Setelah mendengar kabar buruk bak petir itu. Indira tak mampu menguasai dirinya dan menerobos masuk. Dia segera menghampiri Alea yang terlihat pucat. Tatapan anaknya begitu kosong, Alea seperti mayat hidup. Indira mengguncang tubuh Alea, mengharap respons dari putrinya. Namun, nihil. Alea tak memberikan tanda apa pun kalau dia masih sadar.
Kepanikan Indira membuat tangisannya pecah dan sekarang dia meraung untuk mengalirkan sesak di dada. Bidan itu masuk lagi bersama pacar Alea.
"Kita harus cepat membawa Alea." Bidan itu berkata sambil merapikan tampilan Alea yang berantakan.
Indira terkesiap saat sebuah tangan memegang bahunya. Dia mengalihkan pandangan ke samping dan melihat kekasih Alea yang melakukan ini.
"Nama saya Bian, Tante. Sekarang kita harus kesampingkan apa yang Tante rasa. Kita harus membawa Alea sebelum terlambat. Di mana mobil Tante?"
Inginnya Indira marah dan memukul habis-habisan pria muda itu. Namun, dia sadar kalau Alea lebih penting dari segalanya. Indira merogoh kunci di dalam tas dan memberikannya pada Bian. Dia berjalan lebih dulu diikuti Bian yang menggendong tubuh lemah Alea.
Indira duduk di kursi penumpang dan memangku kepala Alea. Bian bersiap di kemudi, lalu saat sudah memastikan kedua orang wanita di belakanganya siap, Dia segera tancap gas dengan kecepatan maksimal.
Sepanjang perjalanan dipenuhi dengan kekalutan. Alea tampak kesusahan bernapas. Dia juga hampir kehilanga kesadaran. Indira berkali-kali meneriaki nama putrinya, menepuk-nepuk pipi Alea.
"Jangan tidur, Sayang. Kita sebentar lagi sampai. Kamu harus sadar, mama gak bisa hidup tanpa kamu, Alea!" teriak Indira.
Kepanikan juga menyerang Bian. Dia merasa kejadian ini begitu di luar dugaan. Tadinya Alea baik-baik saja, dia nampak sehat. Bian berharap Alea akan tetap sadar dan selamat. Karena belum waktunya dia tiada. Bian tak akan mengijinkan siapa pun mengambilnya sebelum dia memberi ijin dan sekarang bukanlah waktunya.
Roda mobil berhenti bergulir di depan UGD. Bian turun dan memanggil perawat. Mereka semua membantu menurunkan tubuh Alea dari dalam mobil. Indira mencoba ikut masuk namun ditahan oleh perawat. Dia jatuh terduduk di depan UGD dan menangisi keadaan Alea yang kritis.
Bian mencoba membantu membantu Indira untuk bangkit. Namun, tangannya di tepis kasar.
"Sejak kapan kamu berhubungan dengan anak saya? tanya Indira, tanpaengalihkan pandangannya pada pintu.
"Sejak semester pertama. Kami sudah menjalin hubungan, sejak saat itu juga kami melakukan hubungan badan," jawab Bian dengan nada yang datar.
Jawaban Bian menambah kesedihan dan kemarahan Indira. Dia bangkit dan mencengkram kerah baju Bian. Indira memukul-mukul tubuh dan menampar Bian berkali-kali.
Bian diam saja dan tak melawan. Dia membiarkan Indira melampiaskan emosinya. Indira menyerah dan memilih menangis. Dia sudah tak punya kekuatan untuk bertahan selain kesembuhan Alea.
Seorang perawat datang menghampiri Indira dan Bian.
"Buk, Mas, tolong urus administrasi. Kami akan melakukan transfusi darah untuk Nona Alea."
Indira mengangguk dan segera pergi ke bagian Administrasi. Dia berjalan cepat sambil mengambil dompet di tas. Pandangannya tak melihat ke kanan kiri dan dia menabrak seseorang.
"Kalau jalan pakai mata!" bentak seseorang, Indira terdiam cukup lama dan memutuskan menengok ke asal suara orang yang marah itu.
Indira mematung mendapati sosok di sampingnya, begitupun sebaliknya. Raut wajah orang itu mendadak kaku dan menatap tajam Indira.
"Mas Hendra? Kamu sudah tahu?" tanya Indira.
"Ya, aku sudah tahu."
"Ayo kita lihat keadaan anak kita, Mas. Dia ... dia ...."
Indira menangis dan hendak memeluk Hendra. Namun, pria itu menjauh dan menampakan raut jijik.
"Dengar, aku gak akan memaafkan kamu karena mencoba menyingkirkan calon anakku. Kamu tahu, aku memang tidak mencintai Juli, tapi aku mengharapkan keturunan yang akan lahir dari rahimnya! Mulai besok, gadis itu akan tinggal di rumah kita sampai anakku lahir!"
Indira tak bisa percaya dengan perkataan Hendra. Dia pikir suaminya itu datang ke rumah sakit karena memang mengetahui keadaan Alea. Namun, itu semua hanya untuk membela gadis pelakor tersebut.
Indira sudah kehilangan kesabaran, dia menyerang Hendra dengan memukul-mukulkan tangannya ke dada lelaki itu. Hendra tidak terima dan menangkap kedua tangan Indira, menahannya agar tidak lagi bergerak.
"Tega! Kamu ke sini untuk pelakor itu. Sementara anak kamu sedang berjuang supaya tetap hidup! Tega kamu, Mas!" Indira berteriak.
Seketika Hendra melepas kaitan tangan mereka. Dia mundur beberapa langkah dan mencerna omongan Indira itu benar atau tidak. Tadi pagi, dia masih melihat putrinya sarapan, walaupun hanya sedikit. Namun, Alea benar-benar tak menunjukkan tanda-tanda sakit.
"Ada apa dengan anak kita?"
"Dia hamil! Dia ingin melenyapkan janinnya. Sekarang Alea kehilangan banyak darah, dia sekarat!"
Hendra melotot tak percaya. Dia limbung dan kehilangan keseimbangan. Hendra jatuh terduduk di sudut ruangan. Dia masih menolak kebenaran yang tak bisa diterima ini. Bagaimana bisa anak sebaik Alea, mampu melakukan perbuatan tak masuk akal ini.
Hendra bangkit dan mendekati Indira.
"Di mana putri kita?" tanyanya dengan nada lebih lembut."Di UGD. Urus administrasinya. Kita ke sana sama-sama."
Hendra dan Indira mengurus administrasi, setelah selesai mereka berdua bergegas ke UGD. Di sana ada Bian yang sedang duduk bersandar sambil memijit keningnya.
Hendra berbisik ke Indira, "Siapa dia?"
"Tersangka utama yang telah membuat Alea jadi seperti ini," jawab Indira penuh rasa kesal.
Hendra mengepalkan tangan dan berjalan cepat mendekati Bian. Dia meraup kerah baju pacarnya Alea, lalu mengangkatnya sampai Bian harus berjinjit. Tubuh Hendra di usianya yang sudah kepala empat masih sangat fit. Ototnya bahkan lebih besar dari Bian, dia tampak lebih kuat dari pria muda di depannya.
Diperlakukan seperti ini, tak membuat Bian menjadi ciut. Dia malah bersikap santai dan tak melawan. Indira tak mau ada kasus tambahan atas kejadian ini. Dia memutuskan menarik Hendra untuk menjauhi Bian karena percuma saja meladeninya, Bian adalah orang yang kurang ajar.
"Yang terpenting adalah anak kita sekarang." Indira berkata pelan, dia mengusap-usap lengan Hendra.
Hendra perlahan melepas cengkraman tangannya. Dia mendorong Bian sampai membentur tembok.
"Akan saya hancurkan siapa pun orang yang menyakiti Alea, termasuk kamu."
Bersambung.
Sekian jam menunggu di depan UGD. Seorang dokter dan perawat keluar. Mereka meminta pihak keluarga; Indira dan Hendra untuk ikut ke ruangannya.Dokter itu menjelaskan keadaan Alea. Mereka berhasil menstabilkan fisik Alea. Namun, dokter mengatakan kalau Alea sedang terguncang. Dia butuh ke psikiater setelah pulih dari pendarahan ini.Setelah bersiskusi dengan dokter, Alea dipindahkan ke ruang rawat. Indira tak pernah lepas memantau putrinya. Hendra ijin keluar dan dia sudah menyeret Bian sampai basement."Om, saya berhak melihat keadaan Alea. Saya mau tanggung jawab dan menikahinya!""Menikah katamu? Alea tidak akan menikah, dia hanya perlu mengakhiri hubungannya denganmu. Setelah dia sembuh, saya akan mengirimnya ke luar negeri."Hendra berbalik dan menjauh.Bian berteriak, "Coba aja! Saya akan buat Alea dan keluarga kalian menderita!
Wanita itu terdiam tanpa melawan sedikit pun. Dia hanya menyunggingkan senyumannya."Untuk apa aku mengganggumu? Aku hanya mengatakan apa yang terjadi di masa lalu. Aku hanya mengatakan apa yang kau dan Indira lakukan di masa silam. Hanya itu, Hendra."Pratiwi terpancing emosi. Wanita yang memiliki bekas luka bakar di keningnya itu mencengkeram kerah baju Hendra. Air matanya mengalir, isak tangisnya mulai tertahan."Aku tak perduli. Kisah masa lalu sudah berakhir. Kita semua sudah hidup di jalan masing-masing. Kalau kau ingin memperbaikinya, mulailah dengan melupakan semuanya Pratiwi. Mulailah untuk sadar dari dunia khayalmu!""Simpan omong kosongmu, pengecut! Aku hanya butuh kau datang saat pemakaman, apa kalian sadar dengan keadaan waktu itu? Kau tertawa riang di atas penderitaanku. Kalian kejam!"Pratiwi mendorong Hendra menjauhi rumahnya. Dia terus menangis saat melakukan itu
Pagi hari di rumah sakit membuat Indira sedikit mual. Sudah tiga kali dia bolak-balik kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Namun, keadaannya tidak kunjung membaik.Dia memutuskan untuk duduk di sofa. Bersandar dengan kaki yang dinaikan ke atas. Mencoba memejamkan mata sebentar. Alea sudah sadar tadi Subuh, tetapi gadis itu tertidur lagi.Sementara Bian ijin untuk keluar mencari makanan dan mengambil baju ganti. Indira berkali-kali menyuruhnya pulang, tetapi pemuda itu bersikeras untuk tetap menemani Alea. Bukan terharu yang Indira rasakan, tetapi rasa benci yang semakin tebal. Apalagi saat mengingat kejadian di klinik, Bian tampak santai sambil menatap layar ponsel dengan senyum. Padahal, kekasihnya sedang berjuang antar hidup dan mati. Mempertanggungjawabkan kesalahan mereka hanya sendiri.Indira kembali diserang panik. Dia syok dan belum bisa kembali ke kantor. Padahal sejak tadi sekretarisnya tak berhenti mengh
Indira mundur selangkah saat mendengar pernyataan pria yang sangat dia hindari itu. "Mas Fajar?" Indira sanksi, dia bertanya untuk mengetahui apakah pria itu benar-benar mantan kekasihnya "Iya, Sayang!" jawabnya dengan wajah yang memancarkan kebahagiaan. "Stop Mas Fajar. Aku gak mau kamu dekat-dekat aku. Siapa pun kamu, jangan ganggu aku!! Untuk yang terakhir kalinya, jangan panggil aku dengan kata-kata menjijikan itu!" Indira berjalan mendahului meskipun dia mual dan akan tumbang secepatnya. Melihat masa lalu yang pernah membuatnya sakit hati tak pernah bisa dia bayangkan. Namun, sekarang kondisinya tak memungkinkan. Indira didera pusing teramat sangat. Pandangan wanita itu berkabut dan gelap. Dia limbung dan jatuh ke lantai. Kesadarannya langsung melemah. Fajar yang masih memperhatikannya sejak tadi, terkejut dengan apa yang terjadi. Dia langsung berlari mendekat dan meraih tubuh mantan kekasihnya itu. Walaupun sudah tak punya tenaga, tetap sa
Indira memacu mobilnya secepat kilat. Dia terus menginjak pedal gas tanpa ampun. Wajahnya merah padam mengingat semua kejadian seminggu belakangan."Perempuan j*l*ng! Kurang ajar!" Indira mengumpat sambil memukul-mukul kemudi.Air matanya mengalir deras membuat pandangannya kabur. Namun, segera diusapnya. Dia mencoba tegar dan terus berusaha mengenyahkan sakit hati yang begitu menusuk di dada."Tega kamu, Mas! Apa maumu? Aku sudah memberikan hidupku dan ini balasanmu?! Bi*dab!" Indira terus saja berteriak kesetanan, dia benar-benar ingin melampiaskan semua rasa kesal itu.Hatinya begitu hancur, ketika mengetahui kebusukan Hendra, suaminya. Lelaki yang sudah hidup bersamanya selama dua puluh tahun itu, kedapatan berselingkuh dengan gadis SMA. Tidak sampai itu saja, ternyata hubungan keduanya sudah jauh, sudah keterlaluan, sudah sampai di ranjang. Parahnya, gadis itu minta pertanggung jawab
"Oh ... Lea? Dia cewek saya, kenapa?""Apa?! Jadi kamu bawa putri saya untuk menggu*urkan j*nin di sini?!"Pria muda berpakaian serba hitam itu mendadak kaku. Dia menatap Indira dari atas ke bawah dan terdiam. Ponsel di genggamannya juga terjatuh."Kurang ajar!" umpat Indira, tangannya memukul-mukul dada pria yang mengaku sebagai pacar putrinya."Apa yang kamu lakukan dengan Alea?? Saya tidak—""Aargh, sakiiiit!"Kata-kata Indira terputus saat mendengar teriakan penuh rasa sakit dari ruangan tertutup itu. Teriakan itu begitu menyayat hati, teriakan itu milik Alea, putri semata wayangnya.Mendengarkan teriakan pilu Alea, Indira berlari menuju depan ruangan praktek. Dia memukul-mukul pintu dengan sekuat tenaga seakan ingin mendobraknya sampai hancur. Perlakuannya membuat perhatian orang lain teralih dan menatapnya de