Savanah mendesah dan berjalan mendekati meja Damian, meletakkan tasnya di kursi sebelah. Dia tahu kalimat apa pun yang keluar dari mulut pria itu hanya untuk menyindir keberadaannya, "Bukankah kita tinggal di rumah yang sama dan aku mungkin bisa menumpang?"Damian mencibir, "dan menurutmu, status yang kamu miliki saat ini cocok untuk menumpang dalam mobilku?"Savanah menatap Damian sejenak, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Baiklah, kalau begitu. Kita fokus pada pekerjaan saja. Apa yang harus kukerjakan sebagai sekretarismu?"Damian melayangkan tatapan tajam ke arah Savanah lalu mengetuk meja dengan jari-jarinya."Kamu boleh mulai membersihkan kamar mandi milikku dan juga ranjang yang ada di kamar pribadi itu," ucap Damian sembari menunjuk ke sampingnya, ruangan mewah itu ternyata memiliki kamar di belakang dinding yang disekat dengan mewah.Kamar itu memiliki daun pintu yang selaras dengan sekat mewah yang menutupinya sehingga tidak terlihat jelas seperti sebuah kamar, lebih mirip
Damian segera menarik Savanah sehingga tubuh mereka saling menempel. "Lepaskan Damian, apaan sih kamu!" pekik Savanah sambil melirik ke arah Roni dan asisten Damian.Roni berdiri dan berseru, "hei, Damian. Kita sedang membahas-""Proyek bisa menunggu," potong Damian lalu memaksa mencium Savanah di hadapan mereka.Mereka terkejut karena tindakan Damian yang tiba-tiba, namun mereka tidak dapat melakukan apa pun."Kenapa? Kamu malu dengan keberadaan mereka?" tanya Damian saat tautan bibir mereka terlepas. Dia lalu memaksa sekali lagi untuk mencium Savanah di hadapan Roni dan asisten Damian.Savanah meronta dan merasa marah, wajahnya merona malu. Dengan kesal dia mengigit bibir Damian yang menciumnya sehingga bibir pria itu mengeluarkan sedikit darah."Ssst!" Damian melepaskan ciumannya, menyentuh bibirnya yang sobek. Kedua matanya menyala tajam. Dia lalu dengan kesal menggendong tubuh Savanah di bahunya selayaknya Savanah adalah kantong beras.
Roni tertawa tipis dan kembali membuka berkas tender di tanganya tanpa berniat berkata-kata lebih lanjut. Kedua matanya tidak sengaja melihat bekas cumbuan berwarna merah muda di leher Damian. Roni hanya menghela napas dengan berat lalu berpura-pura tidak melihat.Namun, Damian terlihat sengaja menunjukkan bekas kemerahan itu dengan mengelus lehernya perlahan, "ahh, wanita yang dipilih Ayah itu selalu berpura-pura menolak, lihat ini, dia bahkan mengigitku seolah-olah aku ini daging ayam. Bekasnya memerah ya?"Roni melirik sekilas lalu kembali fokus ke dokumen yang dipegangnya, "jadi Ayah berpesan untuk memakai kontraktor Z dan kita akan melakukan pembayaran pertama dua minggu setelah proyek ditanda tangani. Apakah ada masalah bagimu?"Damian berdecak. Dia merasa sedikit kesal karena Roni tidak menanggapi apa yang dia coba perbuat agar pria itu cemburu."Point ini juga tidak tepat. Masalah bahan-bahan bangunan untuk proyek ini juga harus dikontrol kualitas
Pria itu terbangun pada saat Savanah bangkit dari ranjang tadi dan dia sengaja tidak membuka mata karena ingin tahu apakah Savanah hendak menyusul Roni.Ternyata, Roni yang menunggu dan menarik Savanah. Damian mengikuti langkah mereka dan menyimak semua pembicaraan, ingin sekali membongkar perselingkuhan Savanah lalu menunjukkan kepada sang ayah sehingga perceraian lebih cepat dapat dilakukan.Melangkah dengan ketus, tiba-tiba Roni sangat terkejut pada saat berpapasan dengan Damian, namun pria dingin itu hanya menepuk bahunya dan tersenyum tipis, seolah-olah menegaskan bahwa dia sudah kalah total pada saat Savanah menyatakan cintanya kepada Damian.Damian masih berdiri di sana sesaat dan memandang siluet Savanah akibat pantulan sinar matahari yang akan tenggelam sesaat lagi."Benarkah dia mencintaiku?"Damian mencubit dagunya sendiri dan memikirkan langkah selanjutnya. Dia tidak berhasil membongkar perselingkuhan yang ditebaknya di awal, malah mera
Tanpa berkata apa-apa, dia mendekat, meraih tangan Savanah dengan lembut dan mengoleskan salep di area yang kemerahan.Savanah terkejut, hatinya mendadak berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia ingin menarik tangannya, tetapi genggaman Damian terasa begitu hangat dan penuh perhatian.Setelah mengoleskan salep dengan telaten, Damian meniup pelan luka di tangannya, seolah ingin mengurangi rasa perihnya.“Jangan terlalu ceroboh lain kali,” ucapnya singkat, kembali dengan nada datarnya, tetapi sentuhan lembut itu terasa sangat berbeda dari sikap dinginnya sehari-hari.Wajah Savanah memerah, dan ia hanya bisa mengangguk canggung, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai mengusik hatinya. Tiba-tiba, suasana di antara mereka menjadi hening namun terasa hangat.Damian masih menatapnya—tatapan yang tidak biasa, yang tampak lembut dan penuh perhatian. Ada keheningan di antara mereka yang menggan
Damian tetap sibuk dalam kesehariannya di dalam kantor dan Savanah melakukan pekerjaannya dengan telaten, membersihkan file dan berkas-berkas yang ditugaskan kepadanya.Sesekali Damian melirik istri yang tidak ia inginkan itu dan merasa bahwa wanita itu cukup bisa diandalkan dalam pekerjaannya. Namun, perhatiannya kembali terarah pada panggilan-panggilan untuk urusan bisnis pada ponselnya.Saat waktu menunjukkan pukul lima sore, Savanah mendekati Damian dan berkata dengan suara kecil, "aku ingin menjengguk Ibuku di penjara hari ini. Apakah pekerjaan ini bisa dilanjutkan besok hari?"Damian menegadahkan kepalanya, dia sedang membaca dokumen proyek dan merasa terganggu dengan keberadaan wanita itu.Mendengar pertanyaan Savanah, Damian teringat bagaimana petugas sipir terlihat ingin memakan wanita itu pada saat kunjungan malam terakhir. Dia ingin ikut bersama Savanah untuk mengunjungi mertuanya, tetapi pilihannya sudah ada janji temu dengan Keihsa untuk maka
Mendengar itu, Keisha tersenyum lebar dan memeluk lengan Damian.Akhirnya, setelah beberapa hari berpikir, Damian menyerah pada permintaan Keisha. Ia memutuskan untuk memenuhi keinginannya, meskipun dalam hati ada keraguan samar tentang keputusannya.Keisha berhasil meyakinkannya bahwa rumah kecil di pinggir kota itu adalah tempat yang tepat baginya untuk beristirahat, dan Damian, demi menghindari konflik yang tak perlu, memutuskan untuk merelakan rumah itu.Keesokkan harinya, Damian pun memberi tahu Savanah bahwa ia harus menyerahkan rumah tersebut kepada Keisha. Ketika Savanah mendengar keputusan itu, ia tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya."Kupikir kamu memberikannya kepada Ibuku," ucap Savanah dengan raut kecewa.Damian mendengus, "kemarikan kunci rumahnya."Savanah merasa sedih karena dia tahu Ibu sangat menyukai rumah tersebut, namun dia tahu setelah Ibunya bebas, mereka juga tidak akan tinggal di sana.Savanah melangkah perg
Tanpa menunggu jawaban, Savanah berbalik dan pergi, meninggalkan Damian yang hanya bisa berdiri di sana, merasakan perasaan yang tak pernah ia pahami sepenuhnya, kini semakin menyiksanya.Saat Savanah berbalik hendak meninggalkan ruang kerja Damian, tiba-tiba Damian kembali meraih pergelangan tangannya, lebih kuat kali ini."Eh, lepaskan!"Savanah terkesiap, merasa terkejut dengan kekuatan genggamannya yang seolah tak ingin melepaskannya. Tanpa sepatah kata pun, Damian menggendongnya ala bridal style."Damian! Jangan lagi!" seru Savanah dengan panik.Savanah berusaha melawan, namun Damian terus menggendongnya sampai mereka berdua masuk ke dalam kamar itu. Begitu mereka berada di dalam, Damian menutup pintu dan berdiri di depan Savanah, menghalangi jalannya. Tatapannya masih tajam, tapi kali ini ada sesuatu yang lain di sana—campuran antara amarah, frustasi, dan sesuatu yang tak terdefinisikan.“Damian, lepaska
Bab 238Saat bulan-bulan berlalu, Damian dan Savanah semakin mantap menghadapi masa depan bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi dengan cinta dan komitmen yang telah mereka bangun, mereka merasa siap untuk menghadapi apa pun yang datang.Pada akhirnya, cinta mereka yang diuji oleh waktu dan rintangan akhirnya menemukan jalannya kembali. Mereka tidak hanya menjadi pasangan suami istri, tetapi juga menjadi keluarga yang utuh, siap menyambut anggota baru yang akan membawa kebahagiaan lebih besar dalam hidup mereka.Malam itu, mereka berdua tertidur dalam pelukan yang tenang tetapi penuh dengan emosi yang belum sepenuhnya terselesaikan.Damian merasa lebih yakin bahwa ia harus melindungi keluarga kecilnya, sementara Savanah berusaha menguatkan dirinya untuk menghadapi masa depan bersama pria yang ia cintai, meskipun penuh dengan tantangan dan keraguan.Dalam keheningan malam, hanya s
"Dia mengandung anakku, dia istriku dan tidak ada bagian darimu di sana! Kau paham?!" Damian mengatakan semua gundahan hatinya dengan suara keras dan tegas.Roni menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Damian, aku tidak ingin membuat masalah. Jika itu yang kau inginkan, aku akan menjauh. Tapi bukan karena aku takut padamu. Aku melakukannya karena aku peduli pada Savanah, dan aku ingin yang terbaik untuknya.”Cuih!Damian membuang salivanya ke samping dengan rasa jijik. "Akhirnya kau paham!""Ingat ucapanmu! Jangan pernah dekat dengannya lagi!"Roni mengangguk perlahan dengan perasaan terpuruk.“Bagus!" lanjut Damian. "Tapi ingat, jika aku melihatmu mendekati istriku lagi, kau tidak akan mendapatkan peringatan kedua.”Dengan itu, Damian berbalik dan meninggalkan gym, meninggalkan Roni dengan wajah penuh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Ke
Damian tidak terpengaruh. “Kau bebas mencoba, Keisha. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan keluargaku lagi.”Keisha meninggalkan lokasi pertemuan dengan wajah penuh amarah, tetapi Damian merasa lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa telah mengambil kendali penuh atas hidupnya.***Setelah mengetahui kebenaran tentang malam di Salvastone, Damian masih merasakan amarah yang tertahan di dalam dirinya. Ia tidak hanya marah kepada Keisha yang mencoba memanipulasi kenyataan, tetapi juga kepada Roni, pria yang berani mendekati istrinya dan bahkan mengklaim hubungan yang tidak pernah ada.Damian memutuskan untuk menghadapi Roni secara langsung. Ia tahu di mana pria itu biasanya berada—gym kecil di pinggiran kota tempat Roni melatih tubuhnya.Dengan langkah cepat, Damian melajukan motornya ke sana, wajahnya mencerminkan ketegasan dan kemarahan yang ia rasakan.Ketika
Savanah tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih memerah. “Ya, Damian. Kau tidak melepaskanku bahkan sesudah berulang kali kamu mendapatkan pelepasan, dan aku… aku tidak bisa mengatakan tidak. Aku tanpa sadar sudah mencintaimu, bahkan saat itu.”Damian menarik napas panjang, rasa bersalah yang selama ini menghantui dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh kelegaan dan kebahagiaan yang tak terkira.“Aku bodoh,” katanya dengan suara rendah. “Aku membiarkan Keisha memanipulasiku dengan kebohongannya, sementara wanita yang aku cari selama ini adalah kamu, istriku sendiri.”Savanah menggeleng. “Semua sudah berlalu, Damian. Yang penting sekarang adalah kita tahu kebenarannya.”Damian kembali memeluk Savanah, membiarkan air mata kecil jatuh di pipinya. “Aku mencintaimu, Savanah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita lagi. Kamu ad
Damian menyebut tanggalnya, dan Savanah membekap mulutnya sendiri. Hatinya berdebar keras."Damian… itu aku. Aku juga berada di sana malam itu. Aku… aku merasa semuanya begitu aneh, tapi aku ingat. Aku mengalami pelecehan. Lalu Roni mengaku bahwa dia yang melakukannya. Tanggal dan harinya sama! Itu aku.""Kau?""Keisha tidak hadir di malam itu, dia mengambil shift pagi!" pekik Savanah tak percaya.Damian menatapnya dengan penuh kebingungan. "Apa? Savanah, maksudmu…""Ya," potong Savanah dengan tegas. "Wanita itu adalah aku. Aku bahkan memiliki bukti. Petugas sekuriti yang berjaga malam itu melihat kita. Dia mencatat bahwa aku masuk ke ruang ganti untuk mengambil sesuatu. Selain itu, aku menemukan cincin di kantung kemeja kerjaku. Lalu Keisha merampasnya dan saat itu kamu datang lalu...""Astaga!" Savanah menutup bibirnya dengan tangan, dia baru mengerti bahwa Damian mengira Keisha adalah wanit
Savanah mencoba melawan, tetapi kekuatan Damian terlalu besar. Bibir pria itu sudah mencium lehernya dengan rakus, kembali lagi meninggalkan jejak merah yang tidak mungkin disembunyikan.Gigitannya yang intens terasa seperti tanda kepemilikan yang ingin ia tunjukkan kepada dunia. Tangannya memeras bagian depan Savanah dengan kuat sehingga Savanah merasa kesakitan.“Damian, berhenti!” Savanah memohon, suaranya gemetar. “Ini terlalu banyak. Cukup!”Namun, Damian tidak mendengarkan. Tubuhnya terus menekan tubuh Savanah, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak pernah lupa siapa yang memiliki dirinya sepenuhnya."Damian, ini menyakitkanku!" teriak Savanah, berusaha melepaskan diri dari tangan Damian yang menyakiti beberapa bagian sensitif miliknya.Dengan cepat, Damian membuka kemeja tidurnya sehingga bagian depannya terekspos dengan indah dan Damian segera melahapnya denga
Tanpa tujuan yang jelas, Roni berjalan hingga sampai di sebuah taman kecil yang sepi. Ia duduk di bangku kayu yang teduh di bawah pohon besar, menundukkan kepala sambil memandangi tanah.Seorang ibu dengan anak kecil lewat di depannya, suara tawa anak itu membuat hati Roni terasa semakin hancur. Ia membayangkan seperti apa rasanya jika ia yang berada di tempat Damian—memiliki Savanah dan seorang anak bersama, membangun keluarga kecil yang bahagia.Namun, bayangan itu hanya membuatnya semakin sadar bahwa semua itu adalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan."Itu bukan anakku juga, Roni... kamu hanya terlalu berharap," gumamnya sambil tertawa lepas.Roni meraih sebotol air yang ia bawa, meneguknya dengan cepat. Tangannya bergetar, dan tanpa sadar, ia memukul bangku kayu di sebelahnya dengan keras.“Bodoh,” gumamnya."Sungguh bodoh!"“Bodoh karena berpikir aku punya kesempatan.”Roni menunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai mengalir,
Roni mengepalkan tangannya, tetapi ia tetap diam, meskipun tubuhnya jelas menunjukkan ketegangan yang luar biasa.“Savanah masih sehebat dulu,” lanjut Damian dengan nada yang dibuat seolah-olah ia hanya sedang bercakap-cakap santai. “Kami bahkan mengulangnya beberapa kali sampai dia minta ampun. Tubuhnya semakin montok sekarang, mungkin karena dia sedang hamil anakku. Tapi kau tahu? Itu justru membuatnya semakin nikmat.”Roni terdiam dan mengetatkan rahangnya.Kata-kata Damian menghantam Roni seperti pukulan bertubi-tubi. Ia menatap Savanah dengan mata yang penuh luka, tetapi wanita itu hanya bisa menunduk, tidak mampu menghadapi tatapannya.“Kau tahu tentang kehamilannya?” tanya Roni akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan rasa kecewa.Damian tersenyum kecil. “Tentu saja. Anak ini milikku, dan aku akan memastikan bahwa dia tumbuh dengan kedua orang tuanya yang lengkap. Jadi, apa yang tersisa untukmu, Roni?”Roni terdiam. Pertanyaan itu menusuk hatinya lebih dalam daripada yang
Damian menatap tubuh Savanah dengan tatapan penuh kekaguman. “Kamu semakin padat, Savanah,” bisiknya dengan suara rendah yang menggoda. “Itu membuatku semakin ingin menempel terus padamu.”Savanah mencoba menghindar, tetapi Damian sudah mendekapnya erat, membuatnya tidak memiliki ruang untuk bergerak. Ia mencium leher Savanah perlahan, meninggalkan jejak kecil yang membuat wanita itu merasa tubuhnya memanas lagi.“Damian, sudahlah,” rengek Savanah dengan suara bergetar. “Kita sudah melakukannya berkali-kali. Aku lapar…”Namun, Damian tidak berhenti. Bibirnya terus menjelajahi tubuh Savanah, memberikan tanda-tanda percintaan yang ia tahu tidak akan mudah hilang. Setiap jejak yang ia tinggalkan terasa seperti pernyataan kepemilikan, seolah-olah ia ingin dunia tahu bahwa Savanah adalah miliknya, tidak ada yang lain.“Damian,” desah Savanah, mencoba menarik diri, tetapi tubuhnya sendiri mulai menyerah pada kehangatan yang diberikan pria itu.“Aku hanya ingin memastikan,” bisik Damian samb