Rafael berjalan pelan menuju ruangan milik ibunya, Firanda. Dia mematung di tempat saat melihat ibunya yang sedari tadi diam itu, mulai menoleh menatapnya. Jantung Rafael seperti akan berhenti berdetak. Matanya tampak bergetar sampai langkah kakinya dengan tegap berjalan mendekati sang ibu tercinta.
Rasa tak percaya itu muncul saat melihat ibunya seperti menyadari kedatangannya. Membuatnya langsung bersimpuh di bawah lantai. "Ma ...." Seulas senyum kecil terlibat di bibir Firanda saat Rafael menyebut 'mama' padanya. Namun itu tidak berlangsung lama saat kemudian kata-kata yang meluncur setelahnya, membuat Rafael terhenyak. "Kamu siapa?" Bagai belati berkarat ditikam tepat di jantungnya. Hati Rafael mencelos. Dia sama sekali tidak mengharapkan pertanyaan itu akan keluar dari mulut ibunya. Tidak. Jangan bercanda. "Ini Rafael, Ma." "Rafael?" Terlihat kedua alis tuanSetelah pulang kerja, Rafael memilih mengurung dirinya di dalam ruang kerja. Duduk di meja ditemani dengan beberapa botol whiskey. Laki-laki itu tampak murung sekaligus terpukul setelah mengetahui kondisi mamanya. Bahkan saat sedang bekerja pun, Rafael tidak bisa fokus. Hanya ada perasaan takut dalam hatinya kala mamanya tidak akan mengenalinya. Hilang ingatan? Entahlah, Rafael rasa tidak. Akan tetapi, bagaimana mungkin mamanya bisa berkata kalau dia sudah mati? Bukankah itu cukup keterlaluan? Walau bagaimanapun, Rafael sudah berharap tidak ada masalah lagi dengan mamanya. Dia akan benar-benar merasa bersalah karena hal ini. Semua ini gara-gara papanya yang berengsek! Rafael bahkan tidak akan lupa saat-saat menjijikan ketika papanya di atas ranjang bersama wanita lain. Dia tidak akan lupa dan ingat dengan jelas kalau saat itu, bukanlah mamanya. Mungkin ini terjadi sekitar sebelas tahun yang lalu. Ketik
Kiana terbangun di atas ranjang yang empuk. Dia meringis saat rasa sakit seperti menghantam kepalanya. Sialnya, dia merasakan sebuah lengan yang memeluknya begitu posesif. Lengan kekar yang melingkar di pinggangnya. Hal itu jelas membuat Kiana sangat penasaran, dia ingin tahu siapa pemiliknya. Kiana tidak berharap kalau dia melakukan kesalahan. Namun alangkah kagetnya dia ketika menoleh, matanya mendapati orang yang memeluknya ternyata adalah Rafael. Laki-laki itu dengan wajah damainya memeluk tubuh Kiana dari belakang. Posisi mereka begitu intim, sampai Kiana sendiri kaget melihatnya. Apalagi ternyata, Rafael sama sekali tidak memakai bajunya. Bertelanjang dada dan membuat Naya bisa merasakan punggungnya bersentuhan dengan kulit Rafael. Hembusan napas laki-laki itu juga terasa menggelitik lehernya. Menimbulkan rona kemerahan di wajahnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rafael bisa ada di sini? Dan di mana sebenarnya dia berada? In
Kiana menjelajahi seisi rumah. Dia telah kembali ke aktifitas biasa. Menyiapkan makan, membereskan dan membantu pekerjaan pelayan lain. Sekarang, Alisha yang baru saja selesai mengerjakan tugasnya, berjalan-jalan untuk mencari cara untuknya kabur. Tentu saja, setelah kejadian mengerikan itu, Kiana tidak bisa tinggal diam. Dia juga lelah jika harus menunggu Andrew. Sungguh, saat ini dia tidak bisa berharap pada laki-laki itu. Kiana rasa, sudah cukup untuknya menjadi seorang yang penurut. Mengelabui Rafael dan para pelayannya. Walau sebenarnya, ada pelayan yang sangat Kiana waspadai. Mara. Wanita itu selalu mengawasi gerak-geriknya. Kiana menyadarinya setelah apa yang terjadi kemarin. Kini, dia pun harus melihat kanan dan kiri saat berjalan menuju pintu belakang. Kebetulan, pintu belakang selalu terbuka di siang hari dan saat ini semua pelayan sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Entah apa yang mereka lakukan. Kiana tida
"Aku tidak bisa menemukan Kiana di mana pun. Sudahlah, lebih baik kamu menyerah saja. Mungkin wanita itu memang berniat meninggalkanmu," ucap seorang laki-laki pada Andrew yang terduduk di sofa dengan segudang pikiran buruk di kepalanya. Wajah Andrew tampak begitu sangat kusut. Sudah berminggu-minggu, dia mencari keberadaan Kiana, namun sampai sekarang semua pencariannya tidak membuahkan hasil. Bahkan saat Arkan ikut membantunya sekali pun. Ya, kakaknya itu mau membantu setelah melihat Andrew terus uring-uringan tak jelas karena ditinggal sang kekasih. Walau pada akhirnya, tetap saja menyerah. Keberadaan Kiana seperti hilang ditelan bumi. "Aku bisa mencarikan wanita yang lebih baik." Arkan dengan sangat santai menyilangkanya kedua kakinya. Memerintahkan pelayan untuk mengambilkannya minuman. Dia sebenarnya sedang sibuk bermanja dengan istrinya, tapi tanpa disangka adiknya datang mengganggu dan menanyakan perihal Kiana. Membuat Sashi me
Dua hari berlalu, Kiana sama sekali tidak dikeluarkan oleh Rafael. Dia tetap berada di gudang dengan rasa takut yang bahkan tidak kunjung pergi. Meski makanan selalu datang untuknya. Namun dari pagi tadi, sepertinya akan telat karena dia belum melihat ada Mara yang masuk atau apakah mereka akan membiarkannya mati membusuk? Kiana tidak memiliki harapan untuk hidup. Sampai di tengah keputusasaan yang melandanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Membuatnya yang ada tepat di pinggir pintu, menoleh. Sosok laki-laki berwajah dingin menjadi hal pertama yang dia lihat. Rafael. Laki-laki itu muncul dengan pakaian santainya. Rambut hitamnya dibiarkan berantakan. "Bangunlah." Bibir Kiana masih bungkam. Wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Dia masih berbaring di lantai yang dingin sebelum kemudian duduk dan menatap Rafael dengan pandangan lemah. Dia ingin sekali berteriak dan memaki laki-laki itu atas segala
"Apa yang kaupikirkan dengan menggoda pelayanku? Apa kau sadar, kalau kau sebentar lagi akan bertunangan?" Rafael menatap tajam sepupunya. Keduanya saat ini berada di halaman belakang. Berbicara setelah dia menarik paksa Marcel untuk keluar dari sana dan meninggalkan Kiana. Benar-benar sepupu yang berengsek! Dia dan Marcel bukan saudara sepupu yang begitu dekat, tapi laki-laki itu sudah berani masuk dan mengganggu Kiana. Padahal dia hanya meninggalkan rumah untuk membeli keperluan sebentar dan mengambil berkas yang tertinggal di rumah sakit. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak tahan melihatnya. Bolehkah aku ambil dia untukku?" Marcel masih menunjukkan ketertarikannya pada Kiana. Dia masih belum puas jika belum menyentuh wanita yang menjadi incarannya. Bagaimana mungkin, ada wanita yang begitu menarik minatnya sampai seperti ini? Dia bahkan tidak peduli jika Kiana hanyalah seorang pelayan. "Tidak. Dia m
"Apa kau tidak punya mata!" bentak Rafael sampai mangkuk yang tadinya berisi sayur itu jatuh ke lantai. Menimbulkan suara yang cukup nyaring. Kedua pahanya tampak basah karena Kiana yang tidak sengaja menumpahkan sup panas saat sedang menyiapkan hidangan untuk Rafael. Lantas, siapa yang tidak kesal? Apalagi rasa panas langsung menjalar menuju pangkal pahanya. Sarapan paginya pun harus berantakan. "Maaf, aku tidak sengaja," jawab Kiana dengan wajah polosnya. Meringis ngilu saat melihat Rafael seperti kesakitan. Namun saat dia menawarkan untuk membantu, laki-laki itu langsung menepis kasar tangannya. Tidak mungkin Rafael membiarkan Kiana menyentuh pahanya. "Apa hukuman kemarin belum cukup? Kaumau bermain-main denganku?" Rafael bangkit dan mencengkeram rahang Kiana. Dari kemarin, wanita itu selalu membuatnya jengkel. Membuat Rafael selalu ingin untuk menghukumnya. Dia sangat kesal. Sungguh kesal. Sementara Kiana hanya men
"Tuan akan pergi ke pesta nanti malam, bisa kau siapkan pakaiannya?" "Aku?" Kiana menunjuk dirinya sendiri. Dia masih tidak percaya kenapa pelayan lain selalu mengumpankan dirinya jika itu menyangkut Rafael? Tidak tahukah, kalau Rafael sudah begitu membencinya? Jika dia melakukan kesalahan lagi, Kiana juga yang harus menerima akibatnya dan tidak ada satu pun dari mereka yang mau menolongnya. "Memang siapa lagi yang ada di sini selain kau?" Kiana terdiam. Hanya dia dan Mara yang ada di dapur. Dua pelayan lainnya sedang sibuk berbelanja ke supermarket. Sejak tadi pagi hingga sekarang, mereka terus membicarakan tentang pesta, pesta dan pesta. Kiana sendiri yang mendengarnya sampai bosan. Dia tidak tahu pesta apa yang sebenarnya sedang dibicarakan. "Tidak bisakah kau saja? Aku sedang sibuk." Dia bahkan belum selesai mengepel lantai dan kini, harus mengurus segala keperluan Rafael? Memangnya lak
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal