Kiana membuka matanya perlahan. Dia berkedip beberapa saat sebelum mengusap kepalanya yang sedikit pusing, lalu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul empat pagi. Keadaan kamarnya masih gelap dan juga tidak ada siapa pun di sana. Ini hanya perasaannya saja atau memang dia merasa, semalam ada orang yang datang ke kamarnya?
Semalam, ketika tertidur, dia merasa mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Namun anehnya, Kiana tidak bisa membuka mata. Dia sangat lelap, sampai sebuah sentuhan terasa di tubuhnya. Sentuhan itu ternyata sangat nyata. Meski matanya terpejam rapat, Kiana masih tetap bisa merasakan ciuman lembut dan cumbuan di lehernya. Membuatnya teringat dengan Andrew. Padahal dia sudah mengira kalau itu adalah Andrew. Mungkinkah itu hanya mimpi saja? Namun kenapa terasa sangat amat nyata? Di tengah kebingungannya, Kiana kemudian beranjak dari ranjang dan masuk ke dalam kamar mandi. Menyi"Andrew, apa kaumau masuk ke rumahku?" tanya gadis dengan senyum manis itu pada laki-laki yang duduk di atas motor. Seragam sekolah tampak melekat di tubuh keduanya. Berdiri di depan sebuah rumah tua dan kumuh. Tampak tak terawat. "Tidak, Kiana. Aku harus pulang, ada urusan penting yang harus dilakukan." Terlihat ekspresi sedih di wajahnya. Kiana tampak tidak ingin jika Andrew pulang begitu saja. Laki-laki itu adalah teman pertamanya dan dia sedang kesepian. Walaupun sebenarnya, ada ibunya yang sedang tidur, tapi Kiana takut membuat ibunya marah dan kembali memukulnya. Dia ingin Andrew melindunginya. "Kau mau pergi balapan atau berkelahi? Aku mohon, jangan lakukan itu lagi, Ndrew. Kak Arkan juga bisa marah." Kiana menahan motor Andrew. Tidak memberi izin untuk laki-laki itu pergi meninggalkannya begitu saja. Andrew selalu berkelahi dan pulang dengan wajah babak belur. Lalu kakaknya Arkan akan datang ke
Kiana menyiram bunga di depannya sambil melamun seorang diri di taman. Dia khawatir sekaligus tidak tenang setelah apa yang terjadi dengannya dan Rafael. Laki-laki itu, sebenarnya apa yang tengah dipikirkan? Kenapa juga perasaannya harus kacau karena Rafael? Kiana tidak mengerti, dia menjadi sangat gelisah saat memikirkan laki-laki itu. Padahal seharusnya tidak. Rafael bukan siapa-siapa baginya. Tidak ada hak untuknya peduli atau pun ikut campur dengan urusannya. Sial. Kiana membenci semua ini. Di tengah kegiatannya yang asyik menyiram tanaman, Kiana tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah pelukan dari arah belakang. Seseorang memeluknya dengan sangat erat, sampai Kiana sendiri langsung tercekat dan menoleh. Dia mengira itu adalah Rafael, namun ternyata tebakannya salah. Orang yang saat ini sedang memeluknya adalah laki-laki yang dulu sempat hampir melecehkannya. "Sayang, kau di sini ternyata. Aku merindukanmu." &nb
Rafael membawa Kiana masuk ke dalam kamar dengan kasar. Usai marah-marah karena melihat Marcel menyentuh Kiana, dia membawa wanita itu kembali ke kamarnya. Jika saja Mara tidak menghubunginya dan mengatakan Marcel datang, mungkin dia akan tetap berada di rumah sakit. Sialnya, Rafael langsung bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh sepupu berengseknya. Menggoda Kiana, ya apa lagi memangnya? Karena itu, dia langsung memilih pulang. Tentu saja dugaannya benar, sepupunya sedang mencumbu Kiana dan membuatnya sangat amat marah. Ada perasaan ingin membunuh siapa pun yang menyentuh Kiana. Rafael sendiri heran dengan tingkahnya yang aneh seperti itu. Dia sampai gelap mata dan menghajar Marcel habis-habisan. Apa yang salah dengannya? Kenapa dia harus marah melihat Kiana disentuh pria lain? "Untuk beberapa waktu, jangan pernah keluar dari kamar," tegas Rafael sambil menatap tajam ke arah Kiana. Membuat wanita itu sampai menatapnya tak percaya.
Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain menangis sambil menatap ke luar jendela. Dia kesal dengan Rafael yang membuang sembarangan cincin pemberian Andrew. Tanpa bertanya atau bahkan peduli. Kenapa Rafael selalu bertindak semaunya? Laki-laki itu mengambil sesuatu yang bahkan sangat berharga bagi Kiana. Harapan akan kebebasan dan dia bisa hidup bahagia. Laki-laki itu sepertinya sangat senang membuatnya sedih, tapi Kiana tidak akan menunjukkan tangisnya di depan Rafael. Dia harus kuat. Dia tidak boleh menyerah begitu saja. Sampai di tengah rasa sedihnya, pintu kamar tiba-tiba dibuka. Muncullah Mara sambil membawa makan siang. Wanita tua itu tampak kasihan melihat apa yang terjadi pada Kiana. Hingga dia lantas berjalan mendekat dan duduk di samping Kiana setelah menyimpan makanannya di atas meja. "Semua tidak akan kembali meski kau menangis sekali pun." Kiana terkejut dengan suara yang tiba-tiba terdengar di teling
Rasa sakit di bagian kepala, membuat Rafael harus terbangun. Memegang kepalanya dan membuka mata perlahan. Langit-langit kamar miliknya menjadi hal pertama yang dia lihat. Lalu ketika dia mulai mengedarkan pandangannya ke arah lain, Rafael melihat Ken tengah duduk menatapnya dengan ekspresi cemas. "Ken?" "Akhirnya, kau sadar juga, Rafael," ujar Ken sambil mengucap syukur. Ternyata, di ruangan itu tidak hanya ada Ken saja, melainkan para pelayan dan bahkan bodyguard yang ditugaskan untuk menjaga rumahnya di depan, kecuali Kiana. Wanita itu masih tidak diizinkan untuk keluar kamar. Namun tampaknya, Kiana santai-santai saja. "Kenapa aku bisa di sini? Apa yang terjadi?" Rafael meringis dan menyentuh kepalanya yang diperban. Beberapa bagian tubuhnya terasa sakit. Sampai saat kilas balik tentang pemukulan yang dilakukan terhadapnya, Rafael langsung terdiam. "Aku yang harusnya bertanya seperti itu, apa yang terjadi sampai kau
Tidak ada yang bisa menentang keinginan Rafael saat laki-laki itu sudah memberi perintah. Membuat Kiana yang harusnya saat ini terlelap di atas ranjang empuk, justru harus diam di samping Rafael menemaninya. Duduk di pinggir ranjang karena tidak bisa tidur sekalian berjaga-jaga jika Rafa melakukan sesuatu terhadapnya. Ya, bagaimana tidak? Pintu kamar dikunci dari luar. Membuatnya hanya bisa menatap pria tampan namun jahat di depannya tanpa bisa melakukan apa-apa. Sebenarnya, niat apa yang membuat Rafael mengurungnya di kamar laki-laki itu? Tidak tahukah kalau saat ini, mungkin saja Kiana bisa membunuhnya? Rafael sedang sakit, membunuh laki-laki itu jelas tidak sulit. Ketika dia berhasil melumpuhkan Rafael, bukannya kebebasannya akan segera datang? Sekilas, itulah yang Kiana pikirkan. Membunuh laki-laki yang kini dengan terlelapnya tidur. Namun, saat pikiran itu terlintas, Kiana juga teringat dengan apa yang dulu sempat dilakukannya pad
"Buang makanannya." "Apa? Kenapa?" Kiana menatap sup ayam buatannya dengan nanar saat Rafael menolak masakannya. Padahal itu dibuat dengan susah payah. Kiana memasaknya karena Mara meminta untuk menyiapkan laki-laki itu makan malam. Tidak ada yang aneh, supnya pun masih panas. Kiana juga berani menjamin kalau rasanya tidak akan mengecewakan. Sedari kecil, dia sudah belajar memasak dan saat remaja, ibunya juga selalu diminta buatkan makanan olehnya. Walau atas dasar terpaksa. "Aku ingin makanan yang lain," balas Rafael tanpa peduli kalau Kiana tengah menahan sabar. "Tidak, aku tidak mau memasak lagi. Makan atau tidak, hanya itu pilihanmu!" Sudah malam dan Kiana juga ingin istirahat. Dia tidak mau terus-menerus melayani Rafael. Apalagi dia tidak mendapat gaji apa pun dari laki-laki itu. Salah. Sebenarnya Rafael memberinya hak untuk meminta apa pun yang dia mau pada Mara, yang tentu
"Rafael, kenapa kau memukuli Marcel?" tanya Guzman pada cucu kesayangannya, Rafael. Dia kaget setelah mendengar kalau Marcel dipukuli oleh Rafael di rumah laki-laki itu. Mario memberitahu dan mendesaknya untuk menghukum Rafael. Tentu karena perbuatan Rafael dianggap sudah sangat keterlaluan. Kini, dia langsung memerintahkan orang-orangnya untuk membawa paksa Rafael dari rumah sakit. Tidak peduli apakah cucunya menolak atau tidak. Sebenarnya dia bingung, dengan perubahan yang terjadi pada cucunya itu. Kenapa Rafael yang bahkan selalu menghindari perkelahian, kini justeru lebih sering berkelahi? Insiden di pesta pertunangan Marcel pun demikian dan sekarang cucunya kembali melakukan hal yang sama. "Jadi kau membawaku secara paksa ke sini hanya untuk mendapat pertanyaan semacam itu? Kenapa tidak tanyakan saja padanya? Kenapa dia sampai berani menyentuh pelayanku," ujar Rafael. Matanya menatap kakeknya dengan sinis. Rafael sama