Xander terbangun pagi-pagi buta, dan begitu membuka matanya, perasaan panik langsung menyerangnya. Patung giok yang semalam dibelinya dengan harga mahal itu tiba-tiba menghilang.Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar hotel, namun patung itu seakan lenyap begitu saja, seperti ditelan bumi."Dimana patung itu? Aku bahkan belum sempat menemukan rahasianya, tapi sudah lenyap begitu saja!" gerutunya dengan suara penuh kebingungan.Yang membuat semakin heran adalah, serpihan pecahan giok yang semalam sempat jatuh membentur lantai, kini juga tak tampak di mana-mana.Bekas-bekas hancurnya patung itu seakan tersapu bersih, meninggalkan ruangan sepi.Hanya ada selembar kertas kuno yang terlihat usang, terselip di sudut ruangan, tapi saat itu Xander sama sekali tidak tertarik untuk memperhatikannya.Setelah beberapa lama mencari-cari tanpa hasil, Xander merasa kesal dan lelah.Dengan gerakan malas, ia memutuskan untuk mandi guna menyegarkan diri. Padahal, pagi itu udara sangat dingin, ang
Dari lobi hotel yang elegan, Xander dan Lilian melangkah keluar ke jalanan yang mulai dipadati aktivitas pagi Kota Shanghai.Matahari baru saja naik, memantulkan cahaya lembut di permukaan gedung-gedung tinggi yang berjajar di sepanjang Nanjing Road.Suara klakson kendaraan, obrolan para pejalan kaki, dan aroma wangi dari toko-toko roti yang baru buka membuat suasana pagi terasa hidup dan berenergi."Hai Lilian, apa rencana kita pagi ini?" tanyanya sambil menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Sejujurnya, aku belum sarapan..." lanjutnya dengan nada sedikit malu, berharap tidak terdengar terlalu canggung.Lilian tersenyum lebar, matanya berkilau."Ah, tak masalah, Tuan Xander. Bagaimana kalau kita mulai dengan sarapan ringan di Nanjing Road? Aku kenal sebuah kafe yang menyajikan croissant istimewa, renyah di luar tapi lembut di dalam, dipadu dengan kopi yang wanginya bisa membangunkan jiwa. Atau, jika Anda lebih suka teh, ada pilihan teh yang sangat menggoda. Cocok untuk menik
Seperti yang sudah Lilian kira sebelumnya, ia tetap yakin bahwa Xander hanyalah seorang pria sederhana, mungkin seorang mahasiswa yang rajin menabung, atau bisa jadi seorang pekerja yang menyisihkan uang sedikit demi sedikit demi bisa menikmati liburan mewah di Shanghai.Namun, semakin lama Lilian mengenal Xander, semakin ia ragu pada kesimpulan itu.Ketika mereka tiba di Restoran Shang High Cuisine—restoran yang terkenal dengan hidangannya yang mewah dan mahal—Lilian mulai merasa tidak nyaman."Apakah Xander rela menghabiskan banyak uang hanya demi terlihat sopan di depanku?" pikirnya sambil mengernyit sedikit. "Mungkin sebaiknya aku memilih hidangan yang paling sederhana untuk meringankan bebannya."Ketika pelayan datang menghampiri mereka dengan senyum ramah dan sopan, Lilian sudah siap untuk memesan menu yang sederhana. Namun, sebelum sempat ia membuka mulut, Xander dengan penuh percaya diri langsung menyebutkan serangkaian hidangan yang bahkan belum pernah ia dengar sebelumnya.L
Lain di Shanghai, lain pula di Jatavia, kota dengan keruwetan khasnya sendiri. Di sinilah keluarga Setiawan menaruh harapan besar pada saat mendengar kabar kedatangan Nyonya Ouyang, sosok investor dari Shanghai yang katanya bisa menyelamatkan bisnis mereka dari jurang kebangkrutan.Di bandara Kota Jatavia, setelah kedatangan Nyonya Ouyang."Aku berharap kedatangan Nyonya Ouyang dari Shanghai akan membawa angin segar buat perusahaan Setiawan Grup," ujar Haris Setiawan kepada istrinya, Rika, sambil menatap jauh ke depan seolah bisa melihat masa depan gemilang yang penuh dengan keuntungan—untuk dirinya sendiri tentunya, bukan untuk perusahaan."Akhirnya, langit membuka mata bagi keluarga Setiawan kami," balas Rika dengan nada penuh harap. Meski di dalam hati, yang ia bayangkan bukan kesuksesan perusahaan, melainkan kesempatan untuk bisa mengumpulkan lebih banyak keuntungan, dan tentu saja berjudi di lorong Kancil yang sudah menjadi kegemarannya.Di tengah percakapan singkat itu, mereka s
“Terima kasih untuk makan malam yang elegan, Tuan Xander,” kata Lilian dengan senyum kecil yang menyiratkan kehangatan, saat mereka berdua berjalan perlahan di sepanjang tepi sungai Huangpu.Malam itu, udara musim gugur terasa sejuk, dan pohon-pohon sycamore di sepanjang jalan berdesir lembut diterpa angin. Daun-daun kering jatuh satu per satu, melayang pelan sebelum akhirnya mendarat di jalan setapak yang mereka lewati.Cahaya lampu jalan menambah suasana damai dengan sorot lembut yang memantul di permukaan sungai.Xander, yang sejak tadi memperhatikan Lilian, melihat dirinya berusaha menahan dingin di balik senyum tipisnya. Tanpa berpikir dua kali, ia mengambil syal keluaran butik Louis Vuitton dari tasnya—item eksklusif yang baru ia beli khusus untuk perjalanan ke Shanghai ini.Dengan sikap yang tenang namun penuh perhatian, Xander mengulurkan syal itu ke arah Lilian.“Anda kedinginan, Lilian. Pakailah ini sebagai penghangat, sekaligus hadiah kecil dariku,” kata Xander, melilitkan
Dalam perjalanan menyeberang jalan menuju Hotel Bund, Lilian terus diliputi rasa penasaran. Pikirannya dipenuhi tanda tanya.“Dari mana Tuan Xander ini mempelajari seni bela diri seperti itu? Teknik-teknik seperti itu sudah sangat jarang di zaman sekarang," batinnya.Lilian sendiri berasal dari keluarga petarung, para juara gelanggang dan arena yang terkenal. Sejak kecil, ia pun telah belajar seni bela diri yang serupa, meskipun ia memilih tidak terjun ke dalam dunia pertarungan resmi. Lilian lebih memilih jalur akademis, melanjutkan studi di Universitas Shanghai Jiao Tong, jurusan teknik. Meskipun begitu, warisan keluarganya tidak mudah ia lepaskan; seni bela diri sudah mendarah daging dalam dirinya.Ketika Xander memesan taksi online di depan Hotel Bund dan mereka menunggu bersama, Lilian akhirnya tak bisa menahan diri lagi."Tuan Xander, ternyata Anda juga menguasai seni bela diri Taiji? Dari mana Anda mempelajarinya? Saya yakin pasti seorang Guru yang sangat terkenal yang mengaja
Sementara itu, di ruang kecil yang sempit namun penuh kesibukan, tempat para pramugari berjaga, tiga gadis sedang terlibat percakapan berbisik. Gladys, pramugari yang melayani Xander, tampak sibuk melipat beberapa serbet, namun jelas pikirannya melayang entah ke mana."Dia masih sangat muda. Tapi menggunakan layanan First Suite seolah itu hal biasa. Apa dia influencer terkenal atau semacamnya di negaranya?" tanya Ling, teman sesama pramugari, sambil terkikik pelan. Matanya berbinar, penuh rasa ingin tahu."Atau jangan-jangan dia artis papan atas dari sana," sambung Joey, ikut-ikutan penasaran, mencoba membayangkan sosok Xander, pria yang di bicarakan Gladys kawan mereka.Namun Gladys, alih-alih ikut tersenyum, justru terlihat muram. Dia menghela napas panjang, matanya menerawang. "Dia sangat tampan... Mengingatkanku pada pria yang pernah aku kagumi sewaktu SMA dulu. Rasanya seperti melihat kenangan berjalan di depan mata."Ling menoleh, keningnya sedikit berkerut. "Kalau begitu, ken
Setelah mengantar ketiga gadis itu ke hotel dan mereka berganti pakaian kasual, tak lama kemudian Xander, bersama Gladys, Ling, dan Joey, sudah duduk di sebuah bar dan resto bernama Whisper Garden.Suasana di dalamnya elegan, dengan pencahayaan lembut yang memantulkan kilauan dari berbagai ornamen di dinding.Dari lantai 67, ketiga gadis itu berdiri mengagumi pemandangan Kota Jayavia yang menyala di malam hari, kota metropolitan yang seolah berkilau dengan gemerlap lampu.“Aku terbiasa melihat dari ketinggian saat melakukan penerbangan. Namun, kali ini memandang keindahan kota dari sebuah gedung tinggi sungguh berbeda,” desis Gladys, tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya.Sorot matanya penuh keinginan, seakan ingin menyerap setiap detail dari pemandangan yang menakjubkan itu.“Aku juga. Baru sekali ini, dan rasanya luar biasa,” Ling menambahkan. Senyumnya lebar, menandakan betapa terpesonanya dia dengan panorama di hadapannya.“Aku juga sama,” Joey menyusul, berbagi semangat yang s
William Tjiang berdiri perlahan, tubuhnya masih terlihat lemah. Wajahnya pucat, dan sisa warna biru masih membayang di bibirnya. Namun, ekspresinya mendadak penuh percaya diri saat ia menatap gadis di sebelahnya.“Felicia,” serunya lantang, “anak muda ini sangat terampil dalam seni pengobatan. Mengapa kamu tidak memilih dia sebagai pacar saja?”“Kakek!” pekik Felicia Tjiang, wajahnya seketika memerah.Felicia, yang biasanya piawai menghadapi pemuda generasi kedua keluarga kaya, merasa aneh kali ini. Biasanya ia selalu memegang kendali, mampu menundukkan lawan bicaranya. Tapi entah kenapa, hari ini kata-kata kakeknya membuatnya salah tingkah. “Tapi dia terlihat lusuh dan miskin. Bukan tipe yang aku sukai!”Felicia langsung men“Lepaskan tangannya. Pemuda itu hendak pergi. Untuk apa Anda menahannya seperti itu?” tegur Felicia dengan nada dingin, meski tatapannya tak sepenuhnya bebas dari rasa canggung.William Tjiang tetap keras kepala, tidak melepas tangan Xander yang masih menjabat ta
Masalah di panti asuhan untuk sementara terlupakan.Pihak kontraktor tampaknya menghentikan aksi mereka meneror Ibu Mary dan anak-anak panti. Kehidupan di panti perlahan kembali normal, meskipun bangunan tua itu kini menjadi satu-satunya yang tersisa di area tersebut.Rumah-rumah lain di sekitar panti telah diratakan, menyisakan hamparan tanah kosong yang mulai tertata rapi. Pekerja kontraktor hanya sibuk membersihkan sisa-sisa puing dan limbah dari kekacauan sebelumnya.Proyek besar yang katanya membawa perubahan justru meninggalkan ketidakpastian bagi penghuni terakhir kawasan ini—anak-anak panti yang tidak punya tempat lain untuk berlindung.Xander baru saja akan kembali ke ibukota setelah menginap semalam di pegunungan.Tidak seperti kebanyakan orang yang datang dengan mobil mewah atau campervan besar, Xander memilih sesuatu yang berbeda: sebuah campervan mini yang dimotori sepeda listrik. Kendaraan unik ini adalah hasil rakitan khusus, lengkap dengan gerbong kecil di belakangnya
Sandy Setiawan memukul meja dengan keras. Dentuman kayu itu memenuhi ruangan, membuat dua petugas di hadapannya terkejut. Wajah Sandy memerah, sorot matanya menyala seperti bara api, siap membakar apa pun."Hanya untuk menggusur anak-anak kecil, seorang nenek tua, dan seorang gadis lemah, kalian gagal?!" bentaknya. Ia tidak percaya bahwa tugas sesederhana itu tidak bisa mereka selesaikan.Salah satu petugas, pria bertubuh kekar, berusaha menjawab meski suaranya terdengar gemetar. "Bos, ada seorang pemuda di sana. Dia menguasai ilmu bela diri, sepertinya seorang kultivator. Dia bahkan meninggalkan pesan untuk Anda."Sandy mengangkat alis, matanya menyipit. "Pesan apa?"Petugas itu menelan ludah. "Dia bilang namanya Xander dan yakin Anda tahu siapa dia."Ekspresi Sandy berubah drastis, wajahnya sekaku patung marmer. Napasnya tertahan, dan ruangan itu sunyi sementara kedua petugas saling pandang, bingung."Apakah Anda mengenalnya? Dia... orang dalam?" seorang petugas memberanikan diri be
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men