1 bab aja gimana hari ini??? wkwwkwkwkw lanjut jangan nih?? absen dulu 🤣
Dari dalam sedan berlambang flying lady di mana Giff sedang berada di dalamnya, sepasang matanya terbuka lebar saat menjumpai bahwa apa yang dikatakan oleh William adalah sebuah kebenaran. Gadis yang berlari dari arah barat dan berhenti di hadapan William kala tuannya itu memandang preschool kecil itu dengan harapan yang pupus benar adalah Lilia—atau setidaknya mereka memiliki wajah yang sama persis. Gadis itu hanya berdiri setinggi dada William, pembawaannya yang anggun dan hangat adalah hal yang senantiasa disaksikan oleh Giff setiap kali Nonanya itu berada di depan William. Ia hidup! Lilia benar-benar hidup. ‘Tapi sepertinya … ada sesuatu yang salah di sini.’ Batin Giff tak tenang saat melihat percakapan di seberang sana yang sepertinya tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, di depan gerbang rendah yang basah akibat derasnya hujan, William tengah meraba apa yang direncanakan oleh semesta dengan mempertemukannya dengan Lilia saat ia berusaha melepasnya dengan lapang d
Dada William buncah tak terkendali, ia selangkah maju untuk mengulang apa yang gadis—yang mengakui dirinya adalah Lilia Zamora—itu katakan. “Belum pernah bertemu?” ulangnya. “Apa maksudmu, Lilia? Dan kenapa kamu tidak mengenaliku? Kamu hanya berpura-pura, ‘kan?” Lilia menggeleng, maniknya yang cantik tampak kebingungan, selaras dengan kalimatnya sebagai bantahan. “Tidak,” jawabnya. “Berpura-pura bagaimana maksud Anda? Kenapa saya harus mengenal orang yang baru saja saya lihat hari ini?” William hendak meraih tangan Lilia agar membuat mereka lebih dekat karena ia melihat punggung Lilia yang basah terkena tempias hujan. Tapi gadis itu menolak sehingga William hanya bergeming. “Tuan William,” panggil Giff dari sebelah kirinya, menjemput William dengan menggunakan payung dengan warna yang sama dengan milik Lilia. Gadis itu memandang mereka bergantian sebelum menunduk di hadapan William dan mengayunkan kakinya pergi dari sana dengan gegas. William hendak mencegahnya tetapi m
Alaric tidak akan pernah melupakan hari di mana ia menemukan kenyataan bahwa Lilia adalah anak gadisnya yang menghilang lebih dari dua dekade lamanya.*** Kembali pada delapan puluh dua hari yang lalu. ***Alaric tengah duduk di bangku memanjang yang ada di taman rumah sakit, di depannya—sedikit ke kanan—Zain berdiri menatapnya dengan cemas.Di tangan Alaric ada sebuah amplop berwarna putih, hasil tes DNA yang beberapa hari lalu diajukannya telah memiliki hasilnya.Ia menghela dalam napasnya saat mengambil lembaran dari dalam sana dan membacanya dengan saksama.[Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa dan dianalisis dari terduga ayah (Alaric Roseanne) cocok dengan sampel terduga anak (Lilia Zamora). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Alaric Roseanne sebagai ayah biologis dari Lilia Zamora adalah 99,99%.]“Bagaimana, Tuan?” tanya Zain yang turut tegang di hadapannya.Tapi sebelum Alaric menjawab, kelegaan dorongan napas tuannya itu telah m
“Lalu setelah itu kamu membawanya pulang?” Alaric menatap Alya yang tertunduk tak berani menunjukkan wajahnya. “Benar,” jawabnya kemudian menggapai tisu yang ada di atas meja untuk mengusap wajahnya yang bersimbah air mata. “Saya teringat pada ucapan Nyonya Agatha yang menyebut bahwa saya harus melindungi Nona Leonora kecil apapun yang terjadi. Saat itu saya tidak tahu kenapa beliau berpesan begitu, tapi kemudian saya tahu alasannya, karena Nyonya tahu ada teman yang menusuknya dari belakang dan diam-diam ingin menyingkirkannya agar bisa menjadi Nyonya Roseanne.” Alaric jatuh kedua bahunya, kebenaran yang ia dapatkan tentang Lilia yang ternyata adalah anak kandungnya membuatnya mengetahui kebenaran yang lebih besar yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa itu. Siapa sangka bahwa itu adalah kejahatan terencana yang bersembunyi di bawah tabir kelam yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. “Jadi setelah itu saya terus menyembunyikan Nona Leonora,” lanjut Alya. “Saya bilang pada suami
“Benar,” jawab Alya dengan yakin. “Setelah panggilan saya Anda matikan saat itu, Nyonya Bertha mencecar saya. Dia tanya apa yang ingin saya katakan pada Anda. Saya bersikeras memilih diam tetapi Nyonya Bertha mendorong saya dari tangga lantai dua kemudian saya tidak ingat apapun sejak hari itu.” “Jadi kamu tidak jatuh di kamar mandi seperti yang selama ini aku ketahui dan dikatakan oleh para pelayan?” Alya mengangguk, “Iya, Tuan. Tolong berhati-hatilah ... di dalam rumah itu semuanya berisi pengkhianat,” jawabnya. “Saya memang mengalami gangguan hati sejak lama, tapi yang membuat saya mengalami pendarahan di otak itu adalah Nyonya Bertha. Tapi saya sangat bersyukur sekarang karena bisa kembali sadar dan dapat mengatakan semua kebenaran ini kepada Anda.” Alaric telah mengerti situasinya sekarang. Bertha yang bertanggung jawab atas semua ini. Dilihat dari wanita itu yang masih belum melangkah lebih lanjut, sepertinya ia belum tahu jika Alya telah sadar. Keputusan William dan Lilia d
“Itu Nona Lilia dan Tuan Muda Keano, Tuan,” seru Zain sembari menepikan mobilnya. Alaric berlari keluar dan menghampiri mereka. “Lilia, Keano!” panggilnya dengan suara yang gemetar. Hatinya seakan habis menyaksikan mereka berdua yang tergugu dalam tangis, saling menguatkan. Air matanya luntur kala ia mendengar Keano memanggilnya, “Opa?” Alih-alih mempedulikan dirinya, yang ia minta justru agar Alaric menolong Lilia. “Tolong Mama, Opa ….” Zain mengangkat Keano, mengambilnya dari Lilia sementara Alaric membantu Lilia bangun dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Lilia,” panggil Alaric yang duduk di kursi belakang, mengguncang tubuh Lilia yang penuh dengan debu hitam seraya melepas jasnya untuk menutupi tubuhnya. “Nak, apa yang terjadi, kamu baik-baik saja?” tanyanya. “Vilanya kebakaran, Opa,” sahut Keano yang duduk di depan, ditempatkan di sana oleh Zain setelah pemuda itu melepas pakaiannya yang basah dan membalut bocah kecil itu dengan jas miliknya. “Kebakaran?” ulang
Membutuhkan waktu beberapa lama untuk Lilia pulih dan membawanya ke tempat ini. Berminggu-minggu berlalu, Alaric masih belum bisa melihat bahwa anak perempuannya itu mengingat kembali siapa sebenarnya Keano dan William. Ia tak pernah mendesak Lilia untuk mengingatnya. Asalkan ia bahagia dalam rasa aman di sini, baginya itu sudah cukup. Ia juga memperbolehkannya yang berkeinginan menjadi guru di preschool kecil yang tak jauh dari rumah yang saat itu membutuhkan guru tambahan. Setelah keadaan sedikit membaik dan Alaric melihat William yang jauh lebih tenang, ia berpikir bahwa sudah waktunya memberi William ‘hadiah’ untuk kesabarannya selama ini, yakni mempertemukannya kembali dengan Lilia dan Keano. Begitulah semuanya terjadi …. Alaric terjaga dari ingatan panjangnya itu saat ponsel yang ada di atas mejanya berdering. Sebuah kamar hotel yang ditinggalinya tanpa William atau pun Giff tahu bahwa sebenarnya ia ikut dalam kunjungan ini. “Saya keluar dulu, Tuan,” ucap Zain. “Hubungi s
*** Kembali pada delapan puluh hari yang lalu. *** Lilia ingat saat ia bangun di sebuah rumah sakit pada siang hari itu dengan keadaan kepala yang terasa nyeri. Saat ia menyentuh keningnya, ada perban yang melilitnya. Ia tak sempat memikirkan apa yang terjadi karena melihat Tuan Alaric membawa masuk seorang anak lelaki yang tiba-tiba saja memanggilnya ‘Mama.’ “Mama!” Sebuah panggilan yang tentu mengejutkan Lilia, apalagi ia tak mengenali anak itu. “Ka-kamu memanggilku?” tanya Lilia kala itu. “Kamu anak siapa?” Alih-alih menjawabnya, bocah kecil yang ada di gendongan Tuan Alaric itu malah menangis. Air matanya tumpah saat ia mengadu pada beliau dengan mengatakan, “Opa, kenapa Mama seperti itu?” tanyanya. “Kenapa Mama tidak ingat dengan Keano? Apa Keano melakukan kesalahan jadi Mama membenci Keano?” Kalimatnya membombardir Tuan Alaric yang dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Tidak, Sayang, tidak seperti itu,” jawab Tuan Alaric. “Mama ‘kan sedang sakit, jadi Mama tidak ingat s
"Karena aku pikir kamu melakukan sesuatu dengan Nicholas saat kamu pergi dengannya waktu itu," aku William, apa yang ia katakan sekarang sama dengan kebingungan yang tadi dilihat oleh Lilia sebelumnya saat pria itu menanyakan apakah ia masih perawan.Lilia tersenyum mendengar pengakuan itu, "Makanya saat itu kamu sangat marah padaku?" tanyanya. "Karena kamu berpikir aku dan Nicholas melakukan sesuatu di belakangmu padahal saat itu masih dalam suasana berduka?"William mengangguk sebagai jawaban, "Iya. Ternyata aku benar-benar terlalu jauh menuduhmu.""Apakah setelah ini kamu masih akan mengatakan bahwa aku dan Nich—""Tidak, Lilia ...."William menyentuh rahang kecilnya, menunduk membuat mereka menjadi lebih dekat dan mendaratkan sebuah kecupan di sana."Apa rencanamu setelah ini, William?" tanya Lilia pada William yang mendekapnya dan membuat Lilia meringkuk di dada bidangnya."Melanjutkan laporan soal Gretha yang sudah membakar vila, dan membuktikan bahwa bukan aku yang sudah membua
Api yang membakar mereka telah padam ....Lilia masih terdiam, merasakan bunga yang tumbuh di sela-sela retakannya yang kini hampir tak lagi dijumpai sakitnya.Ia melihat William menarik dirinya, pria itu beranjak turun dari tempat tidur setelah membelai lembut rambut Lilia dan membisikkan ia akan kembali sebentar lagi.Lilia bisa melihat siluet tubuhnya yang sempurna, yang menghilang selama beberapa detik dari pandangannya sebelum ia kembali dalam balutan sleep wear berwarna gelap yang telah menutup tubuhnya."Kamu bisa bangun?" tanyanya pada Lilia yang masih terbaring tak berdaya dan belum lama menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.Ia mengangguk dan menerima tangan William saat pria itu membantunya bangun."Kamu mau pakai gaun tidurmu yang tadi atau piyama yang aku ambilkan?" tawar William seraya menunjukkan pakaian tidur yang berwarna seperti miliknya, dan pada gaun tidur yang sebelumnya telah ia tanggalkan dan ia jatuhkan ke lantai."Yang manapun boleh," jawab Lilia lirih.Ia m
"Ke ... napa kamu tanya seperti itu?" tanya Lilia dengan sekilas menyentuh pipinya, saat William berhenti bergerak dan urung melanjutkan yang ia lakukan."Aku pikir ini bukan yang pertama kali untukmu, Lilia.""Bagaimana bisa bukan yang pertama kali? Kamu yang pertama.""Sebentar—" Pria itu seperti baru menyadari sesuatu. "Lalu saat kamu pergi dengan Nicholas waktu itu, kamu tidak melakukan apapun dengannya?"Lilia menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak pernah melakukan apapun dengannya."Lilia bisa melihat William menelan pahit tuduhan itu sebelum matanya terpejam penuh sesal."Maaf ... aku terlalu jauh menuduhmu," katanya. "Aku pastikan kamu menikmati malam ini, Lilia ...."Lilia menutup matanya saat William menciumnya, ia memindahkan tangannya dari bahu William, melingkarkan di lehernya saat pria itu memenuhi dirinya."Ahh ..." Air matanya lolos, bibir manis William mencoba mengalihkan perhatian dengan mengecup leher dan bahunya."Ergh ...." Tidak, ini masih belum berakhir, be
Ciumannya rasanya sangat manis, lebih manis dari ciuman-ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya.Mungkin karena mereka telah saling memiliki, tanpa takut akan adanya sebuah perpisahan esok hari.Dari menit pertama sejak William mengangkatnya berpindah dari sofa, menuju ke menit-menit berikutnya sebelum akhirnya Lilia merasakan pria itu menarik diri darinya.Bibirnya terasa bengkak, tapi William masih belum usai sebab ia kembali mendaratkan satu kecupan lain untuknya."Aku matikan dulu lampunya," bisiknya pada Lilia yang akhirnya menguraikan kedua tangan kecilnya dari leher William teriring sebuah anggukan.William tersenyum saat ia beranjak turun dari ranjang, meninggalkan sejenak Lilia kemudian ruangan di dalam sana berganti menjadi hanya diterangi oleh lampu tidur saja.Pria itu kembali dan menunduk di atas Lilia.Suara baritonnya yang hangat menyinggahi indera pendengarnya saat bertanya, "Kamu sungguh baik-baik saja?"Maniknya yang gelap menerpa Lilia yang sekali lagi mengangg
Malam harinya, 'setelah dipaksa' mendengar suara para sekretaris yang tak seburuk yang William tuduhkan, Lilia berjalan masuk ke dalam kamar di mana Keano beristirahat di sana. Bocah kecil itu terlelap dalam satu tempat yang sama dengan Alya yang menyambut kedatangan Lilia dengan senyumnya. Selagi di dalam ruangan tempat di mana para pemuda masih bersuka cita dan menghibur William, Tuan Alaric serta Nicholas, keheningan terjadi di dalam sini. "Ibu belum tidur?" tanyanya saat mendekat pada sang Ibu yang terlihat melepas kacamata yang dikenakannya. "Ibu dibelikan kacamata baru oleh Papamu, jadi Ibu gunakan untuk membaca, sudah lama ibu tidak membaca," jawabnya. "Kamu mau melihat Keano?" "Dia sudah tidur?" Alya sekali lagi mengangguk, "Sudah, Nak. Pasti kelelahan setelah bermain bersama paman-pamannya tadi." "Kalau begitu Ibu istirahat juga, kita bertemu lagi besok pagi." Alya sekilas menunduk dan tersenyum, "Kenapa buru-buru? Ibu bisa mengurus Keano, kamu pergilah ke kamarmu!"
William tak menjawab, ia hanya meraih tangan Lilia yang ada di pipinya dan memberinya remasan lembut, seolah itu adalah 'Iya' yang tak terlahirkan dalam lisan. Mereka saling pandang untuk beberapa lama hingga suara Jovan—sekretarisnya Nicholas—yang hari ini mereka jadikan sebagai pembawa acara dadakan meminta mereka agar duduk berhadapan dengan pemuka agama yang pagi hari ini akan menikahkan mereka. Dalam keheningan pagi dan khusyuk doa yang mereka lantunkan tanpa henti, akhirnya semuanya menjadi sempurna. "....dengan mas kawin uang senilai dua puluh satu ribu dolar Amerika dibayar tunai." "Bagaimana, Saksi?" "Sah." Delapan puluh hari dalam kekosongan Lilia, tentang ia yang tak mengenali orang lain selain dirinya dan ingatannya yang berhenti pada lima tahun lalu, ia telah memiliki hidupnya yang baru sekarang. Dalam penantian William yang penuh dengan luka dan kehilangan yang membelenggunya, dalam setiap angka di kalender yang ia lingkari hingga bulan demi bulan berlalu, ia telah
Waktu pernikahannya akan diberlangsungkan pada pagi hari, sekitar pukul delapan. Tadi pagi-pagi sekali—sekitar pukul tiga dini hari—Lilia, Keano dan Alya dijemput oleh Giff dan Zain untuk menuju ke hotel. Lilia dibawa masuk ke sebuah kamar hotel tersendiri oleh staf yang telah menunggunya di sana. Keano yang masih mengantuk digendong Giff masuk ke dalam kamar William. Lilia sudah melihat gaunnya sebelumnya, benar seperti tak ada bedanya dengan gaunnya yang hari itu ia lihat dilahap bara api. Gaun itu akhirnya ia kenakan setelah make up yang cantik dibubuhkan di wajahnya oleh seorang teman William yang secara khusus dimintanya ke sini. "Gaunnya pas dengan bentuk tubuhmu, Lilia," ucap wanita bernama Sherly itu. "Terima kasih." "Kamu juga memilih crown yang cocok untuk gaunnya." Lilia mengangguk dan tak bisa menahan senyumnya, atau sebenarnya ia sedang berusaha menyembunyikan rasa harunya yang sangat besar ini? Satu demi satu prosesnya terlewati, dari make up hingga gaun yang te
Setelah mengantar Keano dan Alya pulang ke rumah yang mereka tinggali, Alaric menuju ke hotel tempat ia beristirahat. Ia melepas coat yang ia kenakan saat berjalan memasuki lift bersama dengan Zain yang berjalan mengekor di belakangnya. "Kamu sudah memberikan bukti-bukti yang kita bicarakan kemarin pada William, Zain?" tanyanya setelah lift naik meninggalkan lobi. "Sudah, Tuan Alaric," jawab pemuda itu. "Saya sudah memberikannya tadi setelah hampir mengganggu Tuan William dan Nona Lilia di dalam." Alaric tersenyum mendengarnya sebelum ia menghela napas dengan lega. "Setidaknya sekarang kita bisa melihat mereka bahagia, dan mendampingi mereka sampai nanti pada hari pernikahan, dan selama-lamanya." "Benar." "Soal rumah baru dan rumah lama? Sudah kamu selesaikan juga?" imbuhnya. "Sudah, rumah barunya sesuai dengan permintaan Anda, dan rumah lamanya sudah terjual," jawab Zain. "Saya meminta pemilik barunya untuk menempatinya bulan depan. Seperti yang Anda katakan, kita masih harus
William memandang Tuan Alaric cukup lama dengan keadaan bibir terbungkam. Dan itu membuat beliau berdeham seraya bertanya, "Kenapa, Nak?" William menghela dalam napasnya kemudian menggeleng, "Tidak, Pa," jawabnya. "Aku hanya ... senang karena mendapat sosok seorang Papa dari Alaric Roseanne dan bukan dari Adam Quist. Sejak menikah dengan Ivana, aku bisa melihat cinta tulus seorang ayah justru dari ayah mertuaku, dan Papa masih akan terus menjadi ayah mertuaku, selamanya." "Papa sudah pernah bilang, 'kan?" tanggap beliau. "Papa juga sedang melakukan penebusan kesalahan atas apa yang pernah Papa lakukan di masa lalu, kegagalan Papa melindungi Ivana dan ibunya jadi Papa melakukan apapun untuk bisa membuat Leonora bahagia. Dan karena dia adalah istrimu, jadi Papa juga akan melindungi kamu dan Keano." William mengangguk dengan penuh terima kasih, "Terima kasih, Pa," ucapnya. "Seperti yang Papa katakan, aku akan menyelesaikan apa yang sudah Papa mulai. Terima kasih sudah menjaga Lilia dan