"Oh, Pengacara sedang mengutus seseorang untuk mencari tahu apakah ada cctv yang merekam semua kejadian itu dan informasi apa yang sudah dimiliki oleh keluarga Brown itu untuk menyerang Anda."
"Bagus. Pergilah..." Damian mengangkat tangannya lalu memberi kode agar sang asisten keluar.
Damian hendak menyesap kopinya kembali tetapi ternyata gelas itu sudah kosong. Dengan kesal, Damian melangkah kembali ke mejanya dan hendak memesan kopi.
Namun, beberapa kali melakukan panggilan lewat interkom, tidak ada yang mengangkatnya.
Dengan penasaran, Damian keluar dari ruangannya dan dengan mimik heran Damian melangkah menuju ke kerumunan pegawai yang terlihat seperti membahas sesuatu yang serius.
"Kamu tahu, Roni mendekati Nyonya muda, lalu berkata, kamu juga cantik dan-" Perkataan sang supir terhenti karena dia melihat keberadaan Damian di sana dengan tatapan bagaikan elang yang sedang lapar.
"T-tuan."
Semua karyawan yang berada di sana buru-bu
Damian tidak mau ada seorang pun yang mengetahui mengenai luka di lehernya, sehingga luka itu susah sembuh karena sama sekali tidak diobati. Belom lagi kalung yang dia pakai, tanpa sengaja mengores lapisan kulit di mana ada luka.Alih-alih mengoleskan obat, dia hanya menempelkan tissue kemudian menutupnya dengan kerah kemeja."Merepotkan!" desisnya menahan sakit.Sambil menahan luka yang mulai terasa nyeri, Damian memikirkan sedang apa Savanah dan apakah istri yang baru dinikahinya itu memang murahan seperti itu sampai menggoda Roni?Damian memutuskan untuk menghubungi Roni. Namun, karena Roni sedang rapat bersama beberapa koleganya, dia sama sekali tidak mengangkat panggilan.Damian mulai memikirkan hal negatif yang mungkin kedua orang itu lakukan. Sampai membayangkan bahwa mereka sedang berada di salah satu kamar VIP bar Salvastone, bernyanyi karaoke dengan gembira lalu berakhir di ranjang yang sama dan Roni menertawakan kebodohannya karena mendapatkan seorang istri yang menjadi sim
Damian melepaskan Savanah dan mengelus pipinya yang ditampar tadi. "Ini adalah tamparan terakhir darimu. Kalau sekali lagi menampar, maka lihat saja apa yang bisa kulakukan untuk membalasmu!"Savanah segera memakai seragamnya dengan air mata yang mulai berlinang dan terpaksa membiarkan Damian menyaksikannya dengan tatapan mencibir."Apa maumu ke mari?" tanya Savanah dengan suara bergetar, menahan kekesalan dalam hatinya."Mau memperingatkanmu mengenai pernikahan palsu kita! Ini!" Damian melempar dokumen, tepat mengenai bagian depan dada Savanah."Baca dan tanda tangani!" Damian memasukkan tangan ke kantong celananya lalu melangkah pelan mengelilingi ruangan kecil tersebut sementara Savanah mulai membuka dokumen dan membacanya sekilas.Savanah kesal melihat banyaknya tulisan dan pasal-pasal yang membingungkan. Dia hanya mengecap pendidikan Sekolah Menengah. Semakin membaca, hanya akan membuat kepalanya berat.Sementara Damian tiba-tiba teringat dengan malam penuh gairah yang dia alami,
Namun, Keisha tak mendengarkan. Matanya berkilat marah, dan tangannya tetap mencengkeram rambut Savanah. "Tidak seperti yang kupikirkan? Aku melihat semuanya, Damian! Kau berlutut di hadapannya, kau—"Savanah mencoba menarik napas di tengah rasa sakit pada kakinya, namun juga amarah. "Lepaskan, Keisha! Ini bukan urusanmu!""Ini sakit!"Damian meraih tangan Keisha, mencoba menenangkan kekasihnya yang terbakar emosi. “Keisha, dengarkan aku! Savanah terluka, aku hanya membantu!”Keisha menatap Damian dengan penuh kemarahan dan kekecewaan, matanya yang berapi-api kini mulai basah. “Membantu? Apa kau pikir aku bodoh, Damian?""Katakan? Mengapa kalian berdua bisa berada di sini? Ini ruang pekerja. Aku tahu, jalang ini pasti menggodamu, bukan?" Keisha menarik rambut Savanah lebih keras."Lepaskan, ini sakit!" pekik Savanah dengan kelopak mata yang sudah penuh."Lepaskan dia, Keisha!" Damian meninggikan suaranya.Mendengar itu, Keisha menghempaskan tangannya dengan kasar sehingga Savanah terb
"Biar aku menuntunmu," tawar rekan kerjanya berusaha membantu tetapi Savanah mengatakan bahwa dia akan keluar sendiri. Dia membutuhkan waktu sebentar.Akhirnya, beberapa menit kemudian, Savanah berjalan keluar dengan langkah tertatih dan sedikit pincang pada kaki kirinya."Anda siapa?" tanya Savanah saat melihat seorang pria berpakaian casual dan terlihat seperti preman."Saya dari pinjol, anda mempunyai hutang dan saya datang utnuk mengklarifikas," sahut pria itu sambil tersenyum licik dan menelusuri lekuk tubuh Savanah sambil berjalan mengelilingi wanita itu."Eh, tapi aku sudah membayar semua, " sargah Savanah."Tetapi kami belum menerima sepersen pun! Anda hanya berpura-pura!" Pria itu segera menarik tangan Savanah sehingga tubuh mereka hampir menempel."Lepaskan!" pekik Savanah seraya mendorong tubuh pria itu sehingga mereka memiliki jarak.Savanah menatap pria itu dengan sorot mata tajam, meski tubuhnya terasa lemah. Hatinya ber
Damian menatap punggung Keisha yang menjauh. Sesaat kemudian, dia segera berlari mengejar wanitanya."Sudah-sudah, kita pergi berbelanja. Jangan merajuk lagi, kepalaku psuing!"Mendengar kata belanja, tentu saja hidung wanita itu kembang-kempis."Kita naik mobil kali ini?" tanya Keisha dengan kedua mata berbinar-binar."Tentu saja, Sayang." Damian segera mengeluarkan ponselnya dan memanggil seseorang.Tidak lama kemudian, sebuah mobil mewah keluaran terbaru berhenti tepat di hadapan mereka. Kedua mata Keisha membulat sempurna dan mulutnya tidak sanggup tertutup.Mobil sport berwarna hitam berkilau itu adalah mobil mahal yang hanya dimiliki oleh beberapa orang terkaya di dunia dan Damian memilikinya saat ini."Silakan, Sayangku," ucap Damian sambil membuka pintu dan mempersilakan Keisha masuk.Wanita itu langsung melupakan semua kejadian yang terjadi dan duduk di dalam mobil mewah dengan tatapan tidak percaya.***
Savanah mematung sejenak lalu tertawa kecil, dia sama sekali tidak merasa sebagai bagian dari keluarga Pangestu."Aku dengar apa yang orang-orang bilang tentang kamu. Damian dan Keisha? Apa yang sebenarnya terjadi?" lanjut Roni.Savanah terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Mereka salah paham, Roni. Aku nggak ada niat untuk mendekati Damian. Aku bahkan nggak tahu kenapa mereka berpikir seperti itu.""Tadi Damian datang untuk membuatku menandatangani perjanjian kontrak perceraian, itu saja... dan semua menjadi serba salah.""Perjanjian perceraian?" Roni terkejut. Bagaimana mereka bisa bercerai pada saat baru menikah semalam?Savanah menundukkan kepalanya, melihat ke lantai yang masih basah, suaranya melemah. "Tapi, apa yang orang-orang pikirkan sekarang nggak penting. Aku hanya butuh waktu untuk membereskan semuanya..."Roni menatap Savanah dalam-dalam, merasakan ada lebih banyak hal yang dia sembunyikan. "Savanah, k
Setelah beberapa saat, dengan bantuan para pelayan, Roni dan Damian akhirnya dipisahkan.Roni berdiri terengah-engah, dadanya naik-turun penuh amarah, sementara Damian tersenyum kecil meski darah masih mengalir dari bibirnya."Kalau kau mau Savanah, ambil saja," ucap Damian lagi dengan nada mengejek, sambil menyeka darah di wajahnya."Aku tidak peduli."Roni mengabaikan ejekan itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan keluar dari bar."Ingat kalimatmu dan jangan menyesal!" geramnya.Tubuhnya lelah, kepalanya berdenyut, dan rasa lapar mulai mengganggu, tetapi ada satu hal yang lebih penting sekarang: Savanah.Roni memacu mobilnya langsung menuju ke bar Salvastone. Dia merasa Savanah tidak serendah yang dikatakan oleh Damian.Sesampainya di luar bar, Roni berjalan cepat ke tempat di mana Savanah masih bekerja. Ketika melihatnya yang masih terlihat lemah dan tertatih, Roni langsung tahu apa yang harus ia lakukan."S
"Ini enak, kok," lanjutnya sambil menyuap sesendok nasi goreng ke bibirnya yang mungil.Roni menatapnya lebih lama, menatap bibir mungil milik Savanah tanpa lipstik, seolah melihat sisi lain dari Savanah yang selama ini tak pernah ia sadari.Roni bisa merasakan, di balik semua masalah dan luka, ada seseorang yang mencari kedamaian dalam hal-hal kecil.Dia melihat bahwa Savanah tidak hanya sekadar wanita dengan masa lalu yang rumit, tetapi juga seseorang yang berjuang dalam kesunyian.Savanah membalas tatapan Roni, "ada apa? Ada sesuatu di wajahku?"Roni menggelengkan kepala lalu menjulurkan tangannya, "tidak, hanya sebiji nasi yang tertinggal di sudut bibirmu yang manis.""Aa, maaf. Ini memalukan sekali," sahut Savanah dengan canggung lalu menarik tissue untuk mengelap mulutnya."Ohya, bagaimana bila aku membawamu ke dokter untuk mengobati kakimu?"Savanah buru-buru menggelengkan kepalanya, "tidak usah. Sudah larut malam
Savanah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Damian, lalu berdiri dengan cepat di sebelah tempat tidur. Matanya memancarkan kemarahan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau tidak bisa memaksaku untuk memberikan sesuatu yang tidak ingin kuberikan, Damian!” serunya.Damian duduk di tempat tidur, menatap Savanah dengan tatapan tenang tetapi intens. “Aku tidak memaksamu, Savanah. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri.”“Aku sudah jujur!” balas Savanah dengan suara gemetar. “Aku tidak menginginkanmu lagi dalam hidupku. Jadi, tolong keluar dari kamar ini.”"Aku akan menikah dengan Roni! Kalau kamu masih belum mendengar dengan jelas, maka aku akan mengulangnya ribuan kali sampai kamu bisa mencatatnya dalam kepalamu!" geram Savanah.Namun, Damian tetap duduk di sana, tidak bergerak sedikit pun. “Kalau begitu, buktikan,” katanya pelan.
Damian menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Savanah, tolong,” katanya pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Aku hanya butuh tempat untuk tidur malam ini. Aku janji tidak akan menyentuhmu atau mengganggumu. Hanya tidur.”"Ini sudah malam sekali, apakah kamu tega menyuruhku keluar untuk mencari hotel?""Aku juga baru keluar dari Rumah Sakit, membawa motor malam-malam bisa membahayakan...""... dan jangan lupa, aku juga baru mengalami kecelakaan karena motor baru itu..."Savanah terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Damian yang membuatnya sulit untuk menolak, meskipun ia tahu bahwa mengizinkannya masuk bisa membawa lebih banyak masalah.Setelah beberapa saat, Savanah menghela napas panjang dan melangkah ke samping, memberi ruang bagi Damian untuk masuk. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi kau tidur di lantai. Aku akan mengambilkan selim
"Lagipula, kamu dan Keisha bisa segera memulai hidup baru tanpa adanya gangguan apa pun. Aku juga akan menikah dan menjalani hidup yang baru. Bukankah ini adalah akhir yang adil untuk semua orang?"Damian tidak menjawab, tetapi matanya tetap terpaku pada Savanah, seolah-olah mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Melihat Damian yang memilih diam dan malam yang semakin larut, Savanah merasa saatnya untuk tidur dan mungkin membahas hal lainnya besok pagi. Dia merasa harus menjaga kondisi kesehatan dirinya untuk bayi yang berada dalam kandungannya."Sudahlah, beristirahatlah. Mungkin besok pagi kita bisa membicarakan hal ini kembali dengan tubuh dan kepala yang lebih segar," ucap Savanah.Savanah akhirnya meninggalkan Damian sendirian di ruang utama bar, membiarkannya tetap di sofa. Malam itu, meskipun Damian bersikeras untuk tinggal, suasana di Salvastone terasa jauh lebih dingin daripada biasanya
Savanah memandang Damian dengan tatapan tidak percaya. Pria itu, yang baru saja membuat seluruh ruangan tegang dengan kehadirannya, kini dengan santai menjatuhkan dirinya ke sofa besar di lantai dua di mana sebelumnya Roni tiduran.Damian menyandarkan tubuhnya, mengangkat satu kaki ke atas sandaran sofa, dan melipat kedua tangannya di belakang kepala. Wajahnya terlihat santai, seolah-olah ia adalah pemilik tempat itu.“Apa yang kau lakukan, Damian?” tanya Savanah, nada suaranya naik. “Kau tidak bisa begitu saja masuk ke sini dan bertingkah seolah-olah ini tempatmu.”Damian membuka matanya perlahan, menatap Savanah dengan senyum kecil yang penuh tantangan. “Aku memutuskan untuk tinggal di sini. Aku rasa ini tempat yang nyaman.”“Damian, aku serius,” kata Savanah, matanya memerah karena marah. “Pergilah dari sini sebelum aku benar-benar kehilangan k
Damian berhenti sejenak, menatap dokter itu dengan dingin. “Terima kasih atas saran Anda, Dok. Tapi saya tahu tubuh saya lebih baik dari siapa pun.”“Tuan Damian, ini berisiko. Anda masih membutuhkan waktu—”“Cukup,” potong Damian sambil melangkah pergi. “Saya sudah memutuskan.”"Ingatlah untuk kembali dan melakukan fisioterapi, dan Anda juga belum diperbolehkan untuk membawa motor dan...""Hei... Tuan Damian."Apa pun yang dikatakan oleh sang Dokter, tidak menjadi perhatian Damian. Pria itu bergerak terus menuju ke parkiran, di mana motornya sudah berada di sana.Angin malam langsung menyambutnya dengan dingin. Di tempat parkir, motornya dia hidupkan. Mesin kendaraan itu mengaum begitu ia memutarnya, mengisi keheningan dengan suara yang tajam.Meskipun tubuhnya masih terasa lemah, Damian tidak peduli. Ia mengenakan helm, menarik napas dalam-dalam, lalu melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan rumah sakit.Tujuannya sudah jelas: Bar Salvastone.Sepanjang perjalanan, pikirannya dipe
"Kamu terlihat pucat, Sayang."Savanah mengangguk kecil.Roni memandang Savanah dengan tatapan penuh perhatian. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa mual atau lelah. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya bertanya, “Savanah, kapan kita akan melangsungkan pernikahan?”Pertanyaan itu membuat Savanah terdiam. Ia menunduk, mencoba menghindari tatapan Roni. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia belum siap untuk menjawab pertanyaan itu.“Roni,” katanya pelan, suaranya hampir bergetar, “tentang tadi… aku—aku hanya menantang Damian.”Roni terdiam, wajahnya berubah sedikit suram. “Jadi, kau mengatakan itu hanya untuk membuat Damian marah?” Suaranya terdengar lesu dan penuh kekecewaan.Savanah tidak menjawab, tetapi raut wajahnya sudah cukup menjelaskan segalanya. Roni menghela napas berat, mencoba menenangkan dirinya dari rasa kecewa yang mulai merasuk.“Aku mengerti,” kata Roni akhirnya, meskipun suaranya terdengar sedikit getir. “Aku hanya menjadi alat permainanmu.”Sav
Savanah berbalik ke arah Roni, menggenggam tangannya erat, dan berkata dengan nada penuh keyakinan, “Roni, aku bersedia menikah denganmu.”Roni tertegun sejenak, jelas tidak menduga bahwa Savanah akan mengatakan hal itu di saat seperti ini. Namun, senyumnya perlahan muncul, dan ia membalas genggaman tangan Savanah dengan lembut.“Terima kasih, Savanah,” kata Roni dengan suara yang penuh emosi. Lalu memeluk Savanah dengan erat. Dia lalu memegang dagu Savanah dan melayangkan ciuman yang intens.Savanah membalas ciuman yang dalam itu dengan penuh perasaan tanpa menanggapi apalagi mempedulikan siapa yang berada di sana.Wajah Damian langsung berubah. Untuk pertama kalinya, tatapan dinginnya digantikan oleh ekspresi marah yang tidak bisa ia sembunyikan. Rahangnya mengeras, dan ia mengepalkan tangannya dengan kuat di sisi tubuhnya.“Bagus,” katanya dengan suara re
Savanah hanya bisa tersenyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. “Aku hanya ingin semuanya kembali seperti dulu, Bu. Aku ingin hidup kita kembali tenang.”Suzie menarik napas panjang. “Kadang-kadang, hidup tidak memberi kita ketenangan yang kita harapkan. Tapi kau harus ingat, Savanah, bahwa kekuatanmu akan membawamu melewati semuanya.”Ketika percakapan mulai mereda, Roni melangkah mendekat dengan senyum lembut. Ia mengambil beberapa buah dari keranjang dan meletakkannya di piring kecil.“Ibu harus makan sesuatu,” kata Roni dengan nada sopan tetapi tegas. “Ini akan membantu menjaga energi Anda.”Suzie menatap Roni dengan senyum hangat. “Terima kasih, Roni. Kau selalu perhatian pada Savanah, dan sekarang juga padaku.”Roni mengangguk dengan tulus. “Savanah berarti segalanya bagi saya, Bu. Saya hanya ingin memastikan bahw
Keisha menyeringai, menikmati ketegangan yang terjadi di dalam lift. Namun, Damian tetap tenang, meskipun matanya sedikit menyipit. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya berbicara dengan nada dingin dan menusuk.“Barang bekas tidak layak diperebutkan,” katanya singkat.Savanah merasa tubuhnya kaku mendengar kata-kata itu. Tatapannya langsung jatuh ke lantai, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang mendalam. Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Roni merengkuh bahunya lebih erat.“Dia tidak perlu layak untukmu,” balas Roni dengan tajam. “Yang penting, dia layak untukku. Itu sudah cukup.”Damian tidak menjawab. Ia hanya berdiri dengan ekspresi dingin, tetapi tatapannya sesekali melirik ke arah Savanah. Di sisi lain, Keisha menyenggol lengan Damian dengan senyum sinis.“Biarkan saja mereka, Damian,” kata Keisha dengan nada men