"Jadi, fix bahwa tindakanmu ini memang orderan dari Keluarga Setiawan?" tanya Xander. Suaranya tenang, tetapi setiap kata yang diucapkannya dipilih dengan sangat hati-hati, seperti pedang yang diasah."Aku tak mungkin berbohong, bukan? Nyawaku sudah ada di tanganmu," jawab Yuto dengan wajah muram, sementara rasa putus asa terpancar jelas dari matanya yang hampir kosong.Seharusnya dialah yang menaklukkan korban, tetapi kenyataannya malah sebaliknya. Kini, dia terjebak dalam permainan maut yang tidak dia pilih.Xander menatapnya sekilas, senyum sinis tersungging di bibirnya, membuat Yuto merasa kedinginan meskipun malam itu hangat."Pergilah. Temui aku besok di wilayah Timur kota, di panti asuhan bernama 'Penuh Kasih'. Di sana, aku akan memberitahumu apa yang harus kamu lakukan sebelum aku memberimu tetesan kedua dan ketiga," katanya dengan nada dingin, tanpa sedikit pun rasa kasihan.Wajah Yuto semakin muram, keraguan menyeruak dalam pikirannya."Apa yang pria ini inginkan dariku?" pi
Hannah Laksa adalah seorang gadis sederhana, dibesarkan di panti asuhan.Sejak kecil, kehidupannya jauh dari sorotan publik. Meskipun wajahnya manis, ia sering merasa minder karena tidak memiliki pasangan orang tua seperti anak-anak normal.Dunia popularitas tampak jauh dari jangkauannya, dan ia merasa nyaman dalam kesederhanaan yang akrab.Namun, pagi itu, sesuatu yang mengubah hidupnya terjadi."Mengapa banyak sekali orang yang menjadi pengikutku?" desis Hannah tak percaya, menatap layar ponselnya dengan mata terbelalak.Akun media sosialnya, yang selama ini hanya memiliki sekitar lima ratus followers, tiba-tiba melonjak menjadi lebih dari sembilan ribu. Angka itu terus bertambah, mendekati sepuluh ribu. Ini adalah perubahan yang tidak pernah ia bayangkan.Jantungnya berdebar kencang saat ia menggulir komentar-komentar yang membanjiri postingannya tentang Yuto."Wow! Di mana lokasi tempat ini? Aku ingin berkunjung dan melihat sosok pria mirip idol itu!""Apakah itu benar seorang ido
Xander tiba di Panti Asuhan Penuh Kasih tepat pukul sembilan pagi. Ketika ia membuka pintu, suasana ramai dan ceria menyambutnya.Namun, yang paling mengejutkan adalah melihat Yuto, yang dikenal dengan reputasinya, tampak berperilaku sangat baik. Ia berbicara dengan anak-anak panti dengan hangat, bahkan tampak akrab, sebuah pemandangan yang jarang dilihat dari sosok profesi seperti Yuto.Yuto melirik Xander sekilas, namun tidak melepaskan pelukannya pada seorang anak panti berusia lima tahun.Meskipun tidak ada kata yang diucapkan, Xander bisa merasakan pesan yang tersirat dalam tatapan Yuto.Seolah-olah Yuto memohon: "Tolong, jangan buka rahasiaku di depan anak-anak panti."Xander hanya mengangkat bahu, bersikap seolah tak peduli, tetapi dalam hatinya ia memahami beban yang ditanggung Yuto. Ada sesuatu yang menyentuh dalam interaksi ini, seakan Yuto menemukan kedamaian sesaat di tengah kehidupannya yang penuh gejolak."Oh, jadi kamu sudah duluan tiba?" kata Xander, mencoba mencairkan
BRAK!“Istriku, kenapa kamu…” Plastik yang berisi beberapa kopi gula aren terjatuh dari tangannya.Sebagai seorang barista yang diminta menjadi petugas delivery, pesanan itu harusnya ia antarkan untuk seorang pelanggan bernama Kevin Ng. Namun, alamat pengiriman mengarahkannya pada rumah tempat ia menemukan fakta yang membuat tubuhnya lemas seketika.Di hadapannya, Lucy Setiawan, istri yang ia kira tengah menunggunya di rumah dengan setia, kini tengah bersama seorang pria tanpa busana. Wajah Xander memucat.Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya gemetar. Kakinya tak sanggup menopang tubuhnya ketika ia melihat istrinya dipeluk pria yang ia yakini adalah sosok bernama Kevin itu. Xander bahkan sudah tak mampu berkata-kata.Namun, sosok Kevin Ng itu bukannya terkejut atau merasa malu, justru berbicara santai.“Wah, wah, Lucy. Sepertinya suamimu memergoki kita!” ucap pria bertubuh tinggi besar itu sambil melepas pelukannya dari tubuh Lucy, wajahnya menyungging senyum menggoda yang membuat Xan
Meskipun pagi itu udara mulai panas karena matahari yang bersinar cerah, sosok Xander terdiam. Ia tak bisa mempercayai angka yang tertera di layar ponselnya yang sudah usang."Angka yang sangat besar. Ada lima belas nol di sana!" batin Xander. Ia berulang kali memastikan bahwa matanya tidak salah membaca angka yang tertera di layar ponselnya. "Aku harus segera pergi ke Bank Central Halilintar sekarang juga, untuk memastikan kebenaran informasi saldo ini!"Dengan detak jantung yang berdegup kencang, masih tak percaya dengan pesan singkat itu, ekspresi kebimbangan terlukis di wajah Xander. "Bisa saja ini hanya spam atau scam, bukan?" batinnya, mencoba untuk tidak merasa gembira berlebihan.Dengan tangan gemetar, Xander segera membuka aplikasi dan memesan kendaraan online melalui ponselnya.Bank Central Halilintar adalah salah satu bank papan atas di negeri ini, berada di peringkat lima besar di antara bank-bank lainnya. Mengapa Xander memilih untuk menabung di sana? Jawabannya sederhana
Ketika gadis customer service itu menerima Kartu Tabungan Ekonomi dari tangan Xander, ia memegangnya dengan telunjuk dan jempol, seolah-olah sedang menjinjing sampah yang menjijikkan.Bahkan, jika Lidia, sang customer service, tidak terikat oleh SOP – Standar Operasional Prosedur Bank Central Halilintar, ia mungkin sudah membuang Kartu Tabungan Ekonomi Xander yang tampak lusuh dan terlipat-lipat itu."Sepertinya pemuda miskin ini selalu mengantongi buku tabungan ini ke mana pun ia pergi. Ia menganggap ini adalah harta karun yang tak boleh ditinggalkan. Aku jadi penasaran, seberapa banyak saldo di rekening ini, sampai-sampai ia membawanya ke mana-mana dan terlihat lusuh!" Lidia berpikir dengan jijik melihat buku yang acak-acakan itu.Namun, mau tidak mau Lidia harus melakukan tugasnya, mencetak saldo di buku tabungan itu.Ketika Lidia membuka lembar kedua, sekilas ia melirik dengan rasa ingin tahu yang mendalam pada isi rekening Xander. Namun, ia hampir pingsan, tak tega melihat bahwa
Berada di dalam ruang nyaman berpenyejuk udara, ditambah aroma lavender dari aromaterapi, Xander berdiri agak canggung di depan pintu kantor. Sebuah lukisan ikan berenang menjadi latar belakang kursi tempat duduk dan meja besar dari jati, dengan dua kursi di depannya.Dalam hati, Xander bertanya-tanya, “Siapa sosok perempuan berwibawa ini?”Belum juga ia selesai memindai seisi ruangan yang terlihat luks itu, suara perempuan itu terdengar lagi. “Tuan Xander Sanjaya? Silakan duduk,” kata perempuan berkacamata itu terdengar ramah.Perempuan itu menunjuk sofa dengan telapak tangan tanda sopan santun, meminta Xander duduk di sofa tebal dan empuk, sementara dia sendiri akan memilih duduk di kursi sofa lain, di seberang. Dia menunggu sampai Xander duduk di sofa empuk tersebut, barulah duduk dengan hat-hati, tiap gerak-geriknya terlihat elegan.“Perkenalkan. Namaku Grace Song. Aku Branch Manager Bank Central Halilintar.”“Maafkan aku, Ibu Grace... Sebenarnya aku bertanya-tanya. Ada masalah ap
Suara langkah sepatu terdengar menggema di area banking hall lantai dua.Seorang gadis tampak berjalan tergesa-gesa. Sesekali ia berhenti, membuka cermin kecil, dan memeriksa penampilannya.Lidia, sang customer service, tersenyum lebar saat melihat riasan tebal yang masih menempel sempurna di wajahnya.“Kosmetika produk Korea-Jepang ini sangat bagus. Menempel dan membuat kulitku seakan-akan kulit bayi tanpa bekas luka atau jerawat sedikit pun. Aku siap mendengar berita bahagia dari Ibu Grace Song,” gumam Lidia. Ia menutup cermin bundar kecil itu lalu menyembunyikannya di sakunya.“Perfect!”Baru-baru ini, seorang supervisor di Front Office yang membawahi customer service mengajukan permohonan pengunduran diri. Sudah dua minggu posisi itu kosong. Dengar-dengar, Lidia adalah kandidat yang paling diunggulkan, mengingat ia telah bekerja sebagai customer service di kantor cabang Bank Central Halilintar itu selama lebih dari dua tahun.Dan dari semua kandidat yang diunggulkan, hanya Lidia y
Xander tiba di Panti Asuhan Penuh Kasih tepat pukul sembilan pagi. Ketika ia membuka pintu, suasana ramai dan ceria menyambutnya.Namun, yang paling mengejutkan adalah melihat Yuto, yang dikenal dengan reputasinya, tampak berperilaku sangat baik. Ia berbicara dengan anak-anak panti dengan hangat, bahkan tampak akrab, sebuah pemandangan yang jarang dilihat dari sosok profesi seperti Yuto.Yuto melirik Xander sekilas, namun tidak melepaskan pelukannya pada seorang anak panti berusia lima tahun.Meskipun tidak ada kata yang diucapkan, Xander bisa merasakan pesan yang tersirat dalam tatapan Yuto.Seolah-olah Yuto memohon: "Tolong, jangan buka rahasiaku di depan anak-anak panti."Xander hanya mengangkat bahu, bersikap seolah tak peduli, tetapi dalam hatinya ia memahami beban yang ditanggung Yuto. Ada sesuatu yang menyentuh dalam interaksi ini, seakan Yuto menemukan kedamaian sesaat di tengah kehidupannya yang penuh gejolak."Oh, jadi kamu sudah duluan tiba?" kata Xander, mencoba mencairkan
Hannah Laksa adalah seorang gadis sederhana, dibesarkan di panti asuhan.Sejak kecil, kehidupannya jauh dari sorotan publik. Meskipun wajahnya manis, ia sering merasa minder karena tidak memiliki pasangan orang tua seperti anak-anak normal.Dunia popularitas tampak jauh dari jangkauannya, dan ia merasa nyaman dalam kesederhanaan yang akrab.Namun, pagi itu, sesuatu yang mengubah hidupnya terjadi."Mengapa banyak sekali orang yang menjadi pengikutku?" desis Hannah tak percaya, menatap layar ponselnya dengan mata terbelalak.Akun media sosialnya, yang selama ini hanya memiliki sekitar lima ratus followers, tiba-tiba melonjak menjadi lebih dari sembilan ribu. Angka itu terus bertambah, mendekati sepuluh ribu. Ini adalah perubahan yang tidak pernah ia bayangkan.Jantungnya berdebar kencang saat ia menggulir komentar-komentar yang membanjiri postingannya tentang Yuto."Wow! Di mana lokasi tempat ini? Aku ingin berkunjung dan melihat sosok pria mirip idol itu!""Apakah itu benar seorang ido
"Jadi, fix bahwa tindakanmu ini memang orderan dari Keluarga Setiawan?" tanya Xander. Suaranya tenang, tetapi setiap kata yang diucapkannya dipilih dengan sangat hati-hati, seperti pedang yang diasah."Aku tak mungkin berbohong, bukan? Nyawaku sudah ada di tanganmu," jawab Yuto dengan wajah muram, sementara rasa putus asa terpancar jelas dari matanya yang hampir kosong.Seharusnya dialah yang menaklukkan korban, tetapi kenyataannya malah sebaliknya. Kini, dia terjebak dalam permainan maut yang tidak dia pilih.Xander menatapnya sekilas, senyum sinis tersungging di bibirnya, membuat Yuto merasa kedinginan meskipun malam itu hangat."Pergilah. Temui aku besok di wilayah Timur kota, di panti asuhan bernama 'Penuh Kasih'. Di sana, aku akan memberitahumu apa yang harus kamu lakukan sebelum aku memberimu tetesan kedua dan ketiga," katanya dengan nada dingin, tanpa sedikit pun rasa kasihan.Wajah Yuto semakin muram, keraguan menyeruak dalam pikirannya."Apa yang pria ini inginkan dariku?" pi
Melihat hal ini, Yuto yang merupakan seorang pembunuh profesional, tidak lantas gugup atau kehilangan akal. Ia terbiasa menghadapi situasi berbahaya dengan kepala dingin.Dengan cepat, kaki kanannya bergerak, menendang dada Xander dengan gerakan tekwondo yang terukur dan penuh kekuatan.“Lepaskan belatiku!” teriak Yuto, suaranya menggelegar.Kakinya tiba-tiba sudah menempel di dada Xander, seperti sebuah pukulan yang menggetarkan. Yuto yakin, kalau bukan isi dada pemuda itu yang berguncang, setidaknya ia akan terjatuh sambil memuntahkan darah.BLEP!Namun, alangkah terkejutnya Yuto.Saat kakinya menempel di dada Xander, ia merasakan sensasi yang aneh—seperti melempar batu sebesar kerbau ke dalam lautan.Tidak ada dampak!Hanya sebuah perasaan kosong, seolah segala usaha yang dilakukannya menjadi sia-sia.“Apa yang terjadi? Ilmu apa yang digunakan pemuda ini? Taiji?!” pikir Yuto panik.Dengan cepat, keringat mulai bercucuran di wajahnya, menandakan ketegangan yang mulai melanda tubuhny
Entah mengapa, malam itu langkah Xander terasa berat. Ia berjalan tanpa arah pasti, seperti mengikuti bayang-bayang pikirannya sendiri.Hingga akhirnya, saat jarum jam menunjukkan pukul 23.00, ia menemukan dirinya di sebuah lorong sepi yang akrab di ingatannya.Lorong itu adalah jalan pintas menuju Gorilla’s Kafe, tempat yang dulu sering ia lewati, semasa ia hidup miskin di rumah Lucy.Lorong ini, dengan tembok tinggi di kedua sisinya, memiliki reputasi yang tidak menyenangkan.Cerita-cerita tentang hantu perempuan yang mencegat pejalan kaki atau kisah tragis pembunuhan yang terjadi di sana sering menghantui warga sekitar.Tidak banyak yang berani melewati lorong ini, terutama saat malam tiba. Tapi bagi Xander, lorong ini hanyalah kenangan masa lalu yang ia tinggalkan jauh di belakang.Suara sepatu olahraga Xander hampir tak terdengar saat ia berjalan dengan langkah gesit, menembus keheningan malam.Cahaya bulan yang remang-remang memantul di aspal basah, menciptakan bayangan yang ber
Entah mengapa, pada hari itu suasana di Gorilla’s Kafe terasa begitu berbeda. Pelanggan berdatangan seperti air hujan di bulan Desember—deras dan tiada henti, mengisi setiap sudut kafe dengan obrolan akrab dan aroma kopi yang pekat.Suara mesin espresso mendominasi, sesekali diiringi tawa ceria pelanggan yang berbincang santai.“Beruntung kamu magang lagi hari ini, Xander. Aku tak bisa membayangkan bagaimana repotnya kalau harus sendirian,” ujar Hannah Laksa, yang dengan cekatan mengoperasikan mesin pembuat susu buih.Buih susu itu, putih dan lembut dengan viskositas sempurna, menjadi elemen penting dalam cappuccino. Seperti biasa, Hannah mengerjakannya dengan teliti, memperhatikan setiap detail yang membuat setiap cangkir terasa istimewa.“Senang ya? Tentu saja! Siapa yang tidak senang bisa membantu seorang teman baik?” sahut Xander sambil tersenyum kecil. Tangannya yang cekatan mengaduk kopi hitam pesanan seorang pelanggan, aroma khasnya menyatu dengan udara yang hangat di ruangan i
Melihat wajah Anita yang tiba-tiba membeku, pemuda bergaya Idol itu, yang sebelumnya tampak sangat percaya diri, mendadak terdiam. Ia membuka mulut, mencoba berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen yang terasa dipaksakan dan patah-patah."Maafkan aku. Aku dengar kopi di sini adalah yang terbaik. Tolong, rekomendasikan yang terbaik!" Ulangnya dengan logat yang kaku sambil sedikit memerah.Meski begitu, upayanya cukup untuk membuat wajah Anita kembali cerah.“Mari duduk dulu, Tuan. Aku akan menjelaskan kopi terbaik dari gerai kami…” jawab Anita dengan nada yang ramah, sambil menuntun pemuda itu menuju sebuah tempat duduk yang strategis di kafe, yaitu di dekat jendela besar yang menghadap ke taman mini di luar.Tentunya, lokasi ini cukup membuat Yuto tersenyum lega."Namaku Yuto. Aku dari Jepang," lanjutnya setelah memesan kopi dan camilan ringan.Anita hanya mengangguk, sambil memberi senyuman manis sebelum berpamitan untuk melaksanakan tugasnya. Langkahnya ringan saat menuju barista
Setelah insiden di Panti Asuhan Penuh Kasih, Xander tak henti-hentinya memikirkan kecemasan yang membelenggu benaknya.Panti itu bukan sekadar tempat bagi anak-anak yang membutuhkan, tetapi kini telah menjadi simbol dari ketidakadilan yang harus ia lawan.Ancaman penggusuran dan proyek mal yang dipaksakan membuatnya tak bisa tinggal diam.Untuk lebih dekat dengan situasi tersebut, Xander memilih untuk kembali bekerja magang di Gorilla’s Café. Selain untuk memantau keadaan, kedekatannya dengan Hannah Laksa dan Dimas memberinya lebih banyak informasi tentang perkembangan proyek tersebut.Pagi itu, setelah menerima surat tugas yang seolah berasal dari Grace Song, Xander membuka pintu lobi kafe dengan langkah tenang.Begitu memasuki ruangan, aroma kopi yang baru diseduh langsung menyergap inderanya, hangat dan menggugah selera.Musik jazz ringan terdengar mengalun dari speaker di sudut, lembut namun jelas, memberikan ritme pada suasana pagi yang tenang.Suara mesin espresso berdengung di
Darmawan Tjiang tiba-tiba menyela pembicaraan antara ayahnya dan Xander tanpa basa-basi. Suaranya lantang, dipenuhi emosi yang sulit disembunyikan."Ayah! Aku tidak setuju. Pemuda ini bukan orang baik-baik. Dia seorang duda! Istrinya menceraikannya karena berselingkuh. Bagaimana mungkin Anda ingin menjodohkan dia dengan Felicia?"Nada bicaranya menggema di seluruh aula, menarik perhatian para tamu yang sebelumnya sibuk dengan gelas anggur mereka. Semua kepala menoleh ke arah mereka, memasang telinga untuk mendengarkan drama yang sedang terjadi.Tuan William Tjiang menatap putranya dengan tajam. Wajahnya memerah, menahan amarah yang hampir tak terkendali. Ia menarik napas panjang, lalu dengan suara yang lebih tenang namun tegas, menjawab tuduhan tersebut."Menjodohkan Felicia? Apa yang kamu bicarakan? Darmawan, sebaiknya kamu tidak ikut campur dalam pembicaraan kami. Aku dan Tuan Xander tidak sedang membahas perjodohan Felicia, apalagi menjodohkannya dengannya!"Sorot matanya yang taja