"Kiana alergi terhadap udang dan makanan yang tadi sempat dia makan, mengandung udang," papar Ken setelah dia selesai memeriksa Kiana. Wanita itu kini terbaring dalam kondisi tak sadarkan diri. Sementara dia sedang berbicara dengan Rafael yang duduk di sofa. Masih di ruang rawat Kiana.
"Udang?" Rafael sama sekali tidak tahu soal itu. Ternyata Kiana tidak bisa makan makanan laut tersebut. "Iya, tapi sebenarnya, ada satu hal lagi yang membuatku penasaran." Ken menatap Rafael dengan tatapan serius. "Kenapa aku menemukan sejenis obat yang dicampur ke dalam makanan itu?" Ken sudah melihat dan menganalisis sisa makanan yang telah Kiana makan. Dia menemukan suatu keanehan karena melihat sejenis obat yang dicampur ke dalam sana. Obat yang cukup berbahaya dan Rafael pasti tahu mengenai obat ini. Obat yang tentunya terlarang digunakan karena seringnya disalahgunakan. Obat sejenis psikedelik. Obat yang daKiana bermalas-malasan di ruangannya. Dia menikmati waktunya di ranjang dengan Rafael yang duduk di sampingnya sambil mengupas sebuah apel. Membuat laki-laki itu mengerjakan apa yang dia mau. Ya, Kiana menjadikan Rafael pelayannya dengan dalih kalau dia tidak mau dilayani perawat yang sempat memberikannya makanan yang menyebabkan dia terkena alergi. Tujuannya bukan karena Kiana ingin dekat-dekat dengan Rafael. Jelas itu sangat salah. Salah besar. Kiana hanya mau, jika terjadi sesuatu yang buruk padanya, Rafael lah orang yang akan bertanggung jawab dan disalahkan. Dia sangat ingin memberi dokter sombong itu pelajaran. "Bisakah kau mengupasnya lebih lembut dan rapi?" tanya Kiana dengan nada sinis sembari menguyah apel yang sudah dikupas dan dipotong oleh Rafael. "Aku bukan pelayan. Kalau kau tidak senang, aku bisa panggilkan ahlinya," ucap Rafael seraya meletakkan pisau dan apel di atas piring kecil. Sungguh sebuah kesia
Kiana berjalan keluar dari ruangannya saat waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Rumah sakit yang sudah tidak lagi ada aktivitas bekerja itu, menjadi sunyi dan gelap. Lampu-lampu sudah dimatikan, karena para pasien telah terlelap. Tentu, ada beberapa orang yang berjaga dengan berkeliling membawa senter. Salah satu tugas Kiana adalah menghindari mereka. Upaya melarikan diri. Ya, pada akhirnya, ini adalah opsi yang dipilih olehnya dengan Andrew yang berkata akan membantunya. Kiana tidak tahu apakah ini akan berhasil atau tidak. Meski pada siang hari, dia sudah mencari dan menghapal semua seluk beluk arah serta jalan keluar dari sini, tapi, pada malam hari semuanya terlihat gelap dan sedikit menyulitkan pandangannya untuk melihat. Aura yang dingin juga terasa menakutkan, membuat bulu kuduknya berdiri. 'Sial, ini di mana?' batin Kiana merutuk. Diliriknya ponsel yang satu minggu lalu dibe
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Rafael begitu dia sampai di depan ruangan mamanya, Firanda. Masuk ke dalam dan melihat mamanya sedang ditenangkan oleh salah satu orang yang mendapat giliran untuk berjaga. Tampak jelas kalau Firanda terus mengamuk dan berusaha untuk melepaskan diri sambil berteriak-teriak memanggil nama 'Lyana'. Sebuah nama yang seketika itu juga, membuat mata Rafael terbelalak. Bertambah kaget saat sang mama berusaha menggigit tangan staf laki-laki, yang tadi memanggil Rafael. Melihat sikap Firanda yang mulai kehilangan kendali, Rafael dengan segera mengeluarkan alat suntik yang sudah diambilnya di ruang kerja, sebelum ke sini, dan menyuntikkannya ke tubuh mamanya agar tidak sadarkan diri. Hingga secara cepat, dia langsung memindahkan tubuh itu kembali di ranjang. Setidaknya, ini lebih baik dari pada melukai orang lain. Meski Rafael merasa sedih dengan kondisi mamanya yang kembali kumat. Selalu seperti ini. Firanda h
Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain duduk di ranjang dengan pandangan kosong. Jiwanya sedikit terguncang karena kejadian semalam. Lebih tepatnya dengan ancaman yang keluar dari mulut Rafael. Dia sama sekali tidak menyangka sedikit pun, kalau laki-laki itu bisa menjadi sangat amat menakutkan. Semua ini memang salahnya, tapi dia bahkan tidak berhasil kabur, mengakibatkan Andrew harus tertangkap. Setelah ancaman yang dilontarkan oleh Rafael, Kiana sama sekali tidak bisa tinggal diam. Rasa khawatir semakin hari semakin besar. Laki-laki itu memang tidak menyakitinya, tapi dia benar-benar ketakutan. Dia juga dikenai hukuman. Kiana dilarang keluar dari ruangannya, ponsel pemberian Andrew juga dirampas. Hingga dia tidak tahu, apa Rafael melepaskan Andrew atau tidak. Semalam, saat wanita tua itu berteriak kencang dan dia berlari menjauh, Kiana sempat berlari ke arah halaman belakang. Menghindari satu orang yang datang menghampirinya, karen
Tubuh Kiana benar-benar lemas. Dia tidak memiliki tenaga untuk bergerak. Satu hari, dia sama sekali tidak menyentuh makanan dan Rafael juga belum menemuinya. Membuat rasa gelisah Kiana menjadi sangat besar. Bukan pada Rafael, melainkan pada Andrew yang saat ini masih tidak diketahui keadaannya. Sampai di tengah lamunannya, Kiana mendengar pintu diputar seperti berniat dibuka oleh seseorang. Dia yang menduga itu adalah perawat yang mau memberikannya sarapan, hanya diam tanpa mau melihat. Sudah dikatakan dari kemarin, dia tidak mau makan. Kiana hanya mau bertemu Rafael, tapi mereka tidak pernah memedulikan perkataannya. Mereka bilang kalau Rafael sibuk dengan utusan pengadilan yang datang menanyai kondisi Kiana. Ah, itu membuat Kiana sadar, kalau dia tetap seorang penjahat. Orang yang harusnya mendapat hukuman. Semua ini, jelas pasti karena Arkan yang tetap tidak mau melepaskannya begitu saja. "Kau tidak menyambutku?"
Mili menatap Rafael yang ada di hadapannya dalam diam. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran laki-laki itu, Rafael sama sekali tidak fokus terhadapnya. Sibuk sendiri dan terus-menerus menatap layar ponsel, seolah kehadirannya tak berefek apa-apa pada Rafael. Seakan, laki-laki itu benar-benar tidak menikmati kebersamaan mereka. "Rafael ...." Diam. Rafael hanya diam tanpa membalas seruan Mili, bahkan menoleh pun tidak. Sampai ketika wanita itu mulai menyentuh lengannya, menyadarkan Rafael hingga akhirnya mengalihkan pandangan dan fokus pada Milii. Ada kernyitan tidak suka di wajahnya, yang ditunjukkan oleh Rafael secara terang-terangan. Dia menepis kasar tangan itu. "Kau sepertinya membenciku." Mili menatap sendu ke arah Rafael. Tampak begitu jelas jika laki-laki itu tidak menunjukkan sedikit pun rasa ketertarikan padanya. Padahal Mili menyukai Rafael. Sayangnya, laki-laki itu s
"Ughh," lenguh Kiana pelan, dia memegangi kepalanya yang berputar. Kembali, bayangan mama dan Arkan hadir menghantuinya. Padahal satu minggu yang lalu, sudah tidak ada, tapi kali ini, bayangan menakutkan itu muncul lagi. Halusinasi yang entah dari mana datangnya, mengganggu Kiana lagi. Bahkan Kiana sangat amat merasakan bagaimana perasaan sakit dan sedih bercampur menjadi satu. Kiana ketakutan. Ada apa dengan dia sebenarnya? Kenapa Kiana merasa seperti ini? Dia yakin, ini bukan karena perasaan bersalahnya. Kenyataannya, setelah lama mendekam di rumah sakit jiwa, perasaan dendamnya terhadap Sashi, sudah mulai dia lupakan. Kiana malah lebih sering merenungi perbuatannya yang mungkin memang sudah sangat keterlaluan. Namun untuk masalah mamanya, jelas itu beda lagi. Kiana tidak peduli jika mamanya sudah tewas karena dia bunuh. Ah, mama. Apa pantas panggilan itu terucap dari bibirnya? Wanita yang hanya melahirkannya saja tanpa memberi
Ken masuk ke dalam rumah milik Rafael dalam keadaan marah. Menggebrak pintu dengan kasar saat seorang pelayan baru saja membukakannya. Dia berjalan tergesa-gesa menuju kamar Rafael. Laki-laki itu sama sekali tidak kembali ke rumah sakit, padahal dia sudah menunggunya sampai waktu pulang. Tentu saja untuk menanyakan maksud obat yang diberi nama Kiana. "RAFAEL! AKU INGIN BICARA SESUATU DENGANMU!" teriak Ken menggema di seluruh sudut ruangan. Menatap sekitar lalu beranjak menuju kamar milik Rafael. Dia tentu sudah sangat hapal rumah temannya yang selalu suram dan hening seperti kuburan, baik siang hari atau malam hari. Bahkan, beberapa bagian ruangan terlihat gelap meski ini masih siang hari. Rumah yang sebenarnya terlalu luas untuk ditinggali sendiri dan beberapa pelayan. Kenapa Rafael tidak tinggal bersama kakeknya? Kenapa laki-laki itu malah tetap berada di sini. Rumah peninggalan orang tuanya yang menyimpan banyak kenangan menyakitkan
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal