Kesi memotong bagian tengah banana split lalu mengaduk ice cream yang menyelimuti luarnya. Kini, tampak olehnya, di bagian yang terpotong ada sesuatu yang bergerak-gerak.Makhluk kecil berbentuk lonjong yang biasa hidup di bangkai. Tak cuma satu, tapi ada banyak. Mereka keluar dari sela-sela pisang dan bergelimpangan di antara gumpalan ice cream.“Im, apa ini? Menjijikan!”Kesi yang merasa mual, segera menyingkirkan piring lalu berlari mencari toilet. Saimah dengan sigap memanggil salah satu pelayan meminta total tagihan pesanan mereka dan tak mau kopi terkirim ke mejanya. Ia menyuruh pelayan untuk mengambil kedua kudapan.“Maaf, Bu, jika ada yang kurang berkenan. Tolong kasih tahu saya agar bisa jadi masukan untuk perbaikan pelayanan,” ucap pelayan ini sembari mengambil kedua piring.“Gak papa, Mbak. Kami harus segera pergi aja.”“Terima kasih atas penjelasannya. Mohon ditunggu bill-nya.”Saimah tersenyum manis dan pelayan tersebut berlalu dari hadapan mereka. Kesi yang datang dari to
“Mas susul ke sana," ucap Parman dari ujung telepon.“Baik. Mas ke sini aja,"balas Saimah yang langsung menyetujui ucapan suaminya.Telepon terputus dan Kesi jadi bengong mendengar percakapan pasangan suami istri barusan.“Kok, disuruh ke sini? Tuh Paman Gembul pasti ngikut. Im ... Im! Susah payah sembunyi, malah dikasih tau,” protes Kesi dengan raut wajah sewot.“Demi alibi. Biar mereka tak curiga dan kepo mulu," sahut Saimah berusaha menjelaskan kepada soulmatenya.“Bener juga, sih.”Tak lama kemudian terdengar suara motor dua tak milik Pak Sobir berhenti di tepat depan warung. Kedua wanita menoleh menatap ke arah depan. Benar saja, detik berikutnya, masuk dua orang pria yang mereka tunggu.“Mas, sini!”teriak Saimah ke arah sang suami yang berjalan paling depan.Tampak Pak Sobir mendekati pelayan untuk memesan sesuatu. Parman berjalan mendekat lalu duduk disusul oleh Pak Sobir. Pria bertubuh subur ini tersenyum senang melihat ke arah Kesi.Wanita yang sedari siang telah dicarinya. Na
Mereka sampai bersamaan dengan kedatangan Bu Sobir dan rombongan. Wanita bertubuh subur ini masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Pak Sobir mengikuti brankar yang membawa tubuh sang istri masuk ke UGD.“Kasian Bu Sobir,” ucap Kesi sambil sesekali melirik ke arah dalam.“Kata istri saya, barusan minum kopi di teras dan tiba-tiba kejang lalu pingsan,” sahut Pak RT yang kebetulan membawa Bu Sobir dengan mobilnya. “Oh, iya. Selama ini Bu Sobir memang tak pernah minum kopi. Dia punya darah tinggi,” ucap Saimah sembari melihat Pak Sobir yang melambai ke arahnya.“Permisi dulu. Pak Sobir kayaknya butuh bantuan,” kata Saimah sembari melangkah masuk ruang UGD.Saimah segera melangkahkan kaki ke dalam. Wanita berkulit kuning langsat ini berdiri tak jauh dari tirai tertutup tempat Bu Sobir diperiksa. Kemudian, Pak Sobir buru-buru menghampiri Saimah.“Im, kamu punya persediaan uang?” tanya Pak Sobir begitu Saimah sudah di dekat Saimah.“Bukannya kemarin udah 5 juta. Buat apa lagi?”“Kayaknya ada
“Enggaklah! Buat apa? Udah dibilang jaga rahasia. Gak bisa. Kejadian, dah,” ucap Saimah dengan ekspresi jengkel.“Udah! Gak usah diungkit, Sayang.”“Gak usah main-main, Mas.”Sarto yang mendengar ucapan Saimah seketika tertawa. Pria ini memang punya hati dengan sang wanita, tetapi sayangnya, Saimah tak menginginkannya.“Tawaranku masih berlaku seumur hidup,” ujar Sarto yang masih berusaha menaklukkan hati Saimah.Tanpa disadari mereka, ada sosok hitam berbau gosong telah duduk di bangku belakang dengan cucuran darah menetes dari kedua pelupuk mata, hidung dan sepasang telinganya.Tiba-tiba mobil Sarto macet saat akan sampai ke pasar.“Mas, cium bau sangit?” tanya Saimah sembari mengendus-endus.“Iya, ya. Baunya deket banget.”Saimah menoleh ke sumber aroma menyengat tersebut. Begitu ia melihat sosok di jok belakang.“M-maaas! I-ituuuu ....”Wanita ini pun segera membuka pintu dan turun dari mobil.“Jangan ganggu kami! Pergilah!” hardik Sarto ke sosok tersebut dengan mengumpulkan nyali.
“Mas, ngerasa ada yang aneh, gak?” tanya Saimah sembari mengedarkan pandangan.“Iya, sih.Tumben, rumah sakit ini sepi. Dari tadi gak ada petugas jaga.” Sarto pun ikut mengamati ruangan demi ruangan yang mereka lewati.Keduanya melangkahkan kaki menyusuri koridor sembari mengamati ruang perawatan kanan dan kiri yang sepi tak berpenghuni satu pun.Sampai akhirnya, langkah mereka terhenti depan kamar mayat dan tak melihat keberadaan Pak Sobir maupun Parman.“Ke mana mereka, Mas? Kita di mana?” tanya Saimah kebingungan.“Entah!” jawab Sarto sambil menggelengkan kepala. Pria ini celingukan melihat sekeliling dan berharap ada pengunjung atau tenaga kesehatan yang lewat. Namun sebuah harapan yang sia-sia.Mereka seperti berada di dunia lain tak berpenghuni. Sepi, terasing dan bingung. Tiba-tiba kesadaran keduanya menghilang. Tak ada cahaya, gerakan dan semakin sunyi. Kepala mereka berputar membuat pening. Beberapa saat kemudian, seberkas cahaya datang.“Le, Nduk! Akhirnya bangun juga.”“Mbah?
"Sebaiknya Bapak-bapak petugas bisa segera kembali ke rumah sakit. Kami yang akan menangani pemakaman,” ucap kuncen kepada ketiga petugas.Ketiga petugas lalu berpamitan kepada semua. Mereka beranjak menuju anak tangga diantar oleh Pak Sobir dan Parman. Sedangkan Saimah dan Sarto diajak berbincang dengan kuncen.“Kalian sudah tau, di mana mayat Bu Sobir, kan?” tanya kuncen sembari menatap ke arah punden.Saimah dan Sarto mengangguk. Namun, keduanya tak ingin mengatakan apa pun sampai tahu arah pembicaraan kuncen.“Nanti peti langsung ditimbun tanah saja. Gak usah dibuka tutupnya.”“Tapi, Mbah ... gimana ngomongnya?” tanya Saimah sembari menoleh karena terdengar langkah mendekat.Rupanya Pak Sobir dan Parman telah kembali. Mereka ikut bergabung dalam pembicaraan ketiganya. Saimah tak tahu meski menjelaskan gimana kepada Pak Sobir. Wanita ini hanya tersenyum ke arah kedua orang yang barusan datang.“Udah bisa dimakamkan sekarang, Mbah?” tanya Pak Sobir seraya melihat ke arah liang lahat
“Tolong, berhenti berdebat! Kita harus sampe rumah dulu. Tak bagus membahas ini di tengah jalan.”Sarto yang mendengar perkataan Saimah tersadar. Pria ini segera beranjak ke mobil dan menghidupkan mesin.Sesaat kemudian, Saimah mengajak sang suami dan Pak Sobir untuk segera masuk mobil. Semua menahan diri untuk berbicara agar tak terjadi keanehan lagi. Mereka tak ingin tertimpa kejadian seperti yang dialami keluarga Sobir.Mobil berjalan perlahan menuju arah perumahan dan tepat di gerbang masuk, kendaraan terhalang iring-iringan pembawa keranda. Sarto terpaksa bersabar hati karena harus mengurangi laju mobil dan tampaknya, tujuan mereka searah.“Ada jalan lain, gak?” tanya Sarto sembari melihat spion. Ia melihat di belakang mobil tak ada kendaraan dan bisa mundur untuk putar haluan.“Kayaknya bisa sih, kita putar di gang sebelah. Entar tembus depan situ,”jawab Saimah seraya menunjuk.Namun, telunjuk wanita ini segera diturunkan saat ia melihat para pengusung keranda berbalik arah dan m
Saimah mengamati tingkah laku Kesi dan hampir mengenalinya sebagai almarhumah Bu Sobir. Wanita berkulit bersih berniat mengetes firasatnya benar apa tidak, tentang perilaku tak biasa ini.“Kes, besok pagi antar aku ambil petai ke teman,” kata Saimah sembari mengamati raut wajah Kesi.“Boleh, kebetulan sekali. Aku suka petai dibuat lalapan.”Jawaban Kesi membuat mata Saimah terbelalak.Sejak kapan Kesi suka petai? tanya Saimah dalam hati.Wanita berambut hitam legam ini semakin mantap dengan firasatnya. Sang sahabat telah hadir dengan jiwa Bu Sobir terselip di dalamnya. Saimah kini menjadi bimbang, bagaimana bersikap terhadap dua jiwa tersebut. Ia tak tahu pasti, kapan saat jiwa muncul sebagai Kesi maupun Bu Sobir.“Im, kamu barusan ngomong apa? Kepalaku kok mendadak pusing,” ujar Kesi yang tiba-tiba telah berganti karakter.Saimah pun seketika tersadar, yang barusan ngomong adalah Kesi yang sebenarnya.“Beneran kamu mau petai? Tumben! Gak biasanya,” ucap Saimah sengaja memancing reaksi