mau berapa bab hari ini 🤭🤭 1 aja ya hahaha
Lilia terkejut, tubuhnya membeku di tempat ia duduk dengan nalar yang seakan tak bisa mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh sang ibu. ‘Aku … Leonora?’ ulangnya dalam hati. Alya menjelaskan bahwa sebelum Nyonya Agatha pergi dari dunia ini untuk selama-lamanya, beliau menitipkannya yang saat itu masih berusia dua tahun kepadanya. Dan sejak saat itu ia menjadi anaknya. “Ini, jika kamu tidak percaya dengan apa yang ibumu katakan,” ucap Alaric dari seberang meja. Beliau meletakkan selembar kertas dan selembar foto di atas meja, ia dorong agar mendekat pada Lilia sehingga ia bisa melihatnya dengan jelas. Saat Lilia meraih keduanya, ia menutup bibirnya dengan sebelah tangan. Itu adalah surat keterangan hasil tes DNA yang mengatakan bahwa probabilitas bahwa Tuan Alaric menjadi ayah biologisnya adalah 99,99%. “Kamu memiliki tanda lahir yang sama dengan Leonora,” ucap Tuan Alaric. “Tanda lahir di punggung kaki sebelah kananmu yang kemerahan itu adalah milik putriku, milik Leonora.”
‘Jadi keberadaan kami semua di sini bisa dikatakan sedang bersembunyi?’ batin Lilia kala itu. Ia masih tak percaya bahwa semua kisah dramatis itu adalah cerita hidupnya. Bayangkan saja …. Bagaimana bisa dirinya adalah anak bungsu dari keluarga Roseanne yang terhormat dan bukan anak pelayan yang diadopsi dari panti asuhan? “Ibu minta maaf karena sudah merahasiakan itu darimu,” ucap Alya dari sebelah kanannya seraya meraih tangan Lilia. “Ibu harap kamu tidak membenci Ibu yang membesarkanmu sebagai anak pelayan dan mengatakan kebohongan soal kamu yang Ibu adopsi dari panti asuhan. Maaf sudah membuatmu hidup dalam keterbatasan, semua itu Ibu lakukan agar kamu tetap bertahan hidup, Nona Leonora.” Lilia menggeleng, ia menolak panggilan dari Alya yang menyebutnya sebagai ‘Leonora’ apalagi itu dengan sematan ‘Nona.’ “Panggil aku sama seperti biasanya,” ucapnya kala itu kemudian memandang Tuan Alaric. “Saya ingin terus memakai nama Lilia, apakah boleh?” Tuan Alaric mengangguk tak keberat
Ibunya terlihat membeku selama lebih dari enam puluh detik. Lilia melihat beliau seperti tak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu—yang hanya memiliki pilihan, ‘Iya, mengenal’ dan ‘tidak mengenal’. “Memangnya apa yang pria itu katakan, Nak?” tanya sang Ibu, menatap Lilia dengan serius. Terlihat sangat jelas ia sedang berhati-hati sekarang. Sepertinya takut salah berucap. “Tidak banyak,” jawabnya. “Lebih pada kenapa aku tidak mengenalinya, atau… apa aku ini hanya pura-pura.” “Ada lagi?” Lilia menggeleng, “Dia datang dengan seorang pemuda lain, mereka naik sedan mahal. Seperti yang aku katakan, dia sangat mirip dengan Keano. Apakah dia adalah William Quist yang pernah Ibu dan Papa katakan?” “Ibu sepertinya tahu siapa pria itu,” jawab Alya mula-mula. “Tapi Ibu tidak mau salah berucap. Kamu bisa menanyakan langsung hal itu nanti pada Tuan Alaric. Beliau tadi mengirim pesan bahwa akan datang ke sini malam ini.” Lilia memilih untuk tak mendesak ibunya lebih jauh. Sadar bahwa b
Lilia menunduk meremas dadanya yang ditumbuhi oleh sesak secara masif. Ia menggeleng, berusaha menepis ingatan itu yang bisa saja adalah sebuah tipuan. Tapi, wangi musk yang tadi menyinggahi indera pembaunya menyebutkan lebih banyak bahwa ia dan pria bernama William itu memang memiliki hubungan yang tidak biasa. “Nak, jadi apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya Tuan Alaric yang membuat Lilia kembali mengangkat wajahnya. Manik mereka bertemu di bawah lampu ruang makan yang hening sesaat sebelum Lilia memutuskan untuk membuka suaranya. “Apa … Papa tahu kenapa aku melupakan pria bernama William itu?” “Tak apa kamu lupa,” jawab beliau. “Pelan-pelan saja mengingatnya karena mungkin setelah tahu kamu di sini, William akan sering menemuimu.” Sepasang mata Lilia membola mendengar penuturan Tuan Alaric. “Dia akan sering menemuiku?” ulangnya, memastikan ia tak salah dengar. “Iya,” jawab beliau tanpa keraguan. “Papa melihat William itu sangat mencintaimu dan hampir gila saat kamu serta
Di dalam kamar hotel yang harusnya tenang itu, ternyata ada seseorang yang tidak bisa tidur. Perasaannya sangat bahagia sebab ia bisa bertemu dengan Lilia. William, pria itu hanya memejamkan matanya sekitar dua atau tiga jam saja. Ia seperti tak sabar menunggu kapan matahari akan timbul. Gelisah, gugup, semuanya bercampur menjadi satu saat ia mengingat cantiknya wajah Lilia yang tadi terlihat bingung dan menatapnya dengan maniknya yang berkilau seperti amethyst. William berdiri di dekat jendela, ia bersedekap menatap keluar setelah menyingkap kelambunya beberapa saat yang lalu dengan berpikir bahwa ini telah pagi padahal belum! Memang benar Lilia melupakannya, tapi jika nanti ia bertemu dengan Keano, bukankah anak lelakinya yang cerdas itu akan menyebutnya sebagai ‘Papa’? Jika hal itu terjadi … ‘Lilia pasti lambat laun mengingatku,’ batinnya dengan yakin—dan percaya diri. Ia tak ingin membebani dirinya dengan sesuatu yang membuatnya memiliki banyak pikiran, akan lebih baik jika
“Apa kamu keberatan?” tanya William sebagai balasan atas kalimat bernada protes yang dilayangkan oleh Giff yang sedikit berseru saat menyebut, ‘Ini jam dua pagi Tuan William Quist’ dengan penuh rasa frustrasi itu! “B-bukannya keberatan, tapi—“ “Anggap saja ini sebagai persiapan agar kita bisa pergi ke preschool itu sebentar untuk memastikan aku benar bahwa yang aku lihat siang itu adalah Lilia,” sela William sebelum sempat Giff memberinya jawaban. “Kalau dugaanku benar, Lilia pasti berangkat bersama dengan Keano.” “Boleh saja bersiap pagi,” jawab pemuda itu. “Tapi ini pagi buta, Tuan! Siapa orang gila yang berenang jam dua pagi begini?” “Aku!” jawab William dengan lantang. “Cepatlah! Kalau kamu tidak ikut aku akan menahan gajimu selama enam bulan.” “Apa itu bukan termasuk pelanggaran?” protes Giff pada William yang lebih dulu berjalan meninggalkan kamar hotelnya setelah membuat ‘keributan.’ “Akan saya adukan ke kementerian ketenagakerjaan kalau Anda menahan gaji saya!” Meski kesa
Lilia melihat William yang berlutut dan memeluk Keano. “Papa,” sebut Keano dengan suara yang gemetar. Ia jatuhkan kepalanya di bahu bidang William saat air matanya tumpah menjadi muara di pipi. “Keano kangen Papa,” katanya dengan tersedu-sedu. Bukan hanya Keano saja yang menangis, William pun juga. Pria itu pun menjatuhkan dagunya ke bahu kecil Keano. Kedua lengan kekarnya merengkuh tubuh kecil Keano sehingga ia hilang dalam dekapannya. Suara baritonnya yang kemarin didengar oleh Lilia kembali terdengar siang hari ini saat ia membalas anak lelakinya itu. “Papa juga kangen Keano,” ucapnya. “Papa pikir Papa sudah tidak akan pernah bisa bertemu dengan kamu lagi.” Kalimatnya sederhana tetapi mengobrak-abrik hati Lilia yang berdiri dan menjadi penonton di sana. Ia terenyuh, lewat ucapan itu saja ia tahu bahwa mereka berdua saling merindukan. Mengingat Keano yang selama ini juga tak hanya sekali atau dua kali menanyakan ‘Apakah Papa masih lama datangnya’—hal yang kemarin pun ditan
Jika tak merasakan cairan hangat memenuhi dan membingkai matanya, mungkin Lilia akan terus membiarkan Wiliam menjabat tangannya sepanjang sisa hari. Ia perlahan menarik tangannya saat membalas, “A-Anda sudah mengenal dan menyebut nama saya dengan benar kemarin,” katanya. “Lilia Zamora, seperti yang Anda ketahui.” Ia lalu menunduk untuk menghindari sepasang iris gelap William yang sejak tadi terus menatapnya tanpa henti. “Ekhem!” Suara Giff berdeham dari samping kanan William. Pemuda itu pasti sedang berusaha mencairkan kecanggungan dengan menghampiri Keano. “Halo,” sapanya seraya berlutut di hadapan Keano dan mengisyaratkan agar mereka melakukan tos. “Halo Uncle Giff,” balas bocah kecil itu. “Uncle kangen juga dnegan kamu, Keano.” Tepat setelah ia selesai bicara, Keano pun memeluknya. “Keano juga kangen.” “Apa kabar, Jagoan?” “Baik,” balasnya saat Giff melepas pelukannya. “Apakah Uncle menjaga Papa dengan baik?” Pemuda itu mengangguk, “Tentu saja ….” Ia lalu berdiri saat W
Lilia yang berada dalam lelapnya merasakan seseorang menyentuh tangannya, tubuhnya pun tertarik ke depan.Saat ia membuka matanya dan perlahan mendapatkan kembali kesadarannya, ia menjumpai senyum manis William yang menyeruak di hadapannya.“Kamu sudah pulang?” tanyanya dengan suara yang sedikit serak, namun sangat seksi di telinga William.“Iya, baru saja,” jawab prianya itu. “Kamu marah padaku, hm?”“Tidak. Kenapa aku harus marah padamu?” tanyanya balik.“Karena aku pulang sedikit terlambat. Maaf ya?”Lilia menggeleng, “Aku tidak marah. Sepertinya karena terlalu senang menonton drama jadi aku mengantuk dan tertidur. Maaf tidak menunggumu pulang dan malah tidur duluan.”Lilia menyentuh garis dagu William yang masih menyunggingkan senyumnya. Sebuah hal yang membuat Lilia diliputi oleh tanya.“Kenapa kamu tersenyum seperti itu, Tuan William?”“Aku hanya berpikir sepertinya yang kita lakukan itu sangat manis,” jawabnya. “Kamu merasa bersalah karena tidak menungguku pulang, dan aku tidak
Petugas polisi yang datang mengepung tempat itu membuat Alaric mundur semakin jauh, menarik lengan William yang memang berdiri di sampingnya. Mengantisipasi agar Ganata yang sedang ada di posisi tersudut ini tidak melakukan sesuatu yang buruk semisal menyerang mereka berdua.Maka mereka segera melangkah untuk mundur.Giff, Jovan dan Niel—yang sudah keluar dari truk—berdiri seraya mengangkat tangan mereka. Begitu juga Zain yang berdiri di samping Nicholas.Saat Alaric mendorong napasnya penuh kebencian, William adalah orang yang tidak peduli dengan peringatan itu. Ia tak mengangkat tangannya. Matanya yang kelam menerpa Ganata, dagunya terangkat menantang. Seandainya sekarang tidak ada polisi, pasti ia pasti akan menendang pria itu sekali lagi.“Jangan bergerak!” peringat petugas polisi yang mendekat pada Ganata yang tengah berlutut dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.Tangan itu lalu diraih. Ia ditempatkan membelakangi petugas dan kedua tangannya diborgol.Ia diseret pergi dari had
Ganata tertatih bangkit, tapi sebelum ia sempat benar-benar menegakkan tubuhnya, ia kembali terpelanting sebab William telah lebih dulu menggunakan kakinya untuk membuat pria itu sekali lagi merasakan kesakitan di perutnya."AAKKH!" Ia merintih seraya menekuk tubuhnya, memegangi perutnya dan meringis menahan sakit."Bicara lagi!" tantang William masih belum puas. "Coba bicara kalau kamu menyesal hari itu tidak sekalian membunuh Leonora! Akan aku buat mulutmu itu tidak bisa bicara lagi, Ganata!"BUGH!Kepalan tangan William menghantam rahang sebelah kanannya dengan ringan, tapi bagi pria itu sangat mematikan.Seolah lidahnya hampir bergeser kala rahang dan giginya bertabrakan sehingga darah tersembur saat ia jatuh ke jalan."Yang kamu lakukan pada Nyonya Agatha hari itu telah membuat keluarga Roseanne memelihara pengkhianat lebih dari dua puluh empat tahun," ucap William seraya melangkah pada Ganata yang ada di jalan dan menyeret tubuhnya ke belakang."Dengan apa yang telah dijanjikan
Ganata ketakutan, ia mencoba membuka pintu berulang kali tetapi hasilnya tetap sama. Ia tak bisa ke mana-mana. Bagaimanapun ia berusaha, hasilnya ia hanya tetap terjebak di dalam mobil tersebut. Situasi genting ini memerangkapnya. Bagaimana bisa ia melarikan diri sebab truk besar yang berhadapan dengannya itu melaju ke arahnya. BRAKK! Bagian samping mobilnya diterjang hingga berbalik arah. Entah ini memang meleset atau si pengemudinya memang sengaja membuat dirinya ketakutan. Jika memang demikian, maka itu berhasil! Ganata melihat beberapa orang yang berada di tepi jalan sunyi itu sedang berdiri dan salah satunya tertawa penuh kepuasan. 'Itu William,' batin Ganata. 'Dia yang pasti sudah merencanakan semua ini.' Tapi ia tak sempat memperpanjang pikiran soal William, atau pria lain yang ia ketahui sebagai kakak lelakinya itu. Sebab saat ia menoleh ke belakang, truk yang tadi menerjang sisi samping mobilnya kembali. Kali ini dengan kencang melaju ke arahnya dan menerjang bagian
*** Beberapa saat sebelum Ganata datang ke rumah terbengkalai malam itu. *** William telah merencanakannya bersama dengan Nicholas. Mereka akan mencari Ganata, di mana pria itu bersembunyi dan apa yang sekiranya bisa mereka lakukan untuk membuat pria itu terjebak. Akal William dan Nicholas bermain dengan sangat baik. Pertama-tama setelah ajakan Nicholas di dalam ruang CEO hari itu, William menanyakan pada Zain di mana si Ganata itu tinggal. Zain yang memang sudah mengetahui di mana rumah pria itu pun memberikan alamatnya. Nantinya ... William tidak meminta Giff untuk turun ke lapangan. Ia sendirilah yang pergi bersama dengan Nicholas. “Dia tidak mungkin kembali ke rumah setelah Gretha dan Bertha tertangkap, Willie,” ucap Nicholas saat mereka telah mendapatkan alamat dari Zain. “Benar.” William pun menyetujuinya. “Dia pasti sudah mengungsi ke suatu tempat. Karena dia itu residivis, dia pasti sudah hafal cara mainnya. Pergi ke tempat lain dan mengasingkan diri agar tidak seorang pu
Seusainya makan malam, saat Lilia duduk di dalam kamar bersama dengan Keano yang sibuk dengan pensil dan mewarnai gambar-gambar hewan laut, ia melihat kedatangan William yang masuk ke dalam kamar dengan tampilan yang sedikit ... tidak biasa. Prianya itu mengenakan jaket hitam, jaket kulit yang melihatnya sekilas saja Lilia tahu itu harganya mahal. Pertanyaannya, ‘Untuk apa dia memakai jaket kulit malam-malam begini?’ “Sedang apa?” tanya William lebih dulu sebab sedari tadi Lilia hanya diam saja. “Hanya membaca buku,” jawab Lilia. William mendekat dan berdiri di samping Lilia yang duduk di sofa. Sedang Keano mengangkat wajahnya dan alisnya seketika berkerut melihat William. Kepalanya tertarik ke belakang dengan imbuhan ekstra kejut yang membuat William bertanya, “Kenapa, Keano?” “Papa tumben memakai baju seperti itu di dalam rumah?” tanya anak lelakinya balik. “Papa mau pergi, Sayang. Sebentar nanti Papa akan kembali. Mau Papa bawakan sesuatu?” “Roti bakar,” jawab Keano. “Okay
“Wah ... keponakannya Uncle Nic ini memang sangat pintar,” ucap seseorang yang datang dari belakang Giff, yang namanya baru saja disebutkan oleh Keano, Nicholas. Ia melangkah mendekat ke arah meja William bersama dengan Jovan—sekretarisnya—yang menyerahkan beberapa map pada Giff. “Uncle Nic!” sapa Keano seraya melambaikan tangannya. “Halo! Uncle baru tahu kamu di sini. Papa tidak memberi tahu tadi. Di mana Mama, Keano?” “Apa itu?” sahut William seraya bersedekap di kursinya setelah ia menurunkan Keano dan membiarkan anak lelakinya itu berlari menghampiri Nicholas. “Kenapa kamu menanyakan di mana istriku?” “Apa ada yang salah dengan itu?” tanya Nicholas balik, nada bicaranya memang ia sengaja untuk menggoda William. “Aku menanyakan Lilia Zamora adikku, Mamanya Keano. Sepertinya kamu yang berpikiran terlalu jauh, William.” Nicholas membungkukkan badannya saat Keano tiba di dekatnya. Kedua tangannya mengarah ke depan sehingga ia bisa menggendong bocah kecil itu. “Aku tidak akan ber
Tidak lagi! Lilia tidak akan mengenakan gaun tidur seperti semalam karena pada pagi harinya saat terbangun rasanya tubuhnya ini remuk! Ia sudah bangun dari tadi, tetapi masih belum ingin turun dari ranjang lagi dan berbaring di sana, membungkus dirinya degan selimut hangat. Matanya memandang langit-langit kamar yang juga masih gelap, sebelas-dua belas dengan keadaan di luar yang belum menunjukkan semburat fajar. Bisa dibilang, ini masih terlalu pagi. Lilia memang terbangun karena ia kedinginan sehingga ia berjalan menuju ke ruang ganti, memutuskan untuk mandi dengan air hangat dan mengenakan piyama lengan panjang kemudian kembali merebahkan dirinya ke atas ranjang. William? Jangan ditanya sedang ke mana sebab prianya itu sudah pasti menjalani hidup sehatnya dengan berada di dalam ruang gym. Lilia pernah melihatnya tinju atau sekadar berlari di ats treadmill. “Tubuhku rasanya sakit semua,” ucap Lilia seraya mengalihkan dirinya menjadi miring ke kiri. Yang semalam kembali menye
Gretha memukuli Nyonya Bertha yang hanya bergeming di tempat ia duduk. Tangisan Gretha terdengar nyaring, dirundung oleh keputusasaan hingga kerapuhan yang besar kala ia memahami sepenuhnya bahwa ini adalah akhir dari segalanya. “Tolong tenang!” pinta seorang petugas polisi yang duduk di depan. Pria berseragam itu menoleh ke belakang dan memandang Gretha dengan raut wajah yang mengeras seolah itu adalah peringatan pertama dan terakhirnya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk tiba di halaman kantor kepolisian. Gretha dan ibunya dibawa keluar dengan pengawalan yang ketat. Mereka dibawa masuk segera ke ruang pemeriksaan. Langkah kakinya berubah gamang kala ia dipisahkan oleh sang Ibu dan ditempatkan di ruangan yang berbeda. Dan mungkin ke depannya mereka tak akan bisa bertemu satu sama lain. Hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Ini akan menjadi waktu yang panjang, dan dingin .... Ada banyak orang yang menyebutkan bahwa lantai tahanan itu jauh lebih dingin ketimbang b