah cepat, Damian melajukan motornya ke sana, wajahnya mencerminkan ketegasan dan kemarahan yang ia rasakan.Ketika
Savanah tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih memerah. “Ya, Damian. Kau tidak melepaskanku bahkan sesudah berulang kali kamu mendapatkan pelepasan, dan aku… aku tidak bisa mengatakan tidak. Aku tanpa sadar sudah mencintaimu, bahkan saat itu.”Damian menarik napas panjang, rasa bersalah yang selama ini menghantui dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh kelegaan dan kebahagiaan yang tak terkira.“Aku bodoh,” katanya dengan suara rendah. “Aku membiarkan Keisha memanipulasiku dengan kebohongannya, sementara wanita yang aku cari selama ini adalah kamu, istriku sendiri.”Savanah menggeleng. “Semua sudah berlalu, Damian. Yang penting sekarang adalah kita tahu kebenarannya.”Damian kembali memeluk Savanah, membiarkan air mata kecil jatuh di pipinya. “Aku mencintaimu, Savanah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita lagi. Kamu ad
Damian menyebut tanggalnya, dan Savanah membekap mulutnya sendiri. Hatinya berdebar keras."Damian… itu aku. Aku juga berada di sana malam itu. Aku… aku merasa semuanya begitu aneh, tapi aku ingat. Aku mengalami pelecehan. Lalu Roni mengaku bahwa dia yang melakukannya. Tanggal dan harinya sama! Itu aku.""Kau?""Keisha tidak hadir di malam itu, dia mengambil shift pagi!" pekik Savanah tak percaya.Damian menatapnya dengan penuh kebingungan. "Apa? Savanah, maksudmu…""Ya," potong Savanah dengan tegas. "Wanita itu adalah aku. Aku bahkan memiliki bukti. Petugas sekuriti yang berjaga malam itu melihat kita. Dia mencatat bahwa aku masuk ke ruang ganti untuk mengambil sesuatu. Selain itu, aku menemukan cincin di kantung kemeja kerjaku. Lalu Keisha merampasnya dan saat itu kamu datang lalu...""Astaga!" Savanah menutup bibirnya dengan tangan, dia baru mengerti bahwa Damian mengira Keisha adalah wanit
Savanah mencoba melawan, tetapi kekuatan Damian terlalu besar. Bibir pria itu sudah mencium lehernya dengan rakus, kembali lagi meninggalkan jejak merah yang tidak mungkin disembunyikan.Gigitannya yang intens terasa seperti tanda kepemilikan yang ingin ia tunjukkan kepada dunia. Tangannya memeras bagian depan Savanah dengan kuat sehingga Savanah merasa kesakitan.“Damian, berhenti!” Savanah memohon, suaranya gemetar. “Ini terlalu banyak. Cukup!”Namun, Damian tidak mendengarkan. Tubuhnya terus menekan tubuh Savanah, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak pernah lupa siapa yang memiliki dirinya sepenuhnya."Damian, ini menyakitkanku!" teriak Savanah, berusaha melepaskan diri dari tangan Damian yang menyakiti beberapa bagian sensitif miliknya.Dengan cepat, Damian membuka kemeja tidurnya sehingga bagian depannya terekspos dengan indah dan Damian segera melahapnya denga
Tanpa tujuan yang jelas, Roni berjalan hingga sampai di sebuah taman kecil yang sepi. Ia duduk di bangku kayu yang teduh di bawah pohon besar, menundukkan kepala sambil memandangi tanah.Seorang ibu dengan anak kecil lewat di depannya, suara tawa anak itu membuat hati Roni terasa semakin hancur. Ia membayangkan seperti apa rasanya jika ia yang berada di tempat Damian—memiliki Savanah dan seorang anak bersama, membangun keluarga kecil yang bahagia.Namun, bayangan itu hanya membuatnya semakin sadar bahwa semua itu adalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan."Itu bukan anakku juga, Roni... kamu hanya terlalu berharap," gumamnya sambil tertawa lepas.Roni meraih sebotol air yang ia bawa, meneguknya dengan cepat. Tangannya bergetar, dan tanpa sadar, ia memukul bangku kayu di sebelahnya dengan keras.“Bodoh,” gumamnya."Sungguh bodoh!"“Bodoh karena berpikir aku punya kesempatan.”Roni menunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai mengalir,
Roni mengepalkan tangannya, tetapi ia tetap diam, meskipun tubuhnya jelas menunjukkan ketegangan yang luar biasa.“Savanah masih sehebat dulu,” lanjut Damian dengan nada yang dibuat seolah-olah ia hanya sedang bercakap-cakap santai. “Kami bahkan mengulangnya beberapa kali sampai dia minta ampun. Tubuhnya semakin montok sekarang, mungkin karena dia sedang hamil anakku. Tapi kau tahu? Itu justru membuatnya semakin nikmat.”Roni terdiam dan mengetatkan rahangnya.Kata-kata Damian menghantam Roni seperti pukulan bertubi-tubi. Ia menatap Savanah dengan mata yang penuh luka, tetapi wanita itu hanya bisa menunduk, tidak mampu menghadapi tatapannya.“Kau tahu tentang kehamilannya?” tanya Roni akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan rasa kecewa.Damian tersenyum kecil. “Tentu saja. Anak ini milikku, dan aku akan memastikan bahwa dia tumbuh dengan kedua orang tuanya yang lengkap. Jadi, apa yang tersisa untukmu, Roni?”Roni terdiam. Pertanyaan itu menusuk hatinya lebih dalam daripada yang
Damian menatap tubuh Savanah dengan tatapan penuh kekaguman. “Kamu semakin padat, Savanah,” bisiknya dengan suara rendah yang menggoda. “Itu membuatku semakin ingin menempel terus padamu.”Savanah mencoba menghindar, tetapi Damian sudah mendekapnya erat, membuatnya tidak memiliki ruang untuk bergerak. Ia mencium leher Savanah perlahan, meninggalkan jejak kecil yang membuat wanita itu merasa tubuhnya memanas lagi.“Damian, sudahlah,” rengek Savanah dengan suara bergetar. “Kita sudah melakukannya berkali-kali. Aku lapar…”Namun, Damian tidak berhenti. Bibirnya terus menjelajahi tubuh Savanah, memberikan tanda-tanda percintaan yang ia tahu tidak akan mudah hilang. Setiap jejak yang ia tinggalkan terasa seperti pernyataan kepemilikan, seolah-olah ia ingin dunia tahu bahwa Savanah adalah miliknya, tidak ada yang lain.“Damian,” desah Savanah, mencoba menarik diri, tetapi tubuhnya sendiri mulai menyerah pada kehangatan yang diberikan pria itu.“Aku hanya ingin memastikan,” bisik Damian samb
“Ini anakku?” tanya Damian lagi, suaranya lebih tegas kali ini.Savanah mengalihkan pandangannya, tidak bisa menatap langsung ke mata Damian. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya akhirnya menjawab segalanya.“Ya, Damian. Ini anakmu.”Damian terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Hatinya dipenuhi dengan emosi yang bercampur aduk—kebahagiaan, keterkejutan, dan rasa bersalah. Ia tahu bahwa segalanya akan berubah mulai sekarang, tetapi ia juga tahu satu hal dengan pasti: ia tidak akan pernah meninggalkan Savanah dan anak mereka lagi.Damian berdiri mematung di depan pintu kamar mandi, matanya terpaku pada Savanah yang masih terlihat pucat. Wajahnya berubah—dari keterkejutan menjadi kebahagiaan yang begitu besar, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan selama ini.Savanah melangkah keluar dari kamar mandi dan mengabaikan tatapan penuh selidik dari Damian. D