Mereka bukanlah sepasang kekasih dan juga bukan sedarah yang membuat mereka saling terikat. Mereka hanya pria dan perempuan yang saling bergantung satu sama lain. Dunia pun sulit untuk memahami hubungan mereka. Bagi wanita itu, dia adalah segalanya.
“Kamu mau beli apa, sih? Ini sudah dua jam kita berada di sini tapi mengapa tidak ada satu pun yang kamu pilih? Cuman pegang-lihat, pegang-liat doang sedari tadi,” ujarnya sambil mengekor Bimo.
“Oceana tidak akan mengerti kalau aku jelaskan,” respon Bimo yang pandangannya masih sibuk mencari produk yang ia suka.
“Wah, kamu meremehkanku!”
“Oceana bodoh.”
“Kamu benar-benar menyebalkan!”
Oceana pun memutar bola matanya, ia akui dirinya tidak begitu mengerti soal seni lukis. Dalam bentuk seni lainnya, ia juga tidak mengerti. Jika tangannya disuruh untuk menari di atas kanvas atau kertas, percayalah, langit akan menyuruhnya berhenti untuk mencoba. Gambar yang buruk. Bimo selalu memarahinya soal itu.
“Sampai kapan kita di sini? Aku harus cepat berada di rumah sebelum Kalvin pulang!” keluh Oceana dengan wajahnya yang merengut. Akan tetapi, ia tetap saja diabaikan oleh Bimo yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. “Kamu mau dia membunuh kita?!"
"Bunuh? Aah! Bimo tidak mau dibunuh, Bimo tidak mau dibunuh," ujarnya berulang kali sambil menutup telinga dan memutar badannya.
Oh My God, Oceana selalu saja mengucapkan kata-kata yang tidak harus diucapkan. Bimo tidak bisa mendengar kata-kata negatif, karena dia akan panik dan menimbulkan kegaduhan.
Kini, orang-orang memperhatikan mereka berdua. Ucapan Bimo akan mengundang kesalahpahaman.
"Oke, oke, tidak ada yang membunuh ataupun dibunuh. Itu hanya kiasan. Jangan panik Bimo. Tenang, plis!"
Oceana berusaha menenangkan Bimo. Dia memegang kuat bahu pria itu dengan kuat. Meskipun tubuhnya sedikit kurus, tetapi tenaga Bimo cukup kuat untuk bisa dikendalikan oleh Oceana.
"Bimo, aku mohon!"
"Tidak ada yang membunuh? Kalvin tidak membunuh kita?"
"Tidak! Makanya sekarang cepat kita pulang sebelum dia kembali."
Bimo yang kembali tenang itu, tidak merespon lagi ucapan Oceana. Ia malah pergi ke tempat rak lain untuk mencari apa yang diinginkannya.
"Ayolah! Sebanyak ini alat dan cat lukis, kenapa tidak satupun yang kamu sukai?”
Lagi dan lagi, pria ini masih mengabaikannya. Rasanya kedongkolan Oceana ingin meledak. Terkadang, kesabarannya sudah habis untuk menghadapi pria ini. Namun, ia juga tidak tega menyalahkan sikap Bimo sepenuhnya. Sebab, Bimo bukanlah pria biasa seperti pria pada umumnya.
Butuh kesabaran yang ekstra untuk menghadapinya.
Bimo memiliki kekurangan, tidak, dia orang spesial yang menjalani hidup dengan lingkungan yang selalu merendahkan dirinya. Padahal dia memiliki kelebihan yang luar biasa yang tentunya tidak dimiliki oleh orang lain kebanyakan.
Hanya saja, mereka tidak pernah melihat hal itu dari Bimo karena mereka hanya melihat Bimo sebagai seseorang yang memiliki kekurangan yang menderita asperger syndrome atau lebih dikenal gangguan sprektrum autisme. Yang mana gangguan ini merupakan gangguan sistem saraf yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, bereskpresi, merespon dan berinteraksi dengan orang lain.
Meskipun begitu, Oceana tidak pernah melihat adanya kekurangan di dalam diri Bimo. Di luar, ia memang terlihat bodoh tetapi nyatanya ia sangat pintar.
“Oceana, Bimo boleh mengambil yang ini?” tanya Bimo yang akhirnya membuyarkan lamunan Oceana yang sedari tadi menatap lelaki manis itu.
“Tentu saja, kamu boleh mengambil ini.”
Bibir berkata boleh dengan mudahnya, tetapi hati terasa berat saat melihat harga yang lumayan mahal. Oceana berharap Bimo tidak terlalu banyak membeli barang yang diinginkannya. Uang yang sengaja ia tabung untuk hadiah Bimo, hanya cukup untuk membeli tiga barang dengan harga yang murah. Ingin mengatakan menyesal, tapi terlanjur tidak bisa.
Hari ini, ulang tahunnya Bimo, Oceana harus ikhlas membelikan barang-barang yang diinginkan temannya sedari dulu. Hanya saja, wanita itu tidak pernah menyangka kalau harga peralatan menggambar ini sangat mahal.
“Bimo, jangan banyak-banyak, ya! Uangku tidak banyak. Kalvin belum beri aku uang saku dua bulan ini," mohon Oceana sambil mengikuti Bimo dari belakang yang sudah berpindah tempat. Ia pergi ke arah rak yang dipenuhi spidol, pensil warna dan pensil berbagai ukuran. “Bimo! Kamu dengar aku nggak, sih?”
“Satu lagi?” minta Bimo lagi sambil mengancungkan jari telunjuknya.
“Kamu sudah membeli satu set pewarna cat dan juga kanvas, itu harganya nggak murah.”
“J-jadi, Oceana tidak mau?”
Oceana menghela napasnya. Hatinya tidak tega tiap melihat wajah Bimo dengan matanya yang bulat cantik seperti mata kucing yang sedang memelas. Namun, ia juga tidak bisa menuruti keinginan Bimo. Uang yang ia tabung untuk membeli kado Bimo sudah kurang, seharusnya ia tidak memilih cara seperti ini—membebaskan Bimo membeli apa saja. Akan tetapi, ia juga tidak mengerti mengenai hal ini jika ia beli sendiri. Serba salah.
“Lain kali, kalau aku punya uang lebih, kita beli lagi. Oke?”
“B-baiklah.” .
“Aku minta maaf. Untuk sekarang, ini saja yang kita beli, ya?”
Bimo mengangguk lalu pergi meninggalkan Oceana begitu saja. Dia berjalan sambil membawa dua barang belanjaan yang ia pilih selama dua jam lebih.
Oceana memutar bola matanya, lalu hendak menyusul Bimo. Akan tetapi, pria itu memutar badannya dan kembali berjalan ke arah Oceana. Terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu untuk mengatakannya. Ia melihat ke arah lantai, bersikap tidak tenang.
“Bimo, aku tidak mengizinkan kamu mengambil satu hadiah lagi!” peringat Oceana dengan mempertegaskan kata ‘tidak mengizinkan’ agar Bimo dapat mengerti maksudnya.
“B-bukan begitu. Seperti di film aladdin, dia diberi tiga permintaan oleh Jin.”
“Kamu masih bersikeras meminta tiga hadiah?! Lagipula, aku ini bukan Jin!”
“Tetap saja, aku ingin satu permintaan lagi,” ucap Bimo yang semakin tidak tenang. Dia berputar mengelilingi satu rak dan ke arah kiri dan kanan.
“Uang untuk hadiah kamu tidak cukup. Sisa uang yang aku punya ini untuk makan kita sehari-hari, kalau Kalvin tahu uangnya tidak ada, ia akan marah.”
Bimo yang berdiri di balik rak, ia kembali memutari rak tersebut dan berdiri tepat di hadapan Oceana. “O-oceana tidak perlu takut dimarahi Kalvin lagi.” Jelas Bimo sambil menggaruk keningnya, lalu ia melanjutkan, “karena permintaan ketiga Bimo cuman minta Oceana pergi dari rumah itu.”
“Jangan lagi meminta permintaan aneh itu!”
“B-bimo tidak mau pulang! Kita kabur saja. Ayo kabur!”
“Hentikan Bimo!”
“Bimo mau kabur, Bimo mau kabur, Bimo mau kabur!"
Oceana tidak tahan lagi dengan sikap Bimo. Padahal sudah puluhan kali Oceana menekan Bimo untuk tidak pernah berpikiran seperti itu lagi. Ia yakin bahwa situasi dapat berubah seperti dulu lagi.
“Hentikan, Bimo! Jika kamu ingin kabur, kabur saja sendiri. Aku tidak akan pernah meninggalkan suamiku!”
Ucapan Oceana membuat hati Bimo terluka. Ia menjadi semakin tidak tenang dan mengamuk. “B-bimo hanya ingin menyelamatkan Oceana. Bimo tidak bisa jauh dari Oceana. Tidak bisa!”
“Seharusnya aku tidak pernah menampung kamu di rumahku!”
Oceana yang masih kalut dengan emosinya, tidak sadar dirinya telah mengatakan kata-kata yang membuat Bimo semakin marah hingga sulit untuk dikontrol. Pria yang umurnya dua tahun lebih muda dari Oceana, mulai berteriak kencang dan menyebut Oceana 'jahat' berulang kali. Ia memutari Oceana sambil memukul kepalanya.
Oceana menjadi panik karena telah membuat Bimo kehilangan kontrolnya. Rasanya ia ingin menangis dan menghilang saja dari tempat itu. “Aku mohon berhenti! Jangan membuatku semakin kesulitan, Bimo!”
Bimo berteriak karena mendengar suara berisik yang ia timbulkan sendiri, lalu pergi berlari ke luar toko meninggalkan Oceana begitu saja. Melewati berbagai manusia yang sedang mengerumuni dan saling berbisik mempertanyakan situasi yang terjadi.
Hati Oceana semakin kesal melihat Bimo pergi meninggalkannya begitu saja tanpa bertanggung jawab setelah mengacaukan toko buku.
“Hei, kau!”
Oceana terkejut mendengar suara teriakan salah satu karyawan toko. Ia melihat ke arah pria itu menunjuk jari telunjuknya ke arah dirinya. Hal itu semakin menyita perhatian banyak orang.
“Hei! Kamu mengacaukan toko saya. Ganti rugi!” “Saya bisa merapikannya tanpa perlu ganti rugi. Kayaknya gak ada yang rusak,” tolak Oceana dengan tegas. Oceana yakin bahwa tidak ada barang yang perlu untuk diganti. Dirapikan seperti semula tidak akan ada yang rusak. Selain yakin akan hal itu, Oceana tidak memiliki uang yang cukup untuk mengganti barang-barang yang dijatuhkan oleh Bimo. Satu spidol saja harganya ada yang lima ribu sampai sepuluh ribu. Sementara spidol dan yang lainnya ada sekitar ratusan buah. Jika dikalikan, itu bisa sampai jutaan. Mana sanggup Oceana mengganti dengan harga segitu. Uang sakunya saja tidak sampai segitu. Dia hanya ibu rumah tangga yang mengantungkan penghasilan dengan suami. Jika suaminya mengetahui masalah ini, bisa tamat riwayatnya. Hal yang paling ditakuti adalah Kalvin bisa menyakiti Bimo. Oceana masih bersikeras kalau dirinya tidak perlu mengganti rugi. Barang itu masih bagus dan layak untuk diperdagangkan. “Aku akan bertanggung jawab untuk me
Pintu itu terasa sangat menakutkan. Adrenalin meningkat tiap langkah semakin mendekat ke arah pintu berwarna coklat.Bukan rasa lega setelah melawati pagar tosca itu, tetapi ketakutan semakin menyelimuti jiwa Oceana.Kegugupan membuatnya terus menekan kuku jempolnya dengan jari telunjuk. Alasan apa yang harus ia berikan kalau suaminya sudah ada di rumah. Sebuah ketakutan yang hampir tiap hari menjadi konsumsinya."Semoga Kalvin belum pulang." Sebuah kalimat yang berulang kali terucap di bibir wanita itu. Mungkin angin telah bosan mendengar ucapan yang terus menerus terlontar.Ketika tangan menyentuh gagang pintu, rasanya gagang pintu itu terasa sangat berat daripada mengangkat lima kilo karung beras. Keraguan membuatnya sangat berat memasuki rumah yang entah apa yang akan terjadi di dalamnya.Saat membuka pintu dan masuk ke dalamnya, ada keheningan yang telah menyambut hingga membuat jantungnya ingin meloncat dari kerangka tulangnya. Ia melihat sesosok pria yang tidak diharapkan sudah
Dada terasa sesak, Oceana tidak habis pikir dengan sikap Kalvin yang tidak kenal ampun. Bagaimana bisa ia jatuh cinta dengan pria seperti itu. Padahal sikap awal Kalvin sangat manis meskipun posesif. Siapa sangka pria ini berubah begitu drastis.“Berhenti Kalvin! Apa kau sudah gila?!” teriak Oceana sambil berjalan mendekati suaminya. Hatinya sangat pilu melihat Bimo menjerit kesakitan dengan kulit yang melepuh oleh batang rokok menyala.“Apa sayang? Aku hanya memberikan hadiah pada Bimo sekaligus matiin rokoknya sesuai keinginannya."Kalvin semakin kuat menekan rokok di perut Bimo. “Ampun Kalvin!”“Bukankah ini yang kamu inginkan?”Dengan verbal tidak mempan, Oceana pun langsung bertindak dengan menarik lengan Bimo yang sudah memberontak. Tenaga Kalvin sangat kuat hingga Bimo sulit lepas dari Kalvin yang berusaha melepaskan diri. Namun, Oceana tidak menyerah merebut Bimo dari suaminya. Ia tetap menarik Bimo sekuat tenaga sampai Bimo terlepas dari suaminya hingga mereka terjatuh ke lan
Luka lebam telah menyelimuti tubuh dan wajah Oceana dan Bimo. Namun, luka-luka tersebut tak seberapa jika dibandingkan rasa sakit yang luar biasa yang ada di dalam hati mereka. Harga diri mereka telah dijatuhkan. Batin mereka telah dipermainkan. Mental mereka sedang diuji.Oceana mencoba menahan air matanya jatuh dan berusaha tersenyum di depan Bimo yang terbaring di atas kasur. Wanita berambut hitam bergelombang itu mengobati luka-luka Bimo. Tiap Bimo mengeluarkan suara keluh membuat hati Oceana terasa hancur.“Maafkan ... aku,” ucap Oceana dengan terbata-bata.“Ini salah Kalvin bukan Oceana. Dia yang ha-harus minta maaf sama kita. Bukan Oceana.”“Tapi....” Perkataanya terhenti dikarenakan menahan sesak di dada seakan ada yang sedang mengikatnya dengan sangat kencang. Ia tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Rasa bersalah terhadap Bimo menghantamnya berulang kali.Rasa bersalah itu tidak mengantarkannya pada sebuah pencerahan melainkan rasa bingung. Bingung bagaimana ia harus mene
*FlashbackKelaparan dan haus telah membuatnya lupa tentang apa yang telah ia lalui. Kini yang ada dipikirannya adalah bagaimana ia mendapatkan makanan dan setetes air untuk ia minum. Jangankan untuk minum, untuk dirinya mandi dan membersihkan fasesnya saja tidak punya. Syukur-syukur kalau hari hujan, ia dapat membersihkan badannya dan minum dari air kotor itu. Sayangnya, sudah seminggu lebih tidak hujan yang membuat persediaan air menjadi habis. Dengan kepalanya yang sangat pening, Oceana berumur 16 tahun memaksa dirinya berjalan keluar untuk mencari air. Air apapun yang ia temui akan diminumnya. Tidak peduli air itu kotor atau tidak, yang terpenting baginya adalah bisa membasahi tenggorokannya dan perut terasa kenyang. Keadaan telah membuatnya tidak bisa memilih. Meskipun dirinya punya rumah —peninggalan ibu asuhnya atau tempat panti asuhan yang telah bangkrut, tetap saja ia kesulitan bertahan hidup karena tidak memiliki uang. Ia tidak mampu membayar listrik dan air yang menyebabk
“Apa Kalvin tidak pernah menceritakan masalah tersebut padamu?” tanya Om Yuda yang langsung dibalas Oceana dengan kepala menggeleng. “Suami-istri macam apa kalian berdua. Masa masalah keuangan suami sendiri nggak tahu?” “Kalvin tidak menceritakan apapun padaku. Emangnya ada apa?” “Suami brengsekmu itu telah jadi korban penipuan tiga bulan yang lalu. Hal itu memberi dampak buruk pada studio fotonya yang sedang terancam gulung tikar. Meskipun ia masih punya klien, tapi itu tidak mampu menutupi kerugian yang begitu banyak,” terang OmYuda. “Seberapa banyak kerugiannya?” Om Yuda melipat kedua tangannya di dada. Keningnya mengkerut sambil menatap langit. Mencoba mengingat angka-angka yang hendak menelan Kalvin. “Kira-kira ada sekitar 500-an juta.” “Apa?!” seru Oceana yang langsung beranjak dari kursi yang baru saja ia duduki. Ice creamnya telah meleleh di tangan kanannya sedari tadi. Matanya melotot dan mulut menganga. Ia tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Ia mempertanyakan te
“Ah ... tidak!” teriak Oceana sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang menyilang. Dengan reflek ia menutupi wajahnya dari benda tajam yang hendak melayang ke arahnya.Untungnya hal itu tidak terjadi. Sebab Bimo langsung berlari dan memukul Kalvin dari belakang menggunakan panci yang berbahan tebal.Hal ini menyebabkan Kalvin langsung pingsan karena Bimo memukulnya tepat di bagian tulang tengkuk. Yang mana area itu sangat rentan sekali untuk dipukuli, karena hal itu dapat mengakibatkan aliran darah dan saraf dari tengkuk ke otak terhenti sesaat yang menyebabkan seseorang pingsan.“Kalvin!” pekik Oceana yang dengan spontan membangunkan suaminya. “Bimo, bagaimana ini?”“Apa dia mati?” tanya Bimo dengan polosnya. Ia pun tiba-tiba menjatuhkan panci dan berteriak, “aah ... Bimo sudah membunuh Kalvin. Bimo sudah membunuh Kalvin.”Oceana dengan panik langsung memeriksa kepala suaminya.“Syukurlah tidak berakibat fatal.” Oceana langsung berdiri dan menenangkan Bimo yang berlarian di
Keadaan rumah kembali kacau. Lantai dipenuhi serpihan kaca yang berserak di mana-mana. Di tengah serpihan kaca terdapat batu besar. Sepertinya ada yang sengaja melempar batu itu ke rumah mereka.Oceana langsung berlari mendekati Bimo yang sedang ketakutan. Berusaha untuk menenangkan pria tersebut.Sementara Kalvin berjalan mendekati kaca yang pecah. Dengan hati-hati berjalan, ia mencoba mengintip ke luar jendela. Entah kenapa lampu di luar mati, padahal sebelumnya ia merasa bahwa di teras lampunya menyala.Kalvin dapat menyadari bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja. Saat Kalvin mencoba untuk membuka pintu rumah, tiba-tiba segerombolan pria besar dan berpakaian hitam langsung menerobos masuk ke dalam rumah mereka.“Kalian siapa?” teriak Kalvin dengan raut wajah yang sangat geram. Ia menarik kerah salah satu gerombolan pria itu. Badannya sedikit pendek dari Kalvin, tapi tubuhnya tidak kalah berotot.Sebelum pria itu menjawab pertanyaan Kalvin, lalu masuklah seorang pria tua denga
Sudah berapa banyak pakaian yang ia keluarkan dari lemarinya hingga membuat kondisi kamar Oceana sangat berantakan. Ia sangat kebingungan harus memakai pakaian seperti apa untuk berangkat bekerja. Ini adalah pertama kalinya ia berkeja selama ia hidup. Mengganti baju dari warna coklat ke merah, merah ke pink, pink ke hitam. Dari gaun selutut ke baju kodok. Baju kodok ke celana lepis dan baju kaos polos. Kebingungan ini tidak ada hentinya. Ia merasa tidak puas dan juga ragu. Apakah pakaian ini pantas untuk berkerja atau pakaian ini terlalu informal untuk bekerja. Berbagai macam pertanyaan yang terus terlintas di pikirannya. Kalvin yang sudah selesai bersiap-siap untuk berangkat kerja, ia pun geleng-geleng kepala dan menghampiri istrinya yang masih sibuk berpose di depan cermin. “Kamu itu hanya jadi pelayan restoran bukan model. Lihatlah kekacauan pagi yang kamu lakukan,”sindir Kalvin yang langsung melempar pantatnya ke atas kasur yang udah dipenuhi pakaian yang berserakan. “Ini pe
Dia hanya memanggilnya, tetapi Oceana sudah merasa siap mendapatkan hal buruk akan terjadi padanya. Hal buruk yang sudah menjadi kebiasaan yang siap ia hadapi.“Apa kamu sudah memutuskan untuk menjadi karyawan wanita tua itu?” tanya Kalvin yang terus menatapnya dengan penuh seksama. Rasanya ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya hingga membuatnya sulit untuk menelan air liurnya. Ada rasa kelegaan suaminya tidak menyadari Oceana mengambil ponsel secara diam-diam, Hanya saja di sisi lain, ketegangan masih terasa karena Kalvin tiba-tiba membahas Nyai Arumi.“Seperti yang aku bilang tadi sore, bukankah dengan adanya aku bekerja, itu dapat membantumu mengatasi keuangan?”Terdengar hembusan kasar dari mulut Kalvin. Pria berjanggut itu meletakkan kamera ke atas meja. Lalu, ia kembali menatap istrinya sambil menggosok-gosok alisnya. “Apa kamu sedang meremehkanku saat ini? Setelah melihat kejadian kemarin, kamu menganggap aku pria lemah yang tidak mampu mengatasi hal tersebut?”“Ti-ti
Suasana yang sangat menegangkan. Semua orang yang ada di sana bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di lorong tersebut. Sebagian ada yang kesal karena telah menganggu keluarganya yang sedang sakit. Sebagian ada yang merasa ketakutan karena takut terjadi sesuatu pada pasien. Ada juga yang takut karena memikirkan pikiran yang liar, seperti halnya Bimo yang mengamuk itu bisa saja sewaktu-waktu menyerang mereka.Ada seorang bapak berkepala botak setengah mencoba untuk mendekati Bimo yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan.“Hei, nak! Berhenti lakukan itu, kepalamu sudah mengeluarkan banyak darah!”teriak Bapak tersebut. “Hei! Siapapun bantu saya hentikan dia! Di mana perawat? Perawatnya mana nih!”Ada seorang pemuda lainnya yang memiliki jenggot tipis perlahan-lahan mendekati dan mencoba membantu Bapak botak itu. Melihat aksi anak muda itu, barulah dua orang lainnya maju untuk menolong dan menghentikan kegilaan Bimo.Trauma
"Kita tidak bisa membawanya bersama kita lagi, aku sudah tidak sanggup," ucapnya sambil menangis."Tetapi kita tidak bisa melepas tanggung jawab begitu saja!"Wanita itu mengusap wajahnya yang sedikit keriput. Ia mengusap air matanya yang terus mengalir. "Aku salah. Aku salah membiarkanmu membawanya ke rumah. Mengurus orang lansia saja susah, apalagi ngurus orang cacat seperti dia." "Sarti! Jaga mulutmu itu!" Wanita yang disebut Sarti itu langsung terdiam. Ia mencekram kedua tangannya dan langsung menunduk saat suaminya yang jarang marah tiba-tiba membentaknya. "Sekarang, lebih baik kita pulang dan membawanya kembali." Pria yang rambutnya sudah memutih itu langsung menarik lengan Bimo, namun hal itu langsung dihentikan oleh wanita tadi. Wanita yang merupakan istrinya pun berteriak. "Sarti! Berhenti berteriak, kau menakutinya!" Bimo ketakutan dan mundur kemudian menutup telinganya. Ia berulang kali memukul telinganya dan gelisah. Pria tua itu langsung berusaha untuk menenangkan Bi
Dia berusaha mencari arti dari sikap Nyai Arumi. Semakin ia cari, semakin sulit ia memahaminya. Oceana berjalan perlahan keluar dari rumah Nyai dengan pikirannya yang begitu rumit seperti benang kusut yang begitu sulit untuk diurai. Oceana turun dari tangga dan melewati air pancur. Meskipun ia sedang berjalan namun pikirannya masih berkelana dengan keputusasaannya untuk mengikuti keinginan Nyai Arumi. Kini, di dalam pikirannya ia bertanya-tanya tentang bagaimana cara ia menghadapi semua itu. Mungkin bagi orang-orang bahwa hal ini adalah hal yang mudah untuk dihadapi. Akan tetapi, bagi Oceana ini sangat berat. Ada begitu banyak ketakutan tentang masa depan dan kebingungannya menghadapi situasi yang baru. Dia tidak terbiasa dengan sesuatu yang menantang dalam hidupnya. Ia tidak tahu cara menghadapinya. Ada begitu banyak kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. “Neng, sudah selesai bertemu Nyai?” tanya satpam itu sambil membukakan pagar untuk Oceana. Oceana yang sedang
Sebelum menjelaskan kebingungannya terhadap satpam itu, Oceana menghentikan kalimatnya saat ia melihat sesosok pria sedang berjalan menuju pagar. Kini, ia mengerti mengapa satpam itu mengatakan bahwa Oceana sudah membuat janji dengan Nyai Arumi padahal kedatangannya secara mendadak. Ini dikarenakan ada Kalvin yang telah menemui Nyai Arumi, hingga membuat satpam itu berpikir bahwa Oceana ikut bersama suaminya untuk menemui Nyai Arumi.Melihat ekspresi Kalvin, tampaknya pria bertubuh tinggi itu juga terkejut melihat Oceana yang sedang berdiri di dekat pos satpam.“Kenapa kamu ada di sini?”tanya Kalvin sambil berjalan mendekati Oceana.“Bukankah seharusnya aku yang bertanya hal itu padamu? Ada urusan apa kamu dengan Nyai Arumi?”“Apa kamu datang ke sini untuk memohon pada wanita tua itu?” tanya Kalvin sambil memnunjuk ke dalam rumah.Oceana bingung apa yang ingin dikatakan suaminya Ia pun memegang tangan Kalvin dan menariknya keluar dari rumah Nyai Arumi agar p
Saat itu ia berjalan kaki tanpa alas. Tidak peduli kakinya telah penuh luka dan berdarah, ia tetap berlari maju ke depan tanpa melihat ke belakang. Suara yang terus memanggil dan mengejarnya telah menjadi keputusasaan dalam dirinya yang terus berlari.Air mata tak terbendung lagi. Ketakutan ikut berlari mengikuti tiap jejaknya. Oceana melihat sebuah gang kecil dan masuk ke dalamnya. Sebisa mungkin ia tidak terlihat oleh segerombolan pria itu.“Aku mohon. Aku mohon berhenti mengejarku.”Suara segerombolan pria itu tertawa. Mereka berlari dalam keadaaan mabuk. Jadi, tidak begitu cepat mengejar Oceana. Hanya para lelaki itu tidak menyerah dan masih mengikutinya.“Aku kotor, aku kotor. Kalian akan jijik menyentuhku. Aku mohon!” ucapnya dengan isak tangis.“Selama berlari, Oceana masuk ke dalam perkarangan rumah orang asing. Pagar kayu yang tidak dikunci itu, ia segera bersembunyi di balik pohon perkarangan rumah orang asing. Urusan dimarahi oleh pemilik rum
Dalam keadaan terpojok, Oceana tidak bisa berpikir jernih. Ia menekan kuku jempolnya sampai memutih. Kegugupannya tidak bisa terhindari.Sebelum masalah semakin rumit, Nyai Arumi maju. Setelah ia menyaksikan kebodohan Oceana yang berusaha menutupi kejahatan suaminya, Nyai Arumi melangkahkan kaki mendekati mereka sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.“Dokter, bisa kita bicara berdua empat mata?”tanya Nyai Arumi dengan suaranya yang terasa dingin.“Anda siapa?”“Anggap saja saya adalah wali mereka.”“Anggap?” tanyanya lagi dengan keheranan“Anda tidak perlu khawatir, masalah mereka biar saya yang tangani,” ujar Nyai Arumi sambil merogoh sesuatu dari dalam tas kecilnya yang berwarna coklat. Kemudian, ia menyodorkan benda segi panjang ke arah dokter tersebut.Dokter itu meraihnya dengan raut wajah yang masih kebingungan. “Apa ini?”Keningnya mengkerut saat membaca kartu pengenal Nyai Arumi. Sesekali ia memandang wajah Nyai lalu kembali menatap tulisan
"Apa kau tidak akan melaporkannya ke polisi?” Oceana mendongakkan kepalanya dan menatap lurus sepasang mata yang sangat tajam. Keringatnya jatuh mengalir melewati pelipis matanya. Dia pun menyisir rambutnya yang lepek dan kusut ke arah belakang. Dengan lirih ia menjawab, “aku tidak akan melakukannya.”“Kenapa? Kau meyakini bahwa itu hanyalah kesalahan yang tidak disengaja? Atau kau meyakini harimau tidak akan memangsa lagi?”“Dia sedang tidak baik-baik saja.”“Bajingan itu?”“Dia bukan bajingan,” jawab Oceana dengan tenggorokannya yang tersekat. Ia tidak yakin dengan omongannya sendiri. Dia sendiri sering menyebut lelakinya seorang bajingan, tapi entah kenapa ia tidak menyukai kata tersebut keluar dari orang lain.“Di depan rumahku, kau ketakutan kehilangan pria idiot itu. Sekarang, kau mengkhawatirkan pria yang telah melakukan hal keji itu pada si pria idiot. sebenarnya apa yang kau inginkan?” tanya Nyai Arumi yang masih berdiri dengan kedua tangan dilipat di dadanya. Rambutnya ya