“Tolong, berhenti berdebat! Kita harus sampe rumah dulu. Tak bagus membahas ini di tengah jalan.”Sarto yang mendengar perkataan Saimah tersadar. Pria ini segera beranjak ke mobil dan menghidupkan mesin.Sesaat kemudian, Saimah mengajak sang suami dan Pak Sobir untuk segera masuk mobil. Semua menahan diri untuk berbicara agar tak terjadi keanehan lagi. Mereka tak ingin tertimpa kejadian seperti yang dialami keluarga Sobir.Mobil berjalan perlahan menuju arah perumahan dan tepat di gerbang masuk, kendaraan terhalang iring-iringan pembawa keranda. Sarto terpaksa bersabar hati karena harus mengurangi laju mobil dan tampaknya, tujuan mereka searah.“Ada jalan lain, gak?” tanya Sarto sembari melihat spion. Ia melihat di belakang mobil tak ada kendaraan dan bisa mundur untuk putar haluan.“Kayaknya bisa sih, kita putar di gang sebelah. Entar tembus depan situ,”jawab Saimah seraya menunjuk.Namun, telunjuk wanita ini segera diturunkan saat ia melihat para pengusung keranda berbalik arah dan m
Saimah mengamati tingkah laku Kesi dan hampir mengenalinya sebagai almarhumah Bu Sobir. Wanita berkulit bersih berniat mengetes firasatnya benar apa tidak, tentang perilaku tak biasa ini.“Kes, besok pagi antar aku ambil petai ke teman,” kata Saimah sembari mengamati raut wajah Kesi.“Boleh, kebetulan sekali. Aku suka petai dibuat lalapan.”Jawaban Kesi membuat mata Saimah terbelalak.Sejak kapan Kesi suka petai? tanya Saimah dalam hati.Wanita berambut hitam legam ini semakin mantap dengan firasatnya. Sang sahabat telah hadir dengan jiwa Bu Sobir terselip di dalamnya. Saimah kini menjadi bimbang, bagaimana bersikap terhadap dua jiwa tersebut. Ia tak tahu pasti, kapan saat jiwa muncul sebagai Kesi maupun Bu Sobir.“Im, kamu barusan ngomong apa? Kepalaku kok mendadak pusing,” ujar Kesi yang tiba-tiba telah berganti karakter.Saimah pun seketika tersadar, yang barusan ngomong adalah Kesi yang sebenarnya.“Beneran kamu mau petai? Tumben! Gak biasanya,” ucap Saimah sengaja memancing reaksi
“Kita naik bentor aja, Mas,” ajak penjaga makam kepada Badrun yang terlihat masih linglung. Kemudian, pria bujangan berumur 30 tahunan ini hanya menurut tanpa banyak omong, selain dari bibirnya terucap kata yang selalu diulang.“Manis, ke mana?”Pria tua penjaga makam semakin bingung saat ia menanyakan hal tersebut dengan pandangan mengiba.“Mas, semalam ke mana? Sama siapa?” tanya pria tua ini masih berusaha menyadarkan Badrun.Pria tua ini pun sempat mencari keberadaan motor yang biasa dipakai oleh pria muda yang duduk menggigil di sebelahnya. Namun, kendaraan roda dua tersebut tak ada di areal pekuburan.Mereka sampai di depan kontrakan Badrun. Kedatangan mereka menarik perhatian para warga karena melihat Badrun yang hanya berbalut sarung.“Kenapa Mas Badrun, Pak?” tanya salah satu warga.“Semalam tersesat di makam,” sahut sang pria tua.“Gak pake baju?”Pria tua itu pun mengiyakan lalu membantu Badrun untuk turun dari bentor. Penjaga makam terpaksa melapor ke Pak RT terlebih dulu
“Wah, orang-orang nyangka gak, kalo dia semalam sama aku?” tanya Kesi merasa khawatir.“Aku barusan tau karena ditanya soal kamu oleh teman kerja Mas Badrun.”“Nanya gimana?”“Dia tanya, tau kamu gak. Berarti semalam ada yang melihat kamu pergi dengan Mas Badrun.”“Kira-kira ada berapa yang tau? Aku ngeri juga kalo gini,” ucap Kesi sembari berjalan masuk kamar lalu keluar lagi dengan barang-barang Badrun.Ia gegas melipat kedua barang lalu dimasukkan ke dalam kresek berikut dompet dan ponsel. Saiman melihat sahabatnya penuh pandangan menyelidik. Kesi yang merasa diperhatikan menjadi salah tingkah“Aku gak tau menahu soal semalam. Buat apa bohong?” tanya Kesi sewot.“Gak. Aku cuma heran. Siapa yang pake tubuh kamu? Pikirin! siapa kira-kira?”“Pasti roh penasaran. Siapa lagi. Menurutmu, siapa, Im?”“Aku mikir kok arwah Bu Sobir,” jawab Saimah.Wanita berbadan bagus ini kembali mengingat yang telah ia lakukan kepada sahabatnya dengan abu Bu Sobir. Ia tak mungkin jujur pada Kesi.“Kok, bis
“Hem ... hem! Pulang sana dulu, Im. Gak usah pamer dimari!” teriak wanita hitam manis ini.Pasutri tersebut kaget seketika melepas pelukan lalu menoleh ke arah Kesi. Mereka tersenyum malu.“Kami pulang dulu, Kes. Entar tungguin kalo mau keluar,” ucap Saimahsembari menggandeng tangan sang suami lalu beranjak pergi.Kini, tinggal Kesi sendiri memaksa mengingat kejadian semalam. Namun, tak ada yang bisa diingat kecuali rasa loyo dan perih di bagian organ intimnya. Saat Kesi akan menutup pintu, kedua matanya seketika terbelalak melihat Pak Sobir mengendarai motor milik Badrun.Wanita hitam manis ini tak ingin menyapa karena tak ingin mendapat masalah lagi. Ia buru-buru menutup pintu lalu dari balik tirai mengintip ke arah mana pria gendut itu. Ternyata, Pak Sobir menuju rumah Badrun dan seketika terdengar riuh para warga yang merespon kehadiran Pak Sobir mengendarai motor Badrun.Kesi membuka pintu lalu menuju teras demi melihat keadaan yang terjadi di rumah Badrun. Wanita ini melihat sang
“Yang mendatangi Mas Badrun itu arwah Bu Sobir.”“Mana mungkin?”“Aku semalam tidur di rumah dan tiba-tiba ada baju, celana Mas dalam kamar. Motor itu, di mana?”Badrun termenung sejenak lalu melihat Kesi dan motor secara gantian. Pria ini lalu menatap bungkus cokelat di meja.“Ada yang aneh, Mas?”tanya Kesi yang merasa heran dengan reaksi Badrun.“Enggak. Kenapa barang-barangku ada di dua tempat berbeda?”“Emang Mas Badrun ke mana aja semalam?”“Nganterin kamu ke halte. Tapi belok bentar. Sama-sama gak tahan, kan?”Saat Badrun mengucapkan hal tersebut, nggak bisa dipungkiri hati Kesi merasa deg-degan. Mata Badrun awas melihat perubahan itu. Pria ini tak bisa dipungkiri, sepertinya tahu betul ekspresi Kesi adalah sengaja menutupi kebenaran."Aku gak mungkin bercinta dengan roh halus,” celetuk Badrun masih juga menatap Kesi dengan lekat.“Mbak, aku akan tanggung jawab jika suatu saat benih itu jadi. Oh, ya. Aku bawa pulang boleh?” tanya Badrun sembari menunjuk bungkus cokelat di meja.
“Kes, aku pesanin taksi, ya?” tanya Saimah sembari mengetuk pintu toilet.“Ya,” jawab Kesi dari dalam di sela suara guyuran air.Saimah gegas mengetik pemesanan di aplikasi taksi online.Tak lama kemudian Kesi telah keluar dari toilet. Dengan wajah pucat pasi, ia langsung duduk di sebelah Saimah.“Jangan-jangan kamu hamil, Kes,” ucap Saimah sembari meraba kening sang sahabat.“Gak usah ngaco. Sejak jadi pendamping ritual, kita tak mungkin hamil. Kamu tau itu!”“Apa mungkin ... karena ini benih dari bukan pelaku ritual?”“Maksud kamu, Im?”“Ini benih dari Mas Badrun dan berhasil tumbuh di rahimmu. Kalian harus segera nikah. Saatnya memberi jawaban,” jelas Saimah sembari senyum ke arah Kesi.“Begitu nikah, aku harus berhenti jadi pendamping ritual.”“Entah soal itu. Yang penting biarin janin tumbuh dulu di rahim kamu. Akhirnya dapat solusi buat menghindarkan Mas Badrun dari tuah,” ucap Saimah dengan semangat.“Tapi, Im. Entar teror dari arwah Bu Sobir bisa berhenti?”“Kamu bisa tanya lan
“Kalian harus segera menikah karena alasan ini,” ucap lirih sang nenek bermata juling dengan tawa terkekeh-kekeh.Wanita tua ini menghilang dengan menyisakan bau asap yang seketika memenuhi indra penciuman kedua insan di bangku tunggu.“Mas, ngapain kita barusan?” tanya Kesi yang baru menyadari perbuatan mereka.Badrun segera berbenah, tetapi terlambat buat mereka. Beberapa pasang mata telah memergoki perbuatan mereka barusan.“Mesum di tempat umum. Tak ada akhlak!” teriak seorang pria sembari menampar pipi Badrun.“Ini perempuan sundel!” teriak seorang ibu seraya menjambak rambut Kesi.Seketika tubuh Badrun dan Kesi gemetaran. Mereka tak mungkin bisa meloloskan diri dari kepungan warga. Ruangan seketika ramai dengan hujatan dan caci maki ditujukan kepada keduanya. Wajah Badrun dan Kesi semakin pucat pasi karena warga semakin beringas. Muka dan badan mereka jadi sasaran amukan warga.“Permisi, Bapak, Ibu sekalian. Tolong kasih jalan!”Terdengar suara seseorang sambil menyibak kerumunan