Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain duduk di ranjang dengan pandangan kosong. Jiwanya sedikit terguncang karena kejadian semalam. Lebih tepatnya dengan ancaman yang keluar dari mulut Rafael. Dia sama sekali tidak menyangka sedikit pun, kalau laki-laki itu bisa menjadi sangat amat menakutkan. Semua ini memang salahnya, tapi dia bahkan tidak berhasil kabur, mengakibatkan Andrew harus tertangkap.
Setelah ancaman yang dilontarkan oleh Rafael, Kiana sama sekali tidak bisa tinggal diam. Rasa khawatir semakin hari semakin besar. Laki-laki itu memang tidak menyakitinya, tapi dia benar-benar ketakutan. Dia juga dikenai hukuman. Kiana dilarang keluar dari ruangannya, ponsel pemberian Andrew juga dirampas. Hingga dia tidak tahu, apa Rafael melepaskan Andrew atau tidak. Semalam, saat wanita tua itu berteriak kencang dan dia berlari menjauh, Kiana sempat berlari ke arah halaman belakang. Menghindari satu orang yang datang menghampirinya, karenTubuh Kiana benar-benar lemas. Dia tidak memiliki tenaga untuk bergerak. Satu hari, dia sama sekali tidak menyentuh makanan dan Rafael juga belum menemuinya. Membuat rasa gelisah Kiana menjadi sangat besar. Bukan pada Rafael, melainkan pada Andrew yang saat ini masih tidak diketahui keadaannya. Sampai di tengah lamunannya, Kiana mendengar pintu diputar seperti berniat dibuka oleh seseorang. Dia yang menduga itu adalah perawat yang mau memberikannya sarapan, hanya diam tanpa mau melihat. Sudah dikatakan dari kemarin, dia tidak mau makan. Kiana hanya mau bertemu Rafael, tapi mereka tidak pernah memedulikan perkataannya. Mereka bilang kalau Rafael sibuk dengan utusan pengadilan yang datang menanyai kondisi Kiana. Ah, itu membuat Kiana sadar, kalau dia tetap seorang penjahat. Orang yang harusnya mendapat hukuman. Semua ini, jelas pasti karena Arkan yang tetap tidak mau melepaskannya begitu saja. "Kau tidak menyambutku?"
Mili menatap Rafael yang ada di hadapannya dalam diam. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran laki-laki itu, Rafael sama sekali tidak fokus terhadapnya. Sibuk sendiri dan terus-menerus menatap layar ponsel, seolah kehadirannya tak berefek apa-apa pada Rafael. Seakan, laki-laki itu benar-benar tidak menikmati kebersamaan mereka. "Rafael ...." Diam. Rafael hanya diam tanpa membalas seruan Mili, bahkan menoleh pun tidak. Sampai ketika wanita itu mulai menyentuh lengannya, menyadarkan Rafael hingga akhirnya mengalihkan pandangan dan fokus pada Milii. Ada kernyitan tidak suka di wajahnya, yang ditunjukkan oleh Rafael secara terang-terangan. Dia menepis kasar tangan itu. "Kau sepertinya membenciku." Mili menatap sendu ke arah Rafael. Tampak begitu jelas jika laki-laki itu tidak menunjukkan sedikit pun rasa ketertarikan padanya. Padahal Mili menyukai Rafael. Sayangnya, laki-laki itu s
"Ughh," lenguh Kiana pelan, dia memegangi kepalanya yang berputar. Kembali, bayangan mama dan Arkan hadir menghantuinya. Padahal satu minggu yang lalu, sudah tidak ada, tapi kali ini, bayangan menakutkan itu muncul lagi. Halusinasi yang entah dari mana datangnya, mengganggu Kiana lagi. Bahkan Kiana sangat amat merasakan bagaimana perasaan sakit dan sedih bercampur menjadi satu. Kiana ketakutan. Ada apa dengan dia sebenarnya? Kenapa Kiana merasa seperti ini? Dia yakin, ini bukan karena perasaan bersalahnya. Kenyataannya, setelah lama mendekam di rumah sakit jiwa, perasaan dendamnya terhadap Sashi, sudah mulai dia lupakan. Kiana malah lebih sering merenungi perbuatannya yang mungkin memang sudah sangat keterlaluan. Namun untuk masalah mamanya, jelas itu beda lagi. Kiana tidak peduli jika mamanya sudah tewas karena dia bunuh. Ah, mama. Apa pantas panggilan itu terucap dari bibirnya? Wanita yang hanya melahirkannya saja tanpa memberi
Ken masuk ke dalam rumah milik Rafael dalam keadaan marah. Menggebrak pintu dengan kasar saat seorang pelayan baru saja membukakannya. Dia berjalan tergesa-gesa menuju kamar Rafael. Laki-laki itu sama sekali tidak kembali ke rumah sakit, padahal dia sudah menunggunya sampai waktu pulang. Tentu saja untuk menanyakan maksud obat yang diberi nama Kiana. "RAFAEL! AKU INGIN BICARA SESUATU DENGANMU!" teriak Ken menggema di seluruh sudut ruangan. Menatap sekitar lalu beranjak menuju kamar milik Rafael. Dia tentu sudah sangat hapal rumah temannya yang selalu suram dan hening seperti kuburan, baik siang hari atau malam hari. Bahkan, beberapa bagian ruangan terlihat gelap meski ini masih siang hari. Rumah yang sebenarnya terlalu luas untuk ditinggali sendiri dan beberapa pelayan. Kenapa Rafael tidak tinggal bersama kakeknya? Kenapa laki-laki itu malah tetap berada di sini. Rumah peninggalan orang tuanya yang menyimpan banyak kenangan menyakitkan
"Dokter Ken, apa yang Anda pikirkan?" tanya seorang perawat di sebelah Ken. Menatap sang dokter dengan penuh kebingungan. Saat sedang memeriksa pasien, Ken terlihat tidak fokus dan seperti gelisah. Terus-menerus memerlihatkan ekspresi kosong. "Ah, tidak apa-apa. Mungkin aku hanya lelah. Apa tidak ada pasien lagi?" "Tidak ada, Dok." "Baguslah, sepertinya aku harus istirahat," ucap Ken sembari berjalan menuju ruangannya. Meninggalkan sang perawat. Sesampainya di ruangan, Ken duduk di meja sembari menutup kedua wajahnya. Meletakan kepalanya di sana dan berusaha untuk fokus. Tidak memikirkan apa yang sempat terjadi kemarin antara dia dan Rafael. Meski Ken sama sekali tidak habis pikir, bagaimana bisa Rafael yang dia kenal benar-benar berbeda dari yang biasanya? Temannya benar-benar berubah sampai Ken merasa sulit mengenali. Berengsek! Apa yang harus dilakukannya pada
Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain berdiam diri dan merenungi apa yang terjadi dalam gelapnya malam. Terduduk tanpa bisa memejamkan matanya barang sejenak pun. Pikirannya benar-benar kacau setelah mengetahui fakta yang begitu mengejutkannya. Ketakutan, perasaan sedih dan terancam terasa melingkupinya. Emosinya benar-benar terguncang. Kiana yang setelah mendengar percakapan kedua orang itu hanya bisa ketakutan sendiri. Dia tidak mengerti kenapa Rafael melakukan semua ini. Apa salahnya? Apa tujuan laki-laki itu sebenarnya? Demi Tuhan! Kiana tidak pernah merasa ada masalah dengan Rafael sebelumnya. Bahkan laki-laki itu yang dari awal memantik emosinya. Ah, apa diagnosis yang menyebutkan dia gila, juga merupakan akal-akalan dari Rafael? Laki-laki itu sengaja merencanakan semua ini agar dia mendekam di rumah sakit jiwa hingga lama-kelamaan mengalami stress? Benarkah seperti itu? Tidak. Kiana harap dugaannya salah. Itu
Ken tidak memiliki alasan untuk membiarkan Kiana tinggal lebih lama lagi di rumah sakit jiwa ini. Setelah dia mengetahui niat busuk Rafael, Ken berencana membuat Kiana pergi. Bagaimana pun caranya. Meski itu artinya, dia mengkhianati Rafael sebagai teman. Mungkin saja, konsekuensi akan Ken terima saat Rafael tahu bisa menyengsarakannya. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain. Entah keberuntungan atau apa, saat ini Rafael tengah terlibat masalah dengan keluarganya. Hingga laki-laki itu tidak masuk kerja. Ken mendengar kalau temannya itu dijodohkan dengan seorang wanita. Berita pertunangan mereka pun sudah menyebar. Namun Rafael yang keras kepala terus menolak. Apalagi saat Guzman berniat mewariskan hampir seluruh hartanya pada Rafael, termasuk perusahaan. Ken sedikitnya tahu kalau ada pertentangan di antara keluarga itu, saat paman Rafael melakukan protes. Menyebabkan keluarga besar yang dipimpin Guzman cukup berguncang. Mungkin itu jug
"Kakek sangat senang akhirnya kau mau bertunangan," ucap Guzman pada Rafael yang hanya diam tanpa ekspresi. Dia sama sekali tidak menanggapi perkataan kakek tua di depannya dan hanya menatap ke arah meja. Tidak peduli ada Mili yang duduk di sebelahnya dengan orang tua dari wanita itu duduk tepat di depannya. Pertunangan yang sama sekali tidak dia inginkan harus terjadi. Waktu telah ditetapkan. Membuat Rafael benar-benar marah sampai tidak bisa berkutik. Sialan! Kakek tua itu mengancam akan mencabut jabatannya sebagai penanggung jawab di rumah sakit jiwa, kalau Rafael menolak keinginannya untuk bertunangan dengan Mili. Hingga mau tak mau, Rafael menurutinya. Walaupun dia memberikan syarat, kalau Rafael tidak ingin media menyorot pertunangannya. Dia ingin hanya keluarga dekat saja yang datang. Permintaannya tentu tidak langsung disetujui. Menuai pro-kontra antara kakek dan keluarga tunangannya. Namun Rafael tidak peduli. Hingga mau tak m