Gendis menangis sesenggukan. Anak kecil mana yang tidak takut mendengar ucapan demikian? Ia membayangkan ayahnya terbujur kaku ditutup kain seperti yang sering dilihat di youtube."Ayah kok gak kesini lagi jemput Ndis? Apa Ayah beneran sudah mati?" tanya Gendis sambil memandang kaos Catur. Ia memeluk erat benda itu lalu menangis seorang diri.Ambar peduli apa? Sejak dekat dengan Sela, ia tidak pernah lepas dari ponsel. Setiap waktu berkirim pesan sehingga mengabaikan Gendis. Bedanya, hari-hari sebelumnya ada Catur yang menjaga Gendis. Menemani dan mengurus segala kebutuhan Gendis. Namun sekarang, ia merasa repot karena harus mengurusnya seorang diri. Ditambah lagi, di saat terancam dipecat jadi bendahara, justru Sela menghilang.Ia masih menjalankan bisnis meski tidak seramai dulu. Ponselnya berisi banyak nomor pelanggan. Akun Facebook yang sudah lupa passwordnya juga ada disana. Media sosial yang seringkali digunakan untuk promosi.Jika ingin mendapatkan benda itu kembali, ia harus m
Part 38 Ada sebuah dorongan yang meminta Sela untuk menyusul Indah ke kamar anak-anak mereka. Namun, dorongan itu diabaikan karena hatinya memang sudah tidak tertarik untuk berkumpul bersama dengan wanita yang telah memberinya dua anak itu. Sela duduk termenung di sisi ranjang yang kasurnya ditutup seprei warna putih. Selama menginap bersama, ia tidak pernah bermesraan dengan Indah. Tidur bersama, tetapi saling memunggungi. Diajak berbicara, hanya membalas sekadarnya saja. Otaknya justru merangkai sebuah skenario bilamana mempunyai uang, ia akan mengajak Ambar ke tempat itu. Namun kini, hatinya berada di sebuah persimpangan antara permintaan Ambar untuk menceraikan Indah, atau tetap bertahan dalam pernikahan itu demi kedua buah hatinya. Setelah pembicaraan itu, Sela akhirnya mau berbaur meski dengan sikap yang kaku. Beberapa kali Indah mengambil foto bersama dengan Jihan, Naisa juga Sela. Tampak seperti keluarga yang bahagia. Ia tidak lupa mengunggah foto itu ke media sosial. “Maaf
Hari Senin, Rizal sengaja keluar dari sekolah jam satu siang. Ia sudah berniat menemui Ambar agar Diah tidak selalu memojokkannya. Gerbang sekolah masih terbuka. Pria itu melenggang masuk kantor.“Cari siapa, Pak?” tanya Ambar sambil tersenyum ramah. Wajahnya masih terlihat cantik meski luka bekas pukulan Catur masih terlihat jelas.“Bu Ambar?” tanya Rizal.“Iya, silakan masuk,” kata Ambar lemah lembut. “Duduk, Pak. Ayahnyha Meida ya?” tanyanya lagi.“Iya. Saya mau ada perlu sama Bu Ambar.”“Mau minum apa?” tanya Ambar lagi.“Tidak usah, Bu,” jawab Rizal. “Saya hanya ingin bilang sama Ibu agar tolong jangan libatkan Meida dalam masalah Bu Ambar dan istri saya.”Ambar tertawa renyah memperlihatkan deretan giginya yang putih. “Masalah itu lagi, to, Pak? Ya Allah, sudah berkali-kali dibahas lho. Apa tidak capek? Tapi, ya sudah, gak papa. Saya masih sabar kok menanggapi apapun yang keluarga Bu Diah lakukan sama saya,” jawabnya sambil tersenyum. Ia berusaha membuat Rizal takluk dan mengang
Part 39 “Kemana kamu selama beberapa hari ini, Mas?” tanya Ambar menghakimi. Ia tidak peduli dengan apa yang dikatakan Diah tadi. Toh perempuan itu sudah pulang. “Aku sudah bilang, aku ada acara keluarga.” “Keluarga dengan anak istrimu?” “Aku mengantar orang tuaku.” Ambar berdecak kesal. “Minggu depan uang keluar. Kamu mau kemana?” tanya Sela membujuk. Ambar masih diam. “Kamu tidak jujur,” katanya lagi. “Kamu mau aku telepon orang tuaku dan kamu bilang sama mereka? Agar kamu percaya aku kemarin pergi bersama mereka? Kalau kamu mau, baiklah aku akan menelpon. Pakai nomer kamu tapi. Soalnya aku tidak pakai ponsel,” kata sela. Ambar tentu saja tidak mau jika disuruh menelpon kedua orang tua Sela. “Iya, iya, aku percaya. Tapi beneran lho, kita langsung piknik kalau uang sudah keluar,” katanya merajuk. “Kamu sekalian beli hp baru lho, Mas. Hp itu termasuk inventaris. Jadi, gak masalah pakai uang itu,” lanjutnya. “Biasanya juga uang tidak banyak yang aku gunakan untuk keperluan sek
Ambar menekuk wajahnya. “Masih aku yang ambil, tetapi harus dirapatkan besok uangnya dan akan diberikan pada setiap guru untuk memegang. Tugasnya akan diatur. Kesannya kemarin seperti rapat dalam rangka aku korupsi,” katanya. “Aku sudah tidak berani, Mas. Sudah ada Pak Ris yang galak. Kemarin saja mejaku digebrak sampai aku malu,” “Gak papa. Masih ada uang sekolahku.” “Besok jadi, ‘kan?” “Jadi, dong!” “Ndis dibelikan mainan ya, Mas?” “Kamu yang beli bisa ‘kan?” “Aku maunya kamu,” rengek Ambar manja. “Iya, nanti aku belikan. Hp kamu bagaimana?” “Aku belum punya uang tiga puluh juta, Mas,” jawab Ambar sedih. “Kamu harus bantu aku cari uang segitu biar dapat hp nya. Di sana banyak foto kita.” “Sekarang blokir dulu nomer kamu, terus pindah ke hp ini. Diurus gitu saja dulu. Jadi, WA kamu aman,” usul Sela. “Masalah hp nya, kita pikir besok setelah piknik.” “Besok kita naik apa?” “Naik mobil.” “Mobil kamu?” “Iya.” “Emang istrimu boleh?” Sela tersenyum. *** “Aku mau bawa mobil
Part 40Sela menempati homestay yang waktu itu digunakan menginap bersama Indah. Ia sangat menyukai posisi dari bangunan yang dipilih istrinya. Wanita itu memang memiliki selera tinggi dalam memilih sesuatu hal.“Kamu suka tempatnya?” tanya Sela pada Indah yang terus tersenyum saat sampai di teras.“Sangat suka. Kamu pintar sekali sih, Mas memilih tempat? Sudah pernah kesini ya?” tanya Ambar sambil berwajah masam.“Ya pernah. Dulu. Emangnya kenapa? Kamu juga pernah punya kehidupan bersama suamimu, ‘kan?” tanya Sela balik. “Emangnya kamu belum pernah piknik sama suamimu? Kenapa aku kayak salah terus?” lanjutnya tidak suka.“Iya, iya. Aku minta maaf. Jangan cemberut gitu ah. Ayo, kita masuk,” ajak Ambar.Seorang pelayan yang keluar selesai membereskan ruangan, tertegun menatap Sela. Karena baru beberapa waktu yang lalu, pria itu datang dengan keluarganya. Sela memandang pelayan laki-laki itu melotot. Tanda agar dia diam dan tidak ikut campur urusannya.Pelayan yang usianya di atas dua p
“BOS sudah keluar, Pak, ini anak-anak minta rapat,” kata Darma yang memang selalu menganggap guru-guru di sana adalah anak-anaknya. “Ya nanti saya bilang sama Pak Sela. Kemarin waktu habis ambil uang, dia WA, langsung cepat-cepat pergi katanya ada urusan. Jadi belum sempat ketemu.” Diah dan Asih saling pandang. “Uangnya sudah berada di tempat yang sangat aman pasti,” bisik Asih pada Diah. “Ini, Pak, kasihan Diah sama Asih. Belum dibayar honornya. Diah malah berbulan-bulan, ya?” kata Darma. “Sudah tidak berharap, Pak. Uangnya sudah buat piknik. Ikhlas saja, nanti juga dapat balasan,” celetuk Diah yang sudah kesal. Saat itulah Sela datang dan mereka membubarkan diri. “BOS sudah keluar, Mas?” tanya Darma pada Sela sambil menepuk bahunya. “Sudah, Pak,” kata Sela. “Nanti rapat,” kata Darma lagi. “Aduh, nanti saya ada rapat bendahara BOS,” kata Sela mengelak. “Sebentar saja,” ujar Darma. “Tidak bisa, Pak. Gampang besok saja.” “Galonnya diisi dong! Masa harus aku yang beli lagi,
Part 41Seusai pulang piknik, Ambar baru mengingat sesuatu hal. Ia belum menghubungi kedua orang tuanya dan menjelaskan perihal masalah foto itu.Dengan jantung yang berdegup kencang, ia menelpon sang adik dan meminta berbicara dengan ayahnya. “Maafkan aku, Bapak. Aku terpaksa melakukan semua ini karena aku merasa sangat jenuh. Mas Catur hanya menjadi bebanku saja di sini. Dia tidak pernah mau bekerja membantuku sedikitpun. Aku lelah harus mengurus banyak hal. Aku tahu, aku bersalah, Bapak. Tapi aku melakukan semua ini karena ada alasannya,” kata Ambar berbohong. “Bapak tahu aku, ‘kan? Apa aku pernah bersikap demikian? Mas Catur selalu menyalahkanku yang sudah mengajaknya hidup jauh dari ibunya. Aku sudah berjuang sampai di titik ini, dia malah selalu memojokkanku. Apa aku salah sudah berjuang menjadi PNS? Aku tidak salah ‘kan, Pak? Aku tertekan akhirnya mencari pelampiasan. Mengajar, berjualan dan melakukan banyak hal tetapi Mas catur selalu menyalahkanku.”“Pulanglah! Kamu harus mem
ekar tak mau kalah, ia menatap tajam wanita yang ada di hadapannya. “Sekarang aku istri sah Mas Catur dan ibu dari Gendis. Mbak Ambar mau menggoda Mas Catur? Aku punya Ibu yang akan membela.”“Ibu mertua maksudnya?” Ambar tersenyum sinis. “Dia sedang terbaring lemah tidak berdaya, Sekar. Bisa apa coba?” Ia berlalu lebih dulu dan menuju kamar rawat pasien.Sekar berusaha mengejar, tetapi sadar berada di ruangan yang tidak boleh membuat gaduh, ia memelankan langkah memilih mengalah.“Mas, Ibu kenapa?” Ambar berkata lirih pada Catur yang duduk di samping bed pasien. Ia memasang wajah sedih dan mata yang berair.“Ambar, dari mana kamu tahu kalau Ibu sakit?” Catur kaget dan balik bertanya.“Aku gak sengaja lewat warung kamu, Mas. Tadinya ingin bertemu dengan Gendis, sudah lama aku tidak melihat dia, Mas. Tapi karyawan kamu bilang kalau Ibu sedang kritis di rumah sakit. Aku turut prihatin, Mas. Semoga Ibu cepat sembuh ya, Mas,” kata Ambar sambil mengusap pundak Catur.Sekar terbakar cemburu
SEASON 3 PART 2“Iya, Sela sudah kembali lagi hidup dengan Indah dan anak-anaknya. Aku mohon, Ambar, jangan hancurkan kehidupan Sela untuk yang kedua kalinya.”Ambar tak bergeming, menatap wanita yang duduk di hadapannya. “Enak sekali ya, Bu, jadi Mas Sela. Hidupku hancur, dan dia masih kembali bersama keluarganya,” desisnya.“Tidak ada yang enak. Sela juga kehilangan pekerjaannya. Indah juga tidak sebahagia yang kamu kira. Dia harus menerima Sela yang mantan narapidana dan pengangguran.”“Ok, Bu. hari ini cukup. Kalau Mas Sela datang, tolong sampaikan jika anak yang kukandung dulu kini sudah besar dan mencari ayahnya.” Ambar meninggalkan ruang tamu orang tua Sela. “Zafin, ayo pulang,” ucapnya saat sudah di halaman rumah.“Bunda, kita gak jadi ketemu sama Ayah?”“Zafin, ayo kita ketemu Ayah sebentar saja.” Tiba-tiba ibu Sela keluar.“Apa maksudnya, Bu?” tanya Ambar.“Aku akan mengajak Zafin ketemu Sela, tetapi dengan syarat kamu tidak boleh ikut. kamu tunggu di sini saja.”Ambar berpi
Dengan bantuan saudara jauh Ambar, akhirnya dia melahirkan anak keduanya yang berjenis kelamin laki-laki. Ia menjalani hari-hari yang sangat sulit. Berbulan-bulan melewati hidup hanya berdua dengan anak laki-laki yang diberi nama Zafin tanpa ada kabar dari Sela yang masih mendekam di penjara.Bulan telah berganti tahun, anak Ambar semakin beranjak besar dan mulai bisa berbicara. Ambar tidak berani lagi mendatangi Catur karena mantan ibu mertuanya itu terlihat memusuhi. Yang ia tahu, Catur juga sudah hidup bahagia bersama Sekar yang telah dikaruniai anak juga.Suatu ketika, saat Zafin berusia empat tahun ....“Bunda, sebenarnya siapa sih ayahnya Zafin?”“Bunda belum bisa memberitahu siapa ayah Zafin. Tapi suatu hari nanti, kita akan bertemu dengan Ayah,” jawab Ambar sambil mengusap kepala Zafin.“Aku ingin punya ayah, Bunda. Aku malu di sekolah selalu ditanya ayahku siapa. Kata teman-teman aku anak yang tidak punya ayah. Aku cuma punya Bunda saja.”“Iya, kita akan menemui Ayah. Bunda ak
RIVALSEASON 3Hai! Jumpa kembali dengan cerita ini. Maaf, sebenarnya sudah tamat, tetapi kenapa banyak komentar minta lanjut? Ok, saya lanjutkan ya. Saya menghilang lama dari dunia menulis karena banyak hal yang harus diurus di kehidupan nyata.Ok,terakhir ekstra part ketika Sekar sudah punya anak dengan Catur berusia dua tahun ya. Sekarang kita mundur ke alurnya Ambar karena banyak yang penasaran dengan kisah Ambar.Bismillahirrahmanirrahim ....Season 3 Part 1“Selamat menghirup udara bebas, Mbak Ambar. Semoga bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari sekarang. Semoga bisa berkumpul dan bahagia bersama keluarga,” ucap seorang sipir sambil membuka pintu besi yang menghubungkan dengan dunia luar dari gedung lapas.“Terima kasih,” jawab Ambar sambil tersenyum.Kaki wanita itu melangkah dari pembatas pintu. Ia segera menghirup udara sebanyak-banyaknya merasakan kebebasan dari gedung yang mengurung selama beberapa bulan.Dengan langkah pelan ia berjalan membawa tas jinjing yang berisi p
EKSTRA PARTPuntung rokok berserakan. Aroma kamar tentu saja tidak sedap. Ditambah lagi beberapa botol minuman yang masih ada isinya dan berhari-hari tidak dibuang.Micella menyesap rokok dalam keadaan terbatuk-batuk. Semenjak Sekar menjauh dari hidupnya hingga akhirnya menikah dengan Catur, hidupnya sudah tidak terarah lagi. Ia keluar dari kampus, kembali ke kotanya dan setiap hari hanya mabuk-mabukan saja.Orang tua Micella sudah kehabisan akal untuk bisa menyembuhkan putri kesayangan dari perbuatan menyimpang. Mereka hanya bisa pasrah dan merawat Micella dengan sebaik-baiknya.Suatu pagi, Micella yang merasa suntuk jalan-jalan keliling komplek. Duduk sendiri di sebuah kursi panjang di trotoar membuat ingatannya berlari pada masa dimana ia dan Andrew masih sekolah. Dengan tatapan kosong memandang rumah yang ada di depan sana. Tempat tinggal sang mantan kekasih, sosok yang sudah tidak akan pernah ia miliki.“Kamu sedang melihat apa di sana, Micel?” Sebuah suara membuat Micella kaget
Part 94 “Maaf, Bu, saya tidak tahu apa-apa. Saya seorang muslim dan saya tidak akan berpindah agama. Cella, kamu keterlaluan melakukan ini semua. Aku tidak suka dengan cara kamu ini,” ucap Sekar marah. “Cella, memilih sebuah agama atau berpindah keyakinan, itu adalah keinginan dari setiap orang. Kamu memaksa orang seperti ini? Maaf, Cella, kami tidak akan pernah menerima siapapun. kamu sudah sangat salah melakukan ini,” kata suster kecewa. Sekar menangis sejadi-jadinya. “Bu, tolong pesankan saya taksi untuk pulang. Saya takut dengan dia, Bu, dia sudah membawa saya ke rumah yang di sana ada pesta s e x sesama jenis. Saya sangat takut dan saya ingin pulang,” kata Sekar yang tiba-tiba memiliki keberanian untuk mengadu. Suster yang sudah berusia di atas lima puluh tahun itu menatap marah pada Boy. “Benar kamu melakukan ini?” “Saya pamit pulang. Saya akan mengantar dia,” kata Cella menarik lengan Sekar secara paksa. “Tidak! Aku akan pulang sendiri,” kata Sekar sambil mengusap air mata
Part 93Sekar ketakutan setengah mati. Terlebih saat merasakan pintu seperti ada yang menggedor. Ia menangis sejadi-jadinya.“Bapak, Ibu, maafkan aku ...,” lirihnya sambil berurai air mata.“Sekar, buka pintunya! Sekar, ini aku, Boy. Buka pintunya!” teriak seseorang dari luar.Antara takut dan ingin mendapat pertolongan, Sekar ragu untuk membuka. Sempat terlintas keinginan untuk kabur, tetapi jendela rupanya memiliki teralis besi yang sangat kuat.“Sekar, buka pintunya!” teriak Sekar dari luar.Sekar bangkit perlahan dan mulai memutar kunci. Membuka sedikit dan berjaga-jaga. Rupanya di luar sudah sepi dan lampu sudah menyala terang, tidak seperti tadi yang menggunakan lampu remang-remang.“Boy, kamu dari mana?” pekik Sekar bernapas lega.“Maaf, aku tadi lama ya keluarnya? Kamu menangis? Buka yang lebar pintunya,” kata Cella yang memahami jika Sekar ketakutan.“Siapa mereka, Boy? Siapa mereka?” tanya Sekar.“Siapa? Tidak ada siapa-siapa,” jawab Cella.“Tidak, Boy, aku tadi melihat bebe
Selama beberapa hari di rumah, Sekar sama sekali tidak berani bermain media sosial. Ia takut berhubungan dengan Boy meskipun rindu dalam hatinya sudah menggunung.Hardi sering menasehati Sri untuk tidak terlalu keras. “Anak kita sedang butuh pertolongan, beri kasih sayang pada dia agar tidak merasa butuh kasih sayang dari orang lain.” Begitulah kalimat yang selalu diucapkan pada sang istri.Perlahan hati Sri mulai melunak. Pagi hari ia akan membangunkan Sekar untuk sholat Subuh, lalu mengajak Sekar berbelanja dan memasak. Wanita itu berusaha mendekatkan diri dengan putrinya.Sekar mulai mau beribadah lima waktu, meski terkadang ia melakukan itu karena merasa terpaksa.“Tuhan itu ada dalam hati kita. Kalau kita beriman pada Tuhan, cukuplah setiap waktu mengingatNya, cukuplah setiap saat menjadi waktu untuk beroda. Tak perlu kamu beribadah lima waktu sehari yang itu justru membebani kamu. Agama itu jangan dijadikan beban. Kalau kamu terus menerus mengingat ibadah, kamu tidak akan punya
Part 91Sekar berlari menghampiri Boy yang hendak masuk.“Kenapa?” Boy bertanya saat paham dirinya seperti ditahan masuk.“Jangan masuk dulu, Boy! Ibu sedang sensitif sekali,” jawab Sekar dengan menahan rasa tidak enak.“Ok, aku bawa kabar bahagia untuk kamu. Aku sudah beli rumah untuk kita tinggali, jadi, kamu tidak akan kubawa hidup di tempat kontrakan lagi,” ucap Boy dengan posisi terhalang pintu pagar setinggi satu meter.“Iya, tapi aku tidak bisa pergi sekarang. Ibu masih membutuhkanku,” sahut Sekar.Meski kecewa, Boy berusaha tersenyum. “Tak apa, kamu akan kujemput kapanpun kamu sudah siap.”Sekar dilema. Wajahnya terlihat bimbang. “Bisakah kamu belajar melupakanku? Aku juga akan belajar melupakan kamu. Bagaimanapun apa yang kita lakukan ini salah,” katanya dengan wajah yang berubah sedih.“Aku tidak akan melarang kamu untuk merawat ayah kamu kok. Kita akan hidup bersama, suatu hari nanti. Aku akan setia menunggu sampai kamu selesai dengan tugasmu di rumah ini,” ucap Boy.Sekar