Kanza menghela nafas berat menatap langit yang terang. Sudah dua minggu lamanya Kanza bekerja sangat keras berakhir dengan Kanza berdiri di depan pintu masuk gedung. Menunggu ojek online untuk pulang Kanza menatap ponselnya, sekilas menilik jam. Lagi-lagi pulang terakhir pada pukul 19.30.
Kanza melihat map pada aplikasi ojek online. Tapi tak kunjung jalan, apakah macet? Kanza pun tidak tahu. Baru beberapa saat, tiba-tiba chat masuk dari pesan bapak ojek online nya. Dan tiba-tiba pesanan dibatalkan oleh sana. Kanza menghela nafas kasar. Padahal ia lelah tapi ia harus jalan sedikit jauh untuk mencari angkutan umum atau jika kepepet mau tak mau ia naik taxi. Sebenarnya Kanza takut jika harus naik taxi atau ojek online yang mobil, karena ia hanya sendiri dan dia baru menginjakkan di Kota Jakarta. Ia masih belum hafal sekitar, meski beberapa kali ia berkeliling tapi ia sedikit buta arah.
"Belum pulang?" tanya seseorang membuat Kanza langsung menoleh ke sumber suara. Ia langsung menunduk sejenak memberi salam ketika pemilik suara itu muncul dari arah belakang.
"Eh, iya Pak. Ini baru saya mau pulang. Bapak sendiri?" tanya Kanza sedikit kikuk.
Pasalnya dua minggu ini ia mati-matian menghindari Abian, tapi kenyataan Kanza harus satu tim dengan Bian dengan Bian sebagai ketua Tim. Tak heran jika ia bekerja keras selama dua minggu ini.
Bian menatap datar sembari menenteng ransel, "Kamu gak liat saya mau ngapain?"
Kanza benar-benar harus sangat sabar dengan Abian yang sifatnya lebih galak, dingin tidak suka basa-basi dibanding dulu. Apa hanya dengan dirinya saja ya? Kanza liat dengan anggota lain Abian lumayan terbuka berbeda dengan Kanza yang selalu sensi. Kanza memilih mengangguk sejenak lalu diam dibanding harus meneladeni atasannya, yang memperburuk suasana hatinya.
"Katanya mau pulang? Kenapa belum pulang?" tanya Bian yang masih berdiri di sebelah Kanza sembari mengeluarkan jaketnya.
Kanza menoleh, belum sempat jawab Bian sudah menyodorkan tas ransel nya pada Kanza, "Tolong bawakan sebentar."
Oh iya, hobinya selain marah-marah, sensi, galak, pedes ngomongnya, Kanza baru ingat jika Bian suka suruh-suruh. Kanza sedikit terdorong ke bawah ketika menerima tas ransel milik Bian yang lumayan berat. Bahkan Kanza membawanya dengan dua tangan.
"Bapak gak bawa batu, 'kan?" tanya Kanza yang masih mengrenyit menatap ransel Bian.
Bian mendengus seraya mengancingkan jaketnya, "Kamu aja yang lemah." Kanza memicingkan matanya menatap Bian sengit namun tak dihiraukan oleh Bian. Pria itu masih sibuk merapikan jaketnya.
"Mana tasnya." pinta Bian setelah selesai dengan penampilan rapinya.
Lagi-lagi Kanza harus menelan segala umpatan yang ingin ia berikan pada Bian. Dengan segera Kanza berikan tas tersebut berharap agar Bian cepat-cepat pergi sebelum seisi binatang Kanza absen. Setelah memberikan tas kepada Bian ia langsung mengecek ponselnya untuk kembali memesan ojol (ojek online), ia harus segera pulang sebelum di tinggal di gedung ini sendiri.
"Ya sudah saya pamit dulu." Ucap Bian pada Kanza yang sibuk dengan ponselnya.
"Bentar, Pak!!" seru Kanza membuat Bian tak jadi melangkahkan kakinya.
"Tungguin 10 menit aja... 10 menit aja. Ya?" pinta Kanza pada Bian. Bagaimana lagi, Kanza sudah mulai takut melihat sekeliling yang terasa sepi. Walaupun ada yang shift malam di dalam namun tetap saja mereka di dalam sana.
"Maaf tapi saya sibuk. Hati-hati, ya." Ucap Abian berhasil membuat Kanza melongo bahkan sampai Abian pergi berbelok menuju parkiran meninggalkan dirinya yang masih berdiri mematung.
"W-woahh... Woahhh... Dasar manusia es. Gak punya hati. Woah... Gue speechless." Kanza berkacak pinggang setelah punggung Bian sukses menghilang dari hadapannya, ternyata ada orang seperti itu. Kanza kira hanya ada di novel atau film ternyata atasannya sendiri juga mempunyai perangai buruk dan sudah terhitung sepuluh tahun, sifat manusia tidak berubah. Beruntung ojol yang Kanza pesan sudah datang sehingga ia bisa pulang dan beristirahat.
Sampai di rumah Kanza menghembuskan nafas lega, perasaan bekerja menjadi CPNS mempunyai jam tertentu yaitu dari 8 pagi sampai 4 sore. Tapi hari ini ia sampai malam dan sudah terhitung dua minggu, tapi tidak apa setidaknya tidak sendiri. Ia lantas meletakkan tasnya kemudian menuju dapur dekat ruang tengah. Rumah yang Kanza tempati adalah Rumah minimalis sederhana milik sahabat SMA Kanza yang merantau di Jakarta selama kurang lebih empat tahun. Dia merupakan kakak tingkat Kanza waktu di SMA. Tadinya Kanza disuruh hanya tinggal disitu secara Cuma-Cuma terlebih Kanza juga baru diterima kerja kemarin. Tapi Kanza menolak, ia memilih membayar sewa per-enam bulan untuk sewa kamar dan lain-lain dengan harga standar jadinya mereka tinggal berdua. Beruntung jarak tempat kerja dan rumah tidak terlalu jauh sehingga tak membutuhkan biaya lebih.
"Lo kenapa?" tanya seorang wanita yang keluar dari kamar. Kanza sedikit berjingkat karena wanita tersebut muncul tiba-tiba. Tidak, sepertinya ia yang sedang tidak fokus akibat lelah.
“Capek banget asli.” Keluh Kanza mendudukkan di sofa tengah.
Rumah ini benar-benar sederhana hanya ruang tamu yang jadi satu dengan ruang tengah dilengkapi tv, ada sofa panjang dan sofa tunggal juga meja yang di letakkan di tengah dengan alas karpet bulu. Mempunyai tiga ruang yaitu satu ruang kerja milik teman Kanza yaitu Jihan, satu kamar untuk Jihan dan satu kamar milik Kanza. Dapur berada di belakang ruang tengah dengan sekat meja makan cukup empat orang dan pojok ada dua kamar mandi, dan mesin cuci.
“Kata lo pulang jam empat kenapa sampai jam segini?” tanya Jihan membuat kopi untuk dirinya.
“Gak tahu gue, udahlah gue mau mandi.” Jawab Kanza beranjak dari duduknya menuju kamar.
“Udah makan belom lo!” seru Jihan saat Kanza masuk ke kamar untuk mengambil baju ganti untuk mandi.
“Belom, lo masak?” tanya Kanza saat keluar dari kamar.
“Masak sih cuma tempe goreng sambel sama sop.”
“Yaudah gue habis ini makan deh.”
“Oke.” Percakapan itu ditutup dengan Kanza yang masuk ke kamar mandi dan Jihan yang kini bersantai di ruang tengah dengan kopi dan tab nya.
---
Abian tiba di rumah pukul 21.00, ia dapat melihat kamar atas sudah padam. Artinya, adiknya sudah tidur. Lantas ia memilih meletakkan martabak yang ia beli ke dalam kulkas.
Semenjak dirinya mempunyai rumah hasil kerja kerasnya dan memilih bekerja dan menetap di Jakarta, lumayan jauh dari keluarganya yang berada di Yogyakarta. Terlebih adik perempuannya yang kini memasuki Universitas memilih tinggal bersama dirinya, Abian sedikit merasa bersalah karena ia jadi tidak perhatian dengan adiknya. Ia selalu pulang larut dan adiknya, Saras sudah tidur. Ya walaupun begitu, Saras merasa biasa saja. Saras mengerti dengan kakaknya yang sedari SMA sibuk. Terkadang malah Saras kasihan dengan Abian yang terlalu tekun dan ulet. Ya walaupun usaha tidak mengkhianati hasil buktinya Abian sudah sukses dari segi materi. Meski ia memutuskan menjadi PNS, namun ia masih aktif mengisi seminar dimana-mana.
Menyegarkan tubuhnya beberapa menit di kamar mandi. Ia belum ingin tidur, ia memutuskan mengistirahatkan sejenak tubuhnya dengan bersantai di ruang tengah. Teh pahit hangat, mungkin ia bisa merelaksasi kan tubuhnya setelah sehari bekerja. Semakin dirasa tubuhnya mudah lelah, sepertinya faktor umur mengejarnya untuk lekas mencari pasangan.
"Mas baru pulang?" tanya Saras tiba-tiba muncul dari tangga berjalan turun ke bawah.
Abian menoleh mendapati adiknya kini berjalan menuju dapur, "Kamu belum tidur? Tumben." Ia kini beranjak menghampiri Saras di dapur.
"Belum tugasnya numpuk. Lagi pula udah semester 3 jadi gak bisa leha-leha." Saras meneguk minum yang tadi ia tuangkan dalam gelas hingga tandas. Sedangkan Bian mengeluarkan martabak manis yang belum lama di simpan di kulkas.
"Kalo capek istirahat Dek, main juga boleh."
"Mas beli martabak gak bilang-bilang." Ucap Saras matanya terlihat berbinar sampai-sampai mengikuti arah martabak itu di letakkan di piring.
"Tahunya kamu udah tidur jadi Mas taruh kulkas. Dek denger kata Mas, ‘kan?"
Saras mengangguk sembari memakan satu martabaknya, "Dewnger... Lagian aku juga main kok tenang aja."
"Boleh sih tekun, rajin tapi jangan lupa main."
"Mas sendiri gimana? Aku liatnya dari kuliah gak ada bedanya."
"Beda. Mas dulu masih bisa nge-band."
Saras menggeleng keras, "Bukan... Maksud aku, kapan Mas ngenalin cewek ke aku. Dari dulu jomblo terus, Mas kan butuh seseorang pas lagi capek."
Abian menoyor kepala Saras, "Udah, nih bawa ke kamar buat nemenin bergadang." Bian menyerahkan piring berisi martabak yang sudah di atas piring kepada Saras. Dengan senang hati Saras menerimanya.
"Mas, makasih ya martabaknya. Saras sebenernya lebih suka martabak telur tapi martabak manis Saras juga gak nolak. Hehehe."
Abian mendengus tersenyum, adiknya ternyata lebih mengerti dibandingkan dirinya. Terlihat Saras benar-benar ingin membuat dirinya tidak kecewa karena membelikan yang bukan kesukaan Saras.
"Ya udah sana gih belajar yang bener."
"Siap kapten." Saras berseru disertai tangannya hormat. Ia tertawa lantas bergegas menuju kamarnya. Setidaknya Saras senang ada makanan menemani malamnya.
“Oh iya Mas…” Saras kembali turun menatap Abian dengan cukup ragu. Ia meringis kikuk pasalnya kakaknya itu menatapnya serius dan datar.
“Bunda telepon Saras tadi dan nanyain Mas…” Lanjut Saras dengan suara pelan, “Coba di telepon balik Mas, takutnya penting.”
Abian terdiam sejenak tapi ia mengangguk, “Nanti.”
Abian menghela nafas, lantas ia juga kembali ke ruang tengah. Pikirannya sedikit terdistraksi oleh perkataan Saras barusan. Sebenarnya ia sudah memikirkan hal tersebut setelah usianya mencapai kepala tiga, namun tidak bisa terealisasikan sampai hampir memasuki umur 31 ini. Terakhir ia berpacaran juga saat lulus kuliah. Kalau ditanya kesepian tidak? Kesepian. Ia mulai butuh seseorang yang mengurusi dirinya, apalagi saat pulang kerja seperti ini ia butuh mengistirahatkan pikirannya dengan bertukar cerita. Tapi sepertinya masih jauh pemikirannya sampai situ. Ia masih fokus dengan karirnya yang mulai monoton. Baik, sepertinya ia juga lembur malam ini. Banyak data yang tidak sinkron harus dibenarkan. Banyak berkas yang harus di tinjau ulang. Astaga ternyata pekerjaannya menggunung, tidak ada habisnya.
-To be continued-
Kalau dipikir-pikir, Kanza itu memang anak yang cukup bar-bar saat sekolah. Bukti jelasnya itu sudah ada pada Abian. Bahkan dia ingat siapa Kanza, murid bimbingan olimpiade saat SMA. Ya, Abian tidak heran sih saat itu hanya saja, kok ada ya yang seperti Kanza naik meja, julid, dan menggosip tentang Abian dan segala keburukannya. Sebenarnya lucu kalau dipikir ulang. Wajar, Abian itu sangat dingin orangnya. Tapi banyak fans nya, saat murid bimbinganya dibimbing bukan benci malah senang dengan Abian yang seperti itu. Ya, kecuali si Kanza tadi, makanya Abian langsung ingat saat Kanza memperkenalkan dirinya pertama kali, melihat perawakannya juga tidak berubah dari dulu.Abian membuka iseng media sosialnya, pertama media sosial dengan logo burung tapi tidak begitu menarik lalu beralih ke ask.fm nya. Ia sudah lupa kata sandinya apa, tapi gampang mencari ask.fm nya, tinggal menulis Abian Adalvino ask.fm di Search engine. Langsung mun
Abian turun dari lantai dua, setelah mendapatkan pesan beruntun dari temannya, ia bergegas mengganti pakaiannya. Saras yang sedang menonton tv di ruang tengah pun mengernyit heran melihat penampilan kakaknya itu tengah rapi berbalut kemeja kotak merah dan kaos hitam di dalamnya. Tidak lupa celana jeans, dan tas yang disampirkan dipundak."Mas mau kemana? Dandan kayak anak muda gitu?" tanya Saras meneliti penampilan Abian yang sangat santai, apalagi rambutnya disisir tidak terlalu rapi seperti saat akan ke kantor."Busking. Mau ikut?"Saras sontak berdiri, "Sumpah? Mauuuu ikutt.""Ya udah sana ganti baju."Saras langsung mengangguk, ia mematikan televisi dan langsung bergegas naik menuju kamarnya. Cukup 10 menitan Saras keluar dengan memakai sweater warna beige dan jeans juga tas selempang kecil. Ia sangat bersemangat malam ini."Mas beneran mau busking? Sama anak Band Mas?" tanya Saras mengekori Abian yang kin
warning! Harsh word! . Karena lapar setelah menonton acara musik itu, Jihan dan Kanza memutuskan untuk singgah di kafe dekat disitu sebentar. Sembari mengobrol banyak hal. Jihan dan Kanza duduk di salah satu meja kosong, sudah malam tapi masih cukup ramai. "Za? Lo masih diet?" tanya Jihan kini melahap nasi goreng telur yang ia pesan. Kanza dan Jihan sama-sama memesan menu yang sama, untuk makan yaitu nasi goreng telur satu pedas untuk Jihan dan satu pedasnya sedang untuk Kanza, kentang goreng satu dan minumnya greentea. Kanza menyeruput minum sejenak, "Lo pikir?" Jihan terkekeh pelan, "Ya gak salah sih tante Rina nitipin lo ke gue." "Gue udah susah-susah diet eh ketemu lo mana bisa gue diet." Timpal Kanza kini ikut tertawa kecil begitu pula dengan Jihan. "You know me so well Za." Kanza kembali melahap makanannya dengan tenang, "Adik lo udah isi?" tanya Kanza tiba-tiba membuat
"Lagi nunggu ojol?" tanya Abian yang keluar dari gedung. Kanza langsung menoleh cepat, jika di pikir-pikir apa Abian selalu pulang paling akhir, sudah jalan tiga minggu Kanza pulang akhir tapi ternyata Abian yang pulang akhir."Iya." Jawab Kanza singkat."Batalin aja.""Hah?!"Abian menatap Kanza dengan ekspresi datarnya, "Batalin aja ojolnya. Kamu pulang sama saya." Lanjut Abian seenaknya."T-tapi...""Orang ojolnya dari tadi gak jalan-jalan." Abian menunjuk dengan dagunya, melihat ponsel Kanza menyala dan terlihat bahwa ojol yang Kanza pesan masih belum jalan.Kanza menoleh bingung pada ponselnya, tapikan Kanza tidak mau pulang dengan Abian. Dia berusaha menghindar dari Abian, tapi setelah dirasa, Abian seperti balas dendam kepada dirinya."Kelamaan mikir, keburu di tutup gerbangnya." Ucap Abian meninggalkan Kanza
"Kamu disana malah gendutan ya pantes aja gak nikah-nikah.""Za kurangin ngemil lo, leher lo ada dua gitu.""Yang udah kerja pasti banyak duit. Tambah gemuk aja.""Ihh kak Kanza tambah gemuk nek!!""Di jaga tubuhmu. Jangan banyak jajan, jangan banyak ngemil, kalo kamu gemuk susah yang suka sama kamu. Gak nikah-nikah nanti." Sejak 5 hari setelah Kanza video call dengan keluarga besar yang sedang berkumpul di rumah neneknya ia berubah menjadi murung. Niat ingin melepas rindu, dengan mungkin dibumbui pujian karena ia berhasil bekerja di yang ia cita-citakan, malah berakhir dengan unt
"Gak makan siang?" tanya Abian saat masuk ke ruangan dan kini berhenti di samping meja Kanza. Kanza menoleh sejenak lalu menggeleng ia kembali menatap monitor komputernya. Semenjak kejadian 2 hari yang lalu dimana ia pingsan, Kanza lebih pendiam. Kanza tahu jika Abian yang membawa ke klinik bersama Bu Nuri, dan ia juga tahu jika mereka berdua tidak ember penyebab Kanza pingsan. Hanya saja mood Kanza tidak kunjung membaik ditambah keluarga besarnya yang semakin kemari semakin menyebalkan. "Ayo saya temenin makan. Saya gak mau liat anggota tim saya pingsan lagi." Ucap Abian terkesan tegas dan datar. "Makasih Pak sebelumnya, tapi saya gak bakal pingsan lagi." Jawab Kanza. Abian mendengus, "Saya gak mau ada anggota yang ngrepotin saya
Abian bingung harus bagaimana menghadapi wanita yang marah terhadapnya. Baru kali ini ia merasa pusing sendiri dengan sikap orang yang marah terhadapnya. Biasanya ia akan cuek dan tidak mempedulikan karena semua yang ia katakan, ia utarakan itu lebih dari logis. Maka dari itu lawan bicara sering kalah telak jika berdebat dengannya. Tapi kenapa ia sekarang menjadi kepikiran ketika beberapa hari lalu Kanza marah padanya, sampai-sampai berani melempar buku menimbulkan suara nyaring. Apa ia terkena Karma karena mulutnya sering kelewat tajam hingga sekarang marahnya Kanza membuat Abian uring-uringan dan moodnya ikut buruk. Satu lagi, ajakan keluar kemarin ditolak mentah-mentah oleh Kanza. Padahal ini merupakan pertama kali Abian sampai mendatangi rumah seseorang untuk minta maaf dan menebus kesalahannya. Hari ini pun Abian melihat Kanza ha
Burhan masuk ruangan Tim Cirrus dengan tersenyum lebar. Suasana hatinya sangat senang, tak sabar ia membawa kabar baik yang akan ia sampaikan kepada Tim Cirrus. Walaupun hal pribadi tapi setidakknya ia ingin berbagi kebahagiannya. "Selamat siang semua." Sapa Burhan kini masuk dan berjalan menuju depan sana. Semua langsung berdiri menyapa Burhan dengan hangat dan ramah. Bahkan semua langsung menghentikan aktivitas mereka dan berdiri untuk menghormati kedatangan Burhan. Termasuk Abian yang langsung keluar ruang kerjanya. "Wah kayaknya bapak ada kabar gembira nih." Ujar Hasan setelah melihat raut wajah Burhan yang berseri-seri. Burhan tersenyum malu, "Kamu tahu aja Hasan." "I
Dua minggu lamanya Kanza benar-benar mengabaikan pesan dari Abian, dan sudah terhitung satu minggu terakhir Abian tidak mengubungi Kanza lagi setelah ia mengirim pesan yang terakhir untuk menjelaskan alasan apa yang terjadi. Suasana menjadi sangat kacau, banyak sekali rumor yang tidak masuk akal termasuk menyangkut dirinya. Kanza sudah tidak peduli dengan semua orang, karena semua orang itu palsu, bermuka dua dan tidak dapat dipercaya. Yang tidak bisa ia pikirkan sebenarnya Kanza harus menunggu apa? Dan lagi Abian pindah tim? Benar-benar pria gila. Kanza membereskan barangnya untuk segera pulang karena jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Harinya sama, sama-sama melelahkan bagi Kanza. "Kanza mau pulang?" tanya Samuel, Ketua Tim Kanza yang akhir-akhir ini mendekati Kanza. Bukan ada maksud apa-apa menurutnya semua yang menjadi anggotanya menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan anggotanya. Entah sekedar menawari untuk pulang bersama atau mencoba meng
From : Bapak Abian YTH Kamu gak mau liat keadaan saya? Tanggung jawab punggung saya sakit. . Kanza menghembuskan nafas lelah, jujur memang ia tidak bisa mengunjungi Abian kemarin dikarenakan shift. Dan sekarang ia sedang menuju rumah sakit tentu saja mengunjungi Abian meski dengan perasaan yang campur aduk. Ia tidak tahu apakah nanti bisa mengendalikan emosinya atau malah akan menangis keras, yang jelas pikiran Kanza masih kacau. Tentang keterangan Abian tidak masuk yaitu dengan alasan salah otot sehingga pinggang Abian cedera. Abian tidak memberitahu bahwa ia kena insiden yang tidak perlu ia sebutkan, yang ada malah menjadi berita yang tidak-tidak. Menerima pesan tadi Kanza sudah berdiri di depan pintu ruang inap Abian, ia sudah berdiri selama kurang 15 menit. Entah mengapa ia harus menyiapkan dirinya, mungkin karena merasa bersalah mendalam. Bahkan ia masih ingat detail bagaimana kejadian itu, rasanya begitu sesak mengingatnya. Kanza menggelengkan kep
Lorong rumah sakit nampak cukup sepi. Setelah kejadian tadi, Kanza hanya terdiam di depan kamar rawat setelah membersihkan diri tadi. Wajah Kanza masih terlihat bengkak sedikit pucat, tangannya juga masih bergetar. Ia masih terlalu kaget dengan kejadian ini, menyesali segalanya. Di dalam kamar rawat ada Saras yang masih menunggui kakaknya itu siuman, sedangkan Seno mengurus Panca di kantor polisi. Penyerangan akan memberatkan tuntutannya. Drrt drrt Suara getar ponsel Kanza terdengar, ia mengeluarkan ponsel dari saku. Ada panggilan masuk dari Jihan membuat seketika ia menghela nafas berat sebelum menerima. Cukup lama ia hanya memandang kosong layar ponsel bercantumkan nama Jihan tiba-tiba Saras keluar dengan tergesa dan sontak membuat Kanza otomatis langsung berdiri. "Mbak, mbak kenapa belum pulang?" tanya Saras cukup ketus. Saras masih belum bisa berpikir rasional sekarang, ia masih syok juga atas kejadian yang menimpa kakaknya. "Pak Abi
Setelah Seno berbincang dengan Abian hanya sekitar 10 menit, Abian langsung mengirimkan pesan ke Kanza untuk mengirimkan lokasinya sekarang juga. Boleh jadi sekarang ia bertemu dengan Panca. Kira-kira ini obrolan sebelum Abian menancapkan gas motor menuju lokasi yang Kanza kirimkan. "Lo denger gue gak sih, Al?" Abian melirik sejenak, "Denger.""Terus kenapa lo malah main hp?"Tidak menanggapi pertanyaan Seno, Abian kembali mengecek pesan masuk dari Kanza tetapi nihil."Al?!" Seno emosi sendiri karena Abian sedari tadi seperti tidak memperhatikan ia bicara.Abian menghela nafas kasar, "Gue tahu. Gue tahu dari lama, lo pikir gue gak mastiin Kanza balik sesuai permintaan lo? Makanya gue lagi—"Suara notifikasi masuk ke dalam ponsel milik Abian. Kanza mengirimkan lokasi yang tidak jauh dari Kafe Seno. Tidak menghiraukan Seno yang tengah mengomel panjang, Abian langsung mengambil kunci motor dan langsung bergegas menuju lokasi meninggalkan Seno yang men
Kanza membuka matanya terkejut ketika mimpi buruk itu seolah ingin menangkapnya. Peluh berjatuhan, nafasnya tersenggal. Ia lantas mendudukkan dirinya mencoba menetralkan nafas, tangan Kanza meraih ponsel guna melihat pukul berapa sekarang. Masih pukul 3 pagi. Kanza mengambil gelas disamping meja dan meminum sekali tandas.Akhir-akhir ini ia merasa gelisah, bahkan ia sering mimpi buruk kejadian itu terulang lagi. Tapi sebelum-sebelumnya ia menyangkal jika hanya pikirannya saja yang penuh. Kanza menghela nafas lalu kembali merebahkan dirinya. Ia menatap langit-langit menerawang jauh memikirkan kondisinya. Ia merasa baik-baik saja, tapi terkadang ia merasa sangat kacau. Kanza sedikit takut jika ia harus menemui psikolog karena kondisi psikis yang akibatnya berdampak pada kondisi perut. Sejak kejadian itu, perut Kanza menjadi sangat sensitif, dari sering melilit atau paling parah yaitu kram. Padahal ia sudah cek ke dokter dan tidak ada apa-apa. Dokter hanya bilang itu dikarenakan
Kanza tersenyum cerah ketika tidak sengaja tadi melihat sekelompok mahasiswa di ruang sebelah setelah ia dari kamar mandi. Ia langsung bergegas menuju ruangannya untuk bersiap menyambutnya. Dibanding harus terlihat seperti orang yang keren saat bekerja, Kanza justru malah ingin berinteraksi dengan mereka tapi tidak bisa karena hanya dia saja yang merasa begitu yang lain begitu fokus dengan pekerjaan mereka. Tentang Nata, mereka sama sekali tidak bertegur sama semenjak kemarin. Masa bodoh, Kanza tidak peduli. "Selamat siang semuanya," suara Bapak Humas Instansi menyapa semua orang di ruangan Cirrus. Sontak semuanya menoleh dan membalas sapaan dari Bambang si Humas yang membawa kelompok mahasiswa tersebut. Abian yang tadinya di dalam ruangannya lantas keluar menghampiri Bambang untuk menyambut mereka. Kanza tersenyum cerah ketika melihat para Mahasiswa di luar, beberapa anak mengintip dan tersenyum ke arahnya. "Baik semuanya, karena ada sekitar 7 orang
Obrolan kemarin sore baik Abian dan Kanza mulai menjaga jarak, bahkan hanya bertegur sapa singkat dan bekerja sesuai dengan jadwalnya. Gosip tentang Kanza pun belum mereda, masih banyak yang menyinggung jadwal shift yang ditetapkan. Mungkin prinsip Kanza sekarang ia akan bekerja dan dibayar lalu pulang, tidak mencampuri urusan lain ataupun ikut nongkrong apapun. Dia akan biasa tidak akan terlalu dekat dengan rekan kantor karena tidak ada yang dapat dipercaya.Ia harus fokus kembali tujuan awal yaitu mencari uang untuk adiknya sekolah dan dirinya. Hanya itu. Ia harus mengingat jika ada orang yang perlu ia bahagiakan yaitu keluarganya.Agaknya beberapa kali Abian mencuri pandang ke arah dimana Kanza bekerja. Wanita itu tengah fokus dengan dahi yang berkerut, rambut pendek sebahu yang ia kucir satu menyisakan beberapa helai anak rambut, gurat wajahnya yang terlihat lelah dan sepertinya bertambah kurus. Pipi chubby saat pertama kali ia kemari berkurang.Abian menghe
Mungkin bagi Kanza, menjadi anak perempuan pertema sekaligus cucu pertama yang bisa memenuhi permintaan mendiang Kakeknya itu adalah hal yang luar biasa. Beban ia langsung terangkat begitu saja sehingga pundaknya menjadi ringan. Bagi Kanza itu semua dilakukan dengan mudah, tidak banyak mengeluh dan mengiyakan perkataan orang tua.Lalu bagaimana cara dia bertahan dan menjadi kuat?Pura-pura adalah jawabannya. Kanza terbiasa berpura-pura untuk menjadi lebih kuat disaat dia pada titik terendah. Dia juga terbiasa berpura-pura untuk baik-baik saja karena ia yakin besok akan baik-baik saja, padahal pikirannya berbanding terbalik. Kanza selalu menekan kelelahan secara psikisnya hanya dengan tidur karena ia percaya dengan begitu ketika bangun ia bisa kembali berlindung dalam kata 'pura-pura', seolah tidak terjadi apa-apa.Seolah menutup telinganya rapat, Kanza keluar dari bilik kamar mandi setelah beberapa orang tadi pergi. Kanza menghela nafas berat, topik
Mungkin jika saat itu tidak berakhir, maka kedua insan itu masih merasakan bagaimana letupan-letupan rasa bahagia dalam hati mereka. Menciptakan banyak kenangan dari masa ke masa. Namun keadaan yang memaksa mereka untuk berhenti, berhenti mencintai satu sama lain sehingga meninggalkan sebuah kenangan yang tidak berarti dan hanya terasa seperti luka tidak mengering. Bersikap layaknya tidak terjadi apa-apa bahkan menjaga jarak merupakan yang mereka sekarang. Sebuah formalitas membingkai setiap pertemuan mereka. Dan terus sampai begitu. Apakah bisa seperti dulu? Mungkinkah? Entahlah. Wanita berparas cantik itu tersenyum ketika seorang pria berseragam pegawai itu berjalan menghampiri dirinya di luar ruangan. Dari dulu sampai sekarang menurutnya pria itu tidak berubah, paras dingin, langkah tegap, penampilan rapi selalu menjadi kesukaannya. Mungkin jika dulu ia bisa melihat senyum tipis terpatri pada wajah tegas pria itu sekarang tidak. Senyum yang jujur saja ia rindukan menghila