Aku sempat mengirimi Tama pesan menanyakan keberadaannya. Bahkan menyuruhnya pergi jika memang dia benar-benar ada di apartemenku. Namun, sampai aku dan Giko naik dan tiba di lantai di mana unitku berada, Tama belum merespons pesanku. Ya Tuhan, semoga dia nggak ada di unit sekarang. Aku menekan password apartemen dengan perasaan tak tenang. Namun, Giko tampak santai sembari mengutak-atik ponselnya. Diam-diam aku berharap akan ada sesuatu yang menghalanginya mampir ke unit. Tapi, sampai aku berhasil membuka pintu, tidak ada tanda-tanda apa pun yang bisa menjadi alasan pria jabrik itu pergi. "Kok diam aja?" tanya Giko yang melihatku malah berdiam diri di depan pintu. Aku nyengir dan bergerak melangkahkan kaki dengan lamban. "Gue seneng banget lo datang ke sini, Giko! Tapi jangan lama-lama, ya. Soalnya gue mau me time sama novel-novel gue!" ujarku dengan lantang, berharap kalau benar Tama ada di dalam mendengar, lalu bersembunyi. "Lo ngapa dah teriak-teriak gitu di unit sendiri?" Gik
Aku dan Danar diam-diam pergi ke Bogor tanpa memberitahu Giko atau pun Tama. Sudah tiga hari ini aku mendiamkan mereka. Sebisa mungkin aku menghindari Tama. Berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menenangkan pikiran. Lalu Giko. Ya, lelaki itu masih mendatangiku di kantor. Meminta maaf dan mengajakku makan siang. Namun, tentu saja aku mengabaikan. Dia sangat tahu aku marah. Kota Jakarta masih gelap ketika mobil Danar keluar dari pelataran apartemen. Aku sengaja memintanya untuk mengantarku setelah subuh menjelang. Bukan untuk menghindari macet, tapi menghindari Giko dan Tama, tentu saja. Ponsel bahkan sengaja aku matikan. "Lo masih kelihatan ngantuk. Tidur aja. Kalau udah sampai gue kasih tau." "Hm." Aku nggak menolak dan mencari posisi nyaman untuk merebah. Kursi yang kunaiki aku setting sedikit miring ke belakang. Danar bahkan memberiku bantal kecil. Dua jam waktu yang lumayan buat tidur. Menghindari Tama membuat tidurku kurang. Aku be
Dua alis Dendy meninggi. "Nggak salah nih, Kak? Lo cantik begini masa minta cariin jodoh? Gue yakin yang suka sama lo banyak. Pasti lo nih yang pemilih. Maunya yang gimana sih? Inget umur ngapa." Ebuset, nih anak malah ceramah. "Gue nggak pemilih. Belum nemu yang cocok aja."Dan, sekalinya nemu sudah jadi milik orang. Nasib cintaku memang nggak seberuntung parasku. Dendy tampak menarik napas panjang. Lalu tiba-tiba dia menjentikkan jari. "Lo sama Bang Dean aja gimana?" Detik berikutnya bantal melayang ke kepalanya. "Lo mau gue sama Dean pinces?" "Lo hobi banget mukulin pala gue. Bilangin ibu nih," ujarnya mirip anak bayi. "Soalnya otak lo isinya nggak bener. Ya kali gue sama Dean? Kayak nggak ada cowok di dunia ini aja." "Bang Dean cuma sepupu, di mana letak pinces-nya? Kecuali kita kawin, baru tuh pinces." Dendy terkekeh, tapi buru-buru kembali mingkem saat aku mendelik. "Kalian ribut apa sih? Ini ada tamu malah ditinggalin." Suara ibu terdengar lalu nggak lama sosoknya nongol
Ibu terlihat sangat bahagia melihat kami berkumpul. Kami makan siang lesehan di ruang tengah alih-alih di meja makan. Lebih seru begini. Masakan ibu juga sederhana nggak mewah seperti saat aku makan malam bersama Luffy dan Giko. Dengan beberapa lalapan yang diambil dari kebun sendiri, ibu juga membuat sambal teras andalannya. Ada tahu dan tempe goreng yang menjadi menu wajib. Lalu beberapa potong ayam dan ikan lele yang digoreng bersama kremesan. Semuanya adalah menu yang dulu menjadi jualan ibu saat masih tinggal di Jakarta untuk bertahan hidup dan menyekolahkan kami. "Nak Danar, kamu kangen enggak sama pecel lele ibu?" tanya ibu saat menyuguhkan air teh tawar hangat. "Kangen banget, Bu. Boleh nambah nanti, ya, Bu," sahut Danar sembari menerima piring dariku."Sama, gue aja kangen banget sama pecel buatan ibu. Makanya pas ada lowongan di jabodetabek, gue langsung daftar. Beruntungnya gue dipindah ke cabang Bogor. Jadi nggak perlu jauh-jauh dari ibu lagi," timpal Dendy. Aku bersyu
Aku terkikik melihat reaksi Dendy. Sumpah, aku kangen banget bercanda begini sama bocah yang sekarang tingginya sudah melampaui aku itu. "Gue es teler aja deh, samain kayak Danar.""Buset dah, lo disamain kayak es teler, Bang, sama Kak Wina." Danar terkekeh. "Nggak apa-apa. Itu artinya gue nyegerin." "Bener tuh. Meski namanya es teler, tapi nggak bikin teler dan malah nyegerin. "Den! Jadi enggak, sih?!" Dean menyusul muncul. Mukanya ditekuk, dan terlihat bete. "Nanyanya kelamaan." Dendy nyengir. "Sori, Bang. Diajak debat dulu sama Kak Wina. Yuk, ah! Cabut! Lo di rumah aja, Kak. Sama ibu. Ibu tadi pesen es pisang ijo."Aku membiarkan mereka bertiga pergi. Sempat kudengar mereka meributkan siapa yang akan menyupir. Dua lawan satu, Dendy kalah, dia akhirnya yang jadi supir. Aku masih duduk santai di teras menikmati hari yang nggak begitu terlalu terik. Di tempat tinggal ibu ini masih banyak pohon rindang. Jadi, cuacanya lumayan adem. "Ibu kira kamu ikut mereka." Ibu datang nggak
"Cendol, Es teler, Es Kelapa, ready!" Aku gagal memejamkan mata setelah panggilan dari Tama berakhir. Sampai Dendy dan lainnya sudah kembali, aku memutuskan menyongsong kedatangan mereka. "Es cincau gue mana?" tanyaku mengintip kantong plastik hitam yang ada di meja ruang tengah. "Kagak ada. Males gue keliling nyari tukang cincau. Udah, yang ada aja," sahut Dendy, beranjak duduk di sofa ruang tengah. Ibu datang membawa beberapa mangkok dari dapur. "Nih, pake ini. Wina, taruh es-es itu ke dalam mangkok." Aku membongkar satu persatu isi plastik hitam itu. Ada dua es teler, satu es pisang ijo, dan dua es Cendol. "Es Cendol dua punya siapa nih?" tanyaku sembari menaruh dua bungkus ke mangkok. "Punya gue sama Dendy. Lo sama Danar es teler. Emak lo es pisang ijo, sahut Dean menarik salah satu mangkok cendol. "Wuih, jadi ibu nih yang beda sendiri." Ibu tersenyum lalu mengambil salah satu mangkok yang baru saja aku tumpahin es teler dan menyerahkannya kepada Danar. "Ih, ibu itu kan p
"Ada tamu rupanya. Loh, Win? Minumannya mana?" tanya Ibu setelah mengucapkan salam. Giko langsung berdiri menyambut ibu dan mengulurkan tangannya. "Ibu apa kabar? Sehat?" "Alhamdulillah Ibu sehat," sahut Ibu menyambut uluran tangan Giko. "Kamu tambah ganteng aja, ya. Lama banget ibu nggak liat kamu." "Terima kasih, Bu. Tahu aja kalau saya dari dulu ganteng," ujar Giko nyengir. Aku memutar bola mata jengah. Nggak bisa dikasih hati. Di mana-mana kepercayaan dirinya tetap melangit. "Ini siapa ya?" tanya Giko menunjuk Dendy yang dari tadi cuma berdiri di samping ibu tanpa berniat menyapanya. Aku yakin Dendy sengaja melakukan itu agar Giko bingung. Narsisnya adikku itu kan sebelas dua belas dengan si playboy. "Lo lupa sama gue?" tanya Dendy, sok galak. Giko menggeleng dengan tatapan heran. "Siapa memangnya lo? Jangan bilang lo calon suami Wina."Dendy menyeringai. Aku bisa melihat Devil di atas kepalanya. Melalui pelototan mata aku memperingatkan anak itu agar tidak berbuat macam.
Minggu ini jatahku pertama yang mengikuti acara Goes To School. Dari tim marketing tiga orang termasuk aku dan Arin. Ditambah dua orang dari General affair. Ada lima orang yang akan berkunjung di salah satu sekolah menengah atas di Jakarta Selatan. Kami berlima menggunakan mobil kantor sekaligus membawa barang-barang promosi. "Kalau udah sampai sana kabari, ya," ucap Danar sebelum mobil meninggalkan kantor. Dia ikut mengantar hingga teras lobi. "Kalau ada waktu senggang saya nyusul." "Acaranya sampai jam tiga doang loh, Pak," sahut Arin. "Iya, kalau jam makan siang ada waktu dan nggak sibuk, saya ke sana. Meninjau. Semoga lancar acara kalian." Aku duduk di kursi tengah bersama Arin, dan Fathur salah satu orang general affair. Dua orang lainnya di depan. Sementara barang-barang bawaan kami ada di bagian belakang. "Pak Danar suka sama salah satu di antara kalian, ya?" tanya Fathur tiba-tiba. Aku dan Arin saling berpandangan sejenak. "Kok bisa mikir sampai sana, Mas?" tanyaku hera
Aku menyisir rambut tebal Danar dengan jemari. Dia masih terlelap dengan nyaman di atas dadaku. Lengan kekarnya memeluk perutku, terlihat nyaman. Sama sekali nggak merasa engap karena semalaman tidur dengan posisi begini. Setelah kumpul-kumpul bersama yang lain, lalu bertemu sebentar dengan ibu dan mama—ibu mertuaku, kami baru kembali ke kamar sekitar pukul sebelas malam. Meski begitu, Danar tidak membiarkanku tidur hingga lewat tengah malam. Danar dan gairahnya membuatku sedikit kuwalahan. Aku nggak mungkin menolak meski jujur sangat mengantuk. Nyatanya setelah itu dia berhasil membuat kantukku hilang. Rasa penasaran sebagai pengantin baru membuat kami ingin terus mencoba. Senyumku terbit saat kembali mengingat sentuhannya semalam. Masih bisa membuat tubuhku merinding hingga sekarang. Setelah melewati yang pertama, kedua dan seterusnya aku merasa lebih nyaman."Nar, bangun...." Aku menepuk pipinya pelan. "Hm." Dia melenguh namun tidak mengubah posisi tidurnya. "Nanti kita nggak
"Norak banget, sumpah. Bisa nggak itu tangan kalian lepas? Kalau mau show off ke gue tuh jangan tanggung-tanggung, live streaming malam pertama kalian minimal tuh!" Tanganku dan Danar masih saling tertaut meskipun sekarang sudah duduk berdampingan di salah satu sudut kafe. Itu yang bikin Giko jengkel setengah mampus. Aku sih bodo amat. "Lepas kagak?!" Entah dapat dari mana karet gelang yang Giko pegang sekarang. Detik berikutnya tautan kami sontak terlepas karena kunyuk itu menjepret-nya dengan karet sialan itu. Yang kena jepretan Danar, tapi yang terkejut aku. "Resek lo!" Aku langsung meraih kembali tangan Danar dan mengabaikan decakan Giko. "Aku nggak apa-apa, Win," ucap Danar tersenyum. "Lebay! Cuma jepret karet doang itu. Sakitnya nggak ada apa-apanya dibanding malam pertama lo." Aku menggeram sebal. Dari tadi Giko nyinggung soal malam pertama terus. Dia beneran kurang belaian kurasa. "Katanya Marissa mau ke sini? Kok nggak datang-datang?" tanya Giko menengok jam tangannya.
Tidak ada pengait bra di punggung. Tidak ada adegan romantis saat bra itu melonggar di dada. Cup silicon yang kukenakan aku lepas sendiri lantaran Danar sepertinya agak kejang melihat bentukan asli dadaku. Diam-diam aku mengulum senyum saat pria itu dengan hati-hati dan perlahan menyentuh area itu. Telapak tangannya yang agak kasar sedikit membuatku menggelinjang. Apalagi ketika jemarinya bermain di puncak dadaku. Ya Tuhan aku bisa merasakan sekujur tubuhku merinding seketika. Ciuman Danar berpindah ke pipi lantas rahang. Kepalaku sontak mendongak ketika dia menyasar area leher. Dan lagi-lagi aku dibuat merinding saat bisa merasakan jejak basah yang dia tinggalkan. Danar sedikit mendorongku agar bergerak mundur. Dia dengan pelan menuntun duduk di tepian tempat tidur, dan tanpa melepas ciumannya menjatuhkan tubuhku ke atas permukaan tempat tidur. Dia sendiri lantas memposisikan diri di atasku. Desahan pertamaku lolos saat step ciumannya turun ke dada. Sebelah tanganku refleks merem
Pernah punya sahabat rasa suami? Atau suami rasa sahabat? Aku merasakannya hari ini. Not bad, bahkan terlalu manis. Di saat pria lain membawa pengantinnya ke kamar dengan cara membopong, Danar malah menggendongku di punggungnya. Alasannya karena badanku berat, sialan sekali. Resepsi pernikahan sederhana kami, sudah berakhir beberapa puluh menit yang lalu. Aku dan Danar memutuskan kembali ke kamar setelah sebelumnya pamit kepada Ibu, Mama dan Papa mertuaku, serta lainnya. Lantaran pernikahan kami berlangsung pagi, dan dihadiri hanya oleh sanak famili, acaranya cuma berlangsung hingga pukul sepuluh pagi. Rencananya kami akan mengadakan tour wisata keluarga setelah ini. Jangan berharap aku dan Danar bisa bobo cantik di sini, ya. Hehe."Gimana kalau kita nggak usah ikut tour? Pasti mereka paham, kok," ujar Danar saat kami melewati lorong-lorong menuju kamar kami. Aku masih berada di gendongannya."Ih, nggak enak. Kayak ketahuan nggak sabarnya." "Ya biarin, kita kan emang nggak sabar
"White gold, mewah juga ya konsepnya." Giko memasuki ballroom yang disulap menjadi taman bunga dengan dominasi warna putih dan emas.Sembari mengisi buku tamu aku mengedarkan pandang. Beberapa kali aku menghadiri resepsi pernikahan indoor seperti ini. Undangan pernikahan teman tidak pernah aku lewatkan. Hitung-hitung mencari referensi dekorasi yang cantik.Aku menyerahkan pena pada Danar yang ada di belakangku. Setelah dia mengisi buku tamu, kami bertiga melewati lorong taman bunga buatan yang lumayan panjang."Ini kira-kira mereka menghabiskan berapa ribu tangkai, ya?" tanya Giko, tangannya dengan usil mengambil salah satu kelompok bunga."Yang jelas ratusan ribu. Bunga satu kebon kayaknya diangkut ke sini," sahutku lantas terkikik."Beb, lo mau konsep pernikahan kayak gini juga enggak?"Pertanyaan yang bikin mood-ku lumayan naik. "Gue nggak mau ribet, sih. Cukup outdoor party aja.""Di mana?" Giko berbalik. "Di hutan aja, kayaknya belum pernah ada yang ngadain acara pernikahan di hu
Danar tidak main-main. Setelah membawaku ke rumah mamanya, dia langsung menyusun acara melamarku ke ibu. Aku agak ngeri dengan langkahnya yang begitu cepat. Seolah sedang menjaring klien, dan takut kliennya akan hilang."Gue bilang juga apa! Lo itu udah cocok sama Bang Danar, Kak," ujar Dendy. Acara lamaran sudah kelar dari satu jam lalu. Rombongan pelamar pun sudah pulang lagi ke Jakarta. Namun, Danar tetap tinggal."Kenapa dari dulu lo nggak desak kakak lo, sih, Den?" tanya Danar duduk memepet ke dekatku. Salah satu kebiasaan baru pria itu sejak jadian, nempel terus kayak perangko."Capek gue ngomongin, Bang.""Ish! Gue kan nggak enak sama cewek lo. Dia itu naksir berat sama Danar dulu," timpalku mengernyit tak suka lantaran terus dipojokkan."Arin pernah bilang ke gue, sih. Katanya deketin Bang Danar kayak lagi deketin kayu hidup.""Ebuset, pinokio dong!" celetuk Dean yang sejak tadi makan aneka kue basah yang didapat dari lamaran."Tau tuh! Padahal Arin cantik, dilirik pun enggak,
Danar masih sibuk di depan laptopnya. Akhir bulan memang menjadi momok bagi karyawan di perusahaan keuangan. Jika biasanya dia akan lembur di kantor hingga larut, kali ini dia membawa pulang pekerjaan ke apartemen. Alasannya konyol. Lembur di kantor sudah nggak menyenangkan sejak aku nggak bekerja di sana lagi.Maksud ngana?Beberapa saat sebelum dia berkutat di depan layar laptop ada sebuah pengakuan yang mencengangkan. Seenggaknya mencengangkan bagi aku. Hehe."Aku dulu sengaja memintamu lembur, agar aku bisa berlama-lama sama kamu di kantor. Percaya enggak?"Itu diucapkan manusia yang baru dua minggu jadi pacarku tanpa ekspresi. Gila enggak? Sontak saja mataku melotot dan memekik. "Demi apa?""Demi kamu."Panggilan "lo-gue" berganti "aku-kamu" di hari kedua kami pacaran. Awalnya agak geli, tapi lama-lama terbiasa. Danar yang terus membiasakan sebenarnya.Aku menarik napas dan mengembuskannya. "Kamu tau nggak, sih, Nar. Lembur itu hal yang paling nggak aku suka.""Aku sih suka aja
Setelah mengucapkan tetek bengek doanya buatku, pria yang aslinya memiliki senyum manis itu memelukku. "Nggak usah sedih meskipun sekarang cuma gue doang yang nemenin ultah lo." Dia mengacak rambutku. Alih-alih sedih aku malah terkekeh. Ini yang aku nggak paham. Serius, muka lempeng Danar itu nggak ada lucu-lucunya sama sekali, tapi kadang bikin aku ingin tertawa. "Sebenarnya gue pengin rayain ultah bareng pacar. Tapi, nasib cinta gue masih ngenes aja dari tahun kemarin," ujarku masih terkekeh, merasa nasib konyolku ini seperti lelucon. "Pacar, ya?" Aku mengangguk. "Mungkin gue akan pertimbangin Bima, biar ultah gue tahun depan nggak jomblo lagi." "Kok Bima?" Kening Danar mengernyit."Ya, soalnya cuma dia satu-satunya cowok yang lagi prospek ke gue." Aku meraih pisau keik, dan mulai memotong kue. "Sebenarnya gue punya penawaran. Dan gue rasa ini cukup menguntungkan, buat lo atau pun gue." Aku yang sedang fokus memotong kue hanya membalas sambil lalu. "Apa tuh?"Danar tidak lan
"Lo udah kayak bodyguard Wina aja, sih? Ngapain juga pake acara jemput Wina segala? Gue bisa kok anterin dia." Bima mengatakan itu setengah sadar. Dia agak sedikit mabuk. Seperti apa yang Danar bilang, pukul sembilan malam dia sudah menyambangi privat room lokasi pesta kami. "Anggap aja begitu. Gue bawa Wina dulu, ya," ujar Danar tersenyum kecil lalu menarik tanganku untuk bergegas keluar dari ruangan itu. "Nggak asik lo!" seru Bima dari dalam yang diabaikan oleh Danar. Kami menuruni anak tangga, dan melewati lautan manusia yang tengah berpesta di lantai bawah. "Lain kali nggak usah datang kalau kantor ngadain acara di tempat kayak gini," ujar Danar begitu membawaku masuk ke mobilnya. "Gue kan nggak enak nolaknya, Nar." "Itu tempat nggak aman. Kalau lo diapa-apain mereka gimana?" Aku nggak akan mendebat si kulkas. Pikirannya yang sistematis selalu membuatku tidak bisa berkata-kata kalau memaksa debat dengannya. "Lihat, bajumu kenapa basah gitu?" Aku menunduk, sempat lupa ka