*Flashback
Kelaparan dan haus telah membuatnya lupa tentang apa yang telah ia lalui. Kini yang ada dipikirannya adalah bagaimana ia mendapatkan makanan dan setetes air untuk ia minum. Jangankan untuk minum, untuk dirinya mandi dan membersihkan fasesnya saja tidak punya.Syukur-syukur kalau hari hujan, ia dapat membersihkan badannya dan minum dari air kotor itu. Sayangnya, sudah seminggu lebih tidak hujan yang membuat persediaan air menjadi habis.Dengan kepalanya yang sangat pening, Oceana berumur 16 tahun memaksa dirinya berjalan keluar untuk mencari air. Air apapun yang ia temui akan diminumnya. Tidak peduli air itu kotor atau tidak, yang terpenting baginya adalah bisa membasahi tenggorokannya dan perut terasa kenyang. Keadaan telah membuatnya tidak bisa memilih.Meskipun dirinya punya rumah —peninggalan ibu asuhnya atau tempat panti asuhan yang telah bangkrut, tetap saja ia kesulitan bertahan hidup karena tidak memiliki uang. Ia tidak mampu membayar listrik dan air yang menyebabkan rumah tersebut sudah 6 bulan listriknya dimatikan.Anak nakal, keras kepala, suka memberontak dan merasa dunia aman-aman saja. Membuatnya tidak mau belajar bagaimana cara bertahan hidup selama ini. Kenakalan remajanya di masa lalu membuatnya kini tidak memiliki apapun selain rumah itu. Hal ini mempertanyakan dirinya sendiri, apakah keputusannya di masa lalu adalah sebuah kesalahan?***“Bimo, bangun!” seru Oceana sambil menepuk lengan Bimo yang masih dibaluti selimut tebal berwarna abu-abu. Setelah mendengar erangan dari Bimo, Oceana pun membuka gorden kamar dan membuka jendela agar udara tidak sedap keluar dan udara segar masuk ke dalam.Bimo pun semakin mengomel karena wajahnya terkena sinar matahari pagi atau tepatnya menjelang siang.Oceana berdecak pinggang dan menghela napas kasar melihat Bimo yang masih bersembunyi di dalam selimut, menghindar dari sinar matahari.“Bimo masih ngantuk! Jangan bangunin Bimo, pergi sana!”Mereka saling menarik selimut satu sama lain. Akhirnya, karena kalah kekuatan, Oceana pun menggelitik badan Bimo yang membuat pria itu mau tidak mau bangun dari kasur.“Bimo masih sakit. Lihat kepala Bimo habis diperban dan tubuh Bimo masih sakit-sakit akibat kemarin,” ujarnya.“Oh, maafkan aku. Yasudah, kamu tidur saja kalau begitu. Aku akan pergi ke Taman Safir aja sendirian,” balas Oceana yang hendak meninggalkan kamar Bimo.Saat berjalan ke arah dapur untuk mencuci piring, Oceana mendengar suara Bimo yang berteriak lalu berjalan turun tangga dari kamar loteng yang dibuat oleh Kalvin. Dulunya, itu adalah loteng biasa yang dijadikan tempat gudang. Namun, saat Oceana membawa Bimo ke rumah, Kalvin pun mengubah loteng itu menjadi kamar yang minimalis dan cantik.Betapa baiknya Kalvin-nya yang dulu. Mengingat kebaikan suaminya membuat Oceana lupa apa yang telah ia dapatkan dari suaminya kemarin.“Oceana jangan datang sendirian! Bimo juga pengen pergi ke Taman mau ketemu Om Yuda,” ujarnya sambil mematikan kran air yang sedang digunakan oleh Oceana.“Kenapa kamu matiin?”“Pokoknya, Bi-bimo ikut!”“Bukannya kamu masih mau tidur? Bukannya tadi kamu bilang kalau badan kamu lagi nggak sehat? Lanjut aja saja tidurnya. Gakpapa kok, biar aku aja sendirian yang pergi.”Bimo pun mengambil piring yang sedang dicuci oleh Oceana lalu ia menjatuhkannya. Hal ini membuat Oceana gemas melihat tingkah Bimo yang merajuk karena tidak diajak ke Taman.Taman Safir merupakan tempat favorit mereka berdua. Bermain, tertawa, canda gurau dan melupakan apa yang telah mereka alami. Bahagia seakan tidak pernah mengalami hari buruk dalam hidup mereka.Setelah membersihkan rumah dan juga membujuk Bimo yang merajuk. Mereka pun berangkat ke Taman Safir menggunakan kendaraan umum.“Kamu berhenti pecahin piring rumah. Kalau Kalvin tahu, ia akan marah!”“Yasudah, kita tinggal kabur saja dari rumah,” kata Bimo sambil melihat pemandangan luar yang terus bergerak dari kaca jendela mikrolet yang sedang melaju.Oceana pun memutar bola matanya. “Mulai lagi, berhenti bicara seperti itu.”Bimo pun tidak merespon ucapan dari Oceana. Kini penumpang di dalam mikrolet semakin bertambah dan mereka duduk secara berdempetan.Bimo duduk terjepit antara dua ibu-ibu yang sedang membawa ranjang belanja. Wajahnya yang kaku dan pucat membuat Oceana tertawa melihatnya. Wanita itu tahu betul apa yang ada dipikiran Bimo. Pria itu sangat tidak suka berdempetan dengan orang lain.Itulah mengapa sebelumnya susah sekali mengajak Bimo naik mikrolet. Dia maunya pakai ojek online. Namun, sayangnya tidak bisa. Sebab uang sudah menipis, jadi harus hemat-hemat.Sesampai di depan gerbang Taman Safir. Badan Bimo berputar-putar sambil menepuk telinganya.“Bimo, tenang!”“Aahh, bimo tidak suka, Bimo tidak suka naik mikrolet. Berisik, berisik ... aah,” teriak Bimo yang terus memukul telinganya sendiri.“BIMO!” Teriakan Oceana membuat Bimo berhenti gelisah.Untuk sejenak ada keheningan di antara keduanya, setelah itu Bimo melepaskan tangan Oceana dan ia pergi masuk ke dalam taman sambil mengabaikan Oceana.Oceana hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi sikap Bimo. Mereka pun masuk ke dalam Taman Safir.Ada beberapa anak-anak dan tiga orang dewasa sedang berkumpul di bawah salah satu pohon paling besar di taman tersebut. Mereka sedang berebut untuk mendapatkan giliran agar si penjual Ice cream membuatkan pesanan mereka.Terlihat dari kejauhan ada seorang ibu berambut pendek dengan kaos biru yang sangat ketat. Cetakan tubuh yang penuh lemak itu terlihat jelas. Dia sangat tidak sabaran sampai menahan kuat anaknya agar tidak pergi ke mana-mana.“Yuk, kita ke sana!”Oceana kembali menarik Bimo menuju tempat si penjual Ice cream. Mereka menunggu antrian dengan sabar.Selama menunggu, Bimo sibuk bermain dengan teman baru yang sedang bertengger di batang pohon. Teman barunya berwarna putih, punya sayap dan paruh. Dia mengajak bicara dan kadang memberi lelucon pada burung merpati.Hal ini membuat anak-anak di sekitar tertawa melihat tingkah lakunya. Akan tetapi, Bimo tidak memperdulikan hal tersebut. Jika dia sudah fokus pada satu hal, ia akan mengabaikan yang lainnya.Sementara Oceana sudah gilirannya untuk memesan ice cream. “Aku pesan ice cream seperti biasanya.”“Oke siap!” seru si penjual ice cream sambil menyendok cream yang dingin dan memasukkannya ke dalam cone. “Kenapa lagi dengan wajah lebammu itu?”Oceana langsung menutup wajah lebamnya dengan syal. “Luka biasa.”“Jangan bohong. Aku tahu ini pasti ulah suami brengsekmu itu lagi, kan? Apa lagi masalahnya?”“Cuman masalah telat pulang rumah.”Penjual ice cream bernama Yuda itu menghela napas kasar dan menyendok ice cream dengan kasar. Ia sangat kesal dengan Kalvin. “Sudahlah, nyerah saja! Tinggalkan lelaki pengecut itu. Kau tidak kasihan sama dirimu dan Bimo yang setiap hari ada saja luka memar.”“Aku tidak akan meninggalkannya sampai aku menemukan penyebabnya. Aku yakin, jika kutemukan penyebabnya pasti aku bisa merubahnya kembali seperti dulu lagi.”“Mustahil!” sanggah Yuda sambil menyodorkan ice cream yang telah ia buat. “Orang seperti dia mustahil bakal berubah. Itu sudah menjadi kebiasannya yang sulit untuk ditinggalkan. Percayalah sama, Om!”Oceana tidak merspon pernyataan Om Yuda. Dia masih tegas dengan pendiriannya sendiri. Dia menganggap bahwa dirinya lebih tahu suaminya dibanding orang lain.Setelah membuat pesanan terakhir untuk Bimo. Om Yuda pun pergi duduk di kursi panjang yang ada di samping kiri gerobaknya. Ia menyeka keringatnya dengan handuk sambil menatap lapangan rumput hijau yang luas.“Kalvin sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja saat ini. Kau tahu, jika seseorang dalam fase stress berat, temperamen buruknya akan semakin parah. Aku takut-“Oceana memotong pembicaraan Om Yuda. “Apa maksud Om Yuda bahwa Kalvin sedang tidak baik-baik saja?”“Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya?”“Apa Kalvin tidak pernah menceritakan masalah tersebut padamu?” tanya Om Yuda yang langsung dibalas Oceana dengan kepala menggeleng. “Suami-istri macam apa kalian berdua. Masa masalah keuangan suami sendiri nggak tahu?” “Kalvin tidak menceritakan apapun padaku. Emangnya ada apa?” “Suami brengsekmu itu telah jadi korban penipuan tiga bulan yang lalu. Hal itu memberi dampak buruk pada studio fotonya yang sedang terancam gulung tikar. Meskipun ia masih punya klien, tapi itu tidak mampu menutupi kerugian yang begitu banyak,” terang OmYuda. “Seberapa banyak kerugiannya?” Om Yuda melipat kedua tangannya di dada. Keningnya mengkerut sambil menatap langit. Mencoba mengingat angka-angka yang hendak menelan Kalvin. “Kira-kira ada sekitar 500-an juta.” “Apa?!” seru Oceana yang langsung beranjak dari kursi yang baru saja ia duduki. Ice creamnya telah meleleh di tangan kanannya sedari tadi. Matanya melotot dan mulut menganga. Ia tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Ia mempertanyakan te
“Ah ... tidak!” teriak Oceana sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang menyilang. Dengan reflek ia menutupi wajahnya dari benda tajam yang hendak melayang ke arahnya.Untungnya hal itu tidak terjadi. Sebab Bimo langsung berlari dan memukul Kalvin dari belakang menggunakan panci yang berbahan tebal.Hal ini menyebabkan Kalvin langsung pingsan karena Bimo memukulnya tepat di bagian tulang tengkuk. Yang mana area itu sangat rentan sekali untuk dipukuli, karena hal itu dapat mengakibatkan aliran darah dan saraf dari tengkuk ke otak terhenti sesaat yang menyebabkan seseorang pingsan.“Kalvin!” pekik Oceana yang dengan spontan membangunkan suaminya. “Bimo, bagaimana ini?”“Apa dia mati?” tanya Bimo dengan polosnya. Ia pun tiba-tiba menjatuhkan panci dan berteriak, “aah ... Bimo sudah membunuh Kalvin. Bimo sudah membunuh Kalvin.”Oceana dengan panik langsung memeriksa kepala suaminya.“Syukurlah tidak berakibat fatal.” Oceana langsung berdiri dan menenangkan Bimo yang berlarian di
Keadaan rumah kembali kacau. Lantai dipenuhi serpihan kaca yang berserak di mana-mana. Di tengah serpihan kaca terdapat batu besar. Sepertinya ada yang sengaja melempar batu itu ke rumah mereka.Oceana langsung berlari mendekati Bimo yang sedang ketakutan. Berusaha untuk menenangkan pria tersebut.Sementara Kalvin berjalan mendekati kaca yang pecah. Dengan hati-hati berjalan, ia mencoba mengintip ke luar jendela. Entah kenapa lampu di luar mati, padahal sebelumnya ia merasa bahwa di teras lampunya menyala.Kalvin dapat menyadari bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja. Saat Kalvin mencoba untuk membuka pintu rumah, tiba-tiba segerombolan pria besar dan berpakaian hitam langsung menerobos masuk ke dalam rumah mereka.“Kalian siapa?” teriak Kalvin dengan raut wajah yang sangat geram. Ia menarik kerah salah satu gerombolan pria itu. Badannya sedikit pendek dari Kalvin, tapi tubuhnya tidak kalah berotot.Sebelum pria itu menjawab pertanyaan Kalvin, lalu masuklah seorang pria tua denga
"Bimo, ayo sadar! Aku mohon," pinta Oceana dengan tangan gemetar saat memegang kepala Bimo yang sudah berlumuran darah. Air matanya telah bercampur dengan cairan kental itu."Aku minta maaf ... maafkan aku, Bimo!" Dengan tubuh kecilnya itu, ia berusaha untuk mengangkat tubuh Bimo yang sudah tak berdaya. Berulang kali ia coba, namun tetap saja tubuh Bimo selalu jatuh dari punggungnya. Ia semakin panik dan merasa bersalah karena semakin memperburuk keadaan.Tangis semakin pecah. "aah aku harus bagaimana. Aku tidak tahu. Bimo, maafkan aku."Dengan gigih, Oceana mencoba sekali lagi mengangkat Bimo ke punggungnya. Kali ini berhasil. Hanya saja kakinya kesulitan untuk membawa tubuh Bimo ke arah pintu. "Bimo, aku mohon bertahanlah," bisiknya sambil tertatih membawa tubuh Bimo yang masih terkulai. Darah Bimo tidak berhenti menetes hingga memberi tanda tiap jalan yang mereka lewati. Kali ini, Kalvin benar-benar seperti orang kesetanan. Ia menyiksa Bimo tanpa ampun.Malam ini, Oceana tidak me
"Apa kau tidak akan melaporkannya ke polisi?” Oceana mendongakkan kepalanya dan menatap lurus sepasang mata yang sangat tajam. Keringatnya jatuh mengalir melewati pelipis matanya. Dia pun menyisir rambutnya yang lepek dan kusut ke arah belakang. Dengan lirih ia menjawab, “aku tidak akan melakukannya.”“Kenapa? Kau meyakini bahwa itu hanyalah kesalahan yang tidak disengaja? Atau kau meyakini harimau tidak akan memangsa lagi?”“Dia sedang tidak baik-baik saja.”“Bajingan itu?”“Dia bukan bajingan,” jawab Oceana dengan tenggorokannya yang tersekat. Ia tidak yakin dengan omongannya sendiri. Dia sendiri sering menyebut lelakinya seorang bajingan, tapi entah kenapa ia tidak menyukai kata tersebut keluar dari orang lain.“Di depan rumahku, kau ketakutan kehilangan pria idiot itu. Sekarang, kau mengkhawatirkan pria yang telah melakukan hal keji itu pada si pria idiot. sebenarnya apa yang kau inginkan?” tanya Nyai Arumi yang masih berdiri dengan kedua tangan dilipat di dadanya. Rambutnya ya
Dalam keadaan terpojok, Oceana tidak bisa berpikir jernih. Ia menekan kuku jempolnya sampai memutih. Kegugupannya tidak bisa terhindari.Sebelum masalah semakin rumit, Nyai Arumi maju. Setelah ia menyaksikan kebodohan Oceana yang berusaha menutupi kejahatan suaminya, Nyai Arumi melangkahkan kaki mendekati mereka sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.“Dokter, bisa kita bicara berdua empat mata?”tanya Nyai Arumi dengan suaranya yang terasa dingin.“Anda siapa?”“Anggap saja saya adalah wali mereka.”“Anggap?” tanyanya lagi dengan keheranan“Anda tidak perlu khawatir, masalah mereka biar saya yang tangani,” ujar Nyai Arumi sambil merogoh sesuatu dari dalam tas kecilnya yang berwarna coklat. Kemudian, ia menyodorkan benda segi panjang ke arah dokter tersebut.Dokter itu meraihnya dengan raut wajah yang masih kebingungan. “Apa ini?”Keningnya mengkerut saat membaca kartu pengenal Nyai Arumi. Sesekali ia memandang wajah Nyai lalu kembali menatap tulisan
Saat itu ia berjalan kaki tanpa alas. Tidak peduli kakinya telah penuh luka dan berdarah, ia tetap berlari maju ke depan tanpa melihat ke belakang. Suara yang terus memanggil dan mengejarnya telah menjadi keputusasaan dalam dirinya yang terus berlari.Air mata tak terbendung lagi. Ketakutan ikut berlari mengikuti tiap jejaknya. Oceana melihat sebuah gang kecil dan masuk ke dalamnya. Sebisa mungkin ia tidak terlihat oleh segerombolan pria itu.“Aku mohon. Aku mohon berhenti mengejarku.”Suara segerombolan pria itu tertawa. Mereka berlari dalam keadaaan mabuk. Jadi, tidak begitu cepat mengejar Oceana. Hanya para lelaki itu tidak menyerah dan masih mengikutinya.“Aku kotor, aku kotor. Kalian akan jijik menyentuhku. Aku mohon!” ucapnya dengan isak tangis.“Selama berlari, Oceana masuk ke dalam perkarangan rumah orang asing. Pagar kayu yang tidak dikunci itu, ia segera bersembunyi di balik pohon perkarangan rumah orang asing. Urusan dimarahi oleh pemilik rum
Sebelum menjelaskan kebingungannya terhadap satpam itu, Oceana menghentikan kalimatnya saat ia melihat sesosok pria sedang berjalan menuju pagar. Kini, ia mengerti mengapa satpam itu mengatakan bahwa Oceana sudah membuat janji dengan Nyai Arumi padahal kedatangannya secara mendadak. Ini dikarenakan ada Kalvin yang telah menemui Nyai Arumi, hingga membuat satpam itu berpikir bahwa Oceana ikut bersama suaminya untuk menemui Nyai Arumi.Melihat ekspresi Kalvin, tampaknya pria bertubuh tinggi itu juga terkejut melihat Oceana yang sedang berdiri di dekat pos satpam.“Kenapa kamu ada di sini?”tanya Kalvin sambil berjalan mendekati Oceana.“Bukankah seharusnya aku yang bertanya hal itu padamu? Ada urusan apa kamu dengan Nyai Arumi?”“Apa kamu datang ke sini untuk memohon pada wanita tua itu?” tanya Kalvin sambil memnunjuk ke dalam rumah.Oceana bingung apa yang ingin dikatakan suaminya Ia pun memegang tangan Kalvin dan menariknya keluar dari rumah Nyai Arumi agar p
Sudah berapa banyak pakaian yang ia keluarkan dari lemarinya hingga membuat kondisi kamar Oceana sangat berantakan. Ia sangat kebingungan harus memakai pakaian seperti apa untuk berangkat bekerja. Ini adalah pertama kalinya ia berkeja selama ia hidup. Mengganti baju dari warna coklat ke merah, merah ke pink, pink ke hitam. Dari gaun selutut ke baju kodok. Baju kodok ke celana lepis dan baju kaos polos. Kebingungan ini tidak ada hentinya. Ia merasa tidak puas dan juga ragu. Apakah pakaian ini pantas untuk berkerja atau pakaian ini terlalu informal untuk bekerja. Berbagai macam pertanyaan yang terus terlintas di pikirannya. Kalvin yang sudah selesai bersiap-siap untuk berangkat kerja, ia pun geleng-geleng kepala dan menghampiri istrinya yang masih sibuk berpose di depan cermin. “Kamu itu hanya jadi pelayan restoran bukan model. Lihatlah kekacauan pagi yang kamu lakukan,”sindir Kalvin yang langsung melempar pantatnya ke atas kasur yang udah dipenuhi pakaian yang berserakan. “Ini pe
Dia hanya memanggilnya, tetapi Oceana sudah merasa siap mendapatkan hal buruk akan terjadi padanya. Hal buruk yang sudah menjadi kebiasaan yang siap ia hadapi.“Apa kamu sudah memutuskan untuk menjadi karyawan wanita tua itu?” tanya Kalvin yang terus menatapnya dengan penuh seksama. Rasanya ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya hingga membuatnya sulit untuk menelan air liurnya. Ada rasa kelegaan suaminya tidak menyadari Oceana mengambil ponsel secara diam-diam, Hanya saja di sisi lain, ketegangan masih terasa karena Kalvin tiba-tiba membahas Nyai Arumi.“Seperti yang aku bilang tadi sore, bukankah dengan adanya aku bekerja, itu dapat membantumu mengatasi keuangan?”Terdengar hembusan kasar dari mulut Kalvin. Pria berjanggut itu meletakkan kamera ke atas meja. Lalu, ia kembali menatap istrinya sambil menggosok-gosok alisnya. “Apa kamu sedang meremehkanku saat ini? Setelah melihat kejadian kemarin, kamu menganggap aku pria lemah yang tidak mampu mengatasi hal tersebut?”“Ti-ti
Suasana yang sangat menegangkan. Semua orang yang ada di sana bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di lorong tersebut. Sebagian ada yang kesal karena telah menganggu keluarganya yang sedang sakit. Sebagian ada yang merasa ketakutan karena takut terjadi sesuatu pada pasien. Ada juga yang takut karena memikirkan pikiran yang liar, seperti halnya Bimo yang mengamuk itu bisa saja sewaktu-waktu menyerang mereka.Ada seorang bapak berkepala botak setengah mencoba untuk mendekati Bimo yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan.“Hei, nak! Berhenti lakukan itu, kepalamu sudah mengeluarkan banyak darah!”teriak Bapak tersebut. “Hei! Siapapun bantu saya hentikan dia! Di mana perawat? Perawatnya mana nih!”Ada seorang pemuda lainnya yang memiliki jenggot tipis perlahan-lahan mendekati dan mencoba membantu Bapak botak itu. Melihat aksi anak muda itu, barulah dua orang lainnya maju untuk menolong dan menghentikan kegilaan Bimo.Trauma
"Kita tidak bisa membawanya bersama kita lagi, aku sudah tidak sanggup," ucapnya sambil menangis."Tetapi kita tidak bisa melepas tanggung jawab begitu saja!"Wanita itu mengusap wajahnya yang sedikit keriput. Ia mengusap air matanya yang terus mengalir. "Aku salah. Aku salah membiarkanmu membawanya ke rumah. Mengurus orang lansia saja susah, apalagi ngurus orang cacat seperti dia." "Sarti! Jaga mulutmu itu!" Wanita yang disebut Sarti itu langsung terdiam. Ia mencekram kedua tangannya dan langsung menunduk saat suaminya yang jarang marah tiba-tiba membentaknya. "Sekarang, lebih baik kita pulang dan membawanya kembali." Pria yang rambutnya sudah memutih itu langsung menarik lengan Bimo, namun hal itu langsung dihentikan oleh wanita tadi. Wanita yang merupakan istrinya pun berteriak. "Sarti! Berhenti berteriak, kau menakutinya!" Bimo ketakutan dan mundur kemudian menutup telinganya. Ia berulang kali memukul telinganya dan gelisah. Pria tua itu langsung berusaha untuk menenangkan Bi
Dia berusaha mencari arti dari sikap Nyai Arumi. Semakin ia cari, semakin sulit ia memahaminya. Oceana berjalan perlahan keluar dari rumah Nyai dengan pikirannya yang begitu rumit seperti benang kusut yang begitu sulit untuk diurai. Oceana turun dari tangga dan melewati air pancur. Meskipun ia sedang berjalan namun pikirannya masih berkelana dengan keputusasaannya untuk mengikuti keinginan Nyai Arumi. Kini, di dalam pikirannya ia bertanya-tanya tentang bagaimana cara ia menghadapi semua itu. Mungkin bagi orang-orang bahwa hal ini adalah hal yang mudah untuk dihadapi. Akan tetapi, bagi Oceana ini sangat berat. Ada begitu banyak ketakutan tentang masa depan dan kebingungannya menghadapi situasi yang baru. Dia tidak terbiasa dengan sesuatu yang menantang dalam hidupnya. Ia tidak tahu cara menghadapinya. Ada begitu banyak kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. “Neng, sudah selesai bertemu Nyai?” tanya satpam itu sambil membukakan pagar untuk Oceana. Oceana yang sedang
Sebelum menjelaskan kebingungannya terhadap satpam itu, Oceana menghentikan kalimatnya saat ia melihat sesosok pria sedang berjalan menuju pagar. Kini, ia mengerti mengapa satpam itu mengatakan bahwa Oceana sudah membuat janji dengan Nyai Arumi padahal kedatangannya secara mendadak. Ini dikarenakan ada Kalvin yang telah menemui Nyai Arumi, hingga membuat satpam itu berpikir bahwa Oceana ikut bersama suaminya untuk menemui Nyai Arumi.Melihat ekspresi Kalvin, tampaknya pria bertubuh tinggi itu juga terkejut melihat Oceana yang sedang berdiri di dekat pos satpam.“Kenapa kamu ada di sini?”tanya Kalvin sambil berjalan mendekati Oceana.“Bukankah seharusnya aku yang bertanya hal itu padamu? Ada urusan apa kamu dengan Nyai Arumi?”“Apa kamu datang ke sini untuk memohon pada wanita tua itu?” tanya Kalvin sambil memnunjuk ke dalam rumah.Oceana bingung apa yang ingin dikatakan suaminya Ia pun memegang tangan Kalvin dan menariknya keluar dari rumah Nyai Arumi agar p
Saat itu ia berjalan kaki tanpa alas. Tidak peduli kakinya telah penuh luka dan berdarah, ia tetap berlari maju ke depan tanpa melihat ke belakang. Suara yang terus memanggil dan mengejarnya telah menjadi keputusasaan dalam dirinya yang terus berlari.Air mata tak terbendung lagi. Ketakutan ikut berlari mengikuti tiap jejaknya. Oceana melihat sebuah gang kecil dan masuk ke dalamnya. Sebisa mungkin ia tidak terlihat oleh segerombolan pria itu.“Aku mohon. Aku mohon berhenti mengejarku.”Suara segerombolan pria itu tertawa. Mereka berlari dalam keadaaan mabuk. Jadi, tidak begitu cepat mengejar Oceana. Hanya para lelaki itu tidak menyerah dan masih mengikutinya.“Aku kotor, aku kotor. Kalian akan jijik menyentuhku. Aku mohon!” ucapnya dengan isak tangis.“Selama berlari, Oceana masuk ke dalam perkarangan rumah orang asing. Pagar kayu yang tidak dikunci itu, ia segera bersembunyi di balik pohon perkarangan rumah orang asing. Urusan dimarahi oleh pemilik rum
Dalam keadaan terpojok, Oceana tidak bisa berpikir jernih. Ia menekan kuku jempolnya sampai memutih. Kegugupannya tidak bisa terhindari.Sebelum masalah semakin rumit, Nyai Arumi maju. Setelah ia menyaksikan kebodohan Oceana yang berusaha menutupi kejahatan suaminya, Nyai Arumi melangkahkan kaki mendekati mereka sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.“Dokter, bisa kita bicara berdua empat mata?”tanya Nyai Arumi dengan suaranya yang terasa dingin.“Anda siapa?”“Anggap saja saya adalah wali mereka.”“Anggap?” tanyanya lagi dengan keheranan“Anda tidak perlu khawatir, masalah mereka biar saya yang tangani,” ujar Nyai Arumi sambil merogoh sesuatu dari dalam tas kecilnya yang berwarna coklat. Kemudian, ia menyodorkan benda segi panjang ke arah dokter tersebut.Dokter itu meraihnya dengan raut wajah yang masih kebingungan. “Apa ini?”Keningnya mengkerut saat membaca kartu pengenal Nyai Arumi. Sesekali ia memandang wajah Nyai lalu kembali menatap tulisan
"Apa kau tidak akan melaporkannya ke polisi?” Oceana mendongakkan kepalanya dan menatap lurus sepasang mata yang sangat tajam. Keringatnya jatuh mengalir melewati pelipis matanya. Dia pun menyisir rambutnya yang lepek dan kusut ke arah belakang. Dengan lirih ia menjawab, “aku tidak akan melakukannya.”“Kenapa? Kau meyakini bahwa itu hanyalah kesalahan yang tidak disengaja? Atau kau meyakini harimau tidak akan memangsa lagi?”“Dia sedang tidak baik-baik saja.”“Bajingan itu?”“Dia bukan bajingan,” jawab Oceana dengan tenggorokannya yang tersekat. Ia tidak yakin dengan omongannya sendiri. Dia sendiri sering menyebut lelakinya seorang bajingan, tapi entah kenapa ia tidak menyukai kata tersebut keluar dari orang lain.“Di depan rumahku, kau ketakutan kehilangan pria idiot itu. Sekarang, kau mengkhawatirkan pria yang telah melakukan hal keji itu pada si pria idiot. sebenarnya apa yang kau inginkan?” tanya Nyai Arumi yang masih berdiri dengan kedua tangan dilipat di dadanya. Rambutnya ya