Setelah pulang kerja, Rafael memilih mengurung dirinya di dalam ruang kerja. Duduk di meja ditemani dengan beberapa botol whiskey. Laki-laki itu tampak murung sekaligus terpukul setelah mengetahui kondisi mamanya. Bahkan saat sedang bekerja pun, Rafael tidak bisa fokus. Hanya ada perasaan takut dalam hatinya kala mamanya tidak akan mengenalinya.
Hilang ingatan? Entahlah, Rafael rasa tidak. Akan tetapi, bagaimana mungkin mamanya bisa berkata kalau dia sudah mati? Bukankah itu cukup keterlaluan? Walau bagaimanapun, Rafael sudah berharap tidak ada masalah lagi dengan mamanya. Dia akan benar-benar merasa bersalah karena hal ini. Semua ini gara-gara papanya yang berengsek! Rafael bahkan tidak akan lupa saat-saat menjijikan ketika papanya di atas ranjang bersama wanita lain. Dia tidak akan lupa dan ingat dengan jelas kalau saat itu, bukanlah mamanya. Mungkin ini terjadi sekitar sebelas tahun yang lalu. KetikKiana terbangun di atas ranjang yang empuk. Dia meringis saat rasa sakit seperti menghantam kepalanya. Sialnya, dia merasakan sebuah lengan yang memeluknya begitu posesif. Lengan kekar yang melingkar di pinggangnya. Hal itu jelas membuat Kiana sangat penasaran, dia ingin tahu siapa pemiliknya. Kiana tidak berharap kalau dia melakukan kesalahan. Namun alangkah kagetnya dia ketika menoleh, matanya mendapati orang yang memeluknya ternyata adalah Rafael. Laki-laki itu dengan wajah damainya memeluk tubuh Kiana dari belakang. Posisi mereka begitu intim, sampai Kiana sendiri kaget melihatnya. Apalagi ternyata, Rafael sama sekali tidak memakai bajunya. Bertelanjang dada dan membuat Naya bisa merasakan punggungnya bersentuhan dengan kulit Rafael. Hembusan napas laki-laki itu juga terasa menggelitik lehernya. Menimbulkan rona kemerahan di wajahnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rafael bisa ada di sini? Dan di mana sebenarnya dia berada? In
Kiana menjelajahi seisi rumah. Dia telah kembali ke aktifitas biasa. Menyiapkan makan, membereskan dan membantu pekerjaan pelayan lain. Sekarang, Alisha yang baru saja selesai mengerjakan tugasnya, berjalan-jalan untuk mencari cara untuknya kabur. Tentu saja, setelah kejadian mengerikan itu, Kiana tidak bisa tinggal diam. Dia juga lelah jika harus menunggu Andrew. Sungguh, saat ini dia tidak bisa berharap pada laki-laki itu. Kiana rasa, sudah cukup untuknya menjadi seorang yang penurut. Mengelabui Rafael dan para pelayannya. Walau sebenarnya, ada pelayan yang sangat Kiana waspadai. Mara. Wanita itu selalu mengawasi gerak-geriknya. Kiana menyadarinya setelah apa yang terjadi kemarin. Kini, dia pun harus melihat kanan dan kiri saat berjalan menuju pintu belakang. Kebetulan, pintu belakang selalu terbuka di siang hari dan saat ini semua pelayan sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Entah apa yang mereka lakukan. Kiana tida
"Aku tidak bisa menemukan Kiana di mana pun. Sudahlah, lebih baik kamu menyerah saja. Mungkin wanita itu memang berniat meninggalkanmu," ucap seorang laki-laki pada Andrew yang terduduk di sofa dengan segudang pikiran buruk di kepalanya. Wajah Andrew tampak begitu sangat kusut. Sudah berminggu-minggu, dia mencari keberadaan Kiana, namun sampai sekarang semua pencariannya tidak membuahkan hasil. Bahkan saat Arkan ikut membantunya sekali pun. Ya, kakaknya itu mau membantu setelah melihat Andrew terus uring-uringan tak jelas karena ditinggal sang kekasih. Walau pada akhirnya, tetap saja menyerah. Keberadaan Kiana seperti hilang ditelan bumi. "Aku bisa mencarikan wanita yang lebih baik." Arkan dengan sangat santai menyilangkanya kedua kakinya. Memerintahkan pelayan untuk mengambilkannya minuman. Dia sebenarnya sedang sibuk bermanja dengan istrinya, tapi tanpa disangka adiknya datang mengganggu dan menanyakan perihal Kiana. Membuat Sashi me
Dua hari berlalu, Kiana sama sekali tidak dikeluarkan oleh Rafael. Dia tetap berada di gudang dengan rasa takut yang bahkan tidak kunjung pergi. Meski makanan selalu datang untuknya. Namun dari pagi tadi, sepertinya akan telat karena dia belum melihat ada Mara yang masuk atau apakah mereka akan membiarkannya mati membusuk? Kiana tidak memiliki harapan untuk hidup. Sampai di tengah keputusasaan yang melandanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Membuatnya yang ada tepat di pinggir pintu, menoleh. Sosok laki-laki berwajah dingin menjadi hal pertama yang dia lihat. Rafael. Laki-laki itu muncul dengan pakaian santainya. Rambut hitamnya dibiarkan berantakan. "Bangunlah." Bibir Kiana masih bungkam. Wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Dia masih berbaring di lantai yang dingin sebelum kemudian duduk dan menatap Rafael dengan pandangan lemah. Dia ingin sekali berteriak dan memaki laki-laki itu atas segala
"Apa yang kaupikirkan dengan menggoda pelayanku? Apa kau sadar, kalau kau sebentar lagi akan bertunangan?" Rafael menatap tajam sepupunya. Keduanya saat ini berada di halaman belakang. Berbicara setelah dia menarik paksa Marcel untuk keluar dari sana dan meninggalkan Kiana. Benar-benar sepupu yang berengsek! Dia dan Marcel bukan saudara sepupu yang begitu dekat, tapi laki-laki itu sudah berani masuk dan mengganggu Kiana. Padahal dia hanya meninggalkan rumah untuk membeli keperluan sebentar dan mengambil berkas yang tertinggal di rumah sakit. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak tahan melihatnya. Bolehkah aku ambil dia untukku?" Marcel masih menunjukkan ketertarikannya pada Kiana. Dia masih belum puas jika belum menyentuh wanita yang menjadi incarannya. Bagaimana mungkin, ada wanita yang begitu menarik minatnya sampai seperti ini? Dia bahkan tidak peduli jika Kiana hanyalah seorang pelayan. "Tidak. Dia m
"Apa kau tidak punya mata!" bentak Rafael sampai mangkuk yang tadinya berisi sayur itu jatuh ke lantai. Menimbulkan suara yang cukup nyaring. Kedua pahanya tampak basah karena Kiana yang tidak sengaja menumpahkan sup panas saat sedang menyiapkan hidangan untuk Rafael. Lantas, siapa yang tidak kesal? Apalagi rasa panas langsung menjalar menuju pangkal pahanya. Sarapan paginya pun harus berantakan. "Maaf, aku tidak sengaja," jawab Kiana dengan wajah polosnya. Meringis ngilu saat melihat Rafael seperti kesakitan. Namun saat dia menawarkan untuk membantu, laki-laki itu langsung menepis kasar tangannya. Tidak mungkin Rafael membiarkan Kiana menyentuh pahanya. "Apa hukuman kemarin belum cukup? Kaumau bermain-main denganku?" Rafael bangkit dan mencengkeram rahang Kiana. Dari kemarin, wanita itu selalu membuatnya jengkel. Membuat Rafael selalu ingin untuk menghukumnya. Dia sangat kesal. Sungguh kesal. Sementara Kiana hanya men
"Tuan akan pergi ke pesta nanti malam, bisa kau siapkan pakaiannya?" "Aku?" Kiana menunjuk dirinya sendiri. Dia masih tidak percaya kenapa pelayan lain selalu mengumpankan dirinya jika itu menyangkut Rafael? Tidak tahukah, kalau Rafael sudah begitu membencinya? Jika dia melakukan kesalahan lagi, Kiana juga yang harus menerima akibatnya dan tidak ada satu pun dari mereka yang mau menolongnya. "Memang siapa lagi yang ada di sini selain kau?" Kiana terdiam. Hanya dia dan Mara yang ada di dapur. Dua pelayan lainnya sedang sibuk berbelanja ke supermarket. Sejak tadi pagi hingga sekarang, mereka terus membicarakan tentang pesta, pesta dan pesta. Kiana sendiri yang mendengarnya sampai bosan. Dia tidak tahu pesta apa yang sebenarnya sedang dibicarakan. "Tidak bisakah kau saja? Aku sedang sibuk." Dia bahkan belum selesai mengepel lantai dan kini, harus mengurus segala keperluan Rafael? Memangnya lak
Pesta pertunangan Mili dan Marcel dilaksanakan di ballroom hotel. Kakeknya menyewa seluruh gedung termasuk kamar hotel untuk para tamu yang nantinya tidak bisa pulang dan memilih menginap. Benar-benar sangat mewah dan berkelas. Semua kolega bisnis hadir di sana. Andrew pun ikut hadir. Sementara Rafael datang paling terlambat. Dia datang sesaat sebelum proses pertukaran cincin dilakukan. Tentu saja, kelakuannya itu menarik perhatian banyak orang. Dia seperti tidak menghargai pemilik acara. Akan tetapi, Rafael hanya mengabaikannya. Dia datang juga karena paksaan dari kakek tua itu. Bahkan saat datang, Rafael hanya berdiri sembari menatap Mili dan Marcel saling memasangkan cincin. Keduanya tampak tersenyum lebar dan membuat para tamu ikut dalam kegembiraan itu sambil bertepuk tangan. Pertunangan mereka berjalan dengan lancar. Paman dan bibinya tampak tersenyum lebar, mungkin senang melihat anaknya bertunangan. Berbeda dengan sang kakek ya