done 2 bab 🤣🤣🤣🤣 PENASARAN YAAA?? jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasan, gems buat William Lilia Keano 🎉 siap menemukan jawabannya besok??
Dada William buncah tak terkendali, ia selangkah maju untuk mengulang apa yang gadis—yang mengakui dirinya adalah Lilia Zamora—itu katakan. “Belum pernah bertemu?” ulangnya. “Apa maksudmu, Lilia? Dan kenapa kamu tidak mengenaliku? Kamu hanya berpura-pura, ‘kan?” Lilia menggeleng, maniknya yang cantik tampak kebingungan, selaras dengan kalimatnya sebagai bantahan. “Tidak,” jawabnya. “Berpura-pura bagaimana maksud Anda? Kenapa saya harus mengenal orang yang baru saja saya lihat hari ini?” William hendak meraih tangan Lilia agar membuat mereka lebih dekat karena ia melihat punggung Lilia yang basah terkena tempias hujan. Tapi gadis itu menolak sehingga William hanya bergeming. “Tuan William,” panggil Giff dari sebelah kirinya, menjemput William dengan menggunakan payung dengan warna yang sama dengan milik Lilia. Gadis itu memandang mereka bergantian sebelum menunduk di hadapan William dan mengayunkan kakinya pergi dari sana dengan gegas. William hendak mencegahnya tetapi m
Alaric tidak akan pernah melupakan hari di mana ia menemukan kenyataan bahwa Lilia adalah anak gadisnya yang menghilang lebih dari dua dekade lamanya.*** Kembali pada delapan puluh dua hari yang lalu. ***Alaric tengah duduk di bangku memanjang yang ada di taman rumah sakit, di depannya—sedikit ke kanan—Zain berdiri menatapnya dengan cemas.Di tangan Alaric ada sebuah amplop berwarna putih, hasil tes DNA yang beberapa hari lalu diajukannya telah memiliki hasilnya.Ia menghela dalam napasnya saat mengambil lembaran dari dalam sana dan membacanya dengan saksama.[Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa dan dianalisis dari terduga ayah (Alaric Roseanne) cocok dengan sampel terduga anak (Lilia Zamora). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Alaric Roseanne sebagai ayah biologis dari Lilia Zamora adalah 99,99%.]“Bagaimana, Tuan?” tanya Zain yang turut tegang di hadapannya.Tapi sebelum Alaric menjawab, kelegaan dorongan napas tuannya itu telah m
“Lalu setelah itu kamu membawanya pulang?” Alaric menatap Alya yang tertunduk tak berani menunjukkan wajahnya. “Benar,” jawabnya kemudian menggapai tisu yang ada di atas meja untuk mengusap wajahnya yang bersimbah air mata. “Saya teringat pada ucapan Nyonya Agatha yang menyebut bahwa saya harus melindungi Nona Leonora kecil apapun yang terjadi. Saat itu saya tidak tahu kenapa beliau berpesan begitu, tapi kemudian saya tahu alasannya, karena Nyonya tahu ada teman yang menusuknya dari belakang dan diam-diam ingin menyingkirkannya agar bisa menjadi Nyonya Roseanne.” Alaric jatuh kedua bahunya, kebenaran yang ia dapatkan tentang Lilia yang ternyata adalah anak kandungnya membuatnya mengetahui kebenaran yang lebih besar yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa itu. Siapa sangka bahwa itu adalah kejahatan terencana yang bersembunyi di bawah tabir kelam yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. “Jadi setelah itu saya terus menyembunyikan Nona Leonora,” lanjut Alya. “Saya bilang pada suami
“Benar,” jawab Alya dengan yakin. “Setelah panggilan saya Anda matikan saat itu, Nyonya Bertha mencecar saya. Dia tanya apa yang ingin saya katakan pada Anda. Saya bersikeras memilih diam tetapi Nyonya Bertha mendorong saya dari tangga lantai dua kemudian saya tidak ingat apapun sejak hari itu.” “Jadi kamu tidak jatuh di kamar mandi seperti yang selama ini aku ketahui dan dikatakan oleh para pelayan?” Alya mengangguk, “Iya, Tuan. Tolong berhati-hatilah ... di dalam rumah itu semuanya berisi pengkhianat,” jawabnya. “Saya memang mengalami gangguan hati sejak lama, tapi yang membuat saya mengalami pendarahan di otak itu adalah Nyonya Bertha. Tapi saya sangat bersyukur sekarang karena bisa kembali sadar dan dapat mengatakan semua kebenaran ini kepada Anda.” Alaric telah mengerti situasinya sekarang. Bertha yang bertanggung jawab atas semua ini. Dilihat dari wanita itu yang masih belum melangkah lebih lanjut, sepertinya ia belum tahu jika Alya telah sadar. Keputusan William dan Lilia d
“Itu Nona Lilia dan Tuan Muda Keano, Tuan,” seru Zain sembari menepikan mobilnya. Alaric berlari keluar dan menghampiri mereka. “Lilia, Keano!” panggilnya dengan suara yang gemetar. Hatinya seakan habis menyaksikan mereka berdua yang tergugu dalam tangis, saling menguatkan. Air matanya luntur kala ia mendengar Keano memanggilnya, “Opa?” Alih-alih mempedulikan dirinya, yang ia minta justru agar Alaric menolong Lilia. “Tolong Mama, Opa ….” Zain mengangkat Keano, mengambilnya dari Lilia sementara Alaric membantu Lilia bangun dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Lilia,” panggil Alaric yang duduk di kursi belakang, mengguncang tubuh Lilia yang penuh dengan debu hitam seraya melepas jasnya untuk menutupi tubuhnya. “Nak, apa yang terjadi, kamu baik-baik saja?” tanyanya. “Vilanya kebakaran, Opa,” sahut Keano yang duduk di depan, ditempatkan di sana oleh Zain setelah pemuda itu melepas pakaiannya yang basah dan membalut bocah kecil itu dengan jas miliknya. “Kebakaran?” ulang
Membutuhkan waktu beberapa lama untuk Lilia pulih dan membawanya ke tempat ini. Berminggu-minggu berlalu, Alaric masih belum bisa melihat bahwa anak perempuannya itu mengingat kembali siapa sebenarnya Keano dan William. Ia tak pernah mendesak Lilia untuk mengingatnya. Asalkan ia bahagia dalam rasa aman di sini, baginya itu sudah cukup. Ia juga memperbolehkannya yang berkeinginan menjadi guru di preschool kecil yang tak jauh dari rumah yang saat itu membutuhkan guru tambahan. Setelah keadaan sedikit membaik dan Alaric melihat William yang jauh lebih tenang, ia berpikir bahwa sudah waktunya memberi William ‘hadiah’ untuk kesabarannya selama ini, yakni mempertemukannya kembali dengan Lilia dan Keano. Begitulah semuanya terjadi …. Alaric terjaga dari ingatan panjangnya itu saat ponsel yang ada di atas mejanya berdering. Sebuah kamar hotel yang ditinggalinya tanpa William atau pun Giff tahu bahwa sebenarnya ia ikut dalam kunjungan ini. “Saya keluar dulu, Tuan,” ucap Zain. “Hubungi s
*** Kembali pada delapan puluh hari yang lalu. *** Lilia ingat saat ia bangun di sebuah rumah sakit pada siang hari itu dengan keadaan kepala yang terasa nyeri. Saat ia menyentuh keningnya, ada perban yang melilitnya. Ia tak sempat memikirkan apa yang terjadi karena melihat Tuan Alaric membawa masuk seorang anak lelaki yang tiba-tiba saja memanggilnya ‘Mama.’ “Mama!” Sebuah panggilan yang tentu mengejutkan Lilia, apalagi ia tak mengenali anak itu. “Ka-kamu memanggilku?” tanya Lilia kala itu. “Kamu anak siapa?” Alih-alih menjawabnya, bocah kecil yang ada di gendongan Tuan Alaric itu malah menangis. Air matanya tumpah saat ia mengadu pada beliau dengan mengatakan, “Opa, kenapa Mama seperti itu?” tanyanya. “Kenapa Mama tidak ingat dengan Keano? Apa Keano melakukan kesalahan jadi Mama membenci Keano?” Kalimatnya membombardir Tuan Alaric yang dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Tidak, Sayang, tidak seperti itu,” jawab Tuan Alaric. “Mama ‘kan sedang sakit, jadi Mama tidak ingat s
Lilia terkejut, tubuhnya membeku di tempat ia duduk dengan nalar yang seakan tak bisa mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh sang ibu. ‘Aku … Leonora?’ ulangnya dalam hati. Alya menjelaskan bahwa sebelum Nyonya Agatha pergi dari dunia ini untuk selama-lamanya, beliau menitipkannya yang saat itu masih berusia dua tahun kepadanya. Dan sejak saat itu ia menjadi anaknya. “Ini, jika kamu tidak percaya dengan apa yang ibumu katakan,” ucap Alaric dari seberang meja. Beliau meletakkan selembar kertas dan selembar foto di atas meja, ia dorong agar mendekat pada Lilia sehingga ia bisa melihatnya dengan jelas. Saat Lilia meraih keduanya, ia menutup bibirnya dengan sebelah tangan. Itu adalah surat keterangan hasil tes DNA yang mengatakan bahwa probabilitas bahwa Tuan Alaric menjadi ayah biologisnya adalah 99,99%. “Kamu memiliki tanda lahir yang sama dengan Leonora,” ucap Tuan Alaric. “Tanda lahir di punggung kaki sebelah kananmu yang kemerahan itu adalah milik putriku, milik Leonora.”
“Masuklah, Lilia!” kata William dari ambang pintu. “Kalau kamu berdiam diri di sana kamu akan tertular si Giffran Alfrond yang cerewet itu!”Lilia kemudian masuk ke dalam rumah, menyusul William yang menunggunya mendekat kemudian mereka menuju ke ruang makan.Lilia membantu Alya untuk menyiapkan makanan sebelum akhirnya mereka semua duduk di sana untuk santap sore—karena William lapar.Giff yang duduk di samping Keano terlihat memeriksa ponselnya dengan serius hingga William berdeham dan pemuda itu dengan cepat meletakkan benda pipih berwarna hitam itu ke atas meja—yang bagi Lilia suara William yang baru terdengar itu ia artikan sebagai sebuah teguran.Yang jika William bicara barangkali ia akan mengatakan, ‘Taruh ponselmu! Tidak sopan!’“Maaf,” kata Giff akhirnya. “Saya baru saja menerima pesan, setelah ini kita harus meeting online dengan orang dari Sada Construction dan desainer dari luar negeri yang akan mengerjakan interior ruangan di dalam sekolah itu, Tuan William,” terangnya.
Lilia berdeham, kemudian menunduk agar tak bertemu pandang dengan William.“Sepertinya sangat aneh,” kata Lilia.“Aneh kenapa?”“Karena Anda mencintai saya. Bagaimana Anda bisa jatuh cinta pada anak pelayan?”“Kamu ‘kan bukan anak pelayan?” tanya William balik.“I-itu ‘kan sekarang. Tapi dulu saat Anda mengatakan itu … bukankah Anda tahunya saya adalah anak angkat seorang pelayan?”“Memangnya ada peraturan yang mengatakan dengan siapa seseorang boleh atau tidak boleh jatuh cinta?” sanggah William. “Jika yang diatur itu adalah aku, akan aku hancurkan peraturannya, orang yang membuat aturan itu sekalian.”“T-tidak seperti itu maksud saya.” Lilia akhirnya menatap pria itu lagi, kalimatnya yang baru saja ia katakan itu terdengar tak bisa dibantah—dan sepertinya ia sungguh-sungguh saat mengatakan akan menghancurkan peraturan yang melarangnya jatuh cinta pada siapa.“Jadi?”“Saya hanya merasa aneh, itu saja,” kata Lilia.“Jika aku yang jatuh cinta padamu kamu anggap aneh, mungkin jika kamu
“Kenapa kamu bangun?” tanya William setelah Lilia menyebutkan namanya.“Bukannya saya yang harus bertanya?” tanya Lilia balik seraya bangun, duduk dan merapikan rambutnya. “Kenapa Anda tidak tidur?”“Tidak apa-apa, senang saja melihatmu dan Keano bisa bersamaku, Lilia,” jawabnya. “Hal yang sebelumnya sepertinya sudah pupus dari harapanku kita akan bisa seperti ini lagi. Terima kasih karena kamu mau menginap denganku di sini.”“Bukankah saya sudah pernah bilang, jika itu bertujuan untuk membuat Keano senang, saya pasti akan setuju.”Di bawah temaramnya lampu kamar hotel itu, Lilia bisa melihat senyum manis William saat pria itu mengangguk sebagai tanggapan atas ungkapannya.Mata Lilia berpindah dari iris kelamnya ke atas meja. Pada sekotak rokok yang ada di atas asbak keramik yang mencuri perhatiannya. “Apa Anda merokok juga?” tanya Lilia memberanikan diri.“Itu milik Giff.”“Pak Giff masih muda, kenapa dia merokok?” gumam Lilia yang jelas bisa didengar oleh William.“Hanya sesekali s
“Aku tidak keberatan,” jawab William. “Tapi semuanya kembali lagi pada Lilia dan Keano, ‘kan?”Ia menoleh pada Lilia, memandang bergantian pada anak lelakinya juga.“Mau ya, Mama?” bujuk Keano pada Lilia yang hanya bergeming.Ibunya yang duduk di ruang tengah kemudian bangkit dan menghampiri Lilia, menyentuh punggung tangannya seraya berbisik, “Pergilah … siapa tahu dengan begitu ingatanmu akan segera pulih, Nak ….”Alya menunjukkan senyum tulusnya sebelum beranjak pergi dari sana, membiarkan Lilia mengambil keputusan setelah memikirkannya.“Mama?” panggil Keano sekali lagi, mungkin tidak sabar karena Lilia tak kunjung menjawabnya. “Apakah Mama tidak mau?”Sepasang matanya menatap Lilia dengan mengiba. Hatinya pasti terluka jika Lilia menolak permintaannya itu.“Iya baik, Mama mau,” jawab Lilia seraya menunjukkan senyumnya agar bocah kecil itu juga tersenyum dan berhenti menunjukkan bibir tertekuknya seperti itu.Setelah bersiap dengan membawa beberapa pakaian, mereka pergi meninggalk
Lilia panik, ia berusaha menutupi bagian depan tubuhnya yang pasti tampak, entah itu bra atau bahkan—“Ambilkan coat punyaku yang ada di mobil, Giff!” pinta William pada Giff yang lalu berlari pergi dari sana.Lilia menyilangkan kedua tangannya di depan dada saat William tersenyum dan memalingkan wajahnya. Mengisyaratkan pada Keano agar anak lelakinya itu melakukan hal yang sama meski ia tahu Keano terlihat khawatir.Tidak membutuhkan waktu lama bagi Giff untuk kembali den dengan mata terpejam menyerahkan coat panjang itu pada William, memindahnya pada Lilia tanpa menoleh, meminta agar ia memakainya.“Pakailah,” ucapnya. “Coat ini panjang, kamu bisa menutupi semua bagian yang basah dengan ini.”“Terima kasih,” jawab Lilia kemudian mengenakannya dengan gugup—atau lebih tepatnya malu.Ia hanya wanita sendiri sementara dua orang yang ada di sekitarnya adalah pria dan seorang anak lelaki.“Kita pulang saja, Papa,” ajak Keano. “Kasihan Mama bajunya basah, nanti kalau Mama sakit bagaimana?”
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba.Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin.Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia.Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh.Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang.Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari masing-
Lagi pula … bagaimana bisa Lilia menyebutnya berbohong jika matanya yang seolah dipenuhi oleh cumulonimbus itu berbicara lebih banyak sebesar apa lukanya. Sepertinya Tuan Alaric juga benar saat menyebut tentang William yang hampir gila selama pria itu berpikir bahwa Lilia dan Keano telah tewas terpanggang bara api.Lilia tersenyum sebagai jawaban. “Tidak apa-apa,” katanya. “Dan terima kasih karena sudah mengakuinya. Saya juga meminta maaf karena melupakan semuanya sehingga kita harus menjadi seperti ini. Asing, seperti orang yang tidak saling mengenal sebelumnya padahal sudah melewati banyak peristiwa.”“Kamu tidak bersalah, Lilia,” jawab William. “Kamu hanya korban dari keserakahan orang lain.”Dan Lilia tahu bahwa ‘orang lain’ yang dimaksudkan oleh William itu adalah Gretha—meski ia juga tak ingat seperti apa kejadiannya.Mereka kembali terhening selama beberapa saat. Dimulai sejak William menyesap teh hangat miliknya hingga pria itu kembali memperdengarkan suara baritonnya.Sepasa
Benar itu adalah William! Lilia dengan cepat membuka pintu rumah, udara dingin yang datang dari luar menyinggahi wajahnya bersamaan saat William tiba di hadapannya dengan tersenyum. Ia terlihat hendak berbicara sebelum Lilia lebih dulu memberinya teguran. “Kenapa Anda selalu tidak memakai payung padahal Anda tahu sedang hujan?” tanyanya. “Kita bertemu pertama kali di depan preschool itu Anda juga tidak memakai payung, ‘kan? Apa tidak ada payung di dalam mobil mahal Anda itu?” Alih-alih menjawab, yang dilakukan oleh William adalah tetap tersenyum, seolah ia sangat senang mendengar celotehan Lilia ini. “Maaf,” jawab William pertama-tama. “Aku hanya tidak sabar untuk segera bertemu denganmu, Lilia.” “Ini masih pagi, apakah Anda dari kota langsung ke sini?” “Tidak. Aku sudah ada di hotel beberapa jam yang lalu dan pagi-pagi ke sini karena aku ingin melihatmu,” terang William. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” “Anda bisa datang lebih siang, setidaknya tidak segelap ini. Apa A
‘LILIA?!’ seru William dalam hati. Ia terhenyak bangun dari berbaringnya dan mengetuk kontak itu dengan tidak sabar. ‘Apa benar ini dia? Apa dia sudah diizinkan Papa memakai ponsel?’ banyak tanya di dalam hatinya. [Lilia Zamora?] balas William memastikan. [Benar.] Napasnya tercekat di dada saat membaca balasan itu. Ia duduk dengan punggung tegak saat tangannya yang dirasanya gemetar itu kembali mengetik. [Aku akan datang besok. Tolong katakan pada Keano juga ya. Sampai jumpa, Lilia.] William beringsut turun dari ranjang, ia berlari keluar dari kamar Keano dan menuju ke kamar di mana Giff berada selama ia tinggal di rumahnya. “Giff!” panggil William setelah membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya lebih dulu. Si pemilik nama yang tengah berbaring di atas ranjangnya itu menoleh pada William dengan alisnya yang bersinggungan. “Anda tidak bisa mengetuk pintu dulu?” “Ini rumahku,” jawabnya singkat—dan ketus. “Ayo kita pergi, kamu siapkan mobilnya!” “Pergi? Pergi ke ma