“Dia pasti update status di WA. Berantai ke mana-mana dan ketahuan sodara sopir.”“Oh, iya, ya.Dia emang paling jago soal gosip. Terus ... gimana, Im?”“Kamu bilang aja gak tau apa-apa.”“Bu Sobir bilang wanita itu mau tau soal Gunung Kemukus. Gimana dong! Bikin puyeng deh.”“Itu berarti si montok udah cerita banyak ke wanita itu. Itu mulut tak ada rem. Udah dibantu, dibilang rahasia. Ember!”“Im! Aku ngeri.”“Kita makan dulu, habis itu samperin si montok,” ucap Saimah sembari menuju dispenser tuang air dingin dalam gelas lalu membawa ke meja makan.Kesi yang masih senewen dengan ulah Bu Sobir mengetuk-ngetuk layar ponsel sembari cemberut.“Ayo, buruan makan! Mau cepet selesai, gak?”Wanita hitam manis ini tersenyum segera menuju kulkas lalu mengambil jus kemasan. Kemudian, ia mendekat ke meja makan dan menuangkan jus ke dalam dua gelas kosong.Keduanya menikmati makan siang dengan terburu-buru karena kepikiran cerita Bu Sobir sudah meluber ke mana-mana. Setelah membersihkan perabot,
“Adek Mbak itu musibah, bukan tumbal. Berani bikin gosip soal Gunung Kemukus berarti sengaja bikin kuncen marah. Tunggu aja, tulahnya,” ucap Saimah yang hendak berlalu, tetapi dicegah oleh lengan seseorang.“Im, sabar! Biar aku omongin istriku. Maaf.”Rupanya Pak Sobir yang telah pulang dari kerja merasa malu dengan kegaduhan yang dibuat istrinya.“Dasar tak tau diri! Bukannya makasih, malah bikin gosip. Kayaknya lebih suka Bapak sakit. Ayo, Kes! Kita keluar jalan-jalan. Lain kali gak usah nolongin lagi!" ucap Saimah penuh emosi.Saimah segera memesan taksi online dan hal ini semakin membuat Bu Sobir meradang. Kesi kedalam mengambil tas lalu gegas menghampiri sang sahabat.“Kalian mau ke mana? Urusan belum selesai,” ucap Bu Sobir sembari mencoba menghalangi langkah Kesi dan Saimah yang akan menjauh.“Bu, pulaaang!”teriak Pak Sobir sembari mendelik dari atas motor.Kesi menghampiri saudara sopir taksi lalu menggenggam tangannya.“Ayo, Mbak! Kami antar pulang. Kita bahas dalam mobil aja.
Mobil akhirnya telah sampai di tempat tujuan. Sebuah kafe di tengah kota menghadap ke alun-alun. Sore ini sudah terlihat ramai oleh pengunjung.Saimah dan Kesi segera turun dan sebelum meninggalkan mobil, Kesi sempat menoleh ke arah sang sopir.“Im ...! Sopir itu ... kok wajahnya gosong?”Saimah segera menoleh ke arah pria pengemudi, tetapi mobil tersebut sudah tak ada. Kendaraan roda empat tersebut menghilang bagai ditelan bumi. Bagian belakang mobil tersebut tak tampak di sekitar tempat tersebut, padahal baru lima menit berlalu.“Cepet bener perginya.”kata Kesi yang ikut heran mengetahui hal tersebut.“Udah bisa dipastikan. Mobil siluman,” balas Saimah sembari mengecek aplikasi yang baru saja dipakainya. Wanita ini seketika paham yang dengan mobil yang mengantarkan mereka barusan.Beberapa detik kemudian, meski Saimah sudah menduga akan hal ini, tetapi tetap saja wanita ini tampak melongo saat menatap layar ponsel. Tiba-tiba tertera nama driver dari aplikasi taksi online. Beberapa sa
Kesi memotong bagian tengah banana split lalu mengaduk ice cream yang menyelimuti luarnya. Kini, tampak olehnya, di bagian yang terpotong ada sesuatu yang bergerak-gerak.Makhluk kecil berbentuk lonjong yang biasa hidup di bangkai. Tak cuma satu, tapi ada banyak. Mereka keluar dari sela-sela pisang dan bergelimpangan di antara gumpalan ice cream.“Im, apa ini? Menjijikan!”Kesi yang merasa mual, segera menyingkirkan piring lalu berlari mencari toilet. Saimah dengan sigap memanggil salah satu pelayan meminta total tagihan pesanan mereka dan tak mau kopi terkirim ke mejanya. Ia menyuruh pelayan untuk mengambil kedua kudapan.“Maaf, Bu, jika ada yang kurang berkenan. Tolong kasih tahu saya agar bisa jadi masukan untuk perbaikan pelayanan,” ucap pelayan ini sembari mengambil kedua piring.“Gak papa, Mbak. Kami harus segera pergi aja.”“Terima kasih atas penjelasannya. Mohon ditunggu bill-nya.”Saimah tersenyum manis dan pelayan tersebut berlalu dari hadapan mereka. Kesi yang datang dari to
“Mas susul ke sana," ucap Parman dari ujung telepon.“Baik. Mas ke sini aja,"balas Saimah yang langsung menyetujui ucapan suaminya.Telepon terputus dan Kesi jadi bengong mendengar percakapan pasangan suami istri barusan.“Kok, disuruh ke sini? Tuh Paman Gembul pasti ngikut. Im ... Im! Susah payah sembunyi, malah dikasih tau,” protes Kesi dengan raut wajah sewot.“Demi alibi. Biar mereka tak curiga dan kepo mulu," sahut Saimah berusaha menjelaskan kepada soulmatenya.“Bener juga, sih.”Tak lama kemudian terdengar suara motor dua tak milik Pak Sobir berhenti di tepat depan warung. Kedua wanita menoleh menatap ke arah depan. Benar saja, detik berikutnya, masuk dua orang pria yang mereka tunggu.“Mas, sini!”teriak Saimah ke arah sang suami yang berjalan paling depan.Tampak Pak Sobir mendekati pelayan untuk memesan sesuatu. Parman berjalan mendekat lalu duduk disusul oleh Pak Sobir. Pria bertubuh subur ini tersenyum senang melihat ke arah Kesi.Wanita yang sedari siang telah dicarinya. Na
Mereka sampai bersamaan dengan kedatangan Bu Sobir dan rombongan. Wanita bertubuh subur ini masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Pak Sobir mengikuti brankar yang membawa tubuh sang istri masuk ke UGD.“Kasian Bu Sobir,” ucap Kesi sambil sesekali melirik ke arah dalam.“Kata istri saya, barusan minum kopi di teras dan tiba-tiba kejang lalu pingsan,” sahut Pak RT yang kebetulan membawa Bu Sobir dengan mobilnya. “Oh, iya. Selama ini Bu Sobir memang tak pernah minum kopi. Dia punya darah tinggi,” ucap Saimah sembari melihat Pak Sobir yang melambai ke arahnya.“Permisi dulu. Pak Sobir kayaknya butuh bantuan,” kata Saimah sembari melangkah masuk ruang UGD.Saimah segera melangkahkan kaki ke dalam. Wanita berkulit kuning langsat ini berdiri tak jauh dari tirai tertutup tempat Bu Sobir diperiksa. Kemudian, Pak Sobir buru-buru menghampiri Saimah.“Im, kamu punya persediaan uang?” tanya Pak Sobir begitu Saimah sudah di dekat Saimah.“Bukannya kemarin udah 5 juta. Buat apa lagi?”“Kayaknya ada
“Enggaklah! Buat apa? Udah dibilang jaga rahasia. Gak bisa. Kejadian, dah,” ucap Saimah dengan ekspresi jengkel.“Udah! Gak usah diungkit, Sayang.”“Gak usah main-main, Mas.”Sarto yang mendengar ucapan Saimah seketika tertawa. Pria ini memang punya hati dengan sang wanita, tetapi sayangnya, Saimah tak menginginkannya.“Tawaranku masih berlaku seumur hidup,” ujar Sarto yang masih berusaha menaklukkan hati Saimah.Tanpa disadari mereka, ada sosok hitam berbau gosong telah duduk di bangku belakang dengan cucuran darah menetes dari kedua pelupuk mata, hidung dan sepasang telinganya.Tiba-tiba mobil Sarto macet saat akan sampai ke pasar.“Mas, cium bau sangit?” tanya Saimah sembari mengendus-endus.“Iya, ya. Baunya deket banget.”Saimah menoleh ke sumber aroma menyengat tersebut. Begitu ia melihat sosok di jok belakang.“M-maaas! I-ituuuu ....”Wanita ini pun segera membuka pintu dan turun dari mobil.“Jangan ganggu kami! Pergilah!” hardik Sarto ke sosok tersebut dengan mengumpulkan nyali.
“Mas, ngerasa ada yang aneh, gak?” tanya Saimah sembari mengedarkan pandangan.“Iya, sih.Tumben, rumah sakit ini sepi. Dari tadi gak ada petugas jaga.” Sarto pun ikut mengamati ruangan demi ruangan yang mereka lewati.Keduanya melangkahkan kaki menyusuri koridor sembari mengamati ruang perawatan kanan dan kiri yang sepi tak berpenghuni satu pun.Sampai akhirnya, langkah mereka terhenti depan kamar mayat dan tak melihat keberadaan Pak Sobir maupun Parman.“Ke mana mereka, Mas? Kita di mana?” tanya Saimah kebingungan.“Entah!” jawab Sarto sambil menggelengkan kepala. Pria ini celingukan melihat sekeliling dan berharap ada pengunjung atau tenaga kesehatan yang lewat. Namun sebuah harapan yang sia-sia.Mereka seperti berada di dunia lain tak berpenghuni. Sepi, terasing dan bingung. Tiba-tiba kesadaran keduanya menghilang. Tak ada cahaya, gerakan dan semakin sunyi. Kepala mereka berputar membuat pening. Beberapa saat kemudian, seberkas cahaya datang.“Le, Nduk! Akhirnya bangun juga.”“Mbah?