“Adek Mbak itu musibah, bukan tumbal. Berani bikin gosip soal Gunung Kemukus berarti sengaja bikin kuncen marah. Tunggu aja, tulahnya,” ucap Saimah yang hendak berlalu, tetapi dicegah oleh lengan seseorang.“Im, sabar! Biar aku omongin istriku. Maaf.”Rupanya Pak Sobir yang telah pulang dari kerja merasa malu dengan kegaduhan yang dibuat istrinya.“Dasar tak tau diri! Bukannya makasih, malah bikin gosip. Kayaknya lebih suka Bapak sakit. Ayo, Kes! Kita keluar jalan-jalan. Lain kali gak usah nolongin lagi!" ucap Saimah penuh emosi.Saimah segera memesan taksi online dan hal ini semakin membuat Bu Sobir meradang. Kesi kedalam mengambil tas lalu gegas menghampiri sang sahabat.“Kalian mau ke mana? Urusan belum selesai,” ucap Bu Sobir sembari mencoba menghalangi langkah Kesi dan Saimah yang akan menjauh.“Bu, pulaaang!”teriak Pak Sobir sembari mendelik dari atas motor.Kesi menghampiri saudara sopir taksi lalu menggenggam tangannya.“Ayo, Mbak! Kami antar pulang. Kita bahas dalam mobil aja.
Mobil akhirnya telah sampai di tempat tujuan. Sebuah kafe di tengah kota menghadap ke alun-alun. Sore ini sudah terlihat ramai oleh pengunjung.Saimah dan Kesi segera turun dan sebelum meninggalkan mobil, Kesi sempat menoleh ke arah sang sopir.“Im ...! Sopir itu ... kok wajahnya gosong?”Saimah segera menoleh ke arah pria pengemudi, tetapi mobil tersebut sudah tak ada. Kendaraan roda empat tersebut menghilang bagai ditelan bumi. Bagian belakang mobil tersebut tak tampak di sekitar tempat tersebut, padahal baru lima menit berlalu.“Cepet bener perginya.”kata Kesi yang ikut heran mengetahui hal tersebut.“Udah bisa dipastikan. Mobil siluman,” balas Saimah sembari mengecek aplikasi yang baru saja dipakainya. Wanita ini seketika paham yang dengan mobil yang mengantarkan mereka barusan.Beberapa detik kemudian, meski Saimah sudah menduga akan hal ini, tetapi tetap saja wanita ini tampak melongo saat menatap layar ponsel. Tiba-tiba tertera nama driver dari aplikasi taksi online. Beberapa sa
Kesi memotong bagian tengah banana split lalu mengaduk ice cream yang menyelimuti luarnya. Kini, tampak olehnya, di bagian yang terpotong ada sesuatu yang bergerak-gerak.Makhluk kecil berbentuk lonjong yang biasa hidup di bangkai. Tak cuma satu, tapi ada banyak. Mereka keluar dari sela-sela pisang dan bergelimpangan di antara gumpalan ice cream.“Im, apa ini? Menjijikan!”Kesi yang merasa mual, segera menyingkirkan piring lalu berlari mencari toilet. Saimah dengan sigap memanggil salah satu pelayan meminta total tagihan pesanan mereka dan tak mau kopi terkirim ke mejanya. Ia menyuruh pelayan untuk mengambil kedua kudapan.“Maaf, Bu, jika ada yang kurang berkenan. Tolong kasih tahu saya agar bisa jadi masukan untuk perbaikan pelayanan,” ucap pelayan ini sembari mengambil kedua piring.“Gak papa, Mbak. Kami harus segera pergi aja.”“Terima kasih atas penjelasannya. Mohon ditunggu bill-nya.”Saimah tersenyum manis dan pelayan tersebut berlalu dari hadapan mereka. Kesi yang datang dari to
“Mas susul ke sana," ucap Parman dari ujung telepon.“Baik. Mas ke sini aja,"balas Saimah yang langsung menyetujui ucapan suaminya.Telepon terputus dan Kesi jadi bengong mendengar percakapan pasangan suami istri barusan.“Kok, disuruh ke sini? Tuh Paman Gembul pasti ngikut. Im ... Im! Susah payah sembunyi, malah dikasih tau,” protes Kesi dengan raut wajah sewot.“Demi alibi. Biar mereka tak curiga dan kepo mulu," sahut Saimah berusaha menjelaskan kepada soulmatenya.“Bener juga, sih.”Tak lama kemudian terdengar suara motor dua tak milik Pak Sobir berhenti di tepat depan warung. Kedua wanita menoleh menatap ke arah depan. Benar saja, detik berikutnya, masuk dua orang pria yang mereka tunggu.“Mas, sini!”teriak Saimah ke arah sang suami yang berjalan paling depan.Tampak Pak Sobir mendekati pelayan untuk memesan sesuatu. Parman berjalan mendekat lalu duduk disusul oleh Pak Sobir. Pria bertubuh subur ini tersenyum senang melihat ke arah Kesi.Wanita yang sedari siang telah dicarinya. Na
Mereka sampai bersamaan dengan kedatangan Bu Sobir dan rombongan. Wanita bertubuh subur ini masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Pak Sobir mengikuti brankar yang membawa tubuh sang istri masuk ke UGD.“Kasian Bu Sobir,” ucap Kesi sambil sesekali melirik ke arah dalam.“Kata istri saya, barusan minum kopi di teras dan tiba-tiba kejang lalu pingsan,” sahut Pak RT yang kebetulan membawa Bu Sobir dengan mobilnya. “Oh, iya. Selama ini Bu Sobir memang tak pernah minum kopi. Dia punya darah tinggi,” ucap Saimah sembari melihat Pak Sobir yang melambai ke arahnya.“Permisi dulu. Pak Sobir kayaknya butuh bantuan,” kata Saimah sembari melangkah masuk ruang UGD.Saimah segera melangkahkan kaki ke dalam. Wanita berkulit kuning langsat ini berdiri tak jauh dari tirai tertutup tempat Bu Sobir diperiksa. Kemudian, Pak Sobir buru-buru menghampiri Saimah.“Im, kamu punya persediaan uang?” tanya Pak Sobir begitu Saimah sudah di dekat Saimah.“Bukannya kemarin udah 5 juta. Buat apa lagi?”“Kayaknya ada
“Enggaklah! Buat apa? Udah dibilang jaga rahasia. Gak bisa. Kejadian, dah,” ucap Saimah dengan ekspresi jengkel.“Udah! Gak usah diungkit, Sayang.”“Gak usah main-main, Mas.”Sarto yang mendengar ucapan Saimah seketika tertawa. Pria ini memang punya hati dengan sang wanita, tetapi sayangnya, Saimah tak menginginkannya.“Tawaranku masih berlaku seumur hidup,” ujar Sarto yang masih berusaha menaklukkan hati Saimah.Tanpa disadari mereka, ada sosok hitam berbau gosong telah duduk di bangku belakang dengan cucuran darah menetes dari kedua pelupuk mata, hidung dan sepasang telinganya.Tiba-tiba mobil Sarto macet saat akan sampai ke pasar.“Mas, cium bau sangit?” tanya Saimah sembari mengendus-endus.“Iya, ya. Baunya deket banget.”Saimah menoleh ke sumber aroma menyengat tersebut. Begitu ia melihat sosok di jok belakang.“M-maaas! I-ituuuu ....”Wanita ini pun segera membuka pintu dan turun dari mobil.“Jangan ganggu kami! Pergilah!” hardik Sarto ke sosok tersebut dengan mengumpulkan nyali.
“Mas, ngerasa ada yang aneh, gak?” tanya Saimah sembari mengedarkan pandangan.“Iya, sih.Tumben, rumah sakit ini sepi. Dari tadi gak ada petugas jaga.” Sarto pun ikut mengamati ruangan demi ruangan yang mereka lewati.Keduanya melangkahkan kaki menyusuri koridor sembari mengamati ruang perawatan kanan dan kiri yang sepi tak berpenghuni satu pun.Sampai akhirnya, langkah mereka terhenti depan kamar mayat dan tak melihat keberadaan Pak Sobir maupun Parman.“Ke mana mereka, Mas? Kita di mana?” tanya Saimah kebingungan.“Entah!” jawab Sarto sambil menggelengkan kepala. Pria ini celingukan melihat sekeliling dan berharap ada pengunjung atau tenaga kesehatan yang lewat. Namun sebuah harapan yang sia-sia.Mereka seperti berada di dunia lain tak berpenghuni. Sepi, terasing dan bingung. Tiba-tiba kesadaran keduanya menghilang. Tak ada cahaya, gerakan dan semakin sunyi. Kepala mereka berputar membuat pening. Beberapa saat kemudian, seberkas cahaya datang.“Le, Nduk! Akhirnya bangun juga.”“Mbah?
"Sebaiknya Bapak-bapak petugas bisa segera kembali ke rumah sakit. Kami yang akan menangani pemakaman,” ucap kuncen kepada ketiga petugas.Ketiga petugas lalu berpamitan kepada semua. Mereka beranjak menuju anak tangga diantar oleh Pak Sobir dan Parman. Sedangkan Saimah dan Sarto diajak berbincang dengan kuncen.“Kalian sudah tau, di mana mayat Bu Sobir, kan?” tanya kuncen sembari menatap ke arah punden.Saimah dan Sarto mengangguk. Namun, keduanya tak ingin mengatakan apa pun sampai tahu arah pembicaraan kuncen.“Nanti peti langsung ditimbun tanah saja. Gak usah dibuka tutupnya.”“Tapi, Mbah ... gimana ngomongnya?” tanya Saimah sembari menoleh karena terdengar langkah mendekat.Rupanya Pak Sobir dan Parman telah kembali. Mereka ikut bergabung dalam pembicaraan ketiganya. Saimah tak tahu meski menjelaskan gimana kepada Pak Sobir. Wanita ini hanya tersenyum ke arah kedua orang yang barusan datang.“Udah bisa dimakamkan sekarang, Mbah?” tanya Pak Sobir seraya melihat ke arah liang lahat
"Dapat foto dari mana?"tanya Kesi yang mengambil alih ponsel. Kini kedua matanya menatap foto dalam ponsel lalu mengangguk-anggukkan kepala. Ia yakin akan yang dipikirkannya."Mas Parman dapat cincin dari mayat di belakang toko Pak Trenggono.""Serius, Im?"tanya Kesi dengan mata membulat."Serius. Aku dan Mas Parman sempat liat Pak Trenggono datang bareng Kuncen,"ungkap Saimah yang semakin membuat kedua mata Kesi semakin terbelalak."Pak Trenggono pelaku ritual juga?"tanya Kesi dengan bola mata menatap lekat foto cincin di ponsel yang dipegangnya.Wanita berkulit hitam manis ini tampak mengerutkan dahi. Beberapa saat kemudian, Kesi meneteskan air mata. Ia ingat sesuatu. Saimah yang melihat hal tersebut langsung bertanya,"Punya siapa?"Kesi mendongak lalu mengusap buliran bening dengan ujung jari. Wanita hitam manis ini menarik napas panjang lalu mengembuskan pelan-pelan. Tampak sekali, ada beban berat yang sedang ingin ia lepaskan. Kesi menatap Saimah dengan kedua bola mata masih berk
"Bisa terbuka, Dek!"seru Parman dengan raut wajah lega."Syukurlah, Mas. Kita bisa keluar lagi," balas Saimah dengan kedua mata berbinar-binar.Parman kembali mundur lalu memukul permukaan pohon dengan keras. Seketika terdengar.'Braaakk!'Pasangan suami istri tersebut saling berpandangan dengan raut wajah senang. Keduanya segera balik badan lalu beranjak semakin masuk. Mereka berada dalam sebuah lorong panjang dengan cahaya terang di ujung. Mereka melangkah hati-hati sembari mata awas mengamati sekeliling. Mereka khawatir bahwa lorong yang dilewati terpasang jebakan.Setelah mereka melewati lorong sepanjang dua puluh meter, akhirnya sampai di ujung lorong. Saat pasangan suami istri ini menginjakkan kaki di tanah selepas lorong, betapa terkejut keduanya. Ternyata, mereka berada di area halaman belakang toko Pak Trenggono. Dari kejauhan mereka bisa melihat gundukan tanah yang diduga sebagai kuburan.Ujung bawah gamis Saimah tersangkut sesuatu. Wanita ini langsung menghentikan langkah l
"Mobilnya ada di mana?"tanya polisi lagi."Sudah pergi, Pak," ucap Kesi.Badrun yang tahu kondisi labil yang sedang dialami oleh Kesi dengan segera memeluk istrinya. Dengan nada lirih, pria tersebut mengungkap,"Maaf, Pak. Istri saya melihat penampakan seperti bayangan.""Begitu rupanya,"balas polisi yang lalu menutup wadah berisi kedua benda. "Sebaiknya Bapak dan Ibu membuat laporan ke kantor polisi. Ini bisa sebagai barang bukti.""Baik, Pak," ucap Kesi yang langsung direspons anggukan kepala oleh Badrun.Tak berapa lama empat orang polisi datang dari arah tempat pemulasaran jenazah dengan membawa kontainer box berisi barang-barang bukti. Akhirnya para polisi tersebut berpamitan kepada Kiai Ahmad untuk kembali ke kantor. Saimah dan Kesi bersama pasangan mereka ikut serta berpamitan. Keempatnya akan membuat laporan ke polisi.Empat orang tersebut menumpangi taksi menuju ke kantor polisi. Saat di tengah perjalanan, tiba-tiba Saimah meminta berhenti. Ia dan Parman ada suatu keperluan. A
"Lisa, kamu harus bisa bertahan. Bulek akan mengeluarkan kamu!" teriak Kesi histeris.Teriakan wanita berkulit hitam manis tersebut tak urung menarik perhatian semua orang yang ada di dalam toko. Badrun yang pertama kali menghampiri Kesi lalu memeluknya."Dek, sabar. Pak Trenggono sedang menelepon karyawannya," ucap Badrun yang berusaha menenangkan istrinya.Sesaat kemudian, Saimah dan Parman menyusul keluar. Kedua orang tersebut mendekat dengan ekspresi heran. Pak Trenggono pun ikut keluar masih dengan keadaan menelepon. Pria pemilik toko seketika kaget melihat perilaku Kesi yang sedang mengintip dalam mobil. Ia segera mengakhiri hubungan telepon lalu mendekat ke arah mobil."Ada apa ini?"tanya Pak Trenggono sambil memandang ke arah Kesi dengan tatapan tak wajar."Maaf, Pak. Barusan istri saya liat keponakannya ada dalam mobil," jawab Badrun sambil merangkul Kesi untuk menjauh dari kaca."Keponakan? Siapa?"tanya Pak Trenggono sambil mengusap sisi kaca yang barusan diintip oleh Kesi.
"Kes, ada apa?"tanya Saimah saat sudah berdiri dekat Kesi."Aku lihat bayangan Lisa menghilang di sini, Im. Kamu dengar, dia berteriak kesakitan. Di bawah sini," jawab Kesi sambil menepuk-nepuk gundukan tanah tersebut.Saimah ikut berjongkok lalu mengamati tanah basah yang dipenuhi taburan berbagai macam bunga yang telah layu. Wanita ini tak mendengar suara apa pun. Namun, dirinya tak menyangkal bahwa bagi mereka yang terbiasa berhubungan dengan hal-hal gaib akan bisa merasakan sebuah kejanggalan dengan kasus ini.Ia yakin Lisa telah meninggal dunia dan jasadnya masih tersembunyi. Saimah menoleh ke arah Kesi lalu bertanya,"Kes, kamu dengar apa?""Lisa kesakitan, Im. Dia ada di sini," jawab Kesi sambil menepuk-nepuk tanah di depannya. Ia menangis terisak-isak lalu mengais tanah tersebut.Saimah yang melihat hal tersebut segera memegang kedua tangan Kesi. "Kes, ini tanah orang. Kita harus minta izin ke pemiliknya dulu," ucap Saimah sambil membersihkan kedua tangan Kesi yang belepotan d
"Ke mana Lisa? Baru saja aku suruh duduk situ. Bantu aku mencarinya, Im. Kasian dia!"Saimah yang mendengar ucapan Kesi, tak bisa menahan rasa haru. Ia memeluk erat tubuh Kesi. "Kamu yang tabah! Ada aku, Mas Parman, suamimu dan para penghuni pondok yang sayang kamu.""Aneh, kamu, Im! Yang perlu disemangati itu Lisa. Bukan aku. Tolong, bantu cari Lisa!" pinta Kesi dengan nada jengkel.Tampak Badrun berlari menghampiri kedua wanita. Pria tersebut segera memeluk tubuh Kesi erat lalu mengecup kening istrinya."Dek, ayo buruan ke pemulasaran jenazah. Ditunggu ustazah dan santriwati," ucap Badrun.Kesi yang tak mengerti masalahnya, semakin bingung dengan perilaku suaminya. Ia memandang wajah Badrun dan ada raut kesedihan di kedua mata."Tadi Saimah. Sekarang Mas. Pada kenapa kalian? Ada kejadian apa?" tanya Kesi sambil memandang kedua orang bergantian."Mas, temani Kesi ke sana. Aku mau bersiap dengan yang lain," ucap Saimah seraya menepuk bahu Kesi pelan."Ya, Mbak. Kami segera menyusul," b
"Ya, Allah! Saya kenapa di sini?"tanya Badrun dengan ekspresi bingung."Assalammu'alaikum," ucap salam oleh santri yang langsung dibalas Badrun dengan buliran bening menyembul dari dua sudut mata."Alhamdulillah! Sampeyan masih dilindungi oleh Allah, Mas," ucap santri sambil tersenyum.Parman langsung memeluk tubuh Badrun yang berguncang hebat karena terharu sekaligus rasa syukur. Ketiga pria berjalan menuju masjid. Santri tersebut membantu membersihkan tubuh Badrun dari gangguan setan dengan rukiah.Sementara itu tubuh pasangan mesum yang berada di atas brankar segera dibawa ke tempat tertutup di belakang aula. Para santri dengan dipimpin oleh Ustaz Hamid membacakan doa untuk memulihkan keadaan pasangan tersebut. Di saat yang sama, Kiai Ahmad mengikat tubuh Kuncen dengan doa khusus lalu membawanya ke arah asrama putra."Aku senang Mas Badrun cepat tertolong. Kita ini adalah target dari Ratu,"ucap Kesi sambil fokus memandang satu arah.Ia melihat beberapa para santri yang berjalan dar
"Maaf, Kiai dan Ustaz. Kami barusan melihat ...."Akhirnya meluncur cerita Parman tentang aktivitas Aldi dan Lisa dalam ruang persemayaman jenazah."Astaghfirullahaladzim!" seru kedua pria bersamaan."Bagaimana mungkin mereka bisa di sana?" tanya Kiai Ahmad sambil memilin biji-biji tasbih."Saya pikir Lisa terkena hipnotis, Kiai. Jika dalam keadaan sadar, tak mungkin dia mau melakukan hal tersebut. Apalagi Aldi adalah pelaku ritual pesugihan. Ini salah satu ritual penutup baginya. Kenapa Lisa yang jadi target? Kasian dia," urai Saimah dengan ekspresi yang tampak kesal. Dia harus segera kasih tahu hal ini kepada Kesi."Maaf, saya harus ke Kesi dulu. Assalammu'alaikum," ucap Saimah yang segera berlalu tanpa mendengarkan jawab salam ketiga pria.Saimah berlari sekencang mungkin. Insiden yang terjadi terhadap Lisa adalah benar-benar darurat. Pada saat wanita berparas ayu khas Jawa ini sampai, terlihat Kesi sedang bersiap akan keluar ruangan. "Kebetulan kamu datang, Im. Ayo, ikut aku!"aja
"Assalammu'alaikum!""Wa'alaikumussalam!" jawab kedua wanita dengan suara kencang.Saimah yang mendengarkan suara familer tersebut bergegas bangkit lalu berjalan ke arah pintu. Ia segera membuka gerendel pintu. Begitu terbuka, Parman tersenyum ke arah istrinya.Saimah buru-buru bertanya, "Gimana, berhasil?""Alhamdulillah. Berhasil bawa pergi Dokter Anita dan ponakan Mbak Kesi," balas Parman sambil mengulurkan sebuah botol kecil berisi cairan hitam ke Saimah."Dapat dari mana, Mas?"tanya Saimah dengan ekspresi terkejut. Ia segera menyimpan botol dalam saku."Dapat dari santri depan aula. Katanya dari Kiai buat penjagaan diri," balas Parman dengan wajah datar."Cuma Mas yang dikasi, kan?""Enggak. Mas Badrun juga dapat. Bilangnya, diusapkan ubun-ubun dan telapak kaki."Saimah segera menoleh ke arah Kesi lalu berucap,"Kesi, kamu sendirian, gak apa?""Mau ke mana, Im?""Mas Parman dan suamimu dapat cairan setan lagi. Aku mau lapor ke Kiai.""Tolong, buruan kasih tahu Mas Badrun, Im!"Sai