mari kita lanjutkan ke bab selanjutnya 🌝🌝 apa yang akan terjadi??
“Setelah itu Anda lakukan, menikahlah dengan Nona Gretha,” ulang Lilia dengan suaranya yang masih sama gemetar. Sekujur tubuhnya terasa kebas, rasa sesak menusuk ulu hatinya hingga retak tetapi ia berulang kali menguatkan diri agar tidak menangis di hadapan William. “Kenapa?” tanya William, satu langkah yang diambilnya justru dibalas Lilia yang menghindarinya dengan beberapa jarak ke belakang. Sedangkan Giff yang tadi datang dengan William lebih memilih untuk pergi, memberi ruang sepenuhnya untuk mereka berdua. “Kita juga tidak menikah secara resmi, akan lebih mudah karena tidak perlu ada yang diurus,” jawab Lilia. “Cukup katakan talak saja pada saya, maka pernikahan kita akan usai.” William tak menanggapinya. Pria itu bergeming. Sementara Lilia menunduk saat melihat rahangnya yang mengetat. Kebisuan memerangkap mereka lebih dari enam puluh detik sebelum Lilia mendengarnya kembali bicara. “Lalu, bagaimana dengan Keano, Lilia?” tanyanya. “Kamu tahu anakku tidak bisa hidup tanp
Suara benda pecah belah menggema di setiap penjuru ruang makan. Menimbulkan kebisingan selama beberapa saat sebelum keadaan menjadi hening. “Kamu gila?!” tanya Nyonya Donna dengan suara yang sangat lantang pada anak lelakinya. “Apa yang sedang kamu lakukan ini, Liam?!” Napas William naik turun tak beraturan, matanya sesaat terpejam. Cicit ketakutan dari Gretha yang mencemari indera pendengarnya membuat William justru semakin muak. Matanya terbuka setelah itu, panas, ia bisa merasakan ledakan api meluap-luap dari dalam dadanya. “Bisa-bisanya kalian semua malah makan-makan di sini setelah menyakiti Lilia,” desisnya, menyapukan pandang pada semua orang yang duduk menegang di kursi mereka masing-masing. “Jangan menyentuh Lilia!” peringatnya tak main-main. “Terutama Mama.” Sepasang matanya terarah lurus pada Nyonya Donna yang membeku tatkala melihat kedua telinga William yang memerah. Bara tengah menyulutnya dengan hebat. “Mama pikir aku tidak tahu apa yang Mama lakukan tadi siang p
“V-visum?” ulang Gretha dengan pupil mata berlapis lensa ambernya yang gemetar. “Kak Liam bilang visum?” “Iya, semua akan terlihat dengan jelas lewat visum,” jawabnya. “Kamu harusnya tahu soal itu, ‘kan? Jika benar aku memperkosamu malam itu, hal pertama yang seharusnya kamu lakukan adalah pergi untuk visum, jadi kamu tidak perlu menggunakan banyak tenaga untuk bercerita karena ada bukti di tanganmu.” “A-aku masih sangat trauma, Kak Liam,” jawab Gretha. “Aku benar-benar tidak ingin mengingat kejadian malam itu. Aku tidak ingin mengingat saat Kak Liam—” “Tidak ingin mengingat?” potong William, dengus napasnya terdengar berat saat kedua tangannya berada di pinggang, menatap Gretha dengan alis berkerut penuh kebingungan. “Kamu bilang tidak ingin mengingat apa yang terjadi malam itu tapi mendatangi Lilia?” imbuhnya. “Di rumah yang kamu sebut sebagai ‘trauma’ itu?” William tertawa lirih, seperti yang pernah ia perdengarkan pada pertemuan mereka sebelumnya, malam ini pun sama. Dar
Lilia membeku di tempat ia berdiri saat William justru memeluknya semakin erat. Tak ada yang bicara untuk beberapa lama. Hanya napas mereka yang mengisi hening hingga Lilia meraih kedua lengan kekarnya dan memaksa William agar berdiri tegak. “Tuan William,” panggil Lilia. Pria itu tak menanggapi selain mengunci maniknya dengan sepasang netranya yang kelam. “Apa yang Anda lakukan ini? Bagaimana kalau Keano melihat Anda seperti ini?” tanyanya. Kedua bahu William jatuh mendengar itu. Pandangannya berpindah lebih rendah, ke bibir Lilia dan ia menundukkan kepalanya. Hidung mereka hampir bersentuhan sebelum Lilia menghindar dan menahan dadanya dengan kedua tangannya. “Kembalilah ke kamar Anda!” pinta Lilia. “Sudah terlalu malam untuk berkeliaran.” “Tidak mau,” tolak William. “Aku mau tidur di kamarnya Keano.” “Tuan William tidak boleh tidur di sana,” tolak Lilia. “Kenapa?” “Anda bau alkohol,” jawabnya. William hampir limbung ke depan tetapi hal itu gagal terjadi sebab Lilia menah
‘Lilia diam-diam menangis?’ ulang William dalam hati. ‘Benarkah begitu?’ Tapi bukankah apa yang dikatakan oleh anak lelakinya itu selalu jujur? ‘Apa Lilia sekecewa itu, dan berpikir aku benar menodai Gretha?’ “Papa tidak melakukan apapun dengan Tante Gretha, Keano,” kata William. “Tapi kenapa Tante menangis? Mama juga pergi sekarang. Bagaimana kalau Mama benar-benar tidak kembali?” Kalimat Keano membombardir William hingga ia bingung harus menjawab yang mana. “Mama pasti kembali, Tuan Muda Keano,” kata Agni. Wanita paruh baya itu berlutut di samping Keano, menunjukkan senyumnya dan mencoba membujuk. “Mama ‘kan sudah janji untuk pulang? Mama hanya melakukan tugasnya. Di sana sedang kekurangan orang untuk merawat adik-adik yang sakit dan kurang mampu. Mama tetap menjadi Mamanya Tuan Muda kok. Tapi sementara ini dengan Bu Agni ya?” Keano bisa memahami ucapan Agni, dan … sepertinya itu berhasil. “Ada Papa di sini, mau apa, Sayang? Keano bisa bilang ke Papa.” William mencoba merayu
“Bagaimana kalau pulang ke rumahku dulu?” tanya Nicholas saat ia membantu Lilia menyiapkan piring makan yang akan mereka gunakan untuk anak-anak panti asuhan. “Nanti akan aku katakan pada William, Lilia. Biar Keano sedikit redam amarahnya karena tadi Bu Agni bilang dia sangat meledak-ledak pada William.” Lilia ragu dengan ajakan itu. Ia tak berani. Itu bisa saja memantik amarah William seandainya ia tahu bahwa Lilia dan Keano tengah bersama dengan Nicholas. Ia memandang Nicholas dan mata tulusnya yang tampak membiaskan cahaya dari lampu yang menerangi ruangan di mana mereka berdiri. Sepasang netranya lalu berpindah melewati pintu masuk, menyaksikan Keano yang sedang berlarian dengan anak-anak panti yang lain dan dia terlihat sangat senang di sini. Seolah tak memiliki beban atau menanggung kebenciannya pada William. ‘Apakah boleh?’ batin Lilia bingung. ‘Apakah kami boleh ikut dengannya?’ Seperti sedang menyambut benaknya yang berkecamuk, Keano berlari menghampirinya dan memeluk
Lilia baru saja masuk ke ruang tamu rumah Nicholas setelah keluar dari mobil yang dikemudikan pria itu meninggalkan panti asuhan. Seperti yang ia putuskan sebelumnya bahwa Lilia akan membawa Keano menginap selama satu malam di sini dan akan diantar pulang oleh Nicholas besok pagi. Nicholas mengatakan bahwa ia sudah memberi tahu William sehingga Lilia merasa tidak akan terjadi hal buruk—semisal sebuah kesalahpahaman. Tetapi, itu sebelum ia mendengar suara teriakan seseorang yang ada di luar rumah. Lilia kenal betul, itu adalah suara William. Lilia yang tadinya berjalan mengikuti pelayan dengan segera menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan melihat ke arah pintu yang terbuka. Menyaksikan William yang menghantamkan kepalan tangannya sehingga Nicholas limbung di bawah hujan. “BRENGSEK!” Umpatan William mengoyak petang yang harusnya tenang di halaman. Dari tempat ia berdiri, Lilia mendengar suara menggelegar William saat ia bertanya, “Kamu pikir aku tidak tahu apa tujuanmu membawa
Lilia bisa merasakan punggung William yang naik turun tak beraturan. Gerakan agresif yang dipicu oleh adrenalin yang terguncang di dalam tubuhnya. Samar Lilia mendengar detak jantung pria itu yang bertalu-talu, seolah tengah memprovokasi dan memintanya untuk menghancurkan apapun yang ada di hadapannya. Lilia sempat terseret sejauh beberapa langkah, ia menahan pria ini sekuat tenaganya dan sekali lagi memohon, “Tolong hentikan,” pintanya. “Tidak ada yang diuntungkan dari pertengkaran kalian ini selain kalian yang hanya saling menyakiti!” Tidak ada yang bicara setelah kalimat Lilia terdengar di sela-sela tirai hujan yang belum reda. Hanya ada napas yang naik turun, seolah tengah berusaha menguraikan sesak. Lilia perlahan melepaskan tangannya dari William, kemudian pria itu berbalik untuk memandangnya. Iris kelamnya menatap Lilia, jauh berbeda dengan dirinya yang tadi terlihat kejam dan angkuh pada Nicholas. Lilia mencuri pandang pada Nicholas juga, pria itu tengah berusaha
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar.Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi.Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam.Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok.Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata.Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?"Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya.""Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?""Hanya itu saja yang aku pikirkan dari tad
Lilia dan William masih bersembunyi hingga Nicholas dan Selina pergi dari sana.Lilia turut senang karena saat semua luka dan kesalahpahaman perlahan teruraikan, satu demi satu dari mereka mendapatkan kebahagiaan."Apakah pernikahan akan dilakukan dalam waktu dekat kalau begini caranya?" tanya Lilia setelah dua orang yang mereka awasi tadi benar-benar telah pergi dari sana."Kalau memang niat, tidak perlu mengulurnya, 'kan?" balas William sembari mengusap puncak kepala Lilia."Tapi aku penasaran bagaimana cara Kak Nicholas bertemu dengan Selina sebenarnya? Dari tidak sengaja menjadi takdir?"Belum sempat William menjawab, mereka dikejutkan oleh suara yang datang dari sebelah kanan Lilia.Jovan, entah sejak kapan tangan kanan Nicholas itu ada di sini, tapi kehadirannya membuat mereka berdua terkejut."Itu dimulai dari Tuan Nicholas yang datang ke rumah sakit untuk periksa mata dan tidak sengaja terlihat sebuah peristiwa dengan Dokter Selina, Nona Lilia," katanya."Peristiwa apa?" tanya
Karena tak ingin keberadaan Lilia dan William terlihat, maka mereka berdua menyisih, menyembunyikan diri di belakang pohon besar yang ada di tengah taman rumah sakit."Apa itu yang kapan hari dibilang oleh Pak Jovan sebagai dokter anak yang dekat dengan Kak Nicholas?" tanya Lilia lirih, menoleh pada William yang berdiri di belakangnya, turut menyembunyikan diri meski Lilia tak yakin mereka tak akan ketahuan."Kenapa dengan wajahmu?" tanya Lilia sekali lagi, jari telunjuknya bergerak di depan wajah William dan ditanggapi bingung oleh si pemilik wajah."Apanya, Sayang?" tanya William balik."Kamu terlihat keberatan. Kamu tidak suka aku memintamu bersembunyi di sini?"Mata William mengerjap lebih dari satu kali, "Keberatan bagaimana?""Wajahmu terlihat kesal, kamu kesal padaku karena aku memintamu untuk bersembunyi? Aku memintamu melakukan hal yang sulit memangnya? Atau kamu menganggap aku kekanakan?"Cecaran pertanyaan dari Lilia membuat sepasang mata William terpejam pasrah."Lihat itu
“Aku tidak bisa melakukan itu begitu saja,” jawan William dengan cepat, seolah memang ia telah siap dengan jawaban tersebut. “Butuh waktu bertahun-tahun sejak kematian Madeline sampai Mama dan Papa mengatakan bahwa kalian bersalah karena telah menyia-nyiakannya. Aku bahkan harus menyalah pahami Nicholas melakukan sesuatu yang buruk padahal Madeline lah yang lelah dengan semua ketidak adilan yang terjadi untuknya.” Lilia meredakan detak jantungnya bertubi-tubi lebih cepat. Matanya perih memandang William dan netra kelamnya yang tampak menanggung kesakitan. Suara gemetarnya mengatakan segalanya, tentang kekecewaan, dan juga keretakan yang bertahun-tahun ada di bahunya. “Aku mungkin memaafkan kalian, tapi nanti ....” imbuh William setelah hening merengkuh mereka lebih dari enam puluh detik lamanya. “Biar aku lihat seperti apa kesungguhan Mama dan Papa dalam mencintai keluargaku, istriku, anak-anakku. Terhadap Nicholas pun juga begitu. Bukan hanya Madeline yang kalian buat menderita, t
Lilia tak begitu saja menjawabnya. Ia memandang Nyonya Donna yang menunduk dengan meremas jari-jarinya yang ada di atas paha, begitu juga dengan Tuan Adam yang menghela dalam napasnya. Terlihat sangat jelas sesal yang terukir dari caranya mengatakan, ‘Maafkan kami, Lilia ....’ Tuan Adam tak seperti sang istri yang lebih emosional dengan menunjukkan gestur akan sebuah sesal. Beliau tersenyum, maniknya menerpa Lilia degan bibirnya yang tersenyum. Tapi meski tak mengatakan apapun, Lilia tahu Tuan Adam sama menyesalnya. Sejak dulu Lilia tahu bahwa Tuan Adam memang cenderung pendiam dan lebih sering mengalah. Hingga hari ini pun ... sikap itu masih melekat di sana. Sebuah dinamika keluarga yang sering dijumpai oleh Lilia. “Kami tahu kamu tidak akan begtu saja mau memaafkan kami,” ucap kembali Nyonya Donna. “Kami juga memaklumi akan hal itu, Lilia. Tapi mungkin ... kamu bisa memberi sedikit harapan bahwa rasa bersalah kami ini akan bisa mendapat pemutihan nanti, meski membutuhkan waktu l
Agni benar saat mengatakan bahwa itu akan menjadi obat pelipur lara bagi Lilia, William dan juga Keano. Mereka berbahagia, melewati masa pemulihan Lilia dengan berharap bahwa bayi kembar dalam kandungannya itu tumbuh dengan baik, menjadi anak yang juga baik dan lembut hatinya—setidaknya begitu yang dikatakan oleh Keano berulang kali. Bocah kecil itu teramat senang saat tahu ia akan memiliki adik kembar laki-laki dan perempuan, senang tak kepalang. 'Mama, Keano sudah mengatakan pada Jayce dan Jasenna kalau Keano akan punya adik kembar laki-laki dan perempuan, mereka bilang nanti kalau adik lahir akan datang, apakah boleh, Mama?' Celotehannya menghidupkan satu hari Lilia yang terasa membosankan di rumah sakit. Dan jika Lilia tak kunjung menjawab dengan mengatakan, 'Boleh, Sayangku ....' maka Keano masih akan antusias menunggunya, menatapnya dengan mata berbinar. Kabar dirinya yang hamil kembar sepasang itu telah sampai pada Tuan Alaric yang datang memberinya selamat. Pada ibunya y
"Sudah, semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi yang akan menyakiti kamu, menyakiti anak-anak kita, maaf untuk semua kelalaiannya ...." William menunjukkan senyumnya, merekah tapi di mata Lilia penuh rasa kecewa. Mungkin prianya itu merasa bersalah karena telah membiarkan Lilia diculik dan berakhir seperti ini. "Kamu juga tidak bersalah," balas Lilia sembari mengusap dagu William, pada sudut bibirnya, pada tegasnya rahang pria miliknya ini. "Kamu sudah menjagaku sebaik mungkin, tapi si jahat itu memang sedang memiliki kesempatan dan membuat semuanya jadi seperti ini." "Terima kasih untuk pengertianmu, Lilia." William menggapai bibir Lilia dengan lembut, tak ingin memberikan pagutan, sebatas kecupan beberapa detik seolah sedang meyakinkannya bahwa semuanya telah baik-baik saja. Saat William menarik wajahnya, ia menghela dalam napasnya sebelum berujar, "Aku harap setelah peristiwa ini kamu tidak semakin terpuruk dalam trauma itu," resahnya sendu. "Aku pikir tidak, William,"
Setelah merasa terombang-ambing di tengah laut yang sunyi dan tanpa tepian serta dirundung kesendirian dalam waktu yang ia kira berlalu lebih dari satu dasawarsa, Lilia akhirnya bisa melihat dunia yang sebenarnya. Langit-langit kamar asing yang lalu disadarinya sebagai langit-langit ruang rawat tempat ia berbaring, aroma obat-obatan yang menyentuh indera pembaunya, serta hangatnya tangan seorang pria yang ia rindukan, William. Mengerjapkan matanya dengan pelan, Lilia ingat apa yang telah membuatnya berbaring di sini dengan selang infus yang tergantung di lengan kirinya. Tak lain karena ia nyaris saja mati di tangan mantan ayah angkatnya yang kejam. Rasa sesak saat jemari tangan pria itu mencekik lehernya dan membuat napasnya terputus seperti masih tersisa di sana, memberinya sensasi aneh yang membuat Lilia ketakutan bahwa peristiwa itu akan berulang. Ah ... begitukah rasanya ada di ambang batas hidup dan mati? Gelap dingin dan menakutkan? Seperti itu jugakah alam bawah sadar yang
Pemantik yang dibawa oleh Niel itu mengeluarkan api, menyala di hadapan Arya yang wajahnya pias. Saat pria itu berpikir bahwa Niel benar akan membakarnya, dugaannya salah. Pemuda itu justru menariknya kembali. Ia memang membakar sesuatu, tapi bukan dirinya. Melainkan rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, lalu menyesapnya. Aksi itu membuat tawa Zain terdengar, begitu juga dengan Alaric yang lebih patut disebut sebagai 'mencemoohnya'. "Lihat, bukankah dia sangat bodoh?" tanya Niel, asap mengepul keluar dari bibirnya saat ia menunjuk pada Arya. "Dia benar-benar berpikir kalau yang aku tuangkan ke tubuhnya itu adalah bahan bakar." Dagunya mengedik pada Arya yang berekspresi penuh kebingungan. Pria itu mengendus tubuhnya sendiri, bahu kanan dan kirinya, pada tangan dan juga sekitarnya yang tak mengeluarkan aroma apapun selayaknya aroma bahan bakar. Yang disiramkan oleh Niel itu bukanlah bensin atau sesuatu sejenisnya, tapi air minum. Di saat seperti ini, si