Saat itu juga, Xander memutuskan untuk memulai bisnis roti. Ini bukan semata-mata langkah mencari keuntungan, tetapi sebagai strategi untuk menyelamatkan Panti Asuhan Penuh Kasih dari ancaman penggusuran oleh Setiawan Company.Perusahaan ini, di bawah kendali Tjiang Global Corporation, memiliki rencana besar untuk menghapus keberadaan panti tersebut."Jika tidak mulai sekarang, kapan pihak panti asuhan akan belajar menjalankan bisnis bakery?" pikir Xander, mengingat percakapannya dengan Tuan William."Aku telah berjanji bahwa panti akan bertransformasi menjadi gerai toko roti yang representatif, layak bersanding dengan bangunan mal dan pemukiman mewah masa depan."Dalam kabin mewah mobil Alphard, Xander melirik ke arah Yuto, yang sedang bercakap-cakap dengan Hannah. Keduanya tampak riang, seolah tidak ada beban.Namun, Xander tahu lapisan dalam yang mengelilingi Yuto; mantan pembunuh bayaran yang kini mengklaim dirinya seorang baker profesional dari Shanghai."Kita lihat saja," bisik
Keributan di kios Anom mulai mereda ketika seorang pria dengan aura tenang dan karisma menenangkan memasuki area yang padat. Suaranya rendah dan tenang, namun penuh wibawa, membuat kemarahan Yuto sedikit mereda.Kehadirannya membawa angin segar di tengah suasana yang panas.“Permisi. Ada apa ribut-ribut di sini?” tanyanya dengan sopan, senyumnya menenangkan. Di sekeliling, hiruk-pikuk pasar Mayomba tetap bergema—suara tawar-menawar, derap langkah kaki, dan tawa anak-anak yang bermain, menciptakan irama unik kehidupan urban.“Anda siapa?” Yuto bertanya, berusaha mempertahankan nada cool-nya, meskipun rasa ingin tahunya mulai muncul.“Kau datang untuk menasehati kami atau untuk ikutan berkerumun?”“Perkenalkan. Saya Anom, pemilik kios ini. Ada masalah yang kurang menyenangkan hati tuan muda sehingga terjadi keributan?” Koh Anom menjawab dengan nada penuh pengertian, matanya menatap Yuto dengan tulus, seolah berusaha membaca pikiran Yuto yang penuh ketidakpastian.Di sekitar mereka, kios
Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi melaju di tengah keramaian ibu kota Jatavia, melintasi jalan-jalan utama yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Cahaya matahari siang memantul dari jendela-jendela kaca gedung, menciptakan kilauan yang menyilaukan.Papan iklan elektronik dengan gambar-gambar dinamis bergerak menarik perhatian, menambah semarak suasana kota yang sibuk.Di kedua sisi jalan, butik-butik mewah dan kafe bergaya modern berjajar rapi, seakan berlomba menarik perhatian siapa pun yang melintas. Hiruk-pikuk klakson mobil bersahutan, mengiringi irama kehidupan kota yang tidak pernah tidur.Di balik kaca mobil, Hannah memandang keluar dengan ekspresi penuh keheranan.Kemacetan yang tampak seperti sungai besi itu membuatnya mengernyit, dan suasana sekelilingnya terasa sangat kontras dengan tujuan mereka.“Xander, kita hendak ke mana?” tanyanya, nada suaranya mencerminkan kebingungan.“Bukankah kita seharusnya pergi membeli peralatan membuat roti, seperti mixer, p
Di dalam Kyoto Mart, udara dari mesin pendingin menyelimuti ruang dengan kesejukan yang kontras dengan hiruk-pikuk di luar.Lampu-lampu kristal bergelantungan di langit-langit tinggi, memancarkan kilau seperti berlian. Namun, kesejukan ini tidak membuat perasaan Hannah Laksa lebih nyaman.Sebaliknya, ia merasa gugup dan berkeringat dingin saat melangkah melewati lorong butik-butik mewah yang berjajar di kanan dan kiri. Setiap langkahnya terasa berat, seakan-akan tegel marmer yang mengilap menahan kakinya dengan beban tak kasatmata.“Xander, please. Aku tak punya uang banyak. Bahkan membeli mesin mixer saja mungkin aku tak sanggup,” ucapnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam deru obrolan pengunjung yang berlalu lalang.Xander berhenti melangkah dan menatap Hannah dengan senyuman kecil di wajahnya, tetapi matanya memancarkan keyakinan yang tidak bisa dibantah.“Untuk apa kamu takut? Aku sudah mendapat persetujuan dari Ibu Grace Song. Kami bisa berbelanja di department store khusus p
BRAK!“Istriku, kenapa kamu…” Plastik yang berisi beberapa kopi gula aren terjatuh dari tangannya.Sebagai seorang barista yang diminta menjadi petugas delivery, pesanan itu harusnya ia antarkan untuk seorang pelanggan bernama Kevin Ng. Namun, alamat pengiriman mengarahkannya pada rumah tempat ia menemukan fakta yang membuat tubuhnya lemas seketika.Di hadapannya, Lucy Setiawan, istri yang ia kira tengah menunggunya di rumah dengan setia, kini tengah bersama seorang pria tanpa busana. Wajah Xander memucat.Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya gemetar. Kakinya tak sanggup menopang tubuhnya ketika ia melihat istrinya dipeluk pria yang ia yakini adalah sosok bernama Kevin itu. Xander bahkan sudah tak mampu berkata-kata.Namun, sosok Kevin Ng itu bukannya terkejut atau merasa malu, justru berbicara santai.“Wah, wah, Lucy. Sepertinya suamimu memergoki kita!” ucap pria bertubuh tinggi besar itu sambil melepas pelukannya dari tubuh Lucy, wajahnya menyungging senyum menggoda yang membuat Xan
Meskipun pagi itu udara mulai panas karena matahari yang bersinar cerah, sosok Xander terdiam. Ia tak bisa mempercayai angka yang tertera di layar ponselnya yang sudah usang."Angka yang sangat besar. Ada lima belas nol di sana!" batin Xander. Ia berulang kali memastikan bahwa matanya tidak salah membaca angka yang tertera di layar ponselnya. "Aku harus segera pergi ke Bank Central Halilintar sekarang juga, untuk memastikan kebenaran informasi saldo ini!"Dengan detak jantung yang berdegup kencang, masih tak percaya dengan pesan singkat itu, ekspresi kebimbangan terlukis di wajah Xander. "Bisa saja ini hanya spam atau scam, bukan?" batinnya, mencoba untuk tidak merasa gembira berlebihan.Dengan tangan gemetar, Xander segera membuka aplikasi dan memesan kendaraan online melalui ponselnya.Bank Central Halilintar adalah salah satu bank papan atas di negeri ini, berada di peringkat lima besar di antara bank-bank lainnya. Mengapa Xander memilih untuk menabung di sana? Jawabannya sederhana
Ketika gadis customer service itu menerima Kartu Tabungan Ekonomi dari tangan Xander, ia memegangnya dengan telunjuk dan jempol, seolah-olah sedang menjinjing sampah yang menjijikkan.Bahkan, jika Lidia, sang customer service, tidak terikat oleh SOP – Standar Operasional Prosedur Bank Central Halilintar, ia mungkin sudah membuang Kartu Tabungan Ekonomi Xander yang tampak lusuh dan terlipat-lipat itu."Sepertinya pemuda miskin ini selalu mengantongi buku tabungan ini ke mana pun ia pergi. Ia menganggap ini adalah harta karun yang tak boleh ditinggalkan. Aku jadi penasaran, seberapa banyak saldo di rekening ini, sampai-sampai ia membawanya ke mana-mana dan terlihat lusuh!" Lidia berpikir dengan jijik melihat buku yang acak-acakan itu.Namun, mau tidak mau Lidia harus melakukan tugasnya, mencetak saldo di buku tabungan itu.Ketika Lidia membuka lembar kedua, sekilas ia melirik dengan rasa ingin tahu yang mendalam pada isi rekening Xander. Namun, ia hampir pingsan, tak tega melihat bahwa
Berada di dalam ruang nyaman berpenyejuk udara, ditambah aroma lavender dari aromaterapi, Xander berdiri agak canggung di depan pintu kantor. Sebuah lukisan ikan berenang menjadi latar belakang kursi tempat duduk dan meja besar dari jati, dengan dua kursi di depannya.Dalam hati, Xander bertanya-tanya, “Siapa sosok perempuan berwibawa ini?”Belum juga ia selesai memindai seisi ruangan yang terlihat luks itu, suara perempuan itu terdengar lagi. “Tuan Xander Sanjaya? Silakan duduk,” kata perempuan berkacamata itu terdengar ramah.Perempuan itu menunjuk sofa dengan telapak tangan tanda sopan santun, meminta Xander duduk di sofa tebal dan empuk, sementara dia sendiri akan memilih duduk di kursi sofa lain, di seberang. Dia menunggu sampai Xander duduk di sofa empuk tersebut, barulah duduk dengan hat-hati, tiap gerak-geriknya terlihat elegan.“Perkenalkan. Namaku Grace Song. Aku Branch Manager Bank Central Halilintar.”“Maafkan aku, Ibu Grace... Sebenarnya aku bertanya-tanya. Ada masalah ap
Di dalam Kyoto Mart, udara dari mesin pendingin menyelimuti ruang dengan kesejukan yang kontras dengan hiruk-pikuk di luar.Lampu-lampu kristal bergelantungan di langit-langit tinggi, memancarkan kilau seperti berlian. Namun, kesejukan ini tidak membuat perasaan Hannah Laksa lebih nyaman.Sebaliknya, ia merasa gugup dan berkeringat dingin saat melangkah melewati lorong butik-butik mewah yang berjajar di kanan dan kiri. Setiap langkahnya terasa berat, seakan-akan tegel marmer yang mengilap menahan kakinya dengan beban tak kasatmata.“Xander, please. Aku tak punya uang banyak. Bahkan membeli mesin mixer saja mungkin aku tak sanggup,” ucapnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam deru obrolan pengunjung yang berlalu lalang.Xander berhenti melangkah dan menatap Hannah dengan senyuman kecil di wajahnya, tetapi matanya memancarkan keyakinan yang tidak bisa dibantah.“Untuk apa kamu takut? Aku sudah mendapat persetujuan dari Ibu Grace Song. Kami bisa berbelanja di department store khusus p
Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi melaju di tengah keramaian ibu kota Jatavia, melintasi jalan-jalan utama yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Cahaya matahari siang memantul dari jendela-jendela kaca gedung, menciptakan kilauan yang menyilaukan.Papan iklan elektronik dengan gambar-gambar dinamis bergerak menarik perhatian, menambah semarak suasana kota yang sibuk.Di kedua sisi jalan, butik-butik mewah dan kafe bergaya modern berjajar rapi, seakan berlomba menarik perhatian siapa pun yang melintas. Hiruk-pikuk klakson mobil bersahutan, mengiringi irama kehidupan kota yang tidak pernah tidur.Di balik kaca mobil, Hannah memandang keluar dengan ekspresi penuh keheranan.Kemacetan yang tampak seperti sungai besi itu membuatnya mengernyit, dan suasana sekelilingnya terasa sangat kontras dengan tujuan mereka.“Xander, kita hendak ke mana?” tanyanya, nada suaranya mencerminkan kebingungan.“Bukankah kita seharusnya pergi membeli peralatan membuat roti, seperti mixer, p
Keributan di kios Anom mulai mereda ketika seorang pria dengan aura tenang dan karisma menenangkan memasuki area yang padat. Suaranya rendah dan tenang, namun penuh wibawa, membuat kemarahan Yuto sedikit mereda.Kehadirannya membawa angin segar di tengah suasana yang panas.“Permisi. Ada apa ribut-ribut di sini?” tanyanya dengan sopan, senyumnya menenangkan. Di sekeliling, hiruk-pikuk pasar Mayomba tetap bergema—suara tawar-menawar, derap langkah kaki, dan tawa anak-anak yang bermain, menciptakan irama unik kehidupan urban.“Anda siapa?” Yuto bertanya, berusaha mempertahankan nada cool-nya, meskipun rasa ingin tahunya mulai muncul.“Kau datang untuk menasehati kami atau untuk ikutan berkerumun?”“Perkenalkan. Saya Anom, pemilik kios ini. Ada masalah yang kurang menyenangkan hati tuan muda sehingga terjadi keributan?” Koh Anom menjawab dengan nada penuh pengertian, matanya menatap Yuto dengan tulus, seolah berusaha membaca pikiran Yuto yang penuh ketidakpastian.Di sekitar mereka, kios
Saat itu juga, Xander memutuskan untuk memulai bisnis roti. Ini bukan semata-mata langkah mencari keuntungan, tetapi sebagai strategi untuk menyelamatkan Panti Asuhan Penuh Kasih dari ancaman penggusuran oleh Setiawan Company.Perusahaan ini, di bawah kendali Tjiang Global Corporation, memiliki rencana besar untuk menghapus keberadaan panti tersebut."Jika tidak mulai sekarang, kapan pihak panti asuhan akan belajar menjalankan bisnis bakery?" pikir Xander, mengingat percakapannya dengan Tuan William."Aku telah berjanji bahwa panti akan bertransformasi menjadi gerai toko roti yang representatif, layak bersanding dengan bangunan mal dan pemukiman mewah masa depan."Dalam kabin mewah mobil Alphard, Xander melirik ke arah Yuto, yang sedang bercakap-cakap dengan Hannah. Keduanya tampak riang, seolah tidak ada beban.Namun, Xander tahu lapisan dalam yang mengelilingi Yuto; mantan pembunuh bayaran yang kini mengklaim dirinya seorang baker profesional dari Shanghai."Kita lihat saja," bisik
Xander tiba di Panti Asuhan Penuh Kasih tepat pukul sembilan pagi. Ketika ia membuka pintu, suasana ramai dan ceria menyambutnya.Namun, yang paling mengejutkan adalah melihat Yuto, yang dikenal dengan reputasinya, tampak berperilaku sangat baik. Ia berbicara dengan anak-anak panti dengan hangat, bahkan tampak akrab, sebuah pemandangan yang jarang dilihat dari sosok profesi seperti Yuto.Yuto melirik Xander sekilas, namun tidak melepaskan pelukannya pada seorang anak panti berusia lima tahun.Meskipun tidak ada kata yang diucapkan, Xander bisa merasakan pesan yang tersirat dalam tatapan Yuto.Seolah-olah Yuto memohon: "Tolong, jangan buka rahasiaku di depan anak-anak panti."Xander hanya mengangkat bahu, bersikap seolah tak peduli, tetapi dalam hatinya ia memahami beban yang ditanggung Yuto. Ada sesuatu yang menyentuh dalam interaksi ini, seakan Yuto menemukan kedamaian sesaat di tengah kehidupannya yang penuh gejolak."Oh, jadi kamu sudah duluan tiba?" kata Xander, mencoba mencairkan
Hannah Laksa adalah seorang gadis sederhana, dibesarkan di panti asuhan.Sejak kecil, kehidupannya jauh dari sorotan publik. Meskipun wajahnya manis, ia sering merasa minder karena tidak memiliki pasangan orang tua seperti anak-anak normal.Dunia popularitas tampak jauh dari jangkauannya, dan ia merasa nyaman dalam kesederhanaan yang akrab.Namun, pagi itu, sesuatu yang mengubah hidupnya terjadi."Mengapa banyak sekali orang yang menjadi pengikutku?" desis Hannah tak percaya, menatap layar ponselnya dengan mata terbelalak.Akun media sosialnya, yang selama ini hanya memiliki sekitar lima ratus followers, tiba-tiba melonjak menjadi lebih dari sembilan ribu. Angka itu terus bertambah, mendekati sepuluh ribu. Ini adalah perubahan yang tidak pernah ia bayangkan.Jantungnya berdebar kencang saat ia menggulir komentar-komentar yang membanjiri postingannya tentang Yuto."Wow! Di mana lokasi tempat ini? Aku ingin berkunjung dan melihat sosok pria mirip idol itu!""Apakah itu benar seorang ido
"Jadi, fix bahwa tindakanmu ini memang orderan dari Keluarga Setiawan?" tanya Xander. Suaranya tenang, tetapi setiap kata yang diucapkannya dipilih dengan sangat hati-hati, seperti pedang yang diasah."Aku tak mungkin berbohong, bukan? Nyawaku sudah ada di tanganmu," jawab Yuto dengan wajah muram, sementara rasa putus asa terpancar jelas dari matanya yang hampir kosong.Seharusnya dialah yang menaklukkan korban, tetapi kenyataannya malah sebaliknya. Kini, dia terjebak dalam permainan maut yang tidak dia pilih.Xander menatapnya sekilas, senyum sinis tersungging di bibirnya, membuat Yuto merasa kedinginan meskipun malam itu hangat."Pergilah. Temui aku besok di wilayah Timur kota, di panti asuhan bernama 'Penuh Kasih'. Di sana, aku akan memberitahumu apa yang harus kamu lakukan sebelum aku memberimu tetesan kedua dan ketiga," katanya dengan nada dingin, tanpa sedikit pun rasa kasihan.Wajah Yuto semakin muram, keraguan menyeruak dalam pikirannya."Apa yang pria ini inginkan dariku?" pi
Melihat hal ini, Yuto yang merupakan seorang pembunuh profesional, tidak lantas gugup atau kehilangan akal. Ia terbiasa menghadapi situasi berbahaya dengan kepala dingin.Dengan cepat, kaki kanannya bergerak, menendang dada Xander dengan gerakan tekwondo yang terukur dan penuh kekuatan.“Lepaskan belatiku!” teriak Yuto, suaranya menggelegar.Kakinya tiba-tiba sudah menempel di dada Xander, seperti sebuah pukulan yang menggetarkan. Yuto yakin, kalau bukan isi dada pemuda itu yang berguncang, setidaknya ia akan terjatuh sambil memuntahkan darah.BLEP!Namun, alangkah terkejutnya Yuto.Saat kakinya menempel di dada Xander, ia merasakan sensasi yang aneh—seperti melempar batu sebesar kerbau ke dalam lautan.Tidak ada dampak!Hanya sebuah perasaan kosong, seolah segala usaha yang dilakukannya menjadi sia-sia.“Apa yang terjadi? Ilmu apa yang digunakan pemuda ini? Taiji?!” pikir Yuto panik.Dengan cepat, keringat mulai bercucuran di wajahnya, menandakan ketegangan yang mulai melanda tubuhny
Entah mengapa, malam itu langkah Xander terasa berat. Ia berjalan tanpa arah pasti, seperti mengikuti bayang-bayang pikirannya sendiri.Hingga akhirnya, saat jarum jam menunjukkan pukul 23.00, ia menemukan dirinya di sebuah lorong sepi yang akrab di ingatannya.Lorong itu adalah jalan pintas menuju Gorilla’s Kafe, tempat yang dulu sering ia lewati, semasa ia hidup miskin di rumah Lucy.Lorong ini, dengan tembok tinggi di kedua sisinya, memiliki reputasi yang tidak menyenangkan.Cerita-cerita tentang hantu perempuan yang mencegat pejalan kaki atau kisah tragis pembunuhan yang terjadi di sana sering menghantui warga sekitar.Tidak banyak yang berani melewati lorong ini, terutama saat malam tiba. Tapi bagi Xander, lorong ini hanyalah kenangan masa lalu yang ia tinggalkan jauh di belakang.Suara sepatu olahraga Xander hampir tak terdengar saat ia berjalan dengan langkah gesit, menembus keheningan malam.Cahaya bulan yang remang-remang memantul di aspal basah, menciptakan bayangan yang ber