Suasana yang sangat menegangkan. Semua orang yang ada di sana bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di lorong tersebut. Sebagian ada yang kesal karena telah menganggu keluarganya yang sedang sakit. Sebagian ada yang merasa ketakutan karena takut terjadi sesuatu pada pasien. Ada juga yang takut karena memikirkan pikiran yang liar, seperti halnya Bimo yang mengamuk itu bisa saja sewaktu-waktu menyerang mereka.
Ada seorang bapak berkepala botak setengah mencoba untuk mendekati Bimo yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
“Hei, nak! Berhenti lakukan itu, kepalamu sudah mengeluarkan banyak darah!”teriak Bapak tersebut. “Hei! Siapapun bantu saya hentikan dia! Di mana perawat? Perawatnya mana nih!”
Ada seorang pemuda lainnya yang memiliki jenggot tipis perlahan-lahan mendekati dan mencoba membantu Bapak botak itu. Melihat aksi anak muda itu, barulah dua orang lainnya maju untuk menolong dan menghentikan kegilaan Bimo.
Trauma
Dia hanya memanggilnya, tetapi Oceana sudah merasa siap mendapatkan hal buruk akan terjadi padanya. Hal buruk yang sudah menjadi kebiasaan yang siap ia hadapi.“Apa kamu sudah memutuskan untuk menjadi karyawan wanita tua itu?” tanya Kalvin yang terus menatapnya dengan penuh seksama. Rasanya ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya hingga membuatnya sulit untuk menelan air liurnya. Ada rasa kelegaan suaminya tidak menyadari Oceana mengambil ponsel secara diam-diam, Hanya saja di sisi lain, ketegangan masih terasa karena Kalvin tiba-tiba membahas Nyai Arumi.“Seperti yang aku bilang tadi sore, bukankah dengan adanya aku bekerja, itu dapat membantumu mengatasi keuangan?”Terdengar hembusan kasar dari mulut Kalvin. Pria berjanggut itu meletakkan kamera ke atas meja. Lalu, ia kembali menatap istrinya sambil menggosok-gosok alisnya. “Apa kamu sedang meremehkanku saat ini? Setelah melihat kejadian kemarin, kamu menganggap aku pria lemah yang tidak mampu mengatasi hal tersebut?”“Ti-ti
Sudah berapa banyak pakaian yang ia keluarkan dari lemarinya hingga membuat kondisi kamar Oceana sangat berantakan. Ia sangat kebingungan harus memakai pakaian seperti apa untuk berangkat bekerja. Ini adalah pertama kalinya ia berkeja selama ia hidup. Mengganti baju dari warna coklat ke merah, merah ke pink, pink ke hitam. Dari gaun selutut ke baju kodok. Baju kodok ke celana lepis dan baju kaos polos. Kebingungan ini tidak ada hentinya. Ia merasa tidak puas dan juga ragu. Apakah pakaian ini pantas untuk berkerja atau pakaian ini terlalu informal untuk bekerja. Berbagai macam pertanyaan yang terus terlintas di pikirannya. Kalvin yang sudah selesai bersiap-siap untuk berangkat kerja, ia pun geleng-geleng kepala dan menghampiri istrinya yang masih sibuk berpose di depan cermin. “Kamu itu hanya jadi pelayan restoran bukan model. Lihatlah kekacauan pagi yang kamu lakukan,”sindir Kalvin yang langsung melempar pantatnya ke atas kasur yang udah dipenuhi pakaian yang berserakan. “Ini pe
Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam. Waktu terus berjalan tanpa henti. Dengan keputusasaan, wanita itu sudah mengunjungi berbagai tempat di kota, tempat yang ia yakini seseorang yang ia cari ada di sana. Lelah dan lapar tidak membuat wanita itu menyerah untuk mencarinya. Kini, angin perlahan semakin kencang mengembus gaun biru sutra dan rambut panjangnya. Tidak karena waktu sudah malam tetapi cuaca sudah mulai menunjukkan langit akan membasahi tanah. Wanita itu menghela napas kasar, ia tidak mungkin melanjutkan pencarian jika ia kehujanan. Kehujananan akan membuatnya menjadi mati konyol karena kedinginan atau jatuh sakit. Dia harus mencari tempat untuk berlindung dari cuaca yang dingin. Mencari pria itu membuatnya lupa dengan dirinya sendiri. Mestinya, ia mencari tempat tinggal terlebih dahulu bukan mencarinya. Ia terlalu semangat hingga lupa dengan dirinya sendiri. Hujan tiba-tiba turun dengan deras dan angin semakin kencang, dia pun berlari di sepanjang koridor unt
Mereka bukanlah sepasang kekasih dan juga bukan sedarah yang membuat mereka saling terikat. Mereka hanya pria dan perempuan yang saling bergantung satu sama lain. Dunia pun sulit untuk memahami hubungan mereka. Bagi wanita itu, dia adalah segalanya.“Kamu mau beli apa, sih? Ini sudah dua jam kita berada di sini tapi mengapa tidak ada satu pun yang kamu pilih? Cuman pegang-lihat, pegang-liat doang sedari tadi,” ujarnya sambil mengekor Bimo.“Oceana tidak akan mengerti kalau aku jelaskan,” respon Bimo yang pandangannya masih sibuk mencari produk yang ia suka.“Wah, kamu meremehkanku!”“Oceana bodoh.”“Kamu benar-benar menyebalkan!”Oceana pun memutar bola matanya, ia akui dirinya tidak begitu mengerti soal seni lukis. Dalam bentuk seni lainnya, ia juga tidak mengerti. Jika tangannya disuruh untuk menari di atas kanvas atau kertas, percayalah, langit akan menyuruhnya berhenti untuk mencoba. Gambar yang buruk. Bimo selalu memarahinya soal itu.“Sampai kapan kita di sini? Aku harus cepat
“Hei! Kamu mengacaukan toko saya. Ganti rugi!” “Saya bisa merapikannya tanpa perlu ganti rugi. Kayaknya gak ada yang rusak,” tolak Oceana dengan tegas. Oceana yakin bahwa tidak ada barang yang perlu untuk diganti. Dirapikan seperti semula tidak akan ada yang rusak. Selain yakin akan hal itu, Oceana tidak memiliki uang yang cukup untuk mengganti barang-barang yang dijatuhkan oleh Bimo. Satu spidol saja harganya ada yang lima ribu sampai sepuluh ribu. Sementara spidol dan yang lainnya ada sekitar ratusan buah. Jika dikalikan, itu bisa sampai jutaan. Mana sanggup Oceana mengganti dengan harga segitu. Uang sakunya saja tidak sampai segitu. Dia hanya ibu rumah tangga yang mengantungkan penghasilan dengan suami. Jika suaminya mengetahui masalah ini, bisa tamat riwayatnya. Hal yang paling ditakuti adalah Kalvin bisa menyakiti Bimo. Oceana masih bersikeras kalau dirinya tidak perlu mengganti rugi. Barang itu masih bagus dan layak untuk diperdagangkan. “Aku akan bertanggung jawab untuk me
Pintu itu terasa sangat menakutkan. Adrenalin meningkat tiap langkah semakin mendekat ke arah pintu berwarna coklat.Bukan rasa lega setelah melawati pagar tosca itu, tetapi ketakutan semakin menyelimuti jiwa Oceana.Kegugupan membuatnya terus menekan kuku jempolnya dengan jari telunjuk. Alasan apa yang harus ia berikan kalau suaminya sudah ada di rumah. Sebuah ketakutan yang hampir tiap hari menjadi konsumsinya."Semoga Kalvin belum pulang." Sebuah kalimat yang berulang kali terucap di bibir wanita itu. Mungkin angin telah bosan mendengar ucapan yang terus menerus terlontar.Ketika tangan menyentuh gagang pintu, rasanya gagang pintu itu terasa sangat berat daripada mengangkat lima kilo karung beras. Keraguan membuatnya sangat berat memasuki rumah yang entah apa yang akan terjadi di dalamnya.Saat membuka pintu dan masuk ke dalamnya, ada keheningan yang telah menyambut hingga membuat jantungnya ingin meloncat dari kerangka tulangnya. Ia melihat sesosok pria yang tidak diharapkan sudah
Dada terasa sesak, Oceana tidak habis pikir dengan sikap Kalvin yang tidak kenal ampun. Bagaimana bisa ia jatuh cinta dengan pria seperti itu. Padahal sikap awal Kalvin sangat manis meskipun posesif. Siapa sangka pria ini berubah begitu drastis.“Berhenti Kalvin! Apa kau sudah gila?!” teriak Oceana sambil berjalan mendekati suaminya. Hatinya sangat pilu melihat Bimo menjerit kesakitan dengan kulit yang melepuh oleh batang rokok menyala.“Apa sayang? Aku hanya memberikan hadiah pada Bimo sekaligus matiin rokoknya sesuai keinginannya."Kalvin semakin kuat menekan rokok di perut Bimo. “Ampun Kalvin!”“Bukankah ini yang kamu inginkan?”Dengan verbal tidak mempan, Oceana pun langsung bertindak dengan menarik lengan Bimo yang sudah memberontak. Tenaga Kalvin sangat kuat hingga Bimo sulit lepas dari Kalvin yang berusaha melepaskan diri. Namun, Oceana tidak menyerah merebut Bimo dari suaminya. Ia tetap menarik Bimo sekuat tenaga sampai Bimo terlepas dari suaminya hingga mereka terjatuh ke lan
Luka lebam telah menyelimuti tubuh dan wajah Oceana dan Bimo. Namun, luka-luka tersebut tak seberapa jika dibandingkan rasa sakit yang luar biasa yang ada di dalam hati mereka. Harga diri mereka telah dijatuhkan. Batin mereka telah dipermainkan. Mental mereka sedang diuji.Oceana mencoba menahan air matanya jatuh dan berusaha tersenyum di depan Bimo yang terbaring di atas kasur. Wanita berambut hitam bergelombang itu mengobati luka-luka Bimo. Tiap Bimo mengeluarkan suara keluh membuat hati Oceana terasa hancur.“Maafkan ... aku,” ucap Oceana dengan terbata-bata.“Ini salah Kalvin bukan Oceana. Dia yang ha-harus minta maaf sama kita. Bukan Oceana.”“Tapi....” Perkataanya terhenti dikarenakan menahan sesak di dada seakan ada yang sedang mengikatnya dengan sangat kencang. Ia tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Rasa bersalah terhadap Bimo menghantamnya berulang kali.Rasa bersalah itu tidak mengantarkannya pada sebuah pencerahan melainkan rasa bingung. Bingung bagaimana ia harus mene
Sudah berapa banyak pakaian yang ia keluarkan dari lemarinya hingga membuat kondisi kamar Oceana sangat berantakan. Ia sangat kebingungan harus memakai pakaian seperti apa untuk berangkat bekerja. Ini adalah pertama kalinya ia berkeja selama ia hidup. Mengganti baju dari warna coklat ke merah, merah ke pink, pink ke hitam. Dari gaun selutut ke baju kodok. Baju kodok ke celana lepis dan baju kaos polos. Kebingungan ini tidak ada hentinya. Ia merasa tidak puas dan juga ragu. Apakah pakaian ini pantas untuk berkerja atau pakaian ini terlalu informal untuk bekerja. Berbagai macam pertanyaan yang terus terlintas di pikirannya. Kalvin yang sudah selesai bersiap-siap untuk berangkat kerja, ia pun geleng-geleng kepala dan menghampiri istrinya yang masih sibuk berpose di depan cermin. “Kamu itu hanya jadi pelayan restoran bukan model. Lihatlah kekacauan pagi yang kamu lakukan,”sindir Kalvin yang langsung melempar pantatnya ke atas kasur yang udah dipenuhi pakaian yang berserakan. “Ini pe
Dia hanya memanggilnya, tetapi Oceana sudah merasa siap mendapatkan hal buruk akan terjadi padanya. Hal buruk yang sudah menjadi kebiasaan yang siap ia hadapi.“Apa kamu sudah memutuskan untuk menjadi karyawan wanita tua itu?” tanya Kalvin yang terus menatapnya dengan penuh seksama. Rasanya ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya hingga membuatnya sulit untuk menelan air liurnya. Ada rasa kelegaan suaminya tidak menyadari Oceana mengambil ponsel secara diam-diam, Hanya saja di sisi lain, ketegangan masih terasa karena Kalvin tiba-tiba membahas Nyai Arumi.“Seperti yang aku bilang tadi sore, bukankah dengan adanya aku bekerja, itu dapat membantumu mengatasi keuangan?”Terdengar hembusan kasar dari mulut Kalvin. Pria berjanggut itu meletakkan kamera ke atas meja. Lalu, ia kembali menatap istrinya sambil menggosok-gosok alisnya. “Apa kamu sedang meremehkanku saat ini? Setelah melihat kejadian kemarin, kamu menganggap aku pria lemah yang tidak mampu mengatasi hal tersebut?”“Ti-ti
Suasana yang sangat menegangkan. Semua orang yang ada di sana bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di lorong tersebut. Sebagian ada yang kesal karena telah menganggu keluarganya yang sedang sakit. Sebagian ada yang merasa ketakutan karena takut terjadi sesuatu pada pasien. Ada juga yang takut karena memikirkan pikiran yang liar, seperti halnya Bimo yang mengamuk itu bisa saja sewaktu-waktu menyerang mereka.Ada seorang bapak berkepala botak setengah mencoba untuk mendekati Bimo yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan.“Hei, nak! Berhenti lakukan itu, kepalamu sudah mengeluarkan banyak darah!”teriak Bapak tersebut. “Hei! Siapapun bantu saya hentikan dia! Di mana perawat? Perawatnya mana nih!”Ada seorang pemuda lainnya yang memiliki jenggot tipis perlahan-lahan mendekati dan mencoba membantu Bapak botak itu. Melihat aksi anak muda itu, barulah dua orang lainnya maju untuk menolong dan menghentikan kegilaan Bimo.Trauma
"Kita tidak bisa membawanya bersama kita lagi, aku sudah tidak sanggup," ucapnya sambil menangis."Tetapi kita tidak bisa melepas tanggung jawab begitu saja!"Wanita itu mengusap wajahnya yang sedikit keriput. Ia mengusap air matanya yang terus mengalir. "Aku salah. Aku salah membiarkanmu membawanya ke rumah. Mengurus orang lansia saja susah, apalagi ngurus orang cacat seperti dia." "Sarti! Jaga mulutmu itu!" Wanita yang disebut Sarti itu langsung terdiam. Ia mencekram kedua tangannya dan langsung menunduk saat suaminya yang jarang marah tiba-tiba membentaknya. "Sekarang, lebih baik kita pulang dan membawanya kembali." Pria yang rambutnya sudah memutih itu langsung menarik lengan Bimo, namun hal itu langsung dihentikan oleh wanita tadi. Wanita yang merupakan istrinya pun berteriak. "Sarti! Berhenti berteriak, kau menakutinya!" Bimo ketakutan dan mundur kemudian menutup telinganya. Ia berulang kali memukul telinganya dan gelisah. Pria tua itu langsung berusaha untuk menenangkan Bi
Dia berusaha mencari arti dari sikap Nyai Arumi. Semakin ia cari, semakin sulit ia memahaminya. Oceana berjalan perlahan keluar dari rumah Nyai dengan pikirannya yang begitu rumit seperti benang kusut yang begitu sulit untuk diurai. Oceana turun dari tangga dan melewati air pancur. Meskipun ia sedang berjalan namun pikirannya masih berkelana dengan keputusasaannya untuk mengikuti keinginan Nyai Arumi. Kini, di dalam pikirannya ia bertanya-tanya tentang bagaimana cara ia menghadapi semua itu. Mungkin bagi orang-orang bahwa hal ini adalah hal yang mudah untuk dihadapi. Akan tetapi, bagi Oceana ini sangat berat. Ada begitu banyak ketakutan tentang masa depan dan kebingungannya menghadapi situasi yang baru. Dia tidak terbiasa dengan sesuatu yang menantang dalam hidupnya. Ia tidak tahu cara menghadapinya. Ada begitu banyak kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. “Neng, sudah selesai bertemu Nyai?” tanya satpam itu sambil membukakan pagar untuk Oceana. Oceana yang sedang
Sebelum menjelaskan kebingungannya terhadap satpam itu, Oceana menghentikan kalimatnya saat ia melihat sesosok pria sedang berjalan menuju pagar. Kini, ia mengerti mengapa satpam itu mengatakan bahwa Oceana sudah membuat janji dengan Nyai Arumi padahal kedatangannya secara mendadak. Ini dikarenakan ada Kalvin yang telah menemui Nyai Arumi, hingga membuat satpam itu berpikir bahwa Oceana ikut bersama suaminya untuk menemui Nyai Arumi.Melihat ekspresi Kalvin, tampaknya pria bertubuh tinggi itu juga terkejut melihat Oceana yang sedang berdiri di dekat pos satpam.“Kenapa kamu ada di sini?”tanya Kalvin sambil berjalan mendekati Oceana.“Bukankah seharusnya aku yang bertanya hal itu padamu? Ada urusan apa kamu dengan Nyai Arumi?”“Apa kamu datang ke sini untuk memohon pada wanita tua itu?” tanya Kalvin sambil memnunjuk ke dalam rumah.Oceana bingung apa yang ingin dikatakan suaminya Ia pun memegang tangan Kalvin dan menariknya keluar dari rumah Nyai Arumi agar p
Saat itu ia berjalan kaki tanpa alas. Tidak peduli kakinya telah penuh luka dan berdarah, ia tetap berlari maju ke depan tanpa melihat ke belakang. Suara yang terus memanggil dan mengejarnya telah menjadi keputusasaan dalam dirinya yang terus berlari.Air mata tak terbendung lagi. Ketakutan ikut berlari mengikuti tiap jejaknya. Oceana melihat sebuah gang kecil dan masuk ke dalamnya. Sebisa mungkin ia tidak terlihat oleh segerombolan pria itu.“Aku mohon. Aku mohon berhenti mengejarku.”Suara segerombolan pria itu tertawa. Mereka berlari dalam keadaaan mabuk. Jadi, tidak begitu cepat mengejar Oceana. Hanya para lelaki itu tidak menyerah dan masih mengikutinya.“Aku kotor, aku kotor. Kalian akan jijik menyentuhku. Aku mohon!” ucapnya dengan isak tangis.“Selama berlari, Oceana masuk ke dalam perkarangan rumah orang asing. Pagar kayu yang tidak dikunci itu, ia segera bersembunyi di balik pohon perkarangan rumah orang asing. Urusan dimarahi oleh pemilik rum
Dalam keadaan terpojok, Oceana tidak bisa berpikir jernih. Ia menekan kuku jempolnya sampai memutih. Kegugupannya tidak bisa terhindari.Sebelum masalah semakin rumit, Nyai Arumi maju. Setelah ia menyaksikan kebodohan Oceana yang berusaha menutupi kejahatan suaminya, Nyai Arumi melangkahkan kaki mendekati mereka sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.“Dokter, bisa kita bicara berdua empat mata?”tanya Nyai Arumi dengan suaranya yang terasa dingin.“Anda siapa?”“Anggap saja saya adalah wali mereka.”“Anggap?” tanyanya lagi dengan keheranan“Anda tidak perlu khawatir, masalah mereka biar saya yang tangani,” ujar Nyai Arumi sambil merogoh sesuatu dari dalam tas kecilnya yang berwarna coklat. Kemudian, ia menyodorkan benda segi panjang ke arah dokter tersebut.Dokter itu meraihnya dengan raut wajah yang masih kebingungan. “Apa ini?”Keningnya mengkerut saat membaca kartu pengenal Nyai Arumi. Sesekali ia memandang wajah Nyai lalu kembali menatap tulisan
"Apa kau tidak akan melaporkannya ke polisi?” Oceana mendongakkan kepalanya dan menatap lurus sepasang mata yang sangat tajam. Keringatnya jatuh mengalir melewati pelipis matanya. Dia pun menyisir rambutnya yang lepek dan kusut ke arah belakang. Dengan lirih ia menjawab, “aku tidak akan melakukannya.”“Kenapa? Kau meyakini bahwa itu hanyalah kesalahan yang tidak disengaja? Atau kau meyakini harimau tidak akan memangsa lagi?”“Dia sedang tidak baik-baik saja.”“Bajingan itu?”“Dia bukan bajingan,” jawab Oceana dengan tenggorokannya yang tersekat. Ia tidak yakin dengan omongannya sendiri. Dia sendiri sering menyebut lelakinya seorang bajingan, tapi entah kenapa ia tidak menyukai kata tersebut keluar dari orang lain.“Di depan rumahku, kau ketakutan kehilangan pria idiot itu. Sekarang, kau mengkhawatirkan pria yang telah melakukan hal keji itu pada si pria idiot. sebenarnya apa yang kau inginkan?” tanya Nyai Arumi yang masih berdiri dengan kedua tangan dilipat di dadanya. Rambutnya ya