Hannah Laksa adalah seorang gadis sederhana, dibesarkan di panti asuhan.Sejak kecil, kehidupannya jauh dari sorotan publik. Meskipun wajahnya manis, ia sering merasa minder karena tidak memiliki pasangan orang tua seperti anak-anak normal.Dunia popularitas tampak jauh dari jangkauannya, dan ia merasa nyaman dalam kesederhanaan yang akrab.Namun, pagi itu, sesuatu yang mengubah hidupnya terjadi."Mengapa banyak sekali orang yang menjadi pengikutku?" desis Hannah tak percaya, menatap layar ponselnya dengan mata terbelalak.Akun media sosialnya, yang selama ini hanya memiliki sekitar lima ratus followers, tiba-tiba melonjak menjadi lebih dari sembilan ribu. Angka itu terus bertambah, mendekati sepuluh ribu. Ini adalah perubahan yang tidak pernah ia bayangkan.Jantungnya berdebar kencang saat ia menggulir komentar-komentar yang membanjiri postingannya tentang Yuto."Wow! Di mana lokasi tempat ini? Aku ingin berkunjung dan melihat sosok pria mirip idol itu!""Apakah itu benar seorang ido
Xander tiba di Panti Asuhan Penuh Kasih tepat pukul sembilan pagi. Ketika ia membuka pintu, suasana ramai dan ceria menyambutnya.Namun, yang paling mengejutkan adalah melihat Yuto, yang dikenal dengan reputasinya, tampak berperilaku sangat baik. Ia berbicara dengan anak-anak panti dengan hangat, bahkan tampak akrab, sebuah pemandangan yang jarang dilihat dari sosok profesi seperti Yuto.Yuto melirik Xander sekilas, namun tidak melepaskan pelukannya pada seorang anak panti berusia lima tahun.Meskipun tidak ada kata yang diucapkan, Xander bisa merasakan pesan yang tersirat dalam tatapan Yuto.Seolah-olah Yuto memohon: "Tolong, jangan buka rahasiaku di depan anak-anak panti."Xander hanya mengangkat bahu, bersikap seolah tak peduli, tetapi dalam hatinya ia memahami beban yang ditanggung Yuto. Ada sesuatu yang menyentuh dalam interaksi ini, seakan Yuto menemukan kedamaian sesaat di tengah kehidupannya yang penuh gejolak."Oh, jadi kamu sudah duluan tiba?" kata Xander, mencoba mencairkan
Saat itu juga, Xander memutuskan untuk memulai bisnis roti. Ini bukan semata-mata langkah mencari keuntungan, tetapi sebagai strategi untuk menyelamatkan Panti Asuhan Penuh Kasih dari ancaman penggusuran oleh Setiawan Company.Perusahaan ini, di bawah kendali Tjiang Global Corporation, memiliki rencana besar untuk menghapus keberadaan panti tersebut."Jika tidak mulai sekarang, kapan pihak panti asuhan akan belajar menjalankan bisnis bakery?" pikir Xander, mengingat percakapannya dengan Tuan William."Aku telah berjanji bahwa panti akan bertransformasi menjadi gerai toko roti yang representatif, layak bersanding dengan bangunan mal dan pemukiman mewah masa depan."Dalam kabin mewah mobil Alphard, Xander melirik ke arah Yuto, yang sedang bercakap-cakap dengan Hannah. Keduanya tampak riang, seolah tidak ada beban.Namun, Xander tahu lapisan dalam yang mengelilingi Yuto; mantan pembunuh bayaran yang kini mengklaim dirinya seorang baker profesional dari Shanghai."Kita lihat saja," bisik
Keributan di kios Anom mulai mereda ketika seorang pria dengan aura tenang dan karisma menenangkan memasuki area yang padat. Suaranya rendah dan tenang, namun penuh wibawa, membuat kemarahan Yuto sedikit mereda.Kehadirannya membawa angin segar di tengah suasana yang panas.“Permisi. Ada apa ribut-ribut di sini?” tanyanya dengan sopan, senyumnya menenangkan. Di sekeliling, hiruk-pikuk pasar Mayomba tetap bergema—suara tawar-menawar, derap langkah kaki, dan tawa anak-anak yang bermain, menciptakan irama unik kehidupan urban.“Anda siapa?” Yuto bertanya, berusaha mempertahankan nada cool-nya, meskipun rasa ingin tahunya mulai muncul.“Kau datang untuk menasehati kami atau untuk ikutan berkerumun?”“Perkenalkan. Saya Anom, pemilik kios ini. Ada masalah yang kurang menyenangkan hati tuan muda sehingga terjadi keributan?” Koh Anom menjawab dengan nada penuh pengertian, matanya menatap Yuto dengan tulus, seolah berusaha membaca pikiran Yuto yang penuh ketidakpastian.Di sekitar mereka, kios
Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi melaju di tengah keramaian ibu kota Jatavia, melintasi jalan-jalan utama yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Cahaya matahari siang memantul dari jendela-jendela kaca gedung, menciptakan kilauan yang menyilaukan.Papan iklan elektronik dengan gambar-gambar dinamis bergerak menarik perhatian, menambah semarak suasana kota yang sibuk.Di kedua sisi jalan, butik-butik mewah dan kafe bergaya modern berjajar rapi, seakan berlomba menarik perhatian siapa pun yang melintas. Hiruk-pikuk klakson mobil bersahutan, mengiringi irama kehidupan kota yang tidak pernah tidur.Di balik kaca mobil, Hannah memandang keluar dengan ekspresi penuh keheranan.Kemacetan yang tampak seperti sungai besi itu membuatnya mengernyit, dan suasana sekelilingnya terasa sangat kontras dengan tujuan mereka.“Xander, kita hendak ke mana?” tanyanya, nada suaranya mencerminkan kebingungan.“Bukankah kita seharusnya pergi membeli peralatan membuat roti, seperti mixer, p
Di dalam Kyoto Mart, udara dari mesin pendingin menyelimuti ruang dengan kesejukan yang kontras dengan hiruk-pikuk di luar.Lampu-lampu kristal bergelantungan di langit-langit tinggi, memancarkan kilau seperti berlian. Namun, kesejukan ini tidak membuat perasaan Hannah Laksa lebih nyaman.Sebaliknya, ia merasa gugup dan berkeringat dingin saat melangkah melewati lorong butik-butik mewah yang berjajar di kanan dan kiri. Setiap langkahnya terasa berat, seakan-akan tegel marmer yang mengilap menahan kakinya dengan beban tak kasatmata.“Xander, please. Aku tak punya uang banyak. Bahkan membeli mesin mixer saja mungkin aku tak sanggup,” ucapnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam deru obrolan pengunjung yang berlalu lalang.Xander berhenti melangkah dan menatap Hannah dengan senyuman kecil di wajahnya, tetapi matanya memancarkan keyakinan yang tidak bisa dibantah.“Untuk apa kamu takut? Aku sudah mendapat persetujuan dari Ibu Grace Song. Kami bisa berbelanja di department store khusus p
“Lepaskan kataku. Aku tak sudi berbagi udara dengan gadis miskin seperti kamu!” suara perempuan itu terdengar tegas, mengandung ejekan dan hinaan.“Kamu tidak akan punya uang membeli produk semahal mesin Hobart seharga ratusan juta rupiah ini!” Si nyonya gemuk dengan gelang bergemerincing itu menatap penuh ejekan, ia memindai dari rambut hingga kekaki Hannah, membuat gadis itu seketika hilang percaya diri.Perempuan gemuk itu bernama Miranda. Dia dan suaminya Nate adalah pengusaha yang cukup kaya, masuk dalam jajaran orang kaya level tiga. Namun tetap saja kaya.Usaha mereka bernama Miranda Aestetik Cake, yang menjual kue berkelas.Kembali suasan tegang didalam mall...“Kamu mungkin salah masuk kesini. Seharusnya kamu berbelanja di pasar tradisonal, yang menjual barang-barang kelas dua! Bukan disini!”Mendengar itu Hannah seketika hampir menangis.Sepanjang hidup, dia memang selalu direndahkan, karena anak yatim piatu. Namun baru sekali ini ia dihina dengan tatapan judes, dan kata-ka
Tak lama kemudian, lolongan Miranda, pengusaha kue aestetik yang selalu berlagak sombong, perlahan menghilang saat ia digiring ke kantor petugas keamanan untuk meredakan amarahnya.Sejenak, mall kembali sepi, terutama di bagian peralatan rumah tangga dan mesin pembuat kue. Musik lembut yang mengalun di speaker mengisi udara, menenangkan suasana yang sempat terganggu.“Ayo, kita ke kasir dan daftar barang-barang belanjaan,” kata Yuto, sudah tenang kembali.Namun, berbeda dengannya, Hannah Laksa masih gemetar, langkahnya pelan penuh keraguan. Ia tampak rapuh, seperti gadis kecil yang tersesat di dunia yang lebih besar.“Apakah kita tidak akan dipermalukan nanti di meja kasir? Belanjaan kita begitu banyak. Aku takut Ibu Grace Song tidak setuju memberi pinjaman untuk barang-barang ini.” Matanya berkilat karena kecemasan.Yuto menoleh dengan tatapan datar, tersenyum tipis. “Bukankah ada Tuan Xander yang jadi jaminannya? Kenapa takut?”Mereka semakin dekat dengan kasir, namun ketenangan itu
Dengan sumber daya yang banyak, tiada batasan ini maka dalam sekejap mata Pelican Air langsung diakuisisi oleh Bank Central Halilintar Group.Dunia bisnis di Negeri Konoya dibuat heboh dengan gebrakan pemilik Halilintar Group, yang mengambil langkah berani mengakuisisi perusahaan yang hampir pailit ini.Seisi Kota Jatavia membincangkan ini, termasuk di Keluarga Setiawan.Pada sebuah acara minum teh di sore hari, Nyonya Ouyang dikelilingi semua keluarga inti, yang memuji-muji dia.Ruangan itu dihiasi ornamen tradisional dengan sentuhan modern; meja besar di tengah ruangan dipenuhi set teh mewah dan penganan kecil yang tersaji rapi.Lucy kebetulan ada di sana. Dia sudah selesai dengan masa penahanannya di Kota Singapura. Ibunya, Rika, juga sudah bebas dengan pertimbangan berbuat baik selama masa tahanan dan usianya yang cukup sepuh.Rika, yang berpura-pura rapuh dan sakit-sakitan selama di penjara, kini duduk dengan postur lemah tetapi matanya tetap memancarkan kecerdasan licik.Oleh se
Setelah sekian lama, proyek Dolphin Bakery berjalan dengan lancar. Anak-anak panti asuhan kini hidup nyaman dan tentram.Namun, di balik senyum puas itu, Xander mulai memikirkan sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang sudah lama ia impikan, jauh di dalam hatinya.“Perusahaan penerbangan. Aku ingin mendirikan perusahaan penerbangan,” kata Xander suatu malam, suaranya penuh tekad, meluncur lembut ke udara.Dia duduk santai di teras apartemennya yang megah, menikmati angin malam, ditemani Grace Song yang setia di sisinya sebagai tangan kanan.“Perusahaan penerbangan, Tuan Xander?” Grace Song mengangkat alis, terdengar skeptis. “Bukankah pasar sudah cukup jenuh dengan perusahaan semacam itu? Dan… bukankah ini berarti Anda akan bertentangan dengan Nona Clara?”Grace menggulirkan informasi yang ia tahu tentang hubungan rumit antara Xander dan Clara. Kedua orang itu jelas saling tertarik, tapi belum ada yang berani mengungkapkan perasaan.Grace tersenyum sambil melirik barista pribadi yang sed
Beberapa bulan setelahnya, di kawasan supermall yang terletak di wilayah timur Jatavia, sebuah toko kue baru saja dibuka.Toko itu berdiri kokoh di antara butik-butik mewah dan gerai-gerai kelas atas yang mengelilinginya, seolah menjadi simbol kedatangan sesuatu yang tak terbendung—sebuah lambang status dan kemewahan baru di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur.Nama toko itu adalah Dolphin Bakery, dan hari itu, sang pemilik merayakan peresmian dengan acara yang sederhana, namun memiliki makna yang dalam dan penuh sentuhan pribadi.Walaupun undangannya terbatas, suasana yang tercipta terasa sangat akrab dan hangat.Seolah, segenap kebahagiaan yang ada mengalir begitu bebas di ruang yang penuh dengan tawa dan suara riang, menciptakan atmosfer yang tidak bisa dihalangi oleh apapun.“Selamat atas dibukanya Dolphin Bakery!” Xander berkata sambil mengulurkan tangan, senyumnya lebar ketika ia menjabat tangan Ibu Mary yang sudah sangat tua.Wajah wanita itu tampak berkaca-kaca, mata
Setelah semua pihak terdiam oleh ancaman tegas Tuan William Tjiang, suasana di ruangan itu menjadi sunyi.Darmawan Tjiang dan Felicia anaknya bersiap meninggalkan kantor, langkah mereka terdengar berat di lantai marmer. Namun, suara Xander memecah kesunyian itu.“Tunggu. Jangan pergi dulu,” ucapnya sambil berdiri tegap, sorot matanya tajam namun tetap tenang.Felicia berhenti, berbalik dengan wajah masam. “Ada apa lagi?” tanyanya dengan nada ketus. “Bukankah tujuanmu sudah tercapai? Panti asuhan itu selamat. Apa lagi yang kamu inginkan?”Wajahnya mencerminkan kejengkelan.Sementara Darmawan Tjiang berdiri dengan sikap hati-hati.Matanya sesekali melirik Xander, seolah mencoba menilai langkah apa yang mungkin dilakukan pria itu. Ia tahu, tindakan sembrono hanya akan memperburuk situasi.“Kalian perlu melihat ini,” kata Xander. Tanpa ragu, ia melemparkan setumpuk file tebal ke meja. Bunyi keras itu menarik perhatian semua orang di ruangan.“Aku pikir kalian mendukung orang yang salah,”
Sandy Setiawan duduk menunggu keputusan rapat singkat di ruang pertemuan Tuan Tua, dengan dada berdebar.Ia bahkan tidak merasa sakit hati saat William Tjiang mengusirnya dari kantor pribadi Tuan Tua beberapa waktu lalu.Ia sudah terbiasa dengan sikap orang-orang yang merasa diri penting.Sandy tahu, keputusan yang diambil di dalam ruangan itu akan sangat menentukan masa depan bisnis Setiawan Corporation. Namun bagi Sandy, yang lebih penting adalah keuntungan untuk dirinya sendiri.Ia merenung, pikirannya melayang ke tanah panti asuhan yang hampir 2000 meter persegi itu. "Bayangkan berapa banyak yang bisa aku dapatkan jika panti asuhan bobrok itu tergusur...," pikirnya, semakin membayangkan potensi keuntungan yang menggiurkan.Selama ini, Sandy sudah mengeruk untung sampai tujuh puluh persen dalam setiap transaksi pembebasan tanah dan bangunan di lokasi supermall Tjiang Global.Setiap mark-up harga ia habiskan untuk berfoya-foya. Itu adalah cara dia menjalani hidup—dengan segala kesen
“Darmawan Tjiang! Siapa yang menyuruhmu masuk ke dalam kantor pribadiku?” Bentakan Yuan William menggema dengan suara rendah yang mengerikan, membekukan seluruh suasana.Darmawan Tjiang terdiam, tubuhnya kaku. Baru kali ini ia melihat ayahnya semarah ini.Yang ia tahu, semakin marah ayahnya, semakin dingin sikapnya. Dan itu selalu berarti satu hal—tindakan yang akan merugikan siapa saja yang berdiri di hadapannya.Melihat ketakutan di mata Darmawan, Tuan William merasa kemenangan seketika.Dengan gerakan angkuh, ia berbalik menuju Felicia, cucunya, yang ikut-ikutan menunduk, ketakutan.“Tidak biasanya kakek semarah ini…” batin Felicia, meremas tangannya. Keringat dingin menetes, meresap ke dalam pori-pori kulitnya. Suara dan ekspresi kakeknya terasa asing, dingin, tanpa sekecil pun kehangatan.Sekarang giliran Tuan William melemparkan tatapan tajam kepada Sandy Setiawan. Suaranya makin dingin, penuh ancaman.“Dan kamu, Sandy Setiawan! Kamu hanya seorang kontraktor sub-kontrak di perus
Di dalam ruang Tuan William, suasana penuh wibawa menyelimuti. Ukiran kayu klasik pada dinding dan lampu gantung kristal memancarkan kesan mewah.Sementara aroma Teh Pu-er yang khas memenuhi ruangan, melambangkan kelas atas yang tidak bisa disangkal.Tuan William menyambut mereka dengan ramah, membuat Ibu Mary sedikit lebih nyaman meski canggung.Xander duduk tenang di sudut, senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah sudah memprediksi bagaimana Tuan William akan terpesona oleh roti yang dibawa Ibu Mary.“Tuan penolong Xander, aku tidak menyangka ada seseorang yang memiliki keterampilan pembuatan roti kelas internasional seperti ini...” ujar Tuan William, tatapannya tertuju pada roti di hadapannya.Ia memeriksa tekstur roti itu dengan jari, seolah menilai sebuah karya seni.“Aku pernah makan roti dengan kualitas serupa di Shanghai,” tambahnya dengan nada tulus, seakan kenangan tentang perjalanan itu kembali hidup.Ia kemudian menoleh pada Ibu Mary, pandangannya penuh rasa kagum. “Tak kus
“Tuan dewa penolong...” kata William Tjiang, menegaskan sapaan itu dengan nada menghormati. Matanya menatap Xander yang hanya berdiri diam, seolah ragu menjawab.“Apa Anda sudah lama tiba? Mengapa tidak langsung masuk menemuiku? Kita sudah janjian, bukan?”Wajah William menggelap, jelas tidak senang dengan situasi ini.Xander tetap tenang. Ia memang bukan tipe orang yang suka mengadu, meskipun Anna, sang resepsionis, telah mempersulitnya dan Ibu Mary dengan sengaja.Rasa belas kasih masih menguasai dirinya. Namun, Ibu Mary, meski dikenal welas asih, memiliki caranya sendiri menghadapi situasi seperti ini. Ketulusannya sering kali berubah menjadi senjata yang mematikan.Dengan sikap penuh kerendahan hati, Ibu Mary maju memperkenalkan diri. “Tuan William Tjiang, saya Mary, pemilik yayasan panti asuhan.”Tersentak oleh sikap sopan wanita tua itu, William segera menjabat tangannya dengan hangat. Ia sadar bahwa wanita ini adalah tamu istimewa yang dibawa oleh Xander, sosok yang ia hormati.
Hari ini adalah momen krusial bagi Panti Asuhan Penuh Kasih. Keberlangsungan rumah bagi tiga puluh anak kecil ini akan ditentukan oleh presentasi proyek—menyulap panti menjadi bakery yang dapat menopang kebutuhan mereka.“Bu Mary, apakah Anda sudah siap?” tanya Xander sambil melangkah mendekat. Meskipun santai, aura percaya diri Xander tampak jelas.“Er... ya, saya siap,” jawab Bu Mary, suaranya lebih terdengar seperti meyakinkan diri sendiri. Tangannya semakin gelisah, menghapus keringat di hidungnya berulang kali.“Tapi... saya tetap takut. Jika presentasi ini gagal dan Tuan William Tjiang tidak terkesan... bagaimana?”Xander tersenyum tipis, seolah kekhawatiran itu bisa disapu bersih. “Jangan khawatir. Saya akan ada di sana. Kita lakukan ini bersama.”Presentasi itu formal dan digelar di Kantor Pusat Tjiang Global Group, sebuah gedung pencakar langit megah yang menjulang di pusat kota. Bangunan dengan dinding kaca berkilauan itu melambangkan kekuasaan—kontras jelas dengan kondisi p