Indira memacu mobilnya secepat kilat. Dia terus menginjak pedal gas tanpa ampun. Wajahnya merah padam mengingat semua kejadian seminggu belakangan.
"Perempuan j*l*ng! Kurang ajar!" Indira mengumpat sambil memukul-mukul kemudi.
Air matanya mengalir deras membuat pandangannya kabur. Namun, segera diusapnya. Dia mencoba tegar dan terus berusaha mengenyahkan sakit hati yang begitu menusuk di dada.
"Tega kamu, Mas! Apa maumu? Aku sudah memberikan hidupku dan ini balasanmu?! Bi*dab!" Indira terus saja berteriak kesetanan, dia benar-benar ingin melampiaskan semua rasa kesal itu.
Hatinya begitu hancur, ketika mengetahui kebusukan Hendra, suaminya. Lelaki yang sudah hidup bersamanya selama dua puluh tahun itu, kedapatan berselingkuh dengan gadis SMA. Tidak sampai itu saja, ternyata hubungan keduanya sudah jauh, sudah keterlaluan, sudah sampai di ranjang. Parahnya, gadis itu minta pertanggung jawaban atas janin yang terlanjur tumbuh subur di rahimnya.
Memalukan.
Menyakitkan.
Menghancurkan semua usaha Indira Ningrum yang mati-matian membangun image baik tentang keluarganya dengan Hendra.
Ternyata, kebaikan dan kelembutan Hendra hanyalah tameng tebal yang digunakan untuk menutupi kebusukannya. Di rumah dia adalah imam yang baik dan sabar. Dia terlihat lembut terhadap Indira. Pria itu juga sangat menyayangi putri semata wayang mereka yang kini sudah beranjak dewasa. Bahkan, umur anak yang dihamili Hendra tak jauh dari putri mereka, hanya selisih dua tahun.
Indira tak habis pikir. Bagaimana lelaki bersahaja itu bisa menjalin hubungan sejauh itu dengan gadis yang lebih pantas jadi putrinya sendiri. Indira benar-benar tak bisa menerimanya. Dia syok dan kalut.
Inginnya dia membelokkan mobil menuju pengadilan. Menggugat cerai Hendra saat ini juga, tetapi bagaimana bisa dia melihat kehancuran keluarga ini. Mau ditaruh di mana mukanya sebagai istri dan wanita karir. Bagaimana cibiran orang lain bila mengetahui berita ini. Pun nasib Alea, anaknya, juga pasti akan berantakan. Putri semata wayangnya itu tak boleh tahu, dia harus hidup dengan nyaman dan tentram.
Indira akhirnya memutuskan mengajak gadis itu bertemu di sebuah klinik kandungan ilegal. Dia terlebih dahulu membuat janji lewat telepon sambil memberi tahu kondisi gadis hamil yang kini sedang menunggunya di sana. Ini semua harus cepat selesai dalam waktu singkat. Indira sudah menyiapkan semuanya termasuk uang dengan jumlah fantastis yang dia jamin tak bisa ditolak oleh gadis itu.
Dua milyar. Harga yang akan Indira bayar untuk menutup kasus ini. Hendra tak tahu menahu keputusan yang dibuat istrinya dan gadis kemarin sore itu. Dia hanya tahu, pacar gelapnya ingin pulang kampung dan berhenti sekolah. Indira sadar, Hendra tak ingin bertanggung jawab. Dia yakin, Hendra sudah menunjukkan sifat lainnya. Sifat predator yang hanya mementingkan nafsu belaka tanpa mau tahu konsekuensinya seperti apa. Seburuk apa.
***
Indira berbelok ke sebuah bangunan putih di jalan yang cukup sepi. Perlahan dia memakirkan mobil di samping mobil lain yang terlihat familier.
Setelah turun dari mobil, Indira menatap lama kendaraan di sampingnya. Dia menatap nomor polisi dengan saksama. Hatinya berdegup sepuluh kali lipat karena mengenali nomor polisi itu. Dia yakin seratus persen, kalau itu milik Alea, putrinya.
Indira mengeluarkan ponsel dan menghubungi Alea bertubi-tubi. Setelah panggilan ke lima, telepon tersambung.
"Di mana kamu?!" bentak Indira, napasnya tersengal-sengal karena emosi.
"Di kampus, Mam. Aada apa?" jawab Alea dengan nada tenang.
"Mama lihat ada mobil kamu di klinik ilegal! Jujur Alea! Keluar kamu! Temuin mama di dep—"
Panggilan langsung terputus. Indira semakin kalut dan memutuskan masuk ke dalam.
Dia kini sudah di dalam klinik. Beberapa wanita muda sedang menunggu giliran, termasuk Juli--selingkuhan Hendra-- ketika dia melihat Indira, tangannya langsung melambai dengan wajahnya yang sedikit pucat.
Indira mengedarkan pandangan, mencari sosok Alea yang harusnya ada di sini. Namun, dia kesulitan karena lampu begitu remang. Indira memutuskan menghampiri Juli.
"Gimana kata dokter?"
"Tadi saya sudah dikasih obat lagi. Katanya sih tinggal nunggu. Tapi, tadi ada satu cewe yang mendadak pingsan, kayaknya dia keracunan obat, deh."
"A-apa?!" Indira kaget bukan main.
Dengan tangan yang bergetar, dia memegang ponsel dan membuka galeri. Dicarinya foto Alea, lalu memperbesarnya dan menunjukkan kepada Juli.
"Apa, ini orangnya?" tanya Indira, takut-takut.
Juli menatap lama dengan alis berkerut, kemudian matanya membulat sempurna dan dia mengangguk cepat.
"I-iya, dia juga ke sini mau buang j*nin di r*himnya. Sama seperti saya. Tuh, pacarnya lagi nunggu di depan ruang praktek."
Indira kehilangan tenaga. Ponselnya terjatuh begitu saja. Dia mengikuti jari Juli yang menunjuk ke arah belakang. Kakinya terasa lemas saat berdiri, jantungnya juga terus berdebar hebat.
Dengan tertatih, Indira mendekat dan melihat dengan saksama pria yang sedang tersenyum menatap layar ponsel.
"Siapa kamu?!" tanya Indira dengan nada kencang. Semua orang mulai memperhatikan dia.
Si pria muda yang sedang asyik memainkan ponsel itu terlonjak mendapati Indira yang menatapnya penuh amarah.
"Santai, woy! Buat apa Anda nanya-nanya!" katanya dengan tidak sopan.
"Apa hubungan kamu dengan Alea Pradipta?"
Bersambung
"Oh ... Lea? Dia cewek saya, kenapa?""Apa?! Jadi kamu bawa putri saya untuk menggu*urkan j*nin di sini?!"Pria muda berpakaian serba hitam itu mendadak kaku. Dia menatap Indira dari atas ke bawah dan terdiam. Ponsel di genggamannya juga terjatuh."Kurang ajar!" umpat Indira, tangannya memukul-mukul dada pria yang mengaku sebagai pacar putrinya."Apa yang kamu lakukan dengan Alea?? Saya tidak—""Aargh, sakiiiit!"Kata-kata Indira terputus saat mendengar teriakan penuh rasa sakit dari ruangan tertutup itu. Teriakan itu begitu menyayat hati, teriakan itu milik Alea, putri semata wayangnya.Mendengarkan teriakan pilu Alea, Indira berlari menuju depan ruangan praktek. Dia memukul-mukul pintu dengan sekuat tenaga seakan ingin mendobraknya sampai hancur. Perlakuannya membuat perhatian orang lain teralih dan menatapnya de
Setelah mendengar kabar buruk bak petir itu. Indira tak mampu menguasai dirinya dan menerobos masuk. Dia segera menghampiri Alea yang terlihat pucat. Tatapan anaknya begitu kosong, Alea seperti mayat hidup. Indira mengguncang tubuh Alea, mengharap respons dari putrinya. Namun, nihil. Alea tak memberikan tanda apa pun kalau dia masih sadar.Kepanikan Indira membuat tangisannya pecah dan sekarang dia meraung untuk mengalirkan sesak di dada. Bidan itu masuk lagi bersama pacar Alea."Kita harus cepat membawa Alea." Bidan itu berkata sambil merapikan tampilan Alea yang berantakan.Indira terkesiap saat sebuah tangan memegang bahunya. Dia mengalihkan pandangan ke samping dan melihat kekasih Alea yang melakukan ini."Nama saya Bian, Tante. Sekarang kita harus kesampingkan apa yang Tante rasa. Kita harus membawa Alea sebelum terlambat. Di mana mobil Tante?"Inginnya Indira marah dan memu
Sekian jam menunggu di depan UGD. Seorang dokter dan perawat keluar. Mereka meminta pihak keluarga; Indira dan Hendra untuk ikut ke ruangannya.Dokter itu menjelaskan keadaan Alea. Mereka berhasil menstabilkan fisik Alea. Namun, dokter mengatakan kalau Alea sedang terguncang. Dia butuh ke psikiater setelah pulih dari pendarahan ini.Setelah bersiskusi dengan dokter, Alea dipindahkan ke ruang rawat. Indira tak pernah lepas memantau putrinya. Hendra ijin keluar dan dia sudah menyeret Bian sampai basement."Om, saya berhak melihat keadaan Alea. Saya mau tanggung jawab dan menikahinya!""Menikah katamu? Alea tidak akan menikah, dia hanya perlu mengakhiri hubungannya denganmu. Setelah dia sembuh, saya akan mengirimnya ke luar negeri."Hendra berbalik dan menjauh.Bian berteriak, "Coba aja! Saya akan buat Alea dan keluarga kalian menderita!
Wanita itu terdiam tanpa melawan sedikit pun. Dia hanya menyunggingkan senyumannya."Untuk apa aku mengganggumu? Aku hanya mengatakan apa yang terjadi di masa lalu. Aku hanya mengatakan apa yang kau dan Indira lakukan di masa silam. Hanya itu, Hendra."Pratiwi terpancing emosi. Wanita yang memiliki bekas luka bakar di keningnya itu mencengkeram kerah baju Hendra. Air matanya mengalir, isak tangisnya mulai tertahan."Aku tak perduli. Kisah masa lalu sudah berakhir. Kita semua sudah hidup di jalan masing-masing. Kalau kau ingin memperbaikinya, mulailah dengan melupakan semuanya Pratiwi. Mulailah untuk sadar dari dunia khayalmu!""Simpan omong kosongmu, pengecut! Aku hanya butuh kau datang saat pemakaman, apa kalian sadar dengan keadaan waktu itu? Kau tertawa riang di atas penderitaanku. Kalian kejam!"Pratiwi mendorong Hendra menjauhi rumahnya. Dia terus menangis saat melakukan itu
Pagi hari di rumah sakit membuat Indira sedikit mual. Sudah tiga kali dia bolak-balik kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Namun, keadaannya tidak kunjung membaik.Dia memutuskan untuk duduk di sofa. Bersandar dengan kaki yang dinaikan ke atas. Mencoba memejamkan mata sebentar. Alea sudah sadar tadi Subuh, tetapi gadis itu tertidur lagi.Sementara Bian ijin untuk keluar mencari makanan dan mengambil baju ganti. Indira berkali-kali menyuruhnya pulang, tetapi pemuda itu bersikeras untuk tetap menemani Alea. Bukan terharu yang Indira rasakan, tetapi rasa benci yang semakin tebal. Apalagi saat mengingat kejadian di klinik, Bian tampak santai sambil menatap layar ponsel dengan senyum. Padahal, kekasihnya sedang berjuang antar hidup dan mati. Mempertanggungjawabkan kesalahan mereka hanya sendiri.Indira kembali diserang panik. Dia syok dan belum bisa kembali ke kantor. Padahal sejak tadi sekretarisnya tak berhenti mengh
Indira mundur selangkah saat mendengar pernyataan pria yang sangat dia hindari itu. "Mas Fajar?" Indira sanksi, dia bertanya untuk mengetahui apakah pria itu benar-benar mantan kekasihnya "Iya, Sayang!" jawabnya dengan wajah yang memancarkan kebahagiaan. "Stop Mas Fajar. Aku gak mau kamu dekat-dekat aku. Siapa pun kamu, jangan ganggu aku!! Untuk yang terakhir kalinya, jangan panggil aku dengan kata-kata menjijikan itu!" Indira berjalan mendahului meskipun dia mual dan akan tumbang secepatnya. Melihat masa lalu yang pernah membuatnya sakit hati tak pernah bisa dia bayangkan. Namun, sekarang kondisinya tak memungkinkan. Indira didera pusing teramat sangat. Pandangan wanita itu berkabut dan gelap. Dia limbung dan jatuh ke lantai. Kesadarannya langsung melemah. Fajar yang masih memperhatikannya sejak tadi, terkejut dengan apa yang terjadi. Dia langsung berlari mendekat dan meraih tubuh mantan kekasihnya itu. Walaupun sudah tak punya tenaga, tetap sa