Pagi hari di rumah sakit membuat Indira sedikit mual. Sudah tiga kali dia bolak-balik kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Namun, keadaannya tidak kunjung membaik.
Dia memutuskan untuk duduk di sofa. Bersandar dengan kaki yang dinaikan ke atas. Mencoba memejamkan mata sebentar. Alea sudah sadar tadi Subuh, tetapi gadis itu tertidur lagi.
Sementara Bian ijin untuk keluar mencari makanan dan mengambil baju ganti. Indira berkali-kali menyuruhnya pulang, tetapi pemuda itu bersikeras untuk tetap menemani Alea. Bukan terharu yang Indira rasakan, tetapi rasa benci yang semakin tebal. Apalagi saat mengingat kejadian di klinik, Bian tampak santai sambil menatap layar ponsel dengan senyum. Padahal, kekasihnya sedang berjuang antar hidup dan mati. Mempertanggungjawabkan kesalahan mereka hanya sendiri.
Indira kembali diserang panik. Dia syok dan belum bisa kembali ke kantor. Padahal sejak tadi sekretarisnya tak berhenti menghubungi. Dia bilang ada yang sangat penting. Indira memutuskan untuk bekerja dari rumah sakit. Dia meminta asisten rumah tangganya untuk mengemas baju ganti dan menitipkannya kepada sopir.
Setelah menunggu selama satu jam, sopirnya datang membawa sebuah koper kecil.
"Nyonya ini bajunya," kata sopir sambil meletakan koper di atas meja.
"Kenapa banya banget, kan, saya minta cuma tiga aja."
Sang sopir tampak salah tingkah. Dia bergerak gelisah dan tidak tahu harus menjawab apa. Indira yang menjadi majikannya selama lima tahun, tentu sudah hapal arti dari sikap karyawannya.
"Di rumah ada kejadian apa, Marno? Maling?" tanyana.
"Bukan, Nyah. Eh, tapi mirip maling juga, Nyah." Marno menjawab plin plan.
Indira kesal dan bangkit dari duduk.
"Siapa?"
"Pa-pacar Tuan Hendra, Nyonya. Ini semua yang kemasin bukan si Surti, tapi Nyonya Juli," jawab Marno sambil menunduk. Dia tak berani menatap majikannya sendiri.
"Apa?!" Indira kaget bukan main, dia merasa dunianya runtuh.
Tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu. Suaminya itu memasukkan orang asing untuk pindah ke sana. Orang itu juga bukan tamu terhormat, gadis itu pelakor!
Indira menjatuhkan diri di sofa, kepalanya kembali pusing dan nyeri, dia menangis sejadi-jadinya. Dia kalut dan segera meraih ponsel di atas meja. Dengan segera menghubungi suaminya, meminta penjelasan.
Namun, sesering apapun dia menghubungi Hendra, teleponnya tidaj dijawab.
Indira tidak tahan lagi dan bersiap untuk meninggalkan kamar rawat. Sebelum pergi, wanita itu mendekat ke sopirnya dan berkata, "Titip Alea, saya mau pulang sebentar. Kalau ada masalah, kabari saya atau orang rumah!"
Marno mengangguk dan menjawab, "Baik, Nyonya."
***
Langkah Indira terasa semakin berat, pisiknya lemah, hatinya sakit. Lengkap sudah penderitaannya kali ini. Namun, demi penjelasan Hendra, dia rela melawan semua rasa sakit ini. Dengan tertatih Indira menapaki lantai rumah sakit, kini dia sudah ada di basement.
Saat menekan kunci dan mendengar alarm mobilnya, Indira melangkah lebih cepat, selangkah lagi sampai, kakinya terasa kaku.
Dia melihat ke arah kanan tempatnya memarkirkan mobil, seorang wanita tampak sedang berbincang-bincang dengan seorang lelaki yang tidak bisa dia lihat wajahnya.
"Pratiwi!" Tanpa sadar, Indira menggaungkan nama itu sekeras mungkin. Bahkan terdengar seperti teriakan. Refleks, Indira menutup mulutnya.
Masa lalu yang selalu dia hindari kini ada di hadapannya. Wanita yang menurutnya punya masalah kejiwaan tersebut, terlihat masih sama seperti duapuluh tahun lalu. Pratiwi, mantan kekasih Mas Hendra sekaligus sahabatnya sendiri.
***
"Apa kabarmu, Indi?" 'Indi' adalah panggilan kesayangan Pratiwi untuk Indira.
"Tidak baik sama sekali, untuk apa kau ada di rumah sakit ini? Kau terlihat sehat-sehat saja." Indira menatap tajam ke arah lawan bicaranya yang tampak santai.
"Aku sangat sehat. Tapi hatiku yang sakit. Sakiiit sekali. Bahkan kau tidak akan bisa merasakannya."
Kalimat yang dikatakan oleh Pratiwi lebih mirip sindiran yang menohok untuk Indira. Susunan kata apapun tak bisa menyamarkan kebencian yang mendarah daging di hidup wanita dengan kulit putih tersebut.
Indira menghela napas panjang. Bagaimanapun semua manusia pasti menemui ketakutannya. Pilihannya adalah menghadapi atau menghindari. Duapuluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk terus berlari dan melupakan siapa Pratiwi.
Indira pasrah dan memutuskan untuk menghadapinya sekali lagi. Dia berdoa agar Tuhan menolongnya saat ini. Karena hatinya benar-benar rapuh, tubuhnya pun sudah remuk.
"Kau tahu, bagaiman aku hidup selama ini, Indi?"
Pratiwi melepas kacamatanya dan mengibaskan tangan mengusir anaknya, ketika melihat Bian mengawasi mereka dari belakang. Dia yakin Indira belum mngetahui kalau Bian adalah darah dagingnya dan alat untuknya membalas dendam kesumat ini. Hanya Hendra yang tahu, dan pastinya dia tak berani mengatakannya kepada istri galaknya ini.
Indira meggeleng, pikirannya sedang bercabang sekarang. Antara rumah dan Pratiwi. Semua sama-sama membuatnya syok.
Karena tidak melihat antusiasme Indira, wanita dengan pakaian birunya itu memilih melanjutkan omongannya.
"Aku hidup bermodalkan sakit hati, Indi. Kalian penyumbang terbesar dari kepediham yang aku rasakan duapuluh tahun ini. Kalian berjasa menanamkan luka di hidupku."
"Sudahlah, Tiwi. Aku berkali-kali menjelaakannya, tetapi kau tidak percaya. Apalagi yang harus kuperbuat agar kau mau memberi maaf kepada kami?"
"Hancurkan hidupmu sendiri, kalau kau sudah tidak bisa menjalani hidupmu dengan normal. Aku akan bahagia dan memaafkan kalian berdua. Bagaimana penawaranku?" tanya Pratiwi dengan jelas. Kini dia memakai kembali kacamata dan bangkit dari duduknya.
Indira masih terpaku mencerna kata-kata Pratiwi. Indira menjamin tidak akan terjadi apapun kepada keluarganya. Dia sudah menjalani kepahitan hidup sejak kecil, dan sekarang Indira tak mau semua itu terulang lagi. Cukup sekali saja.
"Kita belum selesai, Hendra mengajakku bertemu di kafe dekat rumah sakit. Dia ingin mengatakan hal yang sangat penting, dan aku diundang khusus kemarin." Wajah Pratiwi tampak berseri dengan senyuman yang malu-malu. "Mungkin Hendra berubah pikiran dan ingin kembali."
Indira kembali merasakan nyeri. Hatinya hancur berkeping-keping. Dia merasa hidup ini sedang mempermainkannya. Sang suami selingkuh dan sekarang hendak kembali ke pelukan masa lalu orang yang susah payah dia jauhkan dari jangkauan Hendra.
Indira dikepung perasaan panik. Dia bangkit dan merasa pandangannya berputar. Semua yang dia lihat berbayang dan menjadi banyak. Belum lagi perutnya yang mual luar biasa, dia tak tahan dan bergegas ke kamar mandi. Wanita berkulit putih itu sudah melihat tanda tulisan toilet wanita. Namun, kakinya tak mampu digerakkan ketika melihat seseorang yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya.
Pria itu sepertinya sadar dan menatap Indira. Dia tampak terkejut dan terpaku di tempat memandang wajah yang sangat dia kenal.
"Indira, akhirnya kita bertemu lagi. Apa kabarmu? Apa yang kau sedang sakit. Tampaknya wajahmu pucat. Ayo, ke ruanganku. Akan aku periksa keadaanmu," ucap pria yang menggunakan seragam serba putuh dengan stetoskop yang melingkar di leher layaknya seorang dokter pada umumnya.
Indira menggeleng lemah dan meneruskan jalannya walaupun tertatih. Namun, pria itu menahan tangannya.
"Jangan tinggalkan aku lagi, Sayang. Hidupku hancur sejak kau meninggalkanku demi suami jahatmu."
Bersambung.
Indira mundur selangkah saat mendengar pernyataan pria yang sangat dia hindari itu. "Mas Fajar?" Indira sanksi, dia bertanya untuk mengetahui apakah pria itu benar-benar mantan kekasihnya "Iya, Sayang!" jawabnya dengan wajah yang memancarkan kebahagiaan. "Stop Mas Fajar. Aku gak mau kamu dekat-dekat aku. Siapa pun kamu, jangan ganggu aku!! Untuk yang terakhir kalinya, jangan panggil aku dengan kata-kata menjijikan itu!" Indira berjalan mendahului meskipun dia mual dan akan tumbang secepatnya. Melihat masa lalu yang pernah membuatnya sakit hati tak pernah bisa dia bayangkan. Namun, sekarang kondisinya tak memungkinkan. Indira didera pusing teramat sangat. Pandangan wanita itu berkabut dan gelap. Dia limbung dan jatuh ke lantai. Kesadarannya langsung melemah. Fajar yang masih memperhatikannya sejak tadi, terkejut dengan apa yang terjadi. Dia langsung berlari mendekat dan meraih tubuh mantan kekasihnya itu. Walaupun sudah tak punya tenaga, tetap sa
Indira memacu mobilnya secepat kilat. Dia terus menginjak pedal gas tanpa ampun. Wajahnya merah padam mengingat semua kejadian seminggu belakangan."Perempuan j*l*ng! Kurang ajar!" Indira mengumpat sambil memukul-mukul kemudi.Air matanya mengalir deras membuat pandangannya kabur. Namun, segera diusapnya. Dia mencoba tegar dan terus berusaha mengenyahkan sakit hati yang begitu menusuk di dada."Tega kamu, Mas! Apa maumu? Aku sudah memberikan hidupku dan ini balasanmu?! Bi*dab!" Indira terus saja berteriak kesetanan, dia benar-benar ingin melampiaskan semua rasa kesal itu.Hatinya begitu hancur, ketika mengetahui kebusukan Hendra, suaminya. Lelaki yang sudah hidup bersamanya selama dua puluh tahun itu, kedapatan berselingkuh dengan gadis SMA. Tidak sampai itu saja, ternyata hubungan keduanya sudah jauh, sudah keterlaluan, sudah sampai di ranjang. Parahnya, gadis itu minta pertanggung jawab
"Oh ... Lea? Dia cewek saya, kenapa?""Apa?! Jadi kamu bawa putri saya untuk menggu*urkan j*nin di sini?!"Pria muda berpakaian serba hitam itu mendadak kaku. Dia menatap Indira dari atas ke bawah dan terdiam. Ponsel di genggamannya juga terjatuh."Kurang ajar!" umpat Indira, tangannya memukul-mukul dada pria yang mengaku sebagai pacar putrinya."Apa yang kamu lakukan dengan Alea?? Saya tidak—""Aargh, sakiiiit!"Kata-kata Indira terputus saat mendengar teriakan penuh rasa sakit dari ruangan tertutup itu. Teriakan itu begitu menyayat hati, teriakan itu milik Alea, putri semata wayangnya.Mendengarkan teriakan pilu Alea, Indira berlari menuju depan ruangan praktek. Dia memukul-mukul pintu dengan sekuat tenaga seakan ingin mendobraknya sampai hancur. Perlakuannya membuat perhatian orang lain teralih dan menatapnya de
Setelah mendengar kabar buruk bak petir itu. Indira tak mampu menguasai dirinya dan menerobos masuk. Dia segera menghampiri Alea yang terlihat pucat. Tatapan anaknya begitu kosong, Alea seperti mayat hidup. Indira mengguncang tubuh Alea, mengharap respons dari putrinya. Namun, nihil. Alea tak memberikan tanda apa pun kalau dia masih sadar.Kepanikan Indira membuat tangisannya pecah dan sekarang dia meraung untuk mengalirkan sesak di dada. Bidan itu masuk lagi bersama pacar Alea."Kita harus cepat membawa Alea." Bidan itu berkata sambil merapikan tampilan Alea yang berantakan.Indira terkesiap saat sebuah tangan memegang bahunya. Dia mengalihkan pandangan ke samping dan melihat kekasih Alea yang melakukan ini."Nama saya Bian, Tante. Sekarang kita harus kesampingkan apa yang Tante rasa. Kita harus membawa Alea sebelum terlambat. Di mana mobil Tante?"Inginnya Indira marah dan memu
Sekian jam menunggu di depan UGD. Seorang dokter dan perawat keluar. Mereka meminta pihak keluarga; Indira dan Hendra untuk ikut ke ruangannya.Dokter itu menjelaskan keadaan Alea. Mereka berhasil menstabilkan fisik Alea. Namun, dokter mengatakan kalau Alea sedang terguncang. Dia butuh ke psikiater setelah pulih dari pendarahan ini.Setelah bersiskusi dengan dokter, Alea dipindahkan ke ruang rawat. Indira tak pernah lepas memantau putrinya. Hendra ijin keluar dan dia sudah menyeret Bian sampai basement."Om, saya berhak melihat keadaan Alea. Saya mau tanggung jawab dan menikahinya!""Menikah katamu? Alea tidak akan menikah, dia hanya perlu mengakhiri hubungannya denganmu. Setelah dia sembuh, saya akan mengirimnya ke luar negeri."Hendra berbalik dan menjauh.Bian berteriak, "Coba aja! Saya akan buat Alea dan keluarga kalian menderita!
Wanita itu terdiam tanpa melawan sedikit pun. Dia hanya menyunggingkan senyumannya."Untuk apa aku mengganggumu? Aku hanya mengatakan apa yang terjadi di masa lalu. Aku hanya mengatakan apa yang kau dan Indira lakukan di masa silam. Hanya itu, Hendra."Pratiwi terpancing emosi. Wanita yang memiliki bekas luka bakar di keningnya itu mencengkeram kerah baju Hendra. Air matanya mengalir, isak tangisnya mulai tertahan."Aku tak perduli. Kisah masa lalu sudah berakhir. Kita semua sudah hidup di jalan masing-masing. Kalau kau ingin memperbaikinya, mulailah dengan melupakan semuanya Pratiwi. Mulailah untuk sadar dari dunia khayalmu!""Simpan omong kosongmu, pengecut! Aku hanya butuh kau datang saat pemakaman, apa kalian sadar dengan keadaan waktu itu? Kau tertawa riang di atas penderitaanku. Kalian kejam!"Pratiwi mendorong Hendra menjauhi rumahnya. Dia terus menangis saat melakukan itu