"Biar aku menuntunmu," tawar rekan kerjanya berusaha membantu tetapi Savanah mengatakan bahwa dia akan keluar sendiri. Dia membutuhkan waktu sebentar.Akhirnya, beberapa menit kemudian, Savanah berjalan keluar dengan langkah tertatih dan sedikit pincang pada kaki kirinya."Anda siapa?" tanya Savanah saat melihat seorang pria berpakaian casual dan terlihat seperti preman."Saya dari pinjol, anda mempunyai hutang dan saya datang utnuk mengklarifikas," sahut pria itu sambil tersenyum licik dan menelusuri lekuk tubuh Savanah sambil berjalan mengelilingi wanita itu."Eh, tapi aku sudah membayar semua, " sargah Savanah."Tetapi kami belum menerima sepersen pun! Anda hanya berpura-pura!" Pria itu segera menarik tangan Savanah sehingga tubuh mereka hampir menempel."Lepaskan!" pekik Savanah seraya mendorong tubuh pria itu sehingga mereka memiliki jarak.Savanah menatap pria itu dengan sorot mata tajam, meski tubuhnya terasa lemah. Hatinya ber
Damian menatap punggung Keisha yang menjauh. Sesaat kemudian, dia segera berlari mengejar wanitanya."Sudah-sudah, kita pergi berbelanja. Jangan merajuk lagi, kepalaku psuing!"Mendengar kata belanja, tentu saja hidung wanita itu kembang-kempis."Kita naik mobil kali ini?" tanya Keisha dengan kedua mata berbinar-binar."Tentu saja, Sayang." Damian segera mengeluarkan ponselnya dan memanggil seseorang.Tidak lama kemudian, sebuah mobil mewah keluaran terbaru berhenti tepat di hadapan mereka. Kedua mata Keisha membulat sempurna dan mulutnya tidak sanggup tertutup.Mobil sport berwarna hitam berkilau itu adalah mobil mahal yang hanya dimiliki oleh beberapa orang terkaya di dunia dan Damian memilikinya saat ini."Silakan, Sayangku," ucap Damian sambil membuka pintu dan mempersilakan Keisha masuk.Wanita itu langsung melupakan semua kejadian yang terjadi dan duduk di dalam mobil mewah dengan tatapan tidak percaya.***
Savanah mematung sejenak lalu tertawa kecil, dia sama sekali tidak merasa sebagai bagian dari keluarga Pangestu."Aku dengar apa yang orang-orang bilang tentang kamu. Damian dan Keisha? Apa yang sebenarnya terjadi?" lanjut Roni.Savanah terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Mereka salah paham, Roni. Aku nggak ada niat untuk mendekati Damian. Aku bahkan nggak tahu kenapa mereka berpikir seperti itu.""Tadi Damian datang untuk membuatku menandatangani perjanjian kontrak perceraian, itu saja... dan semua menjadi serba salah.""Perjanjian perceraian?" Roni terkejut. Bagaimana mereka bisa bercerai pada saat baru menikah semalam?Savanah menundukkan kepalanya, melihat ke lantai yang masih basah, suaranya melemah. "Tapi, apa yang orang-orang pikirkan sekarang nggak penting. Aku hanya butuh waktu untuk membereskan semuanya..."Roni menatap Savanah dalam-dalam, merasakan ada lebih banyak hal yang dia sembunyikan. "Savanah, k
Setelah beberapa saat, dengan bantuan para pelayan, Roni dan Damian akhirnya dipisahkan.Roni berdiri terengah-engah, dadanya naik-turun penuh amarah, sementara Damian tersenyum kecil meski darah masih mengalir dari bibirnya."Kalau kau mau Savanah, ambil saja," ucap Damian lagi dengan nada mengejek, sambil menyeka darah di wajahnya."Aku tidak peduli."Roni mengabaikan ejekan itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan keluar dari bar."Ingat kalimatmu dan jangan menyesal!" geramnya.Tubuhnya lelah, kepalanya berdenyut, dan rasa lapar mulai mengganggu, tetapi ada satu hal yang lebih penting sekarang: Savanah.Roni memacu mobilnya langsung menuju ke bar Salvastone. Dia merasa Savanah tidak serendah yang dikatakan oleh Damian.Sesampainya di luar bar, Roni berjalan cepat ke tempat di mana Savanah masih bekerja. Ketika melihatnya yang masih terlihat lemah dan tertatih, Roni langsung tahu apa yang harus ia lakukan."S
"Ini enak, kok," lanjutnya sambil menyuap sesendok nasi goreng ke bibirnya yang mungil.Roni menatapnya lebih lama, menatap bibir mungil milik Savanah tanpa lipstik, seolah melihat sisi lain dari Savanah yang selama ini tak pernah ia sadari.Roni bisa merasakan, di balik semua masalah dan luka, ada seseorang yang mencari kedamaian dalam hal-hal kecil.Dia melihat bahwa Savanah tidak hanya sekadar wanita dengan masa lalu yang rumit, tetapi juga seseorang yang berjuang dalam kesunyian.Savanah membalas tatapan Roni, "ada apa? Ada sesuatu di wajahku?"Roni menggelengkan kepala lalu menjulurkan tangannya, "tidak, hanya sebiji nasi yang tertinggal di sudut bibirmu yang manis.""Aa, maaf. Ini memalukan sekali," sahut Savanah dengan canggung lalu menarik tissue untuk mengelap mulutnya."Ohya, bagaimana bila aku membawamu ke dokter untuk mengobati kakimu?"Savanah buru-buru menggelengkan kepalanya, "tidak usah. Sudah larut malam
Damian mengayunkan tangan, menjatuhkan lampu tidur yang ada di meja nakas hingga pecah berantakan di lantai. Suara pecahan kaca membuat suasana semakin tegang. "Aku muak denganmu, Savanah! Kau hanya masalah dalam hidupku!"Savanah merasa ketakutan, tapi ia menolak untuk menunjukkan kelemahan. Meski tubuhnya gemetar, dia mencoba menenangkan Damian."Damian, aku sudah sudah menandatangani dokumen perjanjian perceraian, kita hanya perlu menjalani hari-hari sampai saatnya tiba. Kenapa masih marah seperti ini? Aku tidak melakukan apa pun yang salah."Damian mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Savanah. "Aku bilang, aku tahu apa yang kau lakukan! Kalau kau berani macam-macam dengan Roni, aku akan pastikan kau menyesal."Damian teringat karena penandatangan dokumen perjanjian cerai itulah Roni mencarinya dan meninjunya lalu terjadi sebuah perkelahian yang tidak pernah mereka lakukan karena mereka adalah teman yang sangat akrab dari sejak kecil."Ga
Saat Damian membalikkan tubuhnya untuk mengambil handuk, Savanah juga melihat luka baru di punggungnya, bekas cakaran yang ia buat sendiri dalam kehebohan emosi mereka barusan.Bekas itu tampak merah dan segar di antara tetesan air yang mengalir di kulit Damian.Savanah menggigit bibirnya, perasaan bersalah mulai mengalir di dalam dirinya. "Damian..." suaranya pelan, hampir tak terdengar di antara suara air yang jatuh."Apa yang terjadi denganmu?" tanyanya, menunjuk ke arah bekas luka di pundaknya.Damian terdiam sesaat, seolah menimbang jawabannya, lalu menghela napas panjang."Itu karena aku memaksa Keisha untuk...," katanya dengan nada datar."Diamlah, itu sesuatu yang tidak perlu kau khawatirkan."Namun, Savanah tahu ada lebih dari sekadar luka fisik di balik cerita itu.Damian menatap Savanah sekilas, lalu kembali menikmati air dingin yang membasahi tubuhnya.Menyadari Damian yang mulai sadar dari mabuknya, Savanah
Savanah terdiam, menatap Damian dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tahu ada sesuatu yang menyakitkan di balik kalung itu, di balik luka-luka yang tersembunyi dan semua amarah yang meledak tak terkendali. Tapi dia juga tahu bahwa tanpa keinginan dari Damian sendiri, tak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah itu."Baik," jawab Savanah akhirnya, menahan rasa sakit di dalam dirinya. "Kalau itu yang kau mau."Damian, dengan gerakan yang kaku dan tanpa banyak bicara, segera melangkah lalu membuka lemari, mengeluarkan kemeja tidur dan memakainya.Savanah hanya memerhatikan dalam diam, perasaan terluka semakin dalam ketika melihat jarak emosional yang tak lagi bisa disangkal di antara mereka."Aku akan tidur di kamar tamu," ucap Damian, tanpa menatap Savanah, suaranya datar, dingin, seolah perbincangan tadi tak pernah terjadi. Langkahnya segera beranjak menuju pintu, tanpa menunggu jawaban darinya.Savanah terdiam, hatinya serasa tertusuk. Kata-kata Dam
“Ini anakku?” tanya Damian lagi, suaranya lebih tegas kali ini.Savanah mengalihkan pandangannya, tidak bisa menatap langsung ke mata Damian. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya akhirnya menjawab segalanya.“Ya, Damian. Ini anakmu.”Damian terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Hatinya dipenuhi dengan emosi yang bercampur aduk—kebahagiaan, keterkejutan, dan rasa bersalah. Ia tahu bahwa segalanya akan berubah mulai sekarang, tetapi ia juga tahu satu hal dengan pasti: ia tidak akan pernah meninggalkan Savanah dan anak mereka lagi.Damian berdiri mematung di depan pintu kamar mandi, matanya terpaku pada Savanah yang masih terlihat pucat. Wajahnya berubah—dari keterkejutan menjadi kebahagiaan yang begitu besar, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan selama ini.Savanah melangkah keluar dari kamar mandi dan mengabaikan tatapan penuh selidik dari Damian. D
"Ugh... Damian. J-jangan," rintih Savanah dengan rasa geli nikmat dan tubuh yang mulai bereaksi atas sentuhan maskulin dari prianya.“Savanah, aku mencintaimu,” bisik Damian sambil mengelus pipi Savanah, menatap kedua mata beningnya dalam-dalam.Savanah tidak menjawab. Ia hanya menatap Damian dengan mata yang berkaca-kaca, perasaannya bercampur aduk antara marah, rindu, dan cinta yang masih ada di sudut hatinya.Pernyataan cinta yang tidak pernah dia dapatkan selama ini dan saat ini pria itu mengatakannya dalam moment yang tidak dapat dia tolak. Tubuhnya tidak berkuasa menolak atas cumbuan yang diberikan Damian.Saat Damian menundukkan tubuhnya dan mencium leher Savanah lalu menggigitnya dengan lembut, wanita itu tidak bisa lagi melawan perasaannya. Tangannya bergerak memeluk Damian, membiarkannya mengambil alih pagi itu dengan sentuhan yang penuh gairah."Pelankan, Damian," desis Savanah, mengingat dengan
“Tidak,” jawab Damian dengan suara rendah, memeluknya lebih erat. “Aku tidak bisa, Savanah. Aku butuh ini. Aku butuh kau.”Savanah terdiam sejenak, tubuhnya kaku dalam pelukan Damian. Namun, ia tidak bisa mengabaikan detak jantung Damian yang terasa di dadanya, seolah-olah pria itu benar-benar takut kehilangannya.“Aku tidak akan melakukan apa-apa,” kata Damian pelan. “Aku hanya ingin berada di dekatmu. Tolong, jangan usir aku.”Savanah merasa hatinya mulai bergetar. Ia tahu bahwa Damian memiliki cara untuk membuatnya merasa lemah, meskipun ia berusaha keras untuk tetap kuat. Namun, ia juga tahu bahwa jika ia membiarkan ini terus terjadi, ia akan semakin sulit melepaskan diri dari Damian.“Damian, aku…” Savanah mencoba berkata sesuatu, tetapi kata-katanya terhenti.Damian mengangkat wajahnya sedikit, menatap mata
Savanah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Damian, lalu berdiri dengan cepat di sebelah tempat tidur. Matanya memancarkan kemarahan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau tidak bisa memaksaku untuk memberikan sesuatu yang tidak ingin kuberikan, Damian!” serunya.Damian duduk di tempat tidur, menatap Savanah dengan tatapan tenang tetapi intens. “Aku tidak memaksamu, Savanah. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri.”“Aku sudah jujur!” balas Savanah dengan suara gemetar. “Aku tidak menginginkanmu lagi dalam hidupku. Jadi, tolong keluar dari kamar ini.”"Aku akan menikah dengan Roni! Kalau kamu masih belum mendengar dengan jelas, maka aku akan mengulangnya ribuan kali sampai kamu bisa mencatatnya dalam kepalamu!" geram Savanah.Namun, Damian tetap duduk di sana, tidak bergerak sedikit pun. “Kalau begitu, buktikan,” katanya pelan.
Damian menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Savanah, tolong,” katanya pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Aku hanya butuh tempat untuk tidur malam ini. Aku janji tidak akan menyentuhmu atau mengganggumu. Hanya tidur.”"Ini sudah malam sekali, apakah kamu tega menyuruhku keluar untuk mencari hotel?""Aku juga baru keluar dari Rumah Sakit, membawa motor malam-malam bisa membahayakan...""... dan jangan lupa, aku juga baru mengalami kecelakaan karena motor baru itu..."Savanah terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Damian yang membuatnya sulit untuk menolak, meskipun ia tahu bahwa mengizinkannya masuk bisa membawa lebih banyak masalah.Setelah beberapa saat, Savanah menghela napas panjang dan melangkah ke samping, memberi ruang bagi Damian untuk masuk. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi kau tidur di lantai. Aku akan mengambilkan selim
"Lagipula, kamu dan Keisha bisa segera memulai hidup baru tanpa adanya gangguan apa pun. Aku juga akan menikah dan menjalani hidup yang baru. Bukankah ini adalah akhir yang adil untuk semua orang?"Damian tidak menjawab, tetapi matanya tetap terpaku pada Savanah, seolah-olah mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Melihat Damian yang memilih diam dan malam yang semakin larut, Savanah merasa saatnya untuk tidur dan mungkin membahas hal lainnya besok pagi. Dia merasa harus menjaga kondisi kesehatan dirinya untuk bayi yang berada dalam kandungannya."Sudahlah, beristirahatlah. Mungkin besok pagi kita bisa membicarakan hal ini kembali dengan tubuh dan kepala yang lebih segar," ucap Savanah.Savanah akhirnya meninggalkan Damian sendirian di ruang utama bar, membiarkannya tetap di sofa. Malam itu, meskipun Damian bersikeras untuk tinggal, suasana di Salvastone terasa jauh lebih dingin daripada biasanya
Savanah memandang Damian dengan tatapan tidak percaya. Pria itu, yang baru saja membuat seluruh ruangan tegang dengan kehadirannya, kini dengan santai menjatuhkan dirinya ke sofa besar di lantai dua di mana sebelumnya Roni tiduran.Damian menyandarkan tubuhnya, mengangkat satu kaki ke atas sandaran sofa, dan melipat kedua tangannya di belakang kepala. Wajahnya terlihat santai, seolah-olah ia adalah pemilik tempat itu.“Apa yang kau lakukan, Damian?” tanya Savanah, nada suaranya naik. “Kau tidak bisa begitu saja masuk ke sini dan bertingkah seolah-olah ini tempatmu.”Damian membuka matanya perlahan, menatap Savanah dengan senyum kecil yang penuh tantangan. “Aku memutuskan untuk tinggal di sini. Aku rasa ini tempat yang nyaman.”“Damian, aku serius,” kata Savanah, matanya memerah karena marah. “Pergilah dari sini sebelum aku benar-benar kehilangan k
Damian berhenti sejenak, menatap dokter itu dengan dingin. “Terima kasih atas saran Anda, Dok. Tapi saya tahu tubuh saya lebih baik dari siapa pun.”“Tuan Damian, ini berisiko. Anda masih membutuhkan waktu—”“Cukup,” potong Damian sambil melangkah pergi. “Saya sudah memutuskan.”"Ingatlah untuk kembali dan melakukan fisioterapi, dan Anda juga belum diperbolehkan untuk membawa motor dan...""Hei... Tuan Damian."Apa pun yang dikatakan oleh sang Dokter, tidak menjadi perhatian Damian. Pria itu bergerak terus menuju ke parkiran, di mana motornya sudah berada di sana.Angin malam langsung menyambutnya dengan dingin. Di tempat parkir, motornya dia hidupkan. Mesin kendaraan itu mengaum begitu ia memutarnya, mengisi keheningan dengan suara yang tajam.Meskipun tubuhnya masih terasa lemah, Damian tidak peduli. Ia mengenakan helm, menarik napas dalam-dalam, lalu melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan rumah sakit.Tujuannya sudah jelas: Bar Salvastone.Sepanjang perjalanan, pikirannya dipe
"Kamu terlihat pucat, Sayang."Savanah mengangguk kecil.Roni memandang Savanah dengan tatapan penuh perhatian. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa mual atau lelah. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya bertanya, “Savanah, kapan kita akan melangsungkan pernikahan?”Pertanyaan itu membuat Savanah terdiam. Ia menunduk, mencoba menghindari tatapan Roni. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia belum siap untuk menjawab pertanyaan itu.“Roni,” katanya pelan, suaranya hampir bergetar, “tentang tadi… aku—aku hanya menantang Damian.”Roni terdiam, wajahnya berubah sedikit suram. “Jadi, kau mengatakan itu hanya untuk membuat Damian marah?” Suaranya terdengar lesu dan penuh kekecewaan.Savanah tidak menjawab, tetapi raut wajahnya sudah cukup menjelaskan segalanya. Roni menghela napas berat, mencoba menenangkan dirinya dari rasa kecewa yang mulai merasuk.“Aku mengerti,” kata Roni akhirnya, meskipun suaranya terdengar sedikit getir. “Aku hanya menjadi alat permainanmu.”Sav