Bingungnya Lilia tembus sampai layar, galaunya William bikin patah hati, pembaca digantung, Othor melarikan diri 🤣🤣 BAI-BAIII, SIAPKAN KANEBO KERING BUAT BESOK YAAA!! SEE YAA, TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA ILYTTMAB 🌝
“Aku bisa menyingkirkan apapun penghalang yang ada di hadapanku yang menghambat caraku menujumu, Lilia. Tapi jika kamu ragu seperti ini, lalu bagaimana aku harus melanjutkannya?” Lilia mendapati gundah yang kentara dari cara William berucap. Meski Lilia telah mengatakan bahwa ia tidak ragu, tapi ucapannya tentang ‘ketakutannya akan orang-orang yang akan memandang sebelah mata William’ telah berbicara lebih banyak bahwa ia sebenarnya juga ragu melanjutkan hubungan mereka. “Aku sudah pernah kehilanganmu,” imbuh pria itu. “Apa aku harus kehilanganmu lagi sekarang?” “Tidak akan ada yang kehilangan,” tanggap Lilia dengan cepat, agar William tak merasakan kekecewaan yang lebih besar. “Saya hanya ingin Anda memberi waktu untuk saya menenangkan diri. Mungkin sampai situasinya kembali membaik, kita bisa membicarakan tentang Anda yang ingin kembali melamar saya.” William menghela dalam napasnya dan memberi anggukan, “Baiklah,” katanya. “Aku tidak akan memaksamu karena memang kamu ti
Gambar yang muncul di dalam kepalanya itu satu demi satu seperti mencari tempat, dari yang semula tumpang tindih, kusut tak berbentuk dan berserakan menjadi tersusun pada alur mereka masing-masing. Lilia tak bisa membendung air matanya saat hal-hal yang semula abu-abu itu telah menjadi menjadi jelas. Dari awal … ‘Sayang Mama selama-lamanya’ yang pernah diingatnya dikatakan oleh Keano saat tangan bocah kecil itu diinfus di dalam sebuah kamar adalah hari di mana Lilia kembali ke rumah besar milik William setelah pria itu membawanya pergi dari tempat Madam Savannah. Di dalam kamar yang sama yang ia ingat saat William mengatakan ‘Aku mencintaimu, Lilia’ atau saat pria itu memintanya memanggil namanya berulang kali. William yang berlutut dan dengan matanya yang berbinar mengucap ‘Menikahlah denganku, Lilia’ dapat ditemukan di dalam ingatannya. Persis seperti yang dikatakan oleh Keano, atau seperti foto yang dilihatnya di ponsel milik William, pria itu benar melamarnya. Saat Lilia menye
Jalanan dipenuhi oleh serpihan kaca mobil William yang hancur berkeping-keping. Berhamburan seperti kelopak-kelopak mawar merah yang tak lagi berwujud dalam kuntum. Entah apa yang dipikirkan oleh William di sepanjang jalan itu sehingga mobilnya menabrak truk besar pengangkut barang yang tampaknya berhenti dan dihantamnya dari belakang hingga mobilnya nyaris berbalik arah seperti itu. Bagian depannya mengalami kerusakan parah, pada kursi yang ada di balik kemudi atau bahkan di sampingnya. Tubuh Lilia meremang, panggilannya terhadap William yang tak mendapat balas itu seperti kidung pemanggil hujan, karena setelah itu … gerimis jatuh menimpa kepalanya. Hatinya sangat sakit saat ia mendekat pada William. Pria itu belum sepenuhnya menutup mata meski kepalanya bersimbah darah. Lehernya disangga c-collar oleh petugas medis yang turun ke lokasi kejadian. “William,” panggil Lilia dengan suara yang gemetar setelah menyadari bahwa firasatnya benar. Akhir pertemuan mereka pagi hari it
Air mata Lilia tak mampu lagi dibendungnya. Kepalanya jatuh dengan layu dan itu membuat Tuan Alaric segera memeluknya. “Tapi bukankah masih ada hal baik lain yang masih bisa kamu syukuri?” tanya beliau. Tuan Alaric menghapus air mata di pipi Lilia dan mencoba menghibur hatinya yang tenggelam dalam gundah. “Syukurlah kamu sudah bisa mengingat semuanya. Tapi satu hal juga yang harus kamu ketahui, Leo—“ Begitulah Tuan Alaric kadang memanggil anak perempuannya. “Bahwa kita tidak mengatur seperti apa kehidupan ini berjalan,” tambahnya. “Ini bukan salahmu. Kamu meminta William untuk memberimu waktu karena keadaanmu memang sedang tidak baik, dan William tahu itu. Sayangnya … William harus berhadapan dengan situasi yang kurang beruntung. Itu bukan karena kamu meminta untuk tak menemuimu lalu semuanya menjadi seperti ini, tidak seperti itu, Nak ….” Lilia masih menunduk, pipinya telah berubah menjadi muara air mata mengingat kembali nahasnya kondisi William saat ia melihatnya di tepi
Keano terlihat datang bersama dengan ibunya—Agni—dari luar. Lilia tak tahu dari mana. Yang ada di dalam pikirannya hanyalah ... bagaimana ia nanti menjelaskan pada Keano bahwa ‘Papa’ yang ditanyakannya sejak kemarin itu tidak bisa datang? Sesal kembali memenuhi benak Lilia. Seandainya ia tak melarang William, apakah sekarang pria itu tidak akan terbaring tak berdaya seperti itu? Tetapi sebelum semua itu berlarut di dalam angannya, ada satu hal yang membuatnya semakin sedih. Yaitu saat Keano mengusap air matanya dan bertanya mengapa ia bersedih. “Jangan di sini, Mama,” ucap bocah kecil itu kembali. “Nanti Mama terkena hujan dan sakit.” ‘Maka dari itu kah kamu menggunakan punggung kecilmu itu untuk melindungi Mama?’ sahut Lilia dalam hati. “Ayo berdiri, Lia,” pinta sang Ibu seraya membantu Lilia bangun. Beliau kemudian menggandeng tangan Keano dan meminta anak serta cucunya itu untuk masuk karena kilat berubah mengerikan di luar. “Ada apa?” tanya Alya saat Lilia duduk di ruang k
“Tuan William sedang berhalangan hadir, Tuan,” jawab Giff setelah kebekuan beberapa detik menghampiri mereka. “Jadi Tuan William tidak bisa datang ke sini.” “Di mana memangnya William sekarang? Apa dia sedang sakit?” Cecaran itu membuat Giff menggelengkan kepalanya dengan cepat, “Maaf, saya tidak bisa memberi tahu Anda sekarang.” Kepala pemuda itu tertunduk di depan Nicholas sebelum ia saling mengedikkan dagu dengan Jovan seolah itu adalah ucapan pamitnya. Giff bergegas pergi meninggalkan ruang meeting, menyisakan Nicholas dan Jovan yang memandang punggungnya dengan curiga. “Apa dia bertingkah aneh menurutmu?” tanya Nicholas pada tangan kanannya itu. “Sepertinya begitu, Tuan. Kenapa Anda tidak langsung menghubungi Tuan William saja sekarang?” Nicholas menyetujui saran Jovan. Sembari berjalan meninggalkan ruang meeting, ia meraih ponselnya dari balik saku jas dan menghubungi William. Tapi tidak ada jawaban, sama sekali. Dadanya mendadak sesak. Ia tidak suka dengan situasi ini.
Nicholas berlutut untuk memeluk Keano dengan erat setelah bocah kecil itu berlari ke arahnya dengan menangis, tak bisa menahan harusnya. “Keano kangen dengan Uncle Nic,” isak keano seraya menjatuhkan dagunya di bahu Nicholas. “Uncle Nic datang ke sini?” Nicholas menganggukkan kepalanya, “Iya, Keano. Uncle juga kangen dengan kamu.” Suara Nicholas terdengar serak. Ia menarik dirinya dari Keano dan mengusap pipi keponakannya itu. “Uncle pikir tidak akan pernah bisa bertemu dengan kamu lagi,” katanya. “Syukurlah … syukurlah kamu baik-baik saja, Keano.” Sepasang mata Nicholas tampak mengembun, pria itu sekali lagi memeluk Keano dengan kelegaan yang besar. Bahkan … bukan hanya Keano saja yang dijumpainya. Tetapi juga seorang wanita yang berdiri di belakang bocah kecil itu dan menyeka air matanya yang berlinangan. Lilia. Nicholas bangun dari berlututnya dan mengangkat Keano ke gendongannya. Ia memandang Lilia yang tersenyum saat menyapanya. “Lilia?” sebutnya dengan tak percaya. “
Lilia merasakan setitik air matanya jatuh. Saat ia menarik dirinya, buliran bening itu jatuh menimpa pipi William. Ia menyekanya dan mengusap rambut hitam William sekali lagi. Yang tak diduganya … rupanya William juga melakukan hal yang sama dengannya. Sekalipun sepasang mata pria itu tertutup, tapi Lilia melihat sudut netranya mengeluarkan air mata. “Kamu bisa mendengar kami, ‘kan?” tanya Lilia saat ia menunduk semakin dalam. “Mungkin kamu masih belum bisa menemukan jalanmu pulang sekarang, William … tapi sampai kapanpun, aku dan Keano akan menunggu kamu di sini.” Tidak ada jawaban, tentu saja bibir William mengatup rapat. Pria itu bergeming, menyuguhkan kebisuan yang semakin lama terasa semakin hebat. Genggaman tangan Lilia padanya masih belum terlepas. Rasanya dingin saat Lilia meletakkan telapak besarnya itu di pipinya agar sedikit memiliki kehangatan. Hela napasnya berat, bersaing dengan isak tangis yang coba ia tahan sekuat tenaga. Bibirnya tak henti merapalkan doa agar
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan