Asap hangat tampak mengebul dari atas makanan-makanan tersebut. Ada dua gelas kopi dipenuhi uap hangat di atasnya.“Kesi! Mas Badrun!” Terdengar sayup-sayup suara Saimah dan Parman bersahutan.“Kalian di mana?” Suara Parman terdengar jelas di samping kiri sejoli.Keduanya seketika kaget. Mereka mencari sumber suara tersebut. Namun, sejoli ini tak menemukan apa pun, setelah berkeliling ruangan yang berukuran 4x5 meter tersebut, termasuk ke dalam bilik tempat tidur. Sepi. Tak ada seorang manusia pun, kecuali mereka.“Barusan suara Saimah dan Mas Parman, dari mana asalnya?” tanya Kesi sambil meneliti setiap dinding.Dia berpikir di salah satu dinding, ada pintu yang bisa dibuka. Namun,nyatanya hanya dinding anyaman bambu yang rapat tanpa ada pintu rahasia.“Kesi! Mas Badrun!” Terdengar suara Saimah memanggil kembali.Tak lama kemudian, ada bunyi berisik seperti seseorang mencongkel dinding.“Dek, ini pintu apaan? Gak ada handlenya.” Terdengar suara Parman dari balik dinding dapur. Badru
“Ayo! Sekalian Mas tunjukin foto Pak Brahim,” balas Parman.Keduanya pun berjalan beriringan menuju tangga lalu pergi ke bagian belakang ruko lewat pintu samping. Pintu gudang hanya dicantolin gembok tak terkunci. Parman membukanya lalu mendorong daun pintu agar terbuka lebar. Ruangan berukuran 3 x 3 cm tersebut tampak penuh oleh tumpukan barang dan ada dua lemari kayu.“Foto Pak Brahim ada di antara tumpukan map di kardus ini,” jelas Parman sambil memilah-milah barang-barang yang berserakan. Saimah ikut membersihkan debu barang-barang yang telah diturunkan oleh Parman. Di saat tangannya memeriksa sebuah map, matanya tertuju pada sebuah kotak kecil yang terletak di atas lemari.“Mas, tolong ambilin itu!” tunjuk Saimah.Parman menghentikan aktivitasnya sejenak lalu mendongak mengarah ke atas lemari. Kini, tangan pria berbadan kekar tersebut telah menggenggam sebuah kotak kayu berukir. Dengan segera tangannya terulur ke arah istrinya.“Kayaknya ada koin di dalam,” ucap Parman yang lalu
“Nanti, Mas. Aku akan melayanimu sebanyak yang kamu mau. Sekarang kita ke gubug dulu. Yuk,” kata Saimah lalu mencium bibir Parman beberapa saat. Pria ini seketika memerah seluruh wajahnya.“Dek, di dalam gubug saja,” ucap Parman yang kini bersemangat berjalan.Akhirnya pasutri ini sampai teras gubug. Dalam gubug terdapat pelita yang ditempelkan di dinding. Serupa dengan yang ada di teras. Saat menginjak lantai yang berbahan dasar tanah tersebut, mata Saimah tertuju pada dua sosok yang sedang tidur berangkulan di lantai beralas daun pisang.“Lho, ini pembantunya Pak Sarto, Mas,” ucap Saimah pun jongkok. Dia meraba kulit leher pasangan yang terbujur di lantai.“Masa, sih?” tanya Parman tak percaya sambil ikut jongkok di sebelah istrinya.“Masih hidup, Mas. Kenapa dengan mereka, ya.”“Apa mereka keracunan, Dek?”“Mas, buruan kamu minum kopinya. Kalo efeknya keburu lenyap, bisa repot sendiri,” kata Saimah memperingatkan suaminya.“Kopi itu efeknya cuma bikin kuat melek. Kalo ilang efeknya,
“Sudah, ya. Aku mau ritual kembali. Biar calon pengantin segera diketemukan,” ucap Saimah kemudian.“Oh, ya. Silakan, Dek.” Saimah mulai berkonsentrasi dengan kedua mata terpejam. Kedua bibir komat-kamit lalu tak lama kemudian, kedua telapak tangan disatukan di depan dada. Detik demi detik tak ada tanda-tanda bahwa ritual Saimah membuahkan hasil.Tiba-tiba datang angin kencang menerpa tubuh pasangan suami istri tersebut. Kedua mata Saimah seketika terbuka. Parman mendekat ke arah istrinya. Pria gagah tersebut lalu jongkok tepat di depan Saimah.“Dek, kita balik ke ruko. Situasi mulai gak aman,” ucapnya lirih sambil menatap kedua bola mata Saimah.Wanita yang ditanya belum sempat membalas, tiba-tiba hawa dingin seperti terpaan hujan salju menerpa tubuh keduanya. Wajah Parman seketika membeku.Saimah yang menyadari akan ada sesuatu menimpa Parman, dengan cekatan menarik tangannya lalu mengajak berlari ke arah pintu rahasia. Sementara itu di belakang mereka bola salju yang semula seukur
“Imah, tolong kami!”“Toloooong ...!” Jerit dan rintihan mirip suara Kesi dan Badrun bergantian terdengar. Kadang mendekat, kadang menjauh. Saimah dan Parman memidai sekitar yang gelap gulita. Hanya ada pancaran cahaya rembulan yang jadi harapan keduanya untuk mencari keberadaan dua sumber suara barusan. “Kesiiii ...!” Teriakan Saimah bergaung hingga membangunkan kelelawar yang berdiam di dalam gua.Bunyi kepakan sayap puluhan kelelawar seketika mengaburkan suara Kesi dan Badrun. Beberapa saat kemudian, hewan-hewan hitam tersebut kembali ke tempat semula dan tidur menggantung.“Sst ...! Gak usah ikutan teriak, Dek,” ucap Parman setengah berbisik.“Iya, Mas. Jadi gak denger suara mereka lagi,” balas Saimah yang berusaha mempertajam pendengaran.Tiba-tiba keadaan sangat sunyi. Hingga suara angin pun enggan semilir. Pasutri tersebut merasakan keanehan tersebut.“Mas, sepi sekali. Ada apa, ya?” tanya Saimah berbisik ke telinga suaminya.“Ya, Dek. Kita tunggu saja. Setelah apa yang terja
Saimah semakin terisak-isak sambil mata tak lepas dari menatap mayat terbakar di hadapannya. Dia mengingat perjumpaan terakhir mereka saat Sarto menyerahkan kunci ruko.“Mbak Saimah, terima kasih atas bantuannya selama ini. Beruntung sekali suamiku punya partner ritual sejujur Mbak. Banyak kejadian, setelah ritual terakhir para suami terpikat partnernya. Bukannya kaya, malah jadi hancur karena ritual keterusan,” ucap wanita berlesung pipi dengan senyum manis tersebut.“Ya, terima kasih kembali atas pemberian bonus besar ini, Mbak. Benar-benar tak terduga. Aku berharap usaha kalian semakin sukses,” balas Saimah ramah. Padahal dalam hati, dirinya menyesal karena tak bisa kasih tahu ke wanita tersebut bahwa mulai saat itu, suaminya adalah milik penguasa Gunung Kemukus.“Dek, kenapa kamu nangis?” tanya Parman yang seketika membuyarkan lamunan Saimah. “Eh, ya, Mas. Aku sedih lihat kematian tragis yang harus dialami orang sebaik dia,”balas Saimah seraya menghapus bekas air mata.“Mas juga.
Sinar matahari berasa menyengat hangat lalu semakin memanas. Saimah dan Parman seketika kegerahan. Di sisi lain, tubuh membeku yang terbujur mulai meleleh.Air seketika menggenang di bangku dan lantai bagian penumpang. Saimah terkejut melihatnya. Parman yang menatap lurus ke depan baru menyadari tak ada jalan yang mereka lewati. Hanya tampak warna angkasa yang biru dengan gumpalan-gumpalan awan.“Ya, ampun! Dek, lihat ke luar jendela!” suruh Parman.Saimah yang sedang menunduk memperhatikan genangan air dengan perasaan cemas, seketika mendongak dan langsung dibuat kaget. Wanita tersebut melihat tak ada ruas jalan, tak ada pepohonan dan bangunan apa pun. Taksi yang mereka tumpangi sedang terbang.“Pak, ini bukan dunia kami!” seru Saimah ke arah pengemudi.Parman menoleh ke samping dan melihat si pengemudi geming, tak menghiraukan teriakan Saimah. Pria tersebut fokus menatap depan. Tiba-tiba baik Saimah maupun Parman tak merasakan apa pun.“Mas Parman!”Sarto memanggil pria yang tergele
“Aku juga berhubungan dengan Gunung Kemukus sejak kasus Pak Sobir. Kenapa gak kena?” tanya Parman sambil memandang terenyuh ke arah Saimah dan kedua calon pengantin. Sementara itu, baik Kesi maupun Badrun hanya menunduk tanpa sepatah kata pun. Pasangan calon pengantin tersebut berangkulan dengan ekspresi sedih. “Mas tak pernah melakukan ritual di sendang. Itu yang membuat posisi Mas aman, meski tak bisa terjamin 100%.” “Apa maksudmu, Dek?” Parman memandang ke arah Saimah dengan rasa panik. “Maksudnya, siapa pun yang masuk sendang sudah pasti 100% jadi incaran Penguasa Gunung Kemukus, tapi meski tak masuk sendang karena Mas telah masuk area punden juga bisa jadi target,” jelas Saimah yang membuat Parman langsung bergidik. “Kok bisa begitu? Emang bisa ambil target tanpa perjanjian?” Parman tak terima dengan kenyataan yang harus dihadapi. Dia pun tak tahu bahwa sesungguhnya, begitu Saimah disahkan jadi pendamping ritual, risikonya sama dengan pelaku. Saimah hanya tersenyum miris mel