Sudah lima hari, sejak Rafael merampas dan menguasai tubuhnya hingga Kiana tidak bisa berjalan atau bahkan berdiri. Laki-laki itu pergi meninggalkannya bahkan sebelum Kiana membuka mata dan menghilang selama beberapa hari ini. Harga dirinya terasa diinjak-injak. Rafael yang memaksanya, namun laki-laki itu juga yang pergi meninggalkannya.
Ini terasa menyakitkan untuknya. Andrew saja tidak pernah melakukan ini. Laki-laki itu selalu ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat setelah menghabiskan malam yang panjang bersama. Kata-kata romantis di pagi hari dan kecupan mesra, selalu dia dapat. Tidak. Jangan salah paham, Kiana tidak menginginkan itu dari Rafael. Hanya dia ingin mendapatkan maaf atas tindakan kasar laki-laki itu padanya. Kiana tidak bisa untuk tidak mengingat kejadian di malam itu. Sangat membekas di benaknya saat Rafael dengan sangat kasar menyetubuhinya. Laki-laki itu melakukannya tanpa perasaan, bahkan saat Kiana meTidak ada kesialan yang tidak akan menimpa Rafael setelah dia berdekatan dengan Kiana. Wanita itu selalu membawa masalah untuknya, begitu pun untuk sekarang. Kiana menarik dan membuat tubuhnya basah karena tercebur ke dalam air. Tak hanya itu, dia juga harus membawa naik Kiana yang bahkan seperti akan kehilangan nyawa karena tidak bisa berenang dan pingsan dalam pelukannya begitu saja. "Dasar menyusahkan." Rafael menggerutu saat mengangkat tubuh Kiana yang berat di dalam air. Walau sebenarnya, bisa saja Rafael membiarkan Kiana mati tenggelam dan membuat itu seolah-olah seperti sebuah kecelakaan. Namun, dia rasa ini belum saatnya untuk Kiana mati. Alhasil, Rafael tidak memiliki pilihan lain selain menyelamatkannya. Kiana yang pingsan, dia bawa dengan susah payah dari dalam air dan membaringkannya di pinggir kolam renang. Menepuk-nepuk pipinya dengan cukup keras. Berusaha membangunkan Kiana. Pakaian wanita itu tampak bas
Malam harinya, Rafael tidak bisa tidur. Matanya tidak mau terpejam padahal sudah hampir tengah malam. Dia hanya bisa duduk di ruang kerja dan menatap perkembangan bisnis miliknya yang saat ini tengah berkembang pesat. Perkebunan milik ibunya, yang saat ini dikelola langsung olehnya. Rafael memperbesarnya. Juga hotel dan mall milik papanya, jatuh ke tangannya. Jika ada yang mengira kalau Rafael tidak mendapatkan apa-apa, itu salah besar. Dia mendapatkan semua milik orang tuanya, termasuk papanya yang meninggalkan bisnisnya untuk Rafael. Senang? Tidak, karena itulah Rafael tidak mau ikut campur mengurusnya. Dia mempercayakan semuanya pada salah satu kepercayaan papanya. Meski itu bukan artinya dia lepas tangan, Rafael tetap mengontrol dan mendatanginya untuk melihat perkembangan. Akan tetapi, dia tidak mau ikut campur dengan terjun langsung. Sama halnya dengan sang kakek yang menginginkan dia untuk duduk berjam-jam dan mengurus tum
Kiana membuka matanya perlahan. Dia berkedip beberapa saat sebelum mengusap kepalanya yang sedikit pusing, lalu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul empat pagi. Keadaan kamarnya masih gelap dan juga tidak ada siapa pun di sana. Ini hanya perasaannya saja atau memang dia merasa, semalam ada orang yang datang ke kamarnya? Semalam, ketika tertidur, dia merasa mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Namun anehnya, Kiana tidak bisa membuka mata. Dia sangat lelap, sampai sebuah sentuhan terasa di tubuhnya. Sentuhan itu ternyata sangat nyata. Meski matanya terpejam rapat, Kiana masih tetap bisa merasakan ciuman lembut dan cumbuan di lehernya. Membuatnya teringat dengan Andrew. Padahal dia sudah mengira kalau itu adalah Andrew. Mungkinkah itu hanya mimpi saja? Namun kenapa terasa sangat amat nyata? Di tengah kebingungannya, Kiana kemudian beranjak dari ranjang dan masuk ke dalam kamar mandi. Menyi
"Andrew, apa kaumau masuk ke rumahku?" tanya gadis dengan senyum manis itu pada laki-laki yang duduk di atas motor. Seragam sekolah tampak melekat di tubuh keduanya. Berdiri di depan sebuah rumah tua dan kumuh. Tampak tak terawat. "Tidak, Kiana. Aku harus pulang, ada urusan penting yang harus dilakukan." Terlihat ekspresi sedih di wajahnya. Kiana tampak tidak ingin jika Andrew pulang begitu saja. Laki-laki itu adalah teman pertamanya dan dia sedang kesepian. Walaupun sebenarnya, ada ibunya yang sedang tidur, tapi Kiana takut membuat ibunya marah dan kembali memukulnya. Dia ingin Andrew melindunginya. "Kau mau pergi balapan atau berkelahi? Aku mohon, jangan lakukan itu lagi, Ndrew. Kak Arkan juga bisa marah." Kiana menahan motor Andrew. Tidak memberi izin untuk laki-laki itu pergi meninggalkannya begitu saja. Andrew selalu berkelahi dan pulang dengan wajah babak belur. Lalu kakaknya Arkan akan datang ke
Kiana menyiram bunga di depannya sambil melamun seorang diri di taman. Dia khawatir sekaligus tidak tenang setelah apa yang terjadi dengannya dan Rafael. Laki-laki itu, sebenarnya apa yang tengah dipikirkan? Kenapa juga perasaannya harus kacau karena Rafael? Kiana tidak mengerti, dia menjadi sangat gelisah saat memikirkan laki-laki itu. Padahal seharusnya tidak. Rafael bukan siapa-siapa baginya. Tidak ada hak untuknya peduli atau pun ikut campur dengan urusannya. Sial. Kiana membenci semua ini. Di tengah kegiatannya yang asyik menyiram tanaman, Kiana tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah pelukan dari arah belakang. Seseorang memeluknya dengan sangat erat, sampai Kiana sendiri langsung tercekat dan menoleh. Dia mengira itu adalah Rafael, namun ternyata tebakannya salah. Orang yang saat ini sedang memeluknya adalah laki-laki yang dulu sempat hampir melecehkannya. "Sayang, kau di sini ternyata. Aku merindukanmu." &nb
Rafael membawa Kiana masuk ke dalam kamar dengan kasar. Usai marah-marah karena melihat Marcel menyentuh Kiana, dia membawa wanita itu kembali ke kamarnya. Jika saja Mara tidak menghubunginya dan mengatakan Marcel datang, mungkin dia akan tetap berada di rumah sakit. Sialnya, Rafael langsung bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh sepupu berengseknya. Menggoda Kiana, ya apa lagi memangnya? Karena itu, dia langsung memilih pulang. Tentu saja dugaannya benar, sepupunya sedang mencumbu Kiana dan membuatnya sangat amat marah. Ada perasaan ingin membunuh siapa pun yang menyentuh Kiana. Rafael sendiri heran dengan tingkahnya yang aneh seperti itu. Dia sampai gelap mata dan menghajar Marcel habis-habisan. Apa yang salah dengannya? Kenapa dia harus marah melihat Kiana disentuh pria lain? "Untuk beberapa waktu, jangan pernah keluar dari kamar," tegas Rafael sambil menatap tajam ke arah Kiana. Membuat wanita itu sampai menatapnya tak percaya.
Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain menangis sambil menatap ke luar jendela. Dia kesal dengan Rafael yang membuang sembarangan cincin pemberian Andrew. Tanpa bertanya atau bahkan peduli. Kenapa Rafael selalu bertindak semaunya? Laki-laki itu mengambil sesuatu yang bahkan sangat berharga bagi Kiana. Harapan akan kebebasan dan dia bisa hidup bahagia. Laki-laki itu sepertinya sangat senang membuatnya sedih, tapi Kiana tidak akan menunjukkan tangisnya di depan Rafael. Dia harus kuat. Dia tidak boleh menyerah begitu saja. Sampai di tengah rasa sedihnya, pintu kamar tiba-tiba dibuka. Muncullah Mara sambil membawa makan siang. Wanita tua itu tampak kasihan melihat apa yang terjadi pada Kiana. Hingga dia lantas berjalan mendekat dan duduk di samping Kiana setelah menyimpan makanannya di atas meja. "Semua tidak akan kembali meski kau menangis sekali pun." Kiana terkejut dengan suara yang tiba-tiba terdengar di teling
Rasa sakit di bagian kepala, membuat Rafael harus terbangun. Memegang kepalanya dan membuka mata perlahan. Langit-langit kamar miliknya menjadi hal pertama yang dia lihat. Lalu ketika dia mulai mengedarkan pandangannya ke arah lain, Rafael melihat Ken tengah duduk menatapnya dengan ekspresi cemas. "Ken?" "Akhirnya, kau sadar juga, Rafael," ujar Ken sambil mengucap syukur. Ternyata, di ruangan itu tidak hanya ada Ken saja, melainkan para pelayan dan bahkan bodyguard yang ditugaskan untuk menjaga rumahnya di depan, kecuali Kiana. Wanita itu masih tidak diizinkan untuk keluar kamar. Namun tampaknya, Kiana santai-santai saja. "Kenapa aku bisa di sini? Apa yang terjadi?" Rafael meringis dan menyentuh kepalanya yang diperban. Beberapa bagian tubuhnya terasa sakit. Sampai saat kilas balik tentang pemukulan yang dilakukan terhadapnya, Rafael langsung terdiam. "Aku yang harusnya bertanya seperti itu, apa yang terjadi sampai kau
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal