Suzie mengerutkan dahinya dan menatap putrinya dengan raut curiga, tanpa berkata banyak, dia langsung mengeluarkan ponsel dan menghubungi Damian saat itu juga.
Savanah ingin melarangnya untuk menghubungi Damian, tetapi panggilan sudah tersambung tanpa bisa dia cegah.
"Damian, menginaplah di sini. Mama akan memasak makan malam. Savanah sudah berada di sini dan Mama tidak mengizinkan kalian pulang," ucap Suzie Brown.
Di sisi lain panggilan, Damian sedang menghadiri rapat dan panggilan itu sangat menganggunya, namun agar tidak mengecewakan wanita yang menjadi mertuanya itu, dia hanya menjawab singkat, "baik, tidak masalah."
"Kalau begitu, ketemu nanti malam. Ingatlah, kami menunggumu. Mama akan memasak sup daging untukmu," ucap Suzie Brown.
"Baik." Damian mematikan panggilannya dan kembali fokus terhadap pekerjaan, Dia tidak merasa itu adalah hal yang penting.
Sementara Suzie Brown memberikan senyuman yang indah kepada Savanah, "lihatlah, Damia
Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa canggung. Meskipun Roni tidak menunjukkan ketidaknyamanan secara langsung, Savanah bisa merasakan ada sesuatu yang tidak terucapkan.Roni berusaha mencairkan suasana dengan obrolan ringan, tapi Savanah tetap merasakan ada sesuatu yang berbeda kali ini—seperti ada jarak yang mulai terbentuk di antara mereka.Sesampainya di dekat rumah kecil yang dia tunjukkan lokasinya, Savanah tersenyum kecil kepada Roni sebelum turun dari mobil. “Terima kasih banyak, Roni. Maaf, aku merepotkanmu.”“Tidak apa-apa. Kita semua adalah teman baik,” jawab Roni dengan senyum yang masih terasa sedikit kaku.Savanah mengangguk, lalu melangkah keluar dari mobil, berlari kecil menuju pintu rumahnya yang diterangi lampu kuning hangat, meninggalkan Roni yang hanya bisa menatapnya dari dalam mobil, dengan perasaan yang masih bercampur aduk.***Malam itu, Savanah duduk di meja makan bersama
Tanpa berpikir panjang, Damian segera berdiri dari kursinya, mengambil jasnya. Dia berlari kecil menuju pintu, berharap masih ada waktu untuk memperbaiki situasi. Langkahnya dipercepat, mencoba mengabaikan hujan yang semakin deras di luar. Tapi sebelum dia sempat mencapai motornya, ponselnya bergetar di saku.Damian menghentikan langkahnya dan dengan cepat membuka ponsel, mengira itu mungkin pesan dari Savanah.Namun, pesan itu ternyata dari Keisha. Tangannya sedikit kesal saat dia membuka pesan tersebut, dan yang muncul di layar adalah sebuah foto—foto yang sebelumnya dikirim oleh Bella. Tentu saja foto itu menampilkan sesuatu yang membuat kedua mata Damian memerah seketika.Di foto itu, terlihat Savanah yang sedang bersama seorang pria—Roni. Mereka terlihat di dalam mobil, dengan Savanah duduk di kursi penumpang.Meski itu bukan pemandangan yang jelas mencurigakan, ada sesuatu dalam cara foto itu diambil, dalam sudut pandang yang sengaja dia
Dengan kesal, Damian memutar shower ke arah air dingin. Namun, tubuhnya malah merasa semakin gerah akibatnya. Herbal alami membuat tenaganya berlebih sehingga dia merasa semua ini adalah siasat dari Suzie Brown."Mereka begitu menginginkan cucu, maka aku hanya bisa memenuhinya daripada menderita karena tidak ada persinggahan!" geram Damian lalu bergegas keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang polos.Savanah memekik ketakutan pada saat merasakan tubuh Damian menimpanya."Diam! Ini perkerjaan Ibumu! Dia memasukkan sesuatu di dalam sup daging!" seru Damian lalu mencumbu tubuh istrinya tanpa jeda."T-tapi, aku juga minum sup yang sama dan tidak bermasalah apa pun, Damian! Ini salah!" Savanah berusaha memberi penjelesan. Dia tidak menerima apabila Damian menuduh ibunya hal yang tidak baik."K-kamu mabuk?"Mendengar itu, Damian mendongkak, menatap Savanah dengan kedua mata memerah. Tubuhnya benar-benar terasa hangat dan dia tahu apa yang dia ing
"Apa ini?" tanya Damian dengan wajah yang masih mengantuk.Hujan masih menguyur di luar rumah mereka dan dia benar-benar sangat lapar walau dia tertidur sebentar tadi karena kelelahan."Mie telur rebus. Saya pikir kamu lebih suka memakannya dengan sedikit sup hangat," sahut Savanah dengan wajah sedikit ragu.Damian mengamati mangkuk berisi mie dengan sup dan toping sebuah telur ayam di atasnya."Kalau kamu membubuhi sesuatu, maka aku tidak akan ragu untuk menyiksamu sekali lagi," gumam Damian lalu mulai melahap makanannya.Makanan itu disajikan di atas tempat tidur dan Damian makan di atas ranjang dengan alas meja kecil."Kau pikir aku sebodoh itu? Menyiksa diriku sendiri dan membiarkan kamu menikmatinya?" Monolog Savanah, dia tidak pernah berani mengatakannya secara langsung kepada Damian melainkan hanya mengatakannya di dalam hati.Savanah membaringkan dirinya di sebelah pria itu, memegang bagian bawah perutnya yang masih terasa nye
Sarapan bersama keluarga adalah hal yang asing baginya, dan meskipun tidak diungkapkan, momen ini memberikan kehangatan kecil yang tidak dia miliki di masa lalunya.Namun, setelah sarapan selesai, hari itu segera berubah menjadi lebih berat.Savanah dan Damian mengantar ibu Savanah kembali ke penjara, momen yang terasa berat bagi Savanah.Awalnya Savanah menolak karena dia tahu, Damian harus pergi bekerja, namun Damian memutuskan mengantar mereka.Dia berusaha menahan air mata saat mereka tiba di gerbang penjara. Suzie Brown tersenyum lemah, berusaha menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya."Jaga dirimu, Savanah," kata ibunya sambil memeluknya erat. "Dan jaga Damian."Savanah mengangguk, berusaha kuat. Damian, yang berada di sisi mereka, hanya mengangguk singkat, dan mereka menyaksikan ibu Savanah masuk kembali ke dalam penjara, meninggalkan mereka di luar.Sesaat setelah pintu penjara tertutup, Damian yang tadinya tampak lebih ha
Damian hanya menatap lurus ke depan, lalu dengan tenang berkata, "Istirahatlah di rumahmu." Tanpa menunggu jawaban, dia membuka kunci pintu mobil untuknya.Keisha menatapnya dengan wajah bingung, namun akhirnya menyerah. Dengan perasaan jengkel yang terlihat jelas, dia keluar dari mobil dan menutup pintu dengan kasar. "Kau selalu seperti ini, Damian," gumamnya dengan suara kecil, sebelum berjalan masuk ke rumahnya.Damian tidak memberi reaksi. Setelah memastikan Keisha masuk, dia langsung menyalakan mesin mobil dan pergi, meninggalkan suasana tegang yang tak terucapkan di antara mereka. Di benaknya, ada hal-hal yang lebih besar yang mulai meresahkan pikirannya.Damian memilih tenggelam dalam pekerjaan hari itu karena semua begitu melelahkan.***Malam itu, bar Salvastone dipenuhi dengan kilauan lampu-lampu neon yang gemerlap, alunan musik yang menggema, dan suara tawa serta obrolan riuh dari tamu-tamu yang datang untuk menghadiri pesta ulang tahun Keisha.Bar itu telah disulap menjadi
Tatapan Damian juga diketahui oleh Keisha, membuat wanita itu merasa sangat cemburu dan tidak bisa menerima begitu saja.Beberapa saat berlalu dan sambil tertawa keras, Keisha sengaja menjatuhkan gelas anggurnya ke lantai, menyebabkan pecahan kaca berserakan.Tanpa ragu, dia memanggil Savanah dengan nada sinis, seolah-olah dia adalah pelayan pribadi mereka. “Savanah! Tolong bersihkan ini, ya. Maaf, aku ceroboh,” katanya dengan suara yang dibuat-buat, diiringi senyum tipis penuh kesombongan.Savanah diam, menelan perasaan yang bergelut di dalam hatinya. Dengan tenang, dia mengambil alat kebersihan dan mendekat untuk membersihkan pecahan kaca.Saat dia berjongkok di dekat meja, pandangannya tak bisa menghindar dari Damian, yang duduk bersebelahan dengan Keisha. Pria itu tampak sangat mesra, merangkul Keisha erat, tangannya menggenggam bahunya yang sengaja terbuka, sesekali bibirnya mendarat lembut di kulit halus Keisha.Mata Savanah hanya
"Maaf, saya akan membersihkannya lagi," Savanah berkata dengan suara datar, meskipun luka di tangannya masih terasa nyeri. Dia menundukkan kepala dan berusaha menahan perasaannya yang semakin terluka, baik secara fisik maupun emosional. Membersihkan pecahan kaca lainnya dengan menggunakan sapu.Namun, dalam hatinya, dia tahu bahwa malam itu hanya menambah satu lagi tumpukan luka yang terus dia bawa—luka yang lebih dalam daripada sekadar potongan kaca di tangannya.Savanah merasa ingin sekali lenyap dari bumi pada saat itu juga. Setelah selesai melakukan pekerjaannya, Savanah segera pergi ke kamar ganti di ruangan pekerja, mencoba menenangkan diri dari semua kekacauan yang terjadi di bar.Begitu sampai di wastafel, dia menyalakan keran dan mulai membasuh lukanya. "Aahh ssst..." desisnya, menahan rasa nyeri yang merambat dari luka di jarinya. Air mengalir deras, membawa darah tipis yang mengalir di sela-sela jemarinya.Dia menatap cermin, melihat pant
Damian tidak terpengaruh. “Kau bebas mencoba, Keisha. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan keluargaku lagi.”Keisha meninggalkan lokasi pertemuan dengan wajah penuh amarah, tetapi Damian merasa lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa telah mengambil kendali penuh atas hidupnya.***Setelah mengetahui kebenaran tentang malam di Salvastone, Damian masih merasakan amarah yang tertahan di dalam dirinya. Ia tidak hanya marah kepada Keisha yang mencoba memanipulasi kenyataan, tetapi juga kepada Roni, pria yang berani mendekati istrinya dan bahkan mengklaim hubungan yang tidak pernah ada.Damian memutuskan untuk menghadapi Roni secara langsung. Ia tahu di mana pria itu biasanya berada—gym kecil di pinggiran kota tempat Roni melatih tubuhnya.Dengan langkah cepat, Damian melajukan motornya ke sana, wajahnya mencerminkan ketegasan dan kemarahan yang ia rasakan.Ketika
Savanah tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih memerah. “Ya, Damian. Kau tidak melepaskanku bahkan sesudah berulang kali kamu mendapatkan pelepasan, dan aku… aku tidak bisa mengatakan tidak. Aku tanpa sadar sudah mencintaimu, bahkan saat itu.”Damian menarik napas panjang, rasa bersalah yang selama ini menghantui dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh kelegaan dan kebahagiaan yang tak terkira.“Aku bodoh,” katanya dengan suara rendah. “Aku membiarkan Keisha memanipulasiku dengan kebohongannya, sementara wanita yang aku cari selama ini adalah kamu, istriku sendiri.”Savanah menggeleng. “Semua sudah berlalu, Damian. Yang penting sekarang adalah kita tahu kebenarannya.”Damian kembali memeluk Savanah, membiarkan air mata kecil jatuh di pipinya. “Aku mencintaimu, Savanah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita lagi. Kamu ad
Damian menyebut tanggalnya, dan Savanah membekap mulutnya sendiri. Hatinya berdebar keras."Damian… itu aku. Aku juga berada di sana malam itu. Aku… aku merasa semuanya begitu aneh, tapi aku ingat. Aku mengalami pelecehan. Lalu Roni mengaku bahwa dia yang melakukannya. Tanggal dan harinya sama! Itu aku.""Kau?""Keisha tidak hadir di malam itu, dia mengambil shift pagi!" pekik Savanah tak percaya.Damian menatapnya dengan penuh kebingungan. "Apa? Savanah, maksudmu…""Ya," potong Savanah dengan tegas. "Wanita itu adalah aku. Aku bahkan memiliki bukti. Petugas sekuriti yang berjaga malam itu melihat kita. Dia mencatat bahwa aku masuk ke ruang ganti untuk mengambil sesuatu. Selain itu, aku menemukan cincin di kantung kemeja kerjaku. Lalu Keisha merampasnya dan saat itu kamu datang lalu...""Astaga!" Savanah menutup bibirnya dengan tangan, dia baru mengerti bahwa Damian mengira Keisha adalah wanit
Savanah mencoba melawan, tetapi kekuatan Damian terlalu besar. Bibir pria itu sudah mencium lehernya dengan rakus, kembali lagi meninggalkan jejak merah yang tidak mungkin disembunyikan.Gigitannya yang intens terasa seperti tanda kepemilikan yang ingin ia tunjukkan kepada dunia. Tangannya memeras bagian depan Savanah dengan kuat sehingga Savanah merasa kesakitan.“Damian, berhenti!” Savanah memohon, suaranya gemetar. “Ini terlalu banyak. Cukup!”Namun, Damian tidak mendengarkan. Tubuhnya terus menekan tubuh Savanah, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak pernah lupa siapa yang memiliki dirinya sepenuhnya."Damian, ini menyakitkanku!" teriak Savanah, berusaha melepaskan diri dari tangan Damian yang menyakiti beberapa bagian sensitif miliknya.Dengan cepat, Damian membuka kemeja tidurnya sehingga bagian depannya terekspos dengan indah dan Damian segera melahapnya denga
Tanpa tujuan yang jelas, Roni berjalan hingga sampai di sebuah taman kecil yang sepi. Ia duduk di bangku kayu yang teduh di bawah pohon besar, menundukkan kepala sambil memandangi tanah.Seorang ibu dengan anak kecil lewat di depannya, suara tawa anak itu membuat hati Roni terasa semakin hancur. Ia membayangkan seperti apa rasanya jika ia yang berada di tempat Damian—memiliki Savanah dan seorang anak bersama, membangun keluarga kecil yang bahagia.Namun, bayangan itu hanya membuatnya semakin sadar bahwa semua itu adalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan."Itu bukan anakku juga, Roni... kamu hanya terlalu berharap," gumamnya sambil tertawa lepas.Roni meraih sebotol air yang ia bawa, meneguknya dengan cepat. Tangannya bergetar, dan tanpa sadar, ia memukul bangku kayu di sebelahnya dengan keras.“Bodoh,” gumamnya."Sungguh bodoh!"“Bodoh karena berpikir aku punya kesempatan.”Roni menunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai mengalir,
Roni mengepalkan tangannya, tetapi ia tetap diam, meskipun tubuhnya jelas menunjukkan ketegangan yang luar biasa.“Savanah masih sehebat dulu,” lanjut Damian dengan nada yang dibuat seolah-olah ia hanya sedang bercakap-cakap santai. “Kami bahkan mengulangnya beberapa kali sampai dia minta ampun. Tubuhnya semakin montok sekarang, mungkin karena dia sedang hamil anakku. Tapi kau tahu? Itu justru membuatnya semakin nikmat.”Roni terdiam dan mengetatkan rahangnya.Kata-kata Damian menghantam Roni seperti pukulan bertubi-tubi. Ia menatap Savanah dengan mata yang penuh luka, tetapi wanita itu hanya bisa menunduk, tidak mampu menghadapi tatapannya.“Kau tahu tentang kehamilannya?” tanya Roni akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan rasa kecewa.Damian tersenyum kecil. “Tentu saja. Anak ini milikku, dan aku akan memastikan bahwa dia tumbuh dengan kedua orang tuanya yang lengkap. Jadi, apa yang tersisa untukmu, Roni?”Roni terdiam. Pertanyaan itu menusuk hatinya lebih dalam daripada yang
Damian menatap tubuh Savanah dengan tatapan penuh kekaguman. “Kamu semakin padat, Savanah,” bisiknya dengan suara rendah yang menggoda. “Itu membuatku semakin ingin menempel terus padamu.”Savanah mencoba menghindar, tetapi Damian sudah mendekapnya erat, membuatnya tidak memiliki ruang untuk bergerak. Ia mencium leher Savanah perlahan, meninggalkan jejak kecil yang membuat wanita itu merasa tubuhnya memanas lagi.“Damian, sudahlah,” rengek Savanah dengan suara bergetar. “Kita sudah melakukannya berkali-kali. Aku lapar…”Namun, Damian tidak berhenti. Bibirnya terus menjelajahi tubuh Savanah, memberikan tanda-tanda percintaan yang ia tahu tidak akan mudah hilang. Setiap jejak yang ia tinggalkan terasa seperti pernyataan kepemilikan, seolah-olah ia ingin dunia tahu bahwa Savanah adalah miliknya, tidak ada yang lain.“Damian,” desah Savanah, mencoba menarik diri, tetapi tubuhnya sendiri mulai menyerah pada kehangatan yang diberikan pria itu.“Aku hanya ingin memastikan,” bisik Damian samb
“Ini anakku?” tanya Damian lagi, suaranya lebih tegas kali ini.Savanah mengalihkan pandangannya, tidak bisa menatap langsung ke mata Damian. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya akhirnya menjawab segalanya.“Ya, Damian. Ini anakmu.”Damian terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Hatinya dipenuhi dengan emosi yang bercampur aduk—kebahagiaan, keterkejutan, dan rasa bersalah. Ia tahu bahwa segalanya akan berubah mulai sekarang, tetapi ia juga tahu satu hal dengan pasti: ia tidak akan pernah meninggalkan Savanah dan anak mereka lagi.Damian berdiri mematung di depan pintu kamar mandi, matanya terpaku pada Savanah yang masih terlihat pucat. Wajahnya berubah—dari keterkejutan menjadi kebahagiaan yang begitu besar, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan selama ini.Savanah melangkah keluar dari kamar mandi dan mengabaikan tatapan penuh selidik dari Damian. D
"Ugh... Damian. J-jangan," rintih Savanah dengan rasa geli nikmat dan tubuh yang mulai bereaksi atas sentuhan maskulin dari prianya.“Savanah, aku mencintaimu,” bisik Damian sambil mengelus pipi Savanah, menatap kedua mata beningnya dalam-dalam.Savanah tidak menjawab. Ia hanya menatap Damian dengan mata yang berkaca-kaca, perasaannya bercampur aduk antara marah, rindu, dan cinta yang masih ada di sudut hatinya.Pernyataan cinta yang tidak pernah dia dapatkan selama ini dan saat ini pria itu mengatakannya dalam moment yang tidak dapat dia tolak. Tubuhnya tidak berkuasa menolak atas cumbuan yang diberikan Damian.Saat Damian menundukkan tubuhnya dan mencium leher Savanah lalu menggigitnya dengan lembut, wanita itu tidak bisa lagi melawan perasaannya. Tangannya bergerak memeluk Damian, membiarkannya mengambil alih pagi itu dengan sentuhan yang penuh gairah."Pelankan, Damian," desis Savanah, mengingat dengan