“Kamu sih, sembrono sekali. Ngapain orang dekat sini? Udah tau istrinya jago gosip dan bertengkar. Rahasia kita bisa terbongkar. Kamu bilang ke Pak Sobir dan kuncen.Biar bisa diajak kerjasama.” Saimah sangat kesal dengan perilaku Kesi yang seenaknya sendiri.“Iya, ya. Kalo kuncen bisa ditelepon, tapi Pak Sobir harus ditemui langsung," sahut Kesi sambil menggerutu.“Lakuin segera! Entar aku yang bagian anter Pak Sobir ke punden," ucap Saimah masih terdengar kesal.“Aku ikut, gak?” tanya Kesi sambil menatap Saimah dengan perasaan tak enak hati.“Gak usah! Pengen kebongkar skandal kalian?”Akhirnya mereka mulai mengatur strategi buat mencari jalan keluar tanpa dicurigai warga lain, terutama Bu Sobir. Saimah memang sudah mengamati gerak-gerik Kesi dan Pak Sobir yang mencurigakan sebulan ini.“Kamu kapan besuk?” tanya Kesi memberanikan diri.“Besok sore bareng Mas Parman.”“Ikut, ya?”“Kami naik motor. Gimana, sih?”“Yodah. Aku naik taksi aja.”“Gitu dong, punya inisiatif. Beres, ya. Aku m
“Yaudah, hati-hati di jalan. Begitu urusan selesai, segera pulang, tidur. Kasihan badan kamu, perlu istirahat.”“Ya, Mas. Pamit dulu. Assalamualaikum.”Saimah segera mencium tangan Parman lalu dikecup keningnya oleh sang suami.“Wa'alaikumussalam.”Wanita berambut hitam legam dikepang satu ke belakang melangkah ke ruang tamu dan menarik tangan sang sahabat karena taksi pesanan sudah sampai pula di depan rumah.“Udah. Buruan berangkat! Entar serahkan semua padaku. Gak usah ikutan ngomong. Nurut apa kataku, mengerti?”“Ngerti, Im. Makasih, ya.”Kesi kemudian menghentikan langkah lalu membuka tirai ruang tengah dan berteriak,” Mas, Saimah aku pinjam dulu!”“Iya, silakan! Ingat, jangan sampe lecet!”Kedua wanita ini pun otomatis tertawa mendengar jawaban Parman. Sepanjang perjalanan Kesi terlihat kacau dan sesekali melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Saimah hanya diam memandang sang teman.Wanita berambut hitam sebahu ini tak ingin mengganggu pikiran Kesi. Ia sengaja m
Pak Sobir memaksakan tersenyum ke arah Kesi. Di saat yang sama, Saimah bisa melihat dari tatapan mata Pak Sobir ke Kesi ada sesuatu. Oleh karena rasa ini pula yang membuat sang pria gelap mata. Pak Sobir tak mau jujur saat pelaksanaan ritual yang berakibat fatal.“Pak, berobat ke Gunung Kemukus biar bisa sembuh, ya. Ini kena tulah dan Bu Sobir telah setuju dengan rencana ini. Nanti kita carter mobil ke sana,” ucap Saimah pelan-pelan agar bisa dipahami oleh Pak Sobir. Pria tersebut segera mengangguk. Saimah pun tersenyum lega.Akhirnya mereka bersepakat akan membawa Pak Sobir ke Gunung Kemukus besok. Hari ini, Pak Sobir akan diperiksa dokter kembali dan sekalian menunggu perkembangan hasil pengobatan. Akhirnya, tujuan utama telah terlaksana, Saimah dan Kesi lalu berpamitan kepada pasutri ini.Dalam perjalanan sepanjang lorong menuju pintu keluar, Saimah tak henti-hentinya mewanti-wanti Kesi agar memutuskan hubungan dengan Pak Sobir.“Iya, ya. Aku gak lagi," ucap Kesi sungguh-sungguh.“S
“Wah, sampe juga,” ucap Parman dengan senyum lega sesaat setelah beramai-ramai menurunkan kursi roda berisi Pak Sobir ke tanah.“Rupanya kayak gini bentuk puncaknya,” sahut sopir taksi langganan Saimah.“Indah tapi seram,” ucap Bu Sobir masih dengan tangan yang sibuk mengipasi tubuh sang suami.Akhirnya, selepas Isya langkah mereka telah sampai ke puncak Gunung Kemukus. Persiapan ritual pengobatan segera dilakukan dipandu oleh kuncen.Sesajen dikeluarkan oleh anak buah kuncen dari dapur mereka. Pagi hari sepulang dari besuk, Kesi telah memesan sesajen lengkap untuk ritual agar tubuh Pak Sobir segera terbebas dari tuah.“Silakan yang sakit dibawa berendam sebentar di sendang. Yang penting bagian tubuh yang sakit bisa terendam air,” ucap kuncen kepada Bu Sobir.Begitu mendengar permintaan kuncen, para pria segera bergerak mengangkat tubuh Pak Sobir untuk dibawa masuk ke dalam sendang. Setelah dirasa pria bertubuh subur ini telah bisa duduk dengan baik, yang lain pun segera menepi.Setela
“Dek, mereka masih bingung. Pesanin wedang jahe aja!” pinta Parman kepada sang istri.Sementara yang lain sudah memesan minum sendiri-sendiri.“Oh, ya. Aku antarkan minuman suplemen dulu ke Pak Sopir. Kasian,” ucap Kesi sambil berlalu membawa sebotol minuman penambah stamina ke arah mobil carteran.Bu Sobir dengan sorot mata bingung berkata ke arah suaminya. “Apa yang terjadi dengan kita, Pak?”“Enggak tau. Bapak taunya kita bangun, udah di dalam mobil.” Pasangan suami istri ini lalu sibuk memindai sekeliling. Mereka merasakan ada sesuatu yang mengikuti. Namun, saat dicari keberadaannya, tak ada.Saimah membawa wedang jahe ke tempat pasutri tersebut. Keduanya menatap dengan tatapan bingung.“Diminum dulu wedang jahenya, Pak, Bu. Nanti saya cerita,” ucap Saimah sembari duduk di dekat sang suami yang berseberangan dengan pasutri tersebut.Pak Sobir segera meminum wedang diikuti sang istri. Sedangkan Parman memegang tangan Saimah lalu berbisik lirih, ”Ajaib, bisa langsung sembuh. Mas semp
“Kita cepetan pulang. Kamu naik mobil carteran bersama Pak Sobir dan istri. Sampe ke rumah sopir taksi. Setelah itu, kalian pulang naik taksi.”“Emang kalo dia langsung pulang sendiri?”“Gak bisa! Pengen salah satu dari kalian gantiin jadi tumbal?”“Enggak, Im. Baik! Kita siap-siap pulang.”Akhirnya, Kesi menghampiri mobil dan memberitahu kedua pria yang ada di sana untuk bersiap pulang. Tak lupa Kesi mengajak Pak Sobir menjauh sebentar lalu memberitahu tentang risiko ritual yang harus ditanggung bersama.“Sopir taksi jadi korban?” tanya Pak Sobir yang langsung kaget dengan ucapan Kesi.“Aku yang kasih minuman ke dia. Padahal aku yang beli sesajen. Aku baru tau setelah Imah ngomong. Harus kita jalani, udah terlanjur," urai Kesi yang membuat bulu kuduk Pak Sobir bergidik seketika.“Istriku perlu dikasih tau?”“Gak usah! Bisa berabe.”“Baiklah, Sayang!”“Gak usah genit, Pak. Mau kena tulah lagi?”“Galak amat!”Kesi tersenyum lalu menghampiri mobil untuk bertanya kepada sang sopir, apakah
“Maunya aku pesan taksi teman,” ucap sang sopir carteran.“Gak papa. Nih kuliat barusan ada posisi taksi online dekat sini. Terima kasih atas tawarannya," ucap Kesi dengan tatapan mata sendu. Ia merasa kasihan pada pria tersebut, tetapi tak bisa apa.Tak lama kemudian sebuah mobil berjalan pelan mendekat ke arah mereka. Rupanya mobil taksi pesanan Kesi. Mereka segera berpamitan kepada tuan rumah. Lega sudah hati Kesi, jika sesuatu hal terjadi dengan sopir carteran tak ada yang bisa ditanya soal kehadiran mereka.Sang tamu telah berangkat dengan taksi dan kini tinggal sopir carteran menatap kepergian mereka. Pria ini tak menyadari gerak-geriknya telah diawasi sepasang mata merah dari sosok melata sebesar tubuh dia. Setelah taksi tak terlihat lagi, pria berkumis tipis ini menutup gerbang lalu melangkah masuk rumah.Pria ini mengunci pintu dan tanpa tahu dari mana asalnya, tiba-tiba angin kencang berbau bangkai berembus memporak-porandakan seisi rumah. Sosok ular besar menatap tajam ke ar
“Pasti semalam WA-an, ya?” tanya Saimah penasaran.“Iya, loh! Kok bisa samaan? Kalo ini, emang kesukaan suamiku,” ucap Bu Sobir sambil meneliti isi tas kresek belanjaan Kesi.“Kita sehati, Bu. Hari ini, lagi pengen bikin sayur bayam, ayam goreng crispi dan dadar jagung,” jawab Kesi segera.“Beda pengolahan kita, Kes. Ini mau masak sayur bening bayam tambah jagung manis dan sayap ayam masak kecap,”Mereka membayar belanjaan lalu Yu Tun beranjak menuju pelanggan lain. Bu Sobir pamit akan segera masak, sedangkan Saimah dan Kesi melangkah masuk ke teras Saimah. Setelah dirasa Bu Sobir sudah masuk rumah, Saimah segera bersuara.“Kamu gila, Kes! Ngapain masakin Pak Sobir?”“Dia yang pengen.”“Gak ada kapoknya, kamu. Begitu selesai ritual kemarin, Pak Sobir cuma milik Ratu.”“Serius, Im?”“Iyalah. Gak usah aneh-aneh. Taruhan nyawa, tau.”“Iya, ya. Im, semalam ada nenek-nenek lewat depan rumah. Bilang, aku pintar cari mangsa. Siapa, ya?”“Nah, itu buktinya. Dia suruhan Ratu. Jangan sembrono.”