"Oh ... Lea? Dia cewek saya, kenapa?"
"Apa?! Jadi kamu bawa putri saya untuk menggu*urkan j*nin di sini?!"
Pria muda berpakaian serba hitam itu mendadak kaku. Dia menatap Indira dari atas ke bawah dan terdiam. Ponsel di genggamannya juga terjatuh.
"Kurang ajar!" umpat Indira, tangannya memukul-mukul dada pria yang mengaku sebagai pacar putrinya.
"Apa yang kamu lakukan dengan Alea?? Saya tidak—"
"Aargh, sakiiiit!"
Kata-kata Indira terputus saat mendengar teriakan penuh rasa sakit dari ruangan tertutup itu. Teriakan itu begitu menyayat hati, teriakan itu milik Alea, putri semata wayangnya.
Mendengarkan teriakan pilu Alea, Indira berlari menuju depan ruangan praktek. Dia memukul-mukul pintu dengan sekuat tenaga seakan ingin mendobraknya sampai hancur. Perlakuannya membuat perhatian orang lain teralih dan menatapnya dengan sorot sedih serta ketakutan.
Juli juga menatap Indira dan kekasih Alea yang tengah berlomba-lomba ingin menghancurkan pintu kokoh ruang praktek itu. Namun, raut wajah Juli tidak menyiratkan rasa takut atau pun sedih. Justru sebaliknya. Dia tampak menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. Tangannya meraih ponsek yang sedari tadi dia simpan di tas. Dia mengambil gambar serta video dengan zoom sampai jelas wajah Indira.
Julie menyunggingkan senyuman liciknya setelah semua video dan gambar berhasil dia simpan. Dengan sedikit ringisan menahan rasa lemas dan nyeri di bagian perut, Julie bersiap meninggalkan klinik ilegal ini. Dia mempunyai rencana besar yang akan membuat Hendra kembali kepadanya.
Bagaimnapun, walau terpisah dengan jarak usia yang lumayan jauh. Juli sudah jatuh cinta dengan sosok pria beristri itu. Apalagi, sikap Indira yang tega terhadapnya dan rela memberikan uang banyak untuk menutup aib suaminya malah semakin menambah semangat Juli untuk menghancurkan dan memanfaatkan Indira.
Uang dua milyar yang dijanjikan tidaklah sepadan untuk ini semua. Hidupnya sudah berhenti sejak jabang bayi itu tumbuh, dia tak rela kalau hanya dia yang hancur. Keluarga Hendra pun, termasuk Indira dan Alea, harus merasakan penderitaannya.
Sementara Juli melarikan diri. Indira masih terjebak dengan rasa takut. Terutama saat teriakan Alea tak lagi terdengar dan berganti dengan keheningan yang membakar hatinya. Dia terus berpikir apa yang terjadi di dalam sana. Apakah janin itu masih ada atau tidak. Apakah Alea masih sadar atau tidak.
Indira luruh ke lantai. Dia menatap pantulan dirinya di sana. Wajahnya sudah kuyu dengan make up yang berantakan. Rambutnya yang biasa tertata rapi kusut karena dia jambak sendiri. Dia merasa gagal sebagai ibu. Peraturan di rumah yang dia buat sangatlah ketat. Alea dilarang pulang di atas jam sepuluh malam. Alea juga tidak boleh membawa teman laki-laki ke rumah. Dia juga melarang Alea pacaran.
Akan tetapi, takdir seperti sedang bercanda. Semua larangannya itu didobrak habis oleh Alea di belakangnya. Begitupun dengan Hendra, suaminya. Imam terbaik yang dia kenal itu, secara sadar bermain api dan menyebabkan akibat yang teramat pedih. Indira terpaksa menjelma sebagai monster, dia bahkan menggiring gadis itu dengan sadar ke klinik ilegal untuk menghilangkan buah cinta Hendra dan Juli. Sungguh, sebelum semua terjadi, ternyata Tuhan sudah membalasnya secara kontan. Di saat dia sibuk menutup aib. Anaknya juga sedang berjuang menghilangkan aibnya.
Indira terpekur menatap kosong ke arah pintu. Tulangnya seperti dilolosi. Dia tak mampu berdiri dan menghadapi kenyataan yang teramat pahit ini. Sungguh, jika kehamilan Alea terjadi beberapa tahun lagi saat atau saat dia sudah sah menjadi istri orang lain, Indira pasti sangat bahagia. Dia akan menjaga anaknya, menjaga calon cucu juga. Namun, sekarang bukanlah waktu yang tepat.
Indira membayangkan apa yang akan Alea alami jika nekat mempertahankan si jabang bayi. Hinaan keluarga besar terasa nampak di ambang pintu. Cemoohan tetangga, rekan kerja, teman kuliah Alea, semua pasti akan menyakiti hati Alea. Indira benar-benar takut, dia tak siap menguatkan Alea karena hatinya juga sudah hancur dan rapuh.
Indira menghapus air matanya. Dia menguatkan dirinya sendiri demi keutuhan keluarga. Dia ingin berubah menjadi istri dan ibu yang perhatian. Dia akan menutup aib kedua orang yang dia sayangi itu. Walaupun harus dengan cara yang salah. Indira akan melakukannya.
***
Setelah lama menunggu, pintu terbuka. Seorang wanita yang menjadi bidan di klinik itu keluar. Wajahnya dipenuhi peluh dan sorot matanya terus menunduk dengan mimik wajah yang nampak panik. Indira bangun dengan cepat dan menghampirinya.
"Bagaimana keadaan Alea?" tanya Indira, dia memegang kedua lengan Bidan dan berharap hanya jawaban baik yang keluar.
"Janinnya berhasil, tapi Alea kehilangan banyak darah. Karena golongan darahnya cukup langka, kami tak bisa menangani Alea lebih lanjut. Anda bisa membawanya ke rumah sakit besar," jawabnya dengan pandangan yang tak mau menatap Indira.
Bersambung.
Setelah mendengar kabar buruk bak petir itu. Indira tak mampu menguasai dirinya dan menerobos masuk. Dia segera menghampiri Alea yang terlihat pucat. Tatapan anaknya begitu kosong, Alea seperti mayat hidup. Indira mengguncang tubuh Alea, mengharap respons dari putrinya. Namun, nihil. Alea tak memberikan tanda apa pun kalau dia masih sadar.Kepanikan Indira membuat tangisannya pecah dan sekarang dia meraung untuk mengalirkan sesak di dada. Bidan itu masuk lagi bersama pacar Alea."Kita harus cepat membawa Alea." Bidan itu berkata sambil merapikan tampilan Alea yang berantakan.Indira terkesiap saat sebuah tangan memegang bahunya. Dia mengalihkan pandangan ke samping dan melihat kekasih Alea yang melakukan ini."Nama saya Bian, Tante. Sekarang kita harus kesampingkan apa yang Tante rasa. Kita harus membawa Alea sebelum terlambat. Di mana mobil Tante?"Inginnya Indira marah dan memu
Sekian jam menunggu di depan UGD. Seorang dokter dan perawat keluar. Mereka meminta pihak keluarga; Indira dan Hendra untuk ikut ke ruangannya.Dokter itu menjelaskan keadaan Alea. Mereka berhasil menstabilkan fisik Alea. Namun, dokter mengatakan kalau Alea sedang terguncang. Dia butuh ke psikiater setelah pulih dari pendarahan ini.Setelah bersiskusi dengan dokter, Alea dipindahkan ke ruang rawat. Indira tak pernah lepas memantau putrinya. Hendra ijin keluar dan dia sudah menyeret Bian sampai basement."Om, saya berhak melihat keadaan Alea. Saya mau tanggung jawab dan menikahinya!""Menikah katamu? Alea tidak akan menikah, dia hanya perlu mengakhiri hubungannya denganmu. Setelah dia sembuh, saya akan mengirimnya ke luar negeri."Hendra berbalik dan menjauh.Bian berteriak, "Coba aja! Saya akan buat Alea dan keluarga kalian menderita!
Wanita itu terdiam tanpa melawan sedikit pun. Dia hanya menyunggingkan senyumannya."Untuk apa aku mengganggumu? Aku hanya mengatakan apa yang terjadi di masa lalu. Aku hanya mengatakan apa yang kau dan Indira lakukan di masa silam. Hanya itu, Hendra."Pratiwi terpancing emosi. Wanita yang memiliki bekas luka bakar di keningnya itu mencengkeram kerah baju Hendra. Air matanya mengalir, isak tangisnya mulai tertahan."Aku tak perduli. Kisah masa lalu sudah berakhir. Kita semua sudah hidup di jalan masing-masing. Kalau kau ingin memperbaikinya, mulailah dengan melupakan semuanya Pratiwi. Mulailah untuk sadar dari dunia khayalmu!""Simpan omong kosongmu, pengecut! Aku hanya butuh kau datang saat pemakaman, apa kalian sadar dengan keadaan waktu itu? Kau tertawa riang di atas penderitaanku. Kalian kejam!"Pratiwi mendorong Hendra menjauhi rumahnya. Dia terus menangis saat melakukan itu
Pagi hari di rumah sakit membuat Indira sedikit mual. Sudah tiga kali dia bolak-balik kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Namun, keadaannya tidak kunjung membaik.Dia memutuskan untuk duduk di sofa. Bersandar dengan kaki yang dinaikan ke atas. Mencoba memejamkan mata sebentar. Alea sudah sadar tadi Subuh, tetapi gadis itu tertidur lagi.Sementara Bian ijin untuk keluar mencari makanan dan mengambil baju ganti. Indira berkali-kali menyuruhnya pulang, tetapi pemuda itu bersikeras untuk tetap menemani Alea. Bukan terharu yang Indira rasakan, tetapi rasa benci yang semakin tebal. Apalagi saat mengingat kejadian di klinik, Bian tampak santai sambil menatap layar ponsel dengan senyum. Padahal, kekasihnya sedang berjuang antar hidup dan mati. Mempertanggungjawabkan kesalahan mereka hanya sendiri.Indira kembali diserang panik. Dia syok dan belum bisa kembali ke kantor. Padahal sejak tadi sekretarisnya tak berhenti mengh
Indira mundur selangkah saat mendengar pernyataan pria yang sangat dia hindari itu. "Mas Fajar?" Indira sanksi, dia bertanya untuk mengetahui apakah pria itu benar-benar mantan kekasihnya "Iya, Sayang!" jawabnya dengan wajah yang memancarkan kebahagiaan. "Stop Mas Fajar. Aku gak mau kamu dekat-dekat aku. Siapa pun kamu, jangan ganggu aku!! Untuk yang terakhir kalinya, jangan panggil aku dengan kata-kata menjijikan itu!" Indira berjalan mendahului meskipun dia mual dan akan tumbang secepatnya. Melihat masa lalu yang pernah membuatnya sakit hati tak pernah bisa dia bayangkan. Namun, sekarang kondisinya tak memungkinkan. Indira didera pusing teramat sangat. Pandangan wanita itu berkabut dan gelap. Dia limbung dan jatuh ke lantai. Kesadarannya langsung melemah. Fajar yang masih memperhatikannya sejak tadi, terkejut dengan apa yang terjadi. Dia langsung berlari mendekat dan meraih tubuh mantan kekasihnya itu. Walaupun sudah tak punya tenaga, tetap sa
Indira memacu mobilnya secepat kilat. Dia terus menginjak pedal gas tanpa ampun. Wajahnya merah padam mengingat semua kejadian seminggu belakangan."Perempuan j*l*ng! Kurang ajar!" Indira mengumpat sambil memukul-mukul kemudi.Air matanya mengalir deras membuat pandangannya kabur. Namun, segera diusapnya. Dia mencoba tegar dan terus berusaha mengenyahkan sakit hati yang begitu menusuk di dada."Tega kamu, Mas! Apa maumu? Aku sudah memberikan hidupku dan ini balasanmu?! Bi*dab!" Indira terus saja berteriak kesetanan, dia benar-benar ingin melampiaskan semua rasa kesal itu.Hatinya begitu hancur, ketika mengetahui kebusukan Hendra, suaminya. Lelaki yang sudah hidup bersamanya selama dua puluh tahun itu, kedapatan berselingkuh dengan gadis SMA. Tidak sampai itu saja, ternyata hubungan keduanya sudah jauh, sudah keterlaluan, sudah sampai di ranjang. Parahnya, gadis itu minta pertanggung jawab